57. Uraian Fakta
Pebinor, adalah satu akronim yang sudah menjamur di kalangan masyarakat saat ini. Bersama dengan istilah pelakor, dalam waktu singkat, keduanya berhasil membuktikan pada semua orang bahwa makhluk halus itu memang ada. Menakutkan dan bertujuan untuk merusak kehidupan manusia. Karena tentu saja, para perebut istri (bini) orang atau pun perebut suami (laki) orang, adalah spesies antah barantah yang seharusnya musnah dari muka bumi ini.
Dan berbicara mengenai dua spesies virus itu, tentu saja mayoritas orang sepakat akan satu hal. Yaitu berharap agar mereka tidak sampai bertemu dengan virus tersebut. Tapi, melihat pesan di layar ponsel Leony, mau tak mau Miska terkesiap. Hingga ia pun mendesis dengna horor.
"Shit! Sony itu pebinor?"
Leony sudah menerka. Hal itulah yang akan menjadi respon Miska ketika ia memutuskan untuk menunjukkan pesan Sony. Yang mana, bukan hanya pesan siang itu. Alih-alih semua pesan yang Sony kirimkan padanya beberapa hari belakangan ini. Hingga membuat Miska syok!
"Ya Tuhan. Sony kok nggak ada otak sih?"
Leony meringis. "I-i-ini dia emang gitu ya?" tanyanya bingung harus menggunakan kata apa. "Ma-ma-maksud aku .... Ya ampun, Mis! Aku ini lagi hamil loh. Perut segede ini masa sih ada yang mau naksir?"
Miska melirik sekilas pada perut Leony. Di kala itu, jemari Leony sedang bergerak pelan di sana. Mengusap-usapnya beberapa kali. Mungkin seperti tengah menenangkan bayi di dalam sana.
Astaga!
Miska melotot.
Kalau aku jadi itu debay, pastilah aku takut.
Ya kali aku dibuat dengan cowok A, terus pas lahir malah disambut cowok B.
Iiih!
Namun, tenang saja. Miska benar-benar tidak ingin menyuarakan sindiran sarkas itu di hadapan Leony. Bisa-bisa ibu hamil itu menangis besar lagi.
Miska menarik napas panjang. Mengajak Leony untuk duduk di satu tempat duduk terbuatkan keramik yang dingin. Ia menunjukkan riwayat pesan itu.
"Dengan semua kata-kata ini?" tanya Miska. "Serius? Aku nggak pernah tuh dapat pesan kayak gini dari Sony waktu mata aku bengkak karena nangis pas putus. Gara-gara dapat pacar semacam mokondo." Miska geleng-geleng kepala. "Kagak pernah sekali pun dia pe-du-li! Nggak pernah. Sekali lagi, nggak pernah."
Leony memang sudah memperkirakan tersebut. Tapi, ya ampun. Lagi-lagi keadaannya yang sedang berbadan dua, dengan tubuh yang semakin berisi, mau tak mau membuat ia meragukan dugaan itu.
Bujangan?
Naksir istri orang?
Mana lagi hamil coba.
Kan nggak masuk akal orang waras sih.
Hingga Leony pun mengembuskan napas panjang. Dengan dahi yang berkerut. Seperti ia bingung dengan situasi saat itu.
"Tapi, masa sih? Kok kayak yang nggak masuk akal gitu ada yang naksir aku pas lagi hamil gini?"
Sejenak, Miska melongo. Melihat pada Leony dengan ekspresi tak habis pikir. Hingga kemudian ia berkata.
"Yang namanya deketin pasangan orang, mau lagi hamil atau nggak, ya emang nggak masuk akal. Emangnya pebinor atau pelakor ada akal gitu?" Kali ini Miska yang mengerutkan dahi. "Eh, justru karena mereka ada akal sih makanya mereka ngegoda pasangan orang."
Miska bingung sendiri. Hingga menggaruk kepalanya. Namun, sejurus kemudian ia menggeleng.
"Intinya, pelakor atau pebinor itu nggak waras. Mau hamil atau nggak, mau kaya atau nggak, yang namanya ngerebut pasangan orang itu adalah tindakan memalukan. Kayak mereka nggak punya urat malu aja. Cuma demi memuaskan kemaluan mereka."
Leony bergidik horor. "Astaga, Mis," desisnya seraya membawa kedua tangannya ke perutnya. Seperti orang yang sedang menutup telinga. "Dedek nggak boleh dengar omongan kayak gitu. Ntar dia syok lagi."
"Ckckckck," decak Miska tanpa merasa bersalah. "Lagian ya. Ini Sony kok ...." Miska tidak meneruskan perkataannya. "Wah! Beneran nggak ada otak ya? Maksud aku, kamu dan Eros kan lagi bahagia-bahagianya. Kok malah dia mau ngerusak kebahagiaan kalian sih?"
Mengerucutkan bibirnya, Leony tampak cemberut. "Kan pebinor atau pelakor emang kerjaannya ngerusak kebahagiaan orang sih, Mis."
"Aaah ...," lirih Miska miris. "Kamu benar. Memang kerjaan mereka gitu sih."
Membenarkan perkataan Leony, Miska kemudian geleng-geleng kepala. Ia sungguh syok dengan kenyataan tersebut. Tidak percaya andaikan ia tidak melihat semua buktinya.
"Karena itu kamu kayak yang ngindarin dia?"
Pertanyaan yang Miska layangkan beberapa saat kemudian, langsung dijawab oleh anggukan kepala oleh Leony. Ia tampak tak berdaya.
"Aku beneran nggak mau deket-deket dengan dia lagi. Bahkan kalau nggak penting, rasanya aku nggak mau ngeliat wajah dia. Ya ... gimana sih, Mis. Tapi, omongan dia kemaren itu beneran kayak yang nyuci otak aku. Kayak dia semacam tukang hipnotis gitu."
Miska mendengkus dengan ekspresi yang tampak mencemooh. "Ya wajarlah. Itu emang bakatnya para pelakor dan pebinor. Persis kayak tukang hipnotis. Seolah-olah mereka adalah orang paling baik di dunia ini. Aslinya mah ... preeet!"
Kepala Leony mengangguk. Tidak menampik sedikit pun perkataan Miska. Hingga kemudian, hening sejenak. Seperti mereka berdua sama-sama perlu waktu untuk merenungi hal luar biasa yang sekarang sedang terjadi di lingkungan kerja mereka. Lalu, setelah beberapa saat berlalu, Miska meraih tangan Leony. Memegangnya dengna ekspresi penasaran.
"By the way," ujar Miska kemudian. "Eros tau soal ini?"
Seketika saja wajah Leony berubah. Dan itu sudah cukup menjadi jawaban untuk Miska. Yang mana, ia pun maklum.
"Ya ... wajar sih kalau kamu nggak ngasih tau dia. Mana ada cowok waras yang nggak bakal naik darah kalau tau istri dan anaknya lagi digoda bujangan sebelah meja. Ckckckck. Gila! Sony emang akalnya dipake untuk jalan yang nggak bener ya? Ngegoda ibu biar dapat anaknya juga? Wah wah wah."
Leony tidak menghiraukan candaan sarkas Miska. Alih-alih ia membayangkan wajah Eros di benaknya.
"Aku nggak mau nambah pikiran Eros," lirih Leony. "Dia makin lama makin sibuk ngurusin aku. Mana harus sambil ngurus La Coffee. Kalau dia sampe tau masalah ini, aku takut malah dia yang stres. Lagipula ..." Leony mengembuskan napas panjang. "... aku bakal berusaha nggak ngeladenin Sony. Beneran bakal ngejauhin dia."
Namun, Miska justru mematahkan tekad Leony. Tidak bermaksud sih. Tapi, kata-kata pahit terkadang memang perlu diucapkan untuk menyadarkan kita terhadap kenyataan yang ada.
"Kamu tau, Ny?" tanya Miska kemudian. "Pelakor dan pebinor itu, sistem otaknya udah kebalik. Kadang ditolak itu bukannya ngebuat mereka kapok, justru kadang makin semangat buat ngedeketin." Miska menatap mata Leony. "Karena kalau nggak gila, mereka nggak bakal jadi pelakor atau pebinor."
Leony sontak saja membeku. Rasa dingin itu menjalari tubuhnya. Yang mana, Leony yakini. Bahwa itu bukan berasal dari bangku keramik yang mereka duduki. Melainkan karena kemungkinan –atau mungkin fakta- yang satu itu.
"Terus," lirih Leony pelan. "Aku harus gimana dong, Mis?"
Meremas tangan Leony pelan, Miska meyakinkan cewek itu. "Kalian menikah, itu artinya nggak ada yang menjadi rahasia."
Leony tertegun.
"Untuk apa ditutup-tutupi? Lah kalian aja udah sering buka-bukaan."
Leony menarik tangannya. Memegang perutnya lagi. Tampak manyun. "Miskaaa ...."
*
Ketika Eros menjemput Leony, cowok itu merasakan ada yang berbeda dengan istrinya itu. Ada yang tidak biasa yang sedang terjadi. Namun, mengerutkan dahi. Mencoba meneliti ekspresi wajah Leony, seperti tidak membuahkan hasil. Karena sebenarnya Leony tampak biasa-biasa saja. Hanya saja ... perasaan Eros merasa tidak enak.
Sepanjang perjalanan pulang, Eros sering kali melirik ke belakang melalui spion. Mencoba mencari tanda lainnya. Yang bisa mengindikasikan kalau Leony sedang dalam kondisi yang tidak bagus. Ehm ... mungkin saja cewek itu sedang merajuk lagi padanya. Tapi ....
Pandangan Eros jatuh ke perutnya. Dua tangan yang melingkar di sana menjadi bukti tak terbantahkan kalau Leony tidak sedang merajuk. Karena jelas sekali, kalau cewek itu sedang merajuk padanya, jangankan memeluk, bahkan Leony akan segera menjaga jarak dengannya selama di atas motor. Duduknya sangat jauuuh ... sekali di ujung motor. Sampai-sampai membuat Eros khawatir Leony akan tertinggal. Hiks.
Hingga kemudian, ketika mereka berdua tiba pula di apartemen, kemungkinan bahwa Leony sedang marah padanya semakin hilang. Karena sepanjang perjalanan naik menuju ke unit mereka, cewek itu tidak melepaskan tangan Eros. Menyandarkan kepalanya di lengan sang suami.
Di saat pada akhirnya mereka masuk ke unit, Eros pun langsung bertanya. Ia tak bisa menahan rasa mengganjal itu berlama-lama di benaknya.
"Ny, kamu lagi sakit? Ngerasa nggak enak badan? Kayaknya kamu lesu banget sore ini? Ehm ... atau laper? Aku masak bentar ya?"
Dan Eros menunggu, pertanyaannya yang mana yang tepat untuk situasi Leony kala itu. Hingga sejurus kemudian, bukanlah jawaban yang Eros dapatkan. Alih-alih pelukan Leony yang mendadak.
"Eh?" Eros terkesiap. "Kamu kenapa, Ny?"
Menenggelamkan kepalanya di dada Eros, Leony memejamkan matanya. "A-a-aku ... mau jujur sesuatu ke kamu, Ros."
Dahi Eros seketika mengerut. Bingung. "Jujur?" tanyanya. "Jujur apa?"
"Tapi, kamu janji jangan marah ya?"
Tak menjawab, Leony justru balik bertanya. Hingga pelan-pelan, rasa penasaran dan tak nyaman itu terbit di dalam dada Eros. Seketika membuat benaknya menyalakan alarm peringatan. Karena jelas, 'janji jangan marah' selalu menjadi pertanda yang tidak bagus. Pokoknya kalau ada yang mengatakan itu, pasti karena ada sesuatu yang buruk yang sedang terjadi.
Dan untuk Leony ...?
Eros membeku.
Bayi mereka?
Atau ....?
Eros buru-buru melepaskan tubuh Leony. Alih-alih tetap berdiri dalam perbincangan yang tidak tau akan sampai kapan, cowok itu justru membawa sang istri untuk duduk di sofa ruang tamu.
Eros berusaha menguatkan dirinya. Berusaha untuk tetap tenang. Lalu, ia mengangguk.
"Iya," jawab Eros. "Aku janji nggak bakal marah. Jadi ... kamu mau jujur apa?"
Leony menggigit bibir bawahnya. Matanya tampak menatap pada mata Eros. Beberapa detik lamanya. Hingga kemudian, tak langsung menjawab pertanyaan itu, ia justru memberikan ponselnya. Dan Eros menyambutnya dengan dahi yang mengerut. Tak mengerti. Namun, ketika ia melihat percakapan apa di aplikasi Whatsapp yang ditunjukkan Leony padanya, seketika saja udara yang masuk ke rongga paru-parunya terasa panas. Apalagi ditambah oleh pengakuan Leony.
"Dari kapan hari, dia ngubungin aku terus."
Eros menarik napas dalam-dalam. Menenangkan diri.
Sabar, Ros, sabar.
"Di kantor, dia terus berusaha deketin aku."
Eros memejamkan matanya sekilas. Merasakan dengan jelas sebulir keringat tergelincir di rahangnya.
Sabar, Ros, sabar.
"Bahkan kemaren, yang waktu aku ngambek sama kamu. Itu gara-gara dia ngomong ke aku kalau kamu nggak perhatian jadi suami aku. Katanya dia yang peduli sama aku."
"What?!"
Sudahlah. Eros langsung terlonjak dari sofa. Dengan mata memerah dan rahang mengeras.
Sabar?
Kata apa itu?
Sepertinya sudah menghilang dari Kamus Besar Bahasa Eros!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top