50. Rasa Yang Terselip

Rasanya melelahkan, tapi tetap saja menyenangkan. Itulah hal yang selalu dirasakan oleh Leony setiap kali kunjungan bulanan keluarga mereka berakhir. Ketika sebelum jam tujuh malam mereka pulang –setelah memastikan keadaan unit itu kembali bersih dan rapi, meninggalkan sepasang suami istri itu yang masih terduduk di sofa ruang tamu. Keduanya tampak terkekeh walau merasa letih.

"Aku sama sekali nggak tau kalau Papa udah beliin mainan buat Dedek."

Eros menarik napas dengan ekspresi geli. "Yang bener aja. Harusnya kita nggak heran. Orang mereka aja udah pada bawain kita perlengkapan bayi kan? Sejujurnya aku bahkan heran kalau mereka belum beliin Dedek apa-apa."

Nah! Karena Eros menyinggung soal itu, refleks Leony bangkit dari duduknya. Dengan tertawa ia beranjak. Diikuti oleh Eros di belakangnya. Mereka menuju ke kamar demi melihat bertumpuk barang yang berada di lantai. Tak jauh dari nakas di sana.

Leony duduk melantai. Pun dengan Eros. Mereka tampak melihat satu persatu barang yang tadi keluarga mereka bawa.

"Ini berasa rugi nggak sih, Ros, aku yang belanja kemaren? Hahahahah." Leony tergelak seraya memperlihatkan sepuluh lusin kain bedung di tangannya. "Mana dibeliin sebanyak ini lagi. Kayak anak kita bakal ada kembar lima aja. Hahahahaha."

Eros sontak turut tertawa. Seraya memperlihatkan topi imut yang ia taruh di atas kepalanya.

"Bahkan saking banyaknya topi yang dibeliin, seandainya aja muat, udah aku ambil juga buat aku pake."

Leony semakin terpingkal. Mengambil alih topi itu dari kepala Eros, untuk pura-pura mendelik pada detik selanjutnya.

"Nggak boleh diambil. Ini punya Dedek," ujar Leony. Kemudian ia menunduk pada perutnya. "Papa nakal ya, Dek? Masa topi Dedek mau diambil."

Hingga untuk beberapa waktu yang lama, Leony dan Eros pun hanyut dalam euforia kebahagiaan itu. Yang rasanya mungkin sedikit menggelikan. Mengingat, sudah lama sekali masa di mana Eros dan Leony tampak begitu antusias menerima pemberian seperti itu. Mereka sudah dewasa. Bukan seperti bocah lima tahun yang selalu semangat ketika membuka hadiah ulang tahun. Tapi, percayalah. Sekarang, calon ayah dan ibu itu, persis seperti anak kecil kembali. Membuka tiap bingkisan tersebut. Untuk kemudian melihatnya. Lalu kembali tertawa-tawa bersama.

Lantas di saat mereka merasa sudah terlalu susah untuk melanjutkan tawa itu, Eros pun membereskan semua perlengkapan bayi itu seadanya di lantai. Semuanya perlu dicuci terlebih dahulu sebelum nantinya disimpan di lemari.

Berbaring di kasur, berdampingan, Leony dengan nyaman mendaratkan kepalanya di atas tangan Eros. Menyuruk pada dadanya. Dengan posisi tubuh yang sedikit menyamping. Mungkin memanfaatkan sisa waktu yang tersisa. Karena jelas, dalam waktu dekat, ia tidak akan bisa tidur seperti itu. Ada kandungannya yang akan makin membesar sebentar lagi.

Eros mengusap lengan atas Leony. Layaknya orang tua yang menimang anaknya, agar lekas tertidur. Namun, nyatanya yang terjadi justru sebaliknya. Leony bersuara.

"Dedek pasti senang ya, Ros? Semua orang pada sayang sama Dedek."

Tentu saja. Mana ada orang yang tidak akan menyayangi calon kehidupan baru itu? Semua orang, normalnya, memang akan seperti itu.

Senyum merekah di wajah Eros walau ia tau Leony tak akan melihatnya. Dan entahlah, untuk siapa sebenarnya senyum itu Eros berikan. Ehm ... mungkin bukan untuk siapa-siapa. Karena jelas, itu adalah senyum kebahagiaan yang sedang ia rasakan saat ini.

"Ya pasti dong. Semua orang sayang sama Dedek. Pasti Dedek senang. Ehm ... mungkin di dalam sana, Dedek juga sedang ketawa-ketawa. Apalagi kalau dia dengar omongan omnya tadi. Kalau kakeknya udah beli mobil-mobilan buat dia."

Di atas dada Eros, Leony terkekeh. Lalu ia membelai perutnya. Membisikkan doa untuk bayinya.

"Sehat-sehat ya, Dek. Biar pas Dedek lahir ntar, Dedek tau. Banyak yang lagi nungguin Dedek."

*

Rasa senang lantaran semakin tidak sabaran bertemu dengan bayi mereka –padahal masih ada lima bulan yang tersisa, tentu saja diikuti oleh rasa ... lelah untuk Leony. Kehamilan pertama itu, pelan-pelan membuat Leony merasakan bahwa tubuhnya terkadang tidak bisa diajak bekerja sama seperti biasanya.

Kalau di awal kehamilan dulu Leony hanya sesekali merasakan letih atau mengantuk, sekarang lain cerita. Terutama karena keadaan perutnya yang juga semakin membesar. Tak terduga sebelumnya, namun ternyata itu lumayan menguras tenaga Leony. Dibutuhkan waktu untuk Leony mampu beradaptasi dengan keadaannya sekarang. Namun, tak mampu ia pungkuri. Leony terkadang membutuhkan masa-masa istirahat bahkan sebelum waktunya.

Seperti saat itu, ketika hari masih menunjukkan jam sepuluh pagi, Leony bangkit dari duduknya. Melipir sejenak ke pantry. Hanya untuk menyeduh secangkir teh hangat. Dan tak langsung kembali ke mejanya, ia memilih untuk duduk terlebih dahulu di meja yang tersedia di sana. Sejenak ingin beristirahat.

Menghirup aroma wangi yang selalu khas dimiliki oleh teh, Leony memejamkan matanya. Berusaha untuk tetap tenang. Menjaga pikirannya untuk tetap terkontrol. Lalu ia pun menikmati sesapan pertamanya di minuman bewarna merah kecoklatan itu.

Rasa nikmat yang terasa menyegarkan langsung menyapa saraf pencecap Leony. Menghantarkan ketenangan yang membuat senyum seketika mereka di wajahnya. Sekarang ia merasakan bagaimana tubuhnya pelan-pelan merasa santai kembali. Lebih segar. Lebih ringan dibandingkan sebelumnya.

Kemudian, Leony membuka mata. Dan langsung terkesiap kaget ketika mendapati ada Sony yang duduk di hadapannya. Membuat tangannya yang memegang cangkir gemetaran. Dan cangkir tentu saja akan terlepas dari pegangannya, andaikan Sony tidak buru-buru membantunya.

"Eh eh eh ...."

Sony dengan sigap mengambil alih cangkir Leony. Buru-buru menaruhnya kembali ke tatakan yang berada di atas meja. Lantas menarik beberapa helai tisu untuk mengelap titik-titik air yang membasahi tangan cewek itu.

"Sorry," kata Sony. "Aku pasti buat kaget."

Leony meringis. Dalam hati ia menyeletuk.

Ya pasti buat kagetlah.

Nggak ada suara nggak ada apa-apa, eh ... mendadak aja muncul di depan orang.

Ya mana aku nggak kaget.

Ini aja untuk dua jantung di dalam sana nggak copot gara-gara kamu.

Namun, tetap saja. Leony tidak mengatakan itu langsung pada Sony. Alih-alih, justru sebaliknya. Ia tersenyum dan menggeleng.

"Ah, nggak apa-apa kok. Lagian juga tehnya cuma tumpah dikit."

"Eh? Teh?"

Sony tampak mengerjapkan matanya berulang kali. Lalu, ia terkekeh geli. Hingga membuat kerutan di dahi Leony. Ibu hamil itu bingung. Tak mengerti. Di bagian mana dalam ucapannya yang membuat cowok itu tertawa.

"Kok ketawa?"

Membiarkan kekehannya untuk pelan-pelan menghilang, Sony lantas menggeleng. Tapi, tak lupa untuk buru-buru berkata.

"Jangan tersinggung. Aku bukannya lagi ngolok-ngolok kamu atau gimana. Cuma ya ... aku heran aja."

Kerutan di dahi Leony belum pergi. "Heran kenapa?"

"Soalnya aku kayak baru nyadar," jawab Sony kemudian. "Kamu ini lucu."

Sekarang kebingungan Leony semakin bertumpuk. Merasa tak mengerti maksud perkataan dari Sony. Hingga ia pun tidak mengatakan apa-apa untuk merespon. Hanya tersenyum seraya melirih.

"Oh ...."

Mengembuskan napas, Sony lantas menatap Leony dengan senyum anehnya itu. Namun, sorot di bola matanya tampak menyiratkan sesuatu. Yang sontak membuat Leony jadi bertanya-tanya.

"Kamu ini nggak cuma lucu sih. Tapi, setelah aku perhatikan, kamu ini benar-benar cewek yang keren."

"Keren?" tanya Leony tak yakin. "Ehm ... kayaknya nggak ada yang pernah ngomong aku keren deh."

Leony menundukkan pandangannya. Melihat pada penampilannya kala itu yang mengenakan pakaian barunya. Yang tempo hari ia beli bersama dengan Eros.

"Bukan penampilan kamu."

Ucapan Sony membuat Leony refleks mengangkat wajahnya. Dengan tatapan polos, ia bertanya. Demi menuntaskan rasa penasarannya.

"Terus kalau bukan penampilan, apa dong? Perasaan aku emang nggak keren. Ehm ... biasa-biasa aja malah."

Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Sony justru membawa satu sikunya untuk bertumpu di atas meja. Lalu ia membawa dagunya untuk bertopang di telapak tangannya. Layaknya ia yang mencari posisi yang nyaman untuk bisa tetap memandang Leony. Ia mendehem dengan penuh irama.

"Ehm .... Mungkin karena sikap kamu kali ya?"

Benar-benar tidak menjawab rasa penasaran Leony. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Makin membuat cewek itu bertanya-tanya.

"Maksudnya?"

Sony mengembuskan napas sekilas. "Ya ... gimana ya? Cuma aku ngeliatnya kamu agak beda gitu dengan cewek kebanyakan."

Leony diam. Tak mengatakan apa-apa, sengaja. Karena ia ingin mendengarkan lanjutan perkataan rekan kerjanya itu. Yang mana, terbukti. Sedetik kemudian, Sony kembali lanjut bersuara.

"Karena nggak banyak cewek yang aku lihat kayak kamu. Yang perhatian banget sama suaminya."

Sama sekali tidak terduga. Maka tentu saja sukses membuat Leony menganga. Melongo. Dan lalu, ia tertawa.

"Hahahahaha. Aduh! Aku kirain apa gitu yang ngebuat aku keliatan keren," ujar Leony di sela-sela tawanya. "Eh, ternyata cuma itu."

Kali ini Sony yang mengerutkan tawa. Walau jelas, ada senyum kecil yang timbul di wajahnya saat melihat Leony tertawa dengan lepas seperti itu.

"Lagian ya, kan wajar gitu kalau aku perhatian banget sama Eros. Ehm ... gimana ya ngomongnya? Tapi, cowok itu nggak bisa hidup tanpa aku. Hahahahaha."

Leony mengusap air mata yang terbit lantaran geli yang ia rasakan. Menarik napas sekali dengan dalam-dalam, ia lantas lanjut berkata.

"Kamu nggak tau kan? Eros itu sukanya makan masakan aku, makanya aku harus masak tiap hari. Terus juga, dia itu suka sembarangan ngambil pakaian di lemari. Kalau nggak ada aku, yakin udah kucel banget penampilan dia sehari-hari."

Mengembuskan napasnya, Leony geleng-geleng kepala. Masih tak habis pikir dengan perkataan Sony. Hingga ia menambahkan.

"Itu bukan keren. Tapi, itu memang udah sewajarnya aku kayak gitu. Namanya aja sama suami sendiri. Hihihihi. Justru kalau aku perhatian sama suami orang, nah itu nggak wajar. Ah, kamu ini, Son. Ada-ada aja."

Memberikan waktu beberapa saat untuk Leony menyelesaikan tawanya, Sony diam saja. Seperti dirinya yang tampak menikmati pemandangan lepas itu. Sebelum pada akhirnya, ia mengemukakan pandangannya selama ini.

"Karena jujur aja. Aku nggak ketemu cewek lain yang tiap mau balik kantor sibuk mikirin mau masak apa buat suaminya."

Leony tersenyum geli. Namun, Sony masih belum selesai.

"Bahkan biar pun lagi capek banget dan udah ngerasa yang kayak nggak sanggup buat jalan lagi, eh ... dia masih bela-belain buat beli bakso di depan buat suaminya."

Lantas, senyum geli Leony sontak menghilang. Tergantikan oleh ekspresi bingung ketika ia teringat kembali tentang kejadian bakso yang ia belikan untuk Eros beberapa bulan yang lalu.

Sony tampak mengembuskan napas panjangnya. "Jujur aja," katanya kemudian. "Aku iri sama Eros."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top