51. Gejolak Perasaan

Respon Leony untuk pengakuan Sony tersebut natural sendiri. Ekspresi wajahnya tampak syok. Bahkan matanya terlihat menatap pada cowok itu tanpa kedip. Hingga kemudian, ketika pelan-pelan ia mulai mengerjapkan matanya. Seperti baru tersadar dari hipnotis penjahat, Leony melirih bingung.

"Eh?"

Sony tampak tersenyum. Sama sekali tidak menunjukkan rasa sungkan atau apalah. Yang terjadi justru sebaliknya, ia cenderung tampak santai. Seperti apa yang ia katakan adalah hal yang biasa-biasa saja.

"Ka-ka-kamu ngomong apa?"

Leony bertanya, demi meyakinkan diri kalau telinganya tidak salah mendengar. Atau kemungkinan lainnya adalah lidah Sony yang salah berucap. Ehm ... bisa saja kan?

Namun, Sony justru mengembuskan napas panjangnya. Benar-benar mengulang apa yang ia katakan tadi.

"Aku bilang tadi, aku tuh iri sama Eros."

Astaga.

Leony sontak saja merasa salah tingkah. Walau jelas, ia bingung. Maksud perkataan Sony itu apa. Mengapa ia harus mengatakan hal seperti itu?

Seketika saja Leony merasa tak nyaman. Karena jelas sekali, pada saat itu pula, mendadak saja seperti ada suara Eros yang menggema di benaknya. Seolah ingin mengingatkannya. Tentang hal yang semula tidak ia mengerti.

"Jangan deket-deket sama cowok lain, Ny."

Ya ampun.

Bola mata Leony membesar. Dengan jantung yang langsung berdegup. Seperti dirinya adalah polisi yang baru saja menemukan barang bukti pembunuhan berantai.

Namun, berbeda di mata Sony, cowok itu justru merespon dengan beda sikap Leony. Mengira bahwa cewek itu terkejut dengan pengakuannya. Hingga kemudian, ia lanjut berkata.

"Sebenarnya, tempo hari itu aku nggak sengaja denger obrolan kamu sama Miska sih. Ehm ... kayaknya kamu dan Eros berantem."

Mata Leony mengerjap-ngerjap. Sekarang ia memaksa otaknya untuk berpikir.

Eh?

Kapan aku dan Eros berantem?

Bukannya akhir-akhir ini kami berantemnya di kasur terus ya?

Ternyata, kejadian itu pun sudah nyaris menghilang dari ingatan Leony. Hingga ia butuh waktu beberapa detik lamanya untuk bisa mengingat kembali. Itu pun karena ucapan Sony selanjutnya. Yang sedikit banyak memberikan Leony petunjuk.

"Waktu kamu dimarahin Bu Donda sampe dia kena migrain," ujar Sony kemudian. "Aku nyusul kamu dan Miska. Sebenarnya nggak niat buat nguping, cuma nggak sengaja aja denger."

"Ehm ... itu ...."

Dengan tak nyaman, Leony menggaruk tekuknya. Berpikir, berusaha untuk menemukan jalan agar bisa keluar dari situasi yang tidak mengenakkan itu.

"Aku nggak habis pikir aja. Kenapa Eros harus gitu sama kamu? Padahal kamu udah berusaha jadi istri yang baik buat dia."

Leony tertegun. Dan hal itu tentu saja dimanfaatkan Sony untuk melanjutkan perkataannya.

"Kamu udah ngurusin dia. Dari pakaian sampe makanan, tapi kenapa juga dia malah buat kamu suka marah-marah? Dia benar-benar nggak beruntung jadi cowok."

Menarik napas dalam-dalam, Leony merasakan oksigen pelan-pelan memberikan dirinya sedikit ketenangan. Namun, tetap saja. Tidak cukup mampu untuk menyingkirkan rasa tidak enak yang mendadak saja tumbuh di dadanya. Rasanya membuat ia seperti sesak.

"Dia harusnya mikir kalau nggak seharusnya dia gitu sama kamu. Apalagi sampe nyia-nyiakan makanan yang udah kamu masak buat dia. Nggak bersyukur banget jadi cowok."

Itu ... sudah terjadi beberapa bulan yang lalu. Mungkin sekitar tiga bulan yang lalu. Tapi, sungguh. Ketika Sony mengatakannya, mengungkitnya kembali, mendadak saja Leony seperti terlempar ke masa itu. Aneh, tapi ajaib. Seketika saja Leony dihinggapi oleh rasa sedih itu lagi

Hingga tak pelak lagi, dalam hitungan detik, Leony merasakan rasa kebas di matanya. Seperti panas. Dan sesuatu terasa menyumpal pangkal tenggorokannya.

"Son ...."

Dan Sony melihat, bagaimana ekspresi sedih yang langsung tercetak di wajah Leony. Hingga matanya membesar.

"Ny ...."

Sony menggeser kursinya. Mendekati Leony. Dan meraih tangan cewek itu.

"Astaga. Kamu nggak perlu nangis buat cowok kayak gitu."

Hanya saja, terlambat. Bayangan pertengkaran-pertengkaran itu berkelebat di benak Leony. Menampilkan bagaimana Eros yang tidak menuruti perkataannya. Tidak menghargai makanan yang ia siapkan. Hingga meninggalkan dirinya seorang diri di unit ketika malam hari.

"Kamu nggak perlu nangis buat cowok yang nggak sayang kamu, Ny. Yang nggak cinta kamu. Toh pasti ada cowok yang bakal memperlakukan kamu lebih baik ketimbang Eros."

*

Eros tidak tau, tapi firasatnya mendadak tidak enak. Ehm ... mungkin itu ada kaitannya dengan pesan dari Leony yang ia dapatkan beberapa waktu yang lalu? Pesan yang kembali Eros baca untuk yang ke sekian kalinya itu.

[ Honey ]

[ Ros, sore ini nggak usah jemput aku balik. ]

[ Aku mau balik sendiri aja. ]

Kaget? Tentu saja. Maka dari itu, tadi Eros langsung membalas.

[ Honey ]

[ Loh? ]

[ Kok balik sendiri sih? ]

[ Ntar kamu kenapa-napa lagi di jalan. ]

[ Aku jemput aja ntar. ]

[ Biar kamu nggak kecapekan. ]

Namun, tau apa balasan Leony? Ehm ....

[ Honey ]

[ Ya udah kalau kamu mau jemput. ]

[ Jemput aja. ]

[ Tapi, aku tetap balik sendiri. ]

Maka tidak bisa dipungkiri lagi, alarm mendadak saja muncul di benak Eros. Tidak bisa tidak. Ada sesuatu yang sedang terjadi pada istrinya itu. Karena tentu saja, ini adalah satu ciri kalau cewek sedang merajuk. Tapi, merajuk karena apa?

Eros berusaha berpikir. Kesalahan yang mungkin saja ia lakukan hingga Leony bersikap seperti itu pada dirinya. Tapi, ia tak memiliki petunjuk sama sekali.

Apa sih yang biasa buat dia ngambek?

Buat dia marah?

Ehm ....

Handuk nggak dijemur?

Namun, Eros berani bersumpah. Handuk yang ia pakai tadi pagi sudah ia jemur. Bahkan lebih dari itu. Ia juga mengambil pakaian dengan teliti. Dan sebagai nilai bonus, ia pun merapikan tempat tidur ketika Leony masak.

Eh?

Mata Eros membesar. Sontak teringat bahwa Leony sangat tidak suka kalau dirinya tidak menghabiskan makanan yang sudah ia masak. Tapi, lagi-lagi Eros pun ingat bahwa tadi itu ia tidak menyisakan sedikit pun sarapan yang Leony sajikan untuknya. Bersih tanpa ada sebutir nasi pun yang tertinggal di sana.

Lantas ... apa?

Menarik napas dalam-dalam, sekarnag Eros berusaha untuk tenang. Berpikir dan merenungkan. Apa yang harus ia lakukan nanti? Apakah ia harus menuruti perkataan Leony untuk tidak menjemputnya? Atau sebaliknya, tetap menjemput walau cewek itu menolak?

Eros memejamkan mata. Tanpa perlu rumus matematika atau fisika, ia jelas tau. Bahwa saat itu dirinya sedang berhadapan dengan buah simalakama di saat sedang kelaparan. Dimakan salah, eh ... tidak dimakan juga salah. Apa pun pilihan yang ia ambil, akan memberikan risiko masing-masing.

Hingga kemudian, satu ide mendadak saja muncul di benak Eros. Karena tentu saja, ia tidak akan lupa. Bahwa cowok punya seribu akal.

*

Leony merasa lelah. Kakinya terasa pegal ketika harus menunggu ojol yang ia pesan sampai. Hingga pada saat itu, muncul wajah Eros di benaknya.

Coba kalau Eros jemput.

Aku nggak bakal capek kayak gini.

Namun, mata Leony seketika membesar. Ia pun buru-buru mengusir pemikiran itu. Alih-alih mengakui betapa ia sangat butuh Eros sekarang, yang ada ia justru merutuk.

Aku benci sama kamu, Ros.

Kenapa kamu harus gitu sama aku?

Aku tuh udah berusaha untuk ngelakuin apa yang aku bisa untuk kamu.

Tapi, kamu nggak pernah menghargai yang aku lakukan.

Kamu tuh nggak sayang sama aku.

Nggak cinta sama aku.

Dan Leony buru-buru menghirup napas dalam-dalam. Berusaha untuk tidak membiarkan perasaannya semakin sendu. Lantaran tidak ingin menangis di tempat umum seperti itu. Hingga kemudian, Leony merasakan satu sengatan yang membuat ia meringis. Berasal dari perutnya.

"Aaah ...."

Refleks, Leony memegang perutnya. Dengan dahi yang sedikit berkerut. Seperti sedang mencoba mencerna rasa yang baru saja menghampiri dirinya itu.

"Dek," lirih Leony pelan. "Kamu nggak apa-apa? Atau ... kamu ngerasa sedih juga? Papa nggak sayang kita ya?"

Rasanya seperti jantung Leony yang diremas-remas oleh tangan tak kasat mata. Hingga ia seolah menjelma menjadi manusia yang paling malang di muka bumi. Layaknya ia seorang diri. Hamil. Tanpa ada yang mengasihi. Seakan hanya ada ia dan bayinya yang saling menguatkan kala itu.

Leony kembali menarik napas dalam-dalam. Kembali berusaha untuk tetap tenang. Karena tidak ingin membuat bayinya di dalam sana merasa tidak nyaman.

Jemari Leony mengusap perutnya berulang kali. Tapi, entah mengapa yang terjadi justru membuat ia semakin merana. Tatkala teringat bahwa biasanya, tiap sore, Eros selalu mengusap perutnya tepat ketika ia datang menjemput. Sebelum pada akhirnya mereka berdua pulang dengan suka cita.

Namun, berkat perkataan Sony, alih-alih pulang bersama Eros. Yang terjadi justru Leony tidak ingin melihat cowok itu. Dan kenyataan bahwa Eros benar-benar tidak menjemputnya, membuat ia menarik kesimpulan ekstrim.

Tuh kan.

Dia emang nggak sayang aku.

Dia emang nggak cinta aku.

Sekali aku bilangin jangan jemput, eh ... dia beneran nggak jemput.

Dia beneran nggak peduli sama aku dan Dedek.

Terutama karena ia melihat kembali pesan terakhir yang Eros kirimkan padanya. Pesan yang Leony putuskan untuk tidak ia balas.

[ Hubby ]

[ Ya udah kalau gitu. ]

[ Kalau nggak mau aku jemput, ya nggak apa-apa. ]

[ Tapi, baliknya hati-hati ya. ]

[ Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. ]

[ Aku tunggu di unit. ]

Harusnya dia ngebujuk aku.

Harusnya dia tetap datang walau aku nggak mau balik sama dia.

Tapi, nyatanya nggak kan?

Dia emang nggak peduli sama aku.

Dan begitu banyak hal buruk lainnya yang memenuhi kepala Leony. Nyaris membuat cewek itu merasa bahwa dirinya benar-benar akan menangis ketika ojol itu membawa dirinya. Melintasi jalanan padat, berbaur dengan beberapa kendaraan lainnya.

Tubuh Leony rasanya remuk redam. Antara letih karena pekerjaan dan kehamilannya atau mungkin karena perasaannya yang sedih kala itu. Hingga nyaris membuat ia ragu bahwa dirinya bisa menuju ke unitnya berada.

Dengan langkah yang diseret, Leony keluar dari lift. Berjalan menyusuri lorong lantainya. Lalu menuju ke unitnya. Membuka pintu dan langsung masuk. Hanya untuk terkesiap di depan pintu. Dengan mata yang membelalak. Melihat pada cowok yang berdiri di seberang sana. Menyambutnya.

"Eros ...."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top