48. Tawa Kebahagiaan
Dokter Yusnida bukanlah dokter baru yang jam terbangnya masih sedikit. Tidak. Dokter Yusnida sudah bertahun-tahun malang melintang dalam dunia kandungan, ibu hamil, dan bayi. Hingga sekarang, sudah tidak terhingga sudah berapa orang ibu yang telah ia tangani. Dan nama dokter Yusnida pun terkenal di antara banyak wanita yang telah berumah tangga. Lantaran konsultasi padanya yang terkesan menyenangkan. Pun menjelaskan banyak hal pada pasangan muda tanpa kesan menggurui. Itu jelas, karena pengetahuan dan pengalaman dokter Yusnida yang tidak perlu diragukan lagi.
Hanya saja, sekarang mendapati dua orang pasiennya tertawa dan cemberut dengan hal yang tidak ia mengerti, membuat kesan penuh pengetahuan dan pengalaman seperti sirna meninggalkan dokter Yusnida. Wanita paruh baya itu tampak melongo. Tidak mengerti.
"Nggak. Pokoknya nggak, Ros."
"Hahahahaha. Kita udah sepakat loh, Ny. Dedek ternyata cewek. Pas banget sama nama Maliki."
"Eros ...," kata Leony dengan penuh penekanan. "Anak kita bukan saudara Malika Si Kedelai Hitam walau jelas aku ngidamnya tempe dan tahu."
O oh.
Dokter Yusnida seketika tersenyum. Geleng-geleng kepala ketika satu kesimpulan langsung muncul di benaknya. Hal yang menjadi penyebab keanehan itu.
Malika Maliki?
Ehm ... ternyata kedelai hitam punya saudara ya?
Hihihihihi.
Membiarkan sepasang suami istri itu untuk tertawa-tawa beberapa saat, dokter Yusnida pun maklum. Bahwa terkadang tidak hanya ibu hamil yang bisa memiliki keanehan selama kehamilannya. Ehm ... termasuk bapaknya sih. Hihihihihi.
Memastikan bahwa semua hasil kontrol hari itu sudah dicatat dengan cermat di buku konsultasi Leony, sepasang suami istri pun kemudian mendapatkan lembar jadwal kelas kehamilan. Dikarenakan Leony bekerja, maka ia pun mendapatkan kelasnya di hari Sabtu. Dan untuk itu, dokter Yusnida berpesan.
"Kalau bisa, nanti selama kelasnya dimulai, Bapak juga ikut datang. Mendampingi Ibu dan sama-sama belajar."
Eros mengangguk dengan penuh antusias. Tampak begitu bersemangat. Sama bersemangatnya dengan Leony, yang setelah keluar dari ruangan dokter Yusnida berbisik di telinga Eros.
"Kita jadi belanja hari ini?"
Nah, sekarang barulah posisi berganti. Kalau tadi Eros tampak semringah sementara Leony cemberut-cemberut manja. Maka ketika kata belanja menyelinap di antara mereka berdua, Leony yang kemudian tampak semringah. Sementara Eros ... mengembuskan napas panjang. Hihihihihi.
Langsung pergi dari klinik Bunda, Eros mengendarai motornya. Menuju ke satu mall. Yang membutuhkan waktu tidak terlalu lama untuk dirinya dan Leony tiba di sana.
Berbekal informasi penting yang baru mereka dapatkan tadi, maka sebenarnya tidak mengherankan untuk Eros bila justru tempat pertama yang Leony ingin datangi adalah toko perlengkapan bayi. Alih-alih toko pakaian wanita dewasa atau pun toko sepatu. Itu layaknya Leony yang lupa bahwa dirinya sekarang terancam tidak bisa pergi ke kantor karena pakaiannya yang perlahan mulai terasa sesak di badan. Ia malah antusias untuk melihat-lihat perlengkapan bayi.
Disambut dengan ramah oleh seorang pelayan di toko bayi itu, Leony langsung menuju ke satu rak. Dengan diikuti oleh Eros di belakangnya. Dan ia melihat bagaimana sang istri yang langsung meraih sepasang kaus kaki. Lalu memamerkan benda itu pada Eros.
"Ih, imut banget, Ros," kata Leony. "Bagus kan?"
Eros mengangguk. "Kamu mau belanja keperluan Dedek Maliki sekarang?"
Berpaling dengan sorot mata yang horor, Leony memberikan ancaman yang terasa menggelikan untuk Eros.
"Jangan kuat-kuat ngomong nama Dedek di tempat umum kayak gini."
"Eh?" Mata Eros membesar. "Jadi fix nih namanya Maliki?"
Cemberut, Leony menukas. "Nggak."
"Hahahahaha."
Eros sontak terkekeh. Namun, cowok itu memutuskan untuk tidak melanjutkan pembahasan mengenai Malika Maliki. Khawatir tawa mereka nanti akan menimbulkan gangguan bagi pelanggan lainnya di toko itu. Ih, buat malu saja.
Menyusuri rak demi rak, Eros dengan setia mendampingi Leony. Membiarkan cewek itu tetap merengkuh tangannya sementara ia tak lalai untuk melihat-lihat berbagai perlengkapan bayi di sana.
Karena pada dasarnya bayi memang adalah sosok yang imut. Maka tentu saja semua yang berkenaan dengan dirinya akan menjadi hal yang lucu dan menggemaskan. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Eros dan Leony.
Melihat-lihat kaus kaki, kaus tangan, hingga topinya, membuat Eros dan juga Leony tampak begitu gembira.
"Halus. Lembut."
Leony memejamkan matanya. Meresapi bahan dari selimut bayi yang ia pegang kala itu. Bermotif beruang coklat dengan dasar bewarna kuning pastel. Memberikan kesan lucu dan kalem di waktu yang bersamaan.
Dan Eros pada akhirnya butuh mengingatkan Leony ketika dilihatnya sang istri yang tampak mulai gelap mata mengambil banyak barang dari rak-rak yang berbeda.
"Ny," bisik Eros seraya menahan tangan Leony. Menarik perhatian cewek itu. "Kayaknya kita udahan dulu deh belanja buat Dedeknya."
Leony cemberut. Dan Eros buru-buru membujuk.
"Bulan depan kita bisa datang lagi. Tapi, yang penting adalah sekarang," kata Eros lagi. "Kita belum beli baju dan sepatu buat kamu loh. Ya?"
"Aaah ...."
Dan Eros lagi-lagi bersyukur. Berhasil membujuk sang istri tanpa menimbulkan kerutan manyun di wajah Leony. Hihihihihi.
Pada akhirnya, Leony dan Eros membawa beberapa perlengkapan bayi yang sudah berhasil mereka dapatkan. Berupa kaus kaki, kaus tangan, baju, kain bedung, dan selimut. Dan pada saat itu, Eros menyadari sesuatu.
Bayi sih kecil.
Perlengkapannya juga kecil.
Tapi, ternyata harganya lumayan gede ya, Bun?
Hahahahaha.
Eros terkekeh. Dalam hati sedikit banyak ia bersyukur. Karena setidaknya ia bisa pelan-pelan mencicil keperluan anak mereka nanti.
Keluar dari toko perlengkapan bayi, mereka berdua langsung menuju ke toko sepatu. Kali ini, tak banyak sepatu yang Leony lihat. Karena pada dasarnya yang ia inginkan hanya satu. Yaitu, flatshoes.
Leony memilih warna hitam. Polos. Tanpa ada ornamen karena khawatir itu akan membuat kakinya malah tidak merasa nyaman.
"Cuma sepasang doang?" tanya Eros ketika melihat Leony hanya mengambil satu pasang sepatu.
"Iya," jawab Leony. "Cukup kok satu aja. Lagian kan aku hamilnya tinggal berapa bulan lagi. Hihihihi. Ketimbang aku beli sepatu banyak-banyak. Mending duitnya untuk beli keperluan Dedek."
Ketika mengatakan itu, Leony mengusap perutnya. Hal yang membuat Eros merasa aneka warna di dadanya. Karena jelas, di saat mereka memilih pakaian untuk Leony pun, ia mengatakan hal yang nyaris sama.
"Udah. Segini aja cukup. 2 baju buat ke kantor dan 2 lagi daster. Baju aku yang lain masih ada kok. Biar duitnya disimpan aja buat Dedek."
Padahal jelas, Eros tau betul bagaimana Leony yang sangat suka belanja pakaian. Bahkan lemari di kamar mereka nyaris dikuasai oleh pakaian cewek itu. Tapi, sekarang sepertinya Eros mendapati bagaimana pelan-pelan hal itu akan tergerus. Tergantikan oleh kesenangan Leony yang lainnya. Yaitu, belanja keperluan anak mereka.
Dan itu rasanya amat ... ehm. Tidak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan Eros kala itu. Yang pasti, ia merasa sangat beruntung karena bayinya dikandung oleh Leony.
Tentunya, hal yang serupa pun dirasakan oleh Leony. Merasa sangat beruntung karena bayinya dijaga oleh Eros. Pun termasuk dengan dirinya, yang selalu merasa aman ketika bersama dengannya.
*
"Halo, Maliki. Yang dirawat sepenuh hati karena anak sendiri."
"Nggak. Ini bukan Maliki."
Memeluk perutnya sendiri dengan kedua tangan, Leony tampak menggeleng berulang kali. Dengan cemberutan yang terpampang di wajahnya, ia kembali berkata.
"Nggak bakal aku biarin kamu ngasih nama Maliki buat Dedek."
Hanya saja, Eros tau betul bahwa Leony tidak benar-benar serius cemberut kala itu. Bahkan kalau ingin dicermati, manyun di bibir sang istri membuat ia tampak lebih menggemaskan. Ehm ... mungkin karena pengaruh pipinya yang sekarang semakin berisi?
"Loh?"
Eros beringsut. Menggeser bokongnya hingga berdekatan dengan Leony. Dan ketika cewek itu justru menghindar, eh ... Eros beringsut lagi. Hingga pada akhirnya Leony tertahan oleh lengan sofa. Tidak bisa ke mana-mana lagi.
"Kan kapan hari kita sudah sepakat, Ny," kata Eros kemudian dengan ekspresi geli. "Kalau anak kita cewek bakal dikasih nama Maliki. Kalau anak kita cowok bakal dikasih nama Maliko. Hahahaha. Nah! Dan sekarang kita udah tau kalau Dedek Sayang ini ternyata cewek."
Semula Leony akan langsung membalas perkataan Eros. Tapi, lidahnya tertahan ketika mendapati sang suami yang langsung mendaratkan tangannya di perut Leony. Memberikan beberapa kali usapan di sana. Menatapnya dengan penuh kasih layaknya matanya bisa menembus ke dalam perut Leony, bertatapan langsung dengan bayi mereka. Ia tersenyum.
Memberikan waktu beberapa saat untuk menikmati sentuhan itu, Leony pada akhirnya tetap juga bersuara.
"Ya ..., tapi masa Maliki sih? Kamu beneran nggak mikirin masa depan Dedek ah!"
Usapan tangan Eros berhenti. Alih-alih terus mengelus, cowok itu lantas mengangkat wajahnya. Memindahkan tatapannya yang dalam itu ke istrinya.
"Mikirin masa depan Dedek?"
Leony mengangguk. "Kamu nggak tau kalau ntar pas TK atau kelas 1 SD Dedek bisa aja kena malu gara-gara namanya."
"Eh, tapi kan Maliki bagus sih. Nggak pasaran juga. Hahahaha. Karena yang pasaran itu Malika. Di warung-warung selalu ada Malika. Hahahahaha."
Gemas, Leony menarik sekilas hidung Eros. "Kamu bayangin, Ros. Biasanya pas TK atau kelas 1 SD, guru-guru kadang nanya soal kepribadian anak. Kan sering tuh anak-anak disuruh maju ke depan kelas. Perkenalan diri. Nah! Kalau mendadak ada yang nanya ke Dedek gimana?" tanya Leony kemudian. "Maliki? Namanya kok aneh. Asal dari apa, Dek?"
Sampai di sana, geli yang Eros rasakan semakin menjadi-jadi. Dan semuanya meledak tatkala Leony melanjutkan perkataannya.
"Oh, asal nama Maliki itu dari Malika, Bu. Kalau Malika kedelai hitam untuk buat kecap. Kalau aku, Maliki, itu kedelai putih untuk buat tempe dan tahu. Soalnya pas hamil aku, Mama ngidamnya tempe dan tahu."
"Hwahahahahaha!'
Kalau pemicu kiamat adalah ketawa, maka sudah bisa dipastikan dunia kiamat saat itu juga. Lantaran tawa Eros yang meledak dengan tak kira-kira. Berkat rasa geli yang terasa menghantam dirinya, diiringi oleh imajinasi di benaknya. Yang memperlihatkan bagaimana anak mereka, yang imut dengan dua ikat rambut di atas kepalanya, mengatakan hal itu pada gurunya dengan tampang polos.
Astaga.
Menggelikan. Tapi, juga menyedihkan.
Leony semakin geregetan. Kembali menarik ujung hidung Eros walau jelas itu tidak cukup ampuh untuk meredam tawa sang suami.
"Kamu mau Dedek diolok-olok orang dengan panggilan anak tempe tahu?" tanya Leony lagi. "Anak tempe tahu. Anak tempe tahu."
"Hahahahaha."
Astaga!
Mata Eros sampai berair parah saking dirinya yang benar-benar terpingkal tanpa henti. Hingga membuat ia susah menarik napas.
"Loh? Eh? Ya ... itu risiko sih. Siapa nyuruh kamu ngidamnya tempe dan tahu?" tanya balik Eros. "Coba kamu ngidamnya agak kerenan dikit, ya ... nama anak kita juga bakal keren."
Mata Leony membesar, namun Eros masih bicara.
"Coba kamu ngidamnya buah anggur. Ntar kita bisa buat nama kayak Anggur Aulia. Ehm ... jangan aja jadi Anggur Merah. Hahahahaha. Malah dipanggil Amer lagi."
Leony melongo. "Wah! Kamu ini hobi banget ya ngomongin Dedek. Bapaknya bukan sih?"
Tawa Eros berhenti. Alih-alih terus terbahak, ia tampak menggerling menggoda.
"Oh ... beneran lupa siapa bapak Dedek?" tanya Eros seraya mencolek pipi Leony. "Yang waktu itu kamu ngomong Ros .... Ros .... Ros .... Masa lupa sih?"
Berkas merah langsung membias di tempat di mana ujung jari Eros mencolek pipi Leony. Tampak matanya yang mengerjap-ngerjap.
"Kami ini beneran deh ya, Ros," kata Leony dengan mengerucutkan bibirnya. "Udah puas ngangguin Dedek, eh ... sekarang mamanya Dedek yang digangguin?"
Tau dengan pasti bahwa Leony sama sekali tidak tersinggung dengan candaannya, alih-alih justru senang, Eros pun meraih tangan Leony. Mengusapnya beberapa kali, sebelum pada akhirnya mengangkatnya. Hanya untuk pelan-pelan melabuhkan kecupan bibirnya di punggung tangan Leony. Tanpa melepaskan kontak mata di antara mereka berdua.
Ada kesan lembut. Hangat. Dan juga basah. Hal yang membuat Leony dalam sekejap mata menahan napasnya. Tertahan di dada.
"Ehm ... ini sih namanya aku bukan lagi ngangguin kamu."
Di beberapa detik selanjutnya, Eros pada akhirnya menarik bibirnya dari kulit punggung tangan Leony. Meninggalkan jejak basah di sana.
"Karena kalau aku lagi ngangguin kamu," lanjut Eros kemudian. "Aku maunya kamu udah nggak pake baju lagi."
Ups!
Sungguh!
Perkataan frontal seorang suami, memang tidak akan pernah gagal untuk menghadirkan debar-debar di jantung sang istri.
Termasuk Leony.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top