47. Pada Jawaban

Eros memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kekhawatirannya belakangan ini. Setidaknya, setelah percakapannya dengan Leony, ia bisa merasa bahwa istrinya itu tidak memerhatikan Sony. Sama sekali pun tidak. Maka untuk apa cemburu buta?

Hanya saja, itu bukan berarti Eros akan abai. Mentang-mentang Leony tidak memerhatikan Sony, Eros jadi merasa lega begitu? Oh, tentu saja tidak. Namun, Eros tau siapa sebenarnya yang harus ia waspadai. Itu murni adalah Sony. Dan Eros berjanji pada dirinya sendiri, kalau Sony sampai benar-benar menyerang secara terbuka, ia tidak akan segan-segan memberikan peringatannya.

Itu Sony bukan semacam berburu barang akhir tahun kan?

Beli satu dapat satu gratis?

Dapat Leony sekaligus bonus anak kami?

Ckckckck.

Lagipula ... kalau mau dipikir-pikir, Eros bisa menyadari kok kalau seharusnya ia tidak perlu merasa rendah diri. Hingga saat ini, terbukti kalau Eros bisa bertanggungjawab. Lebih dari yang sempat ia duga malah. Ketika ia meragukan apakah ia bisa menjaga Leony dan bayi mereka, ia justru mendapati bagaimana dua nyawa itu sekarang laksana bergantung hidup padanya. Ya ... terlepas dari kenyataan bahwa dirinya yang memang tidak kaya.

Terlahir bukan dari keluarga terpandang yang memiliki darah biru, Eros hanyalah seorang anak dari keluarga sederhana. Yang bahkan sampai saat ini ia harus menahan keinginannya untuk ganti motor lantaran khawatir akan membuat timpang keuangan keluarganya. Buruk kemungkinan, ia justru bisa membuat keuangan tokonya yang turut kena imbas.

Lebih dari itu, memasuki bulan keempat kehamilan Leony, akan banyak hal yang harus Eros pikirkan. Dari perlengkapan Leony yang harus diganti. Baju dan sepatunya. Dan belum lagi dengan persiapan kelas ibu hamilnya. Dan ... argh! Kenapa Eros mendadak kepalanya terserang migrain? Hihihihi.

Hanya saja, ketika ia menghabiskan waktu bersama Leony, entah itu seraya bercakap-cakap atau sekadar untuk mengelus perutnya di saat sang istri tertidur, Eros bisa merasakan bahwa migrain sama sekali tidak sebanding dengan perasaan yang ia rasakan sekarang. Melihat dengan mata kepalanya sendiri, hari demi hari yang berganti, Eros bisa merekam setiap perubahan pada Leony di ingatannya. Dari perutnya yang semula ramping hingga sekarang membuncit. Dari kakinya yang jenjang langsing hingga sekarang tampak membengkak. Bahkan Eros tak akan lupa bagaimana Leony yang frustrasi ketika sepatu berhaknya tidak lagi mampu menampung kakinya yang perlahan membesar.

Dan tentu saja, sebagai penutup untuk setiap kejadian yang datang di tiap harinya, Eros akan memberikan satu kecupan lembut di puncak perut Leony. Semacam ucapan selamat malam, agar bayi di dalam sana merasakan mimpi yang sama indahnya dengan Leony. Sang ibu yang bahkan dalam tidurnya dalam tersenyum.

*

"Ibu Leony Rosalie."

Suara perawat di ambang pintu ruangan kontrol terdengar memanggil. Menarik perhatian Leony dan Eros yang duduk di kursi antrean. Mengangkat tangannya sekilas, sebagai tanda bahwa dirinya ada, Leony lantas langsung meraih tangan Eros. Dengan tak sabar mengajaknya beranjak dari sana.

"Buruan, Ros. Aku udah nggak sabar mau tau jenis kelamin Dedek."

Untuk hal itu, Eros hanya bisa terkekeh. Sepenuhnya menyadari bahwa antusiasme Leony adalah hal yang juga tengah ia rasakan kala itu.

Cowok? Atau justru cewek?

Hal yang membuat jantung Eros berdebar-debar. Walau jelas, ia bisa memastikan bahwa tak peduli apa jenis kelamin anak mereka nanti, Eros pasti akan menyayanginya. Itu tentu saja adalah hal mutlak.

Masuk ke ruang kontrol, Leony dan Eros disambut oleh dokter Yusnida. Sama seperti kontrol sebelumnya, dokter paruh baya itu tersenyum dengan amat ramah pada keduanya. Pun berdiri. Mengulurkan tangan, menawarkan jabat tangan yang disambut oleh pasangan suami istri itu. Sebelum pada akhirnya mereka bertiga duduk di kursi masing-masing.

Leony membuka tasnya. Mengeluarkan buku kontrol dan menyerahkannya pada dokter Yusnida. Dan sebagai pembuka sesi kali itu, dokter Yusnida bertanya.

"Gimana kabarnya mama muda kita? Sehat? Atau ada keluhan?"

Mendengar panggilan itu, Leony mau tak mau tersenyum. Pun begitu juga dengan Eros di sampingnya.

"Sehat, Dok. Sejauh ini sih nggak ada keluhan apa-apa," jawab Leony. "Selain badan saya yang mulai membesar."

Dokter Yusnida yang semula mencermati buku kontrol Leony seketika mengangkat wajahnya. Tersenyum geli dan berkata.

"Kenaikan berat badan itu wajar. Nggak apa-apa kok. Lagipula Ibu masih tergolong tidak terlalu mengalami pertambahan berat badan yang siginifikan."

Perkataan dokter Yusnida memberikan ketenangan bagi Leony yang akhir-akhir ini mulai mendengar gurauan di tempat kerjanya. Tentang bagaimana kehamilan memberikan dampak pada tubuh wanita. Yaitu pertambahan berat badan yang sangat drastis.

"Oh iya. Apa Ibu masih mengalami morning sickness?" tanya dokter Yusnida kemudian. "Masih ngerasa mual? Atau masih muntah-muntah? Karena kalau masih, mungkin perlu kita jadwal ulang untuk kelas ibu hamilnya."

Buru-buru, Leony menggeleng. "Udah nggak kok, Dok. Saya bahkan udah nggak ingat kapan terakhir kali saya mual-mual."

Eh?

Sesuatu melintas di benak Leony.

"Tapi ...," lanjut Leony kemudian. "Beberapa hari yang lalu saya memang ada muntah lagi sih, Dok."

Dokter Yusnida tampak sedikit mengerutkan dahinya. "Sakit? Atau salah makan?"

Meringis, tak langsung menjawab pertanyaan itu, Leony justru berpaling pada Eros yang sedari tadi belum ada mengatakan sepatah kata pun juga. Cewek itu tampak sedikit manyun hingga menarik perhatian dokter Yusnida.

"Ehm ... ada apa ya?"

Kembali pada sang dokter, Leony beringsut maju. "Dok, saya cuma mau nanya. Emang bisa ya Ibu hamil itu milih-milih asal makanannya dari mana?"

Dokter Yusnida tak mengerti. "Maksudnya?"

Dan Eros berusaha menyembunyikan senyum gelinya. Hingga membuat Leony gemas dan melabuhkan satu cubitan kecil di paha suaminya itu. Sebelum pada akhirnya ia menjawab.

"Sebenarnya ... belakangan ini saya dan suami baru menyadari sesuatu, Dok."

"Apa?"

Bingung harus menjelaskan bagaimana, Leony lantas menyenggol Eros dengan ujung sikunya. Memberikan isyarat agar cowok itu saja yang menjelaskannya. Dan itulah yang Eros lakukan kemudian.

"Jadi, begini, Dok," ujar Eros kemudian. "Leony ini nggak bisa makan makanan dari orang lain. Cuma bisa makan makanan yang dia masak atau yang saya masak. Kalau nggak, dia bakal muntah-muntah lagi. Ya ... kecuali kalau makan di luar sih. Kalau bareng saya, nggak muntah-muntah juga."

Mengiyakan perkataan Eros, Leony kemudian menyambung. "Dan gara-gara itu, Dok, saya sekarang ke kantor selalu bawa dua bekal. Belakangan ini nafsu makan saya naik dan saya nggak bisa makan di luar kalau nggak ada Eros."

Perlahan, dokter Yusnida tersenyum geli. Alih-alih bingung seperti tadi.

"Apa itu normal, Dok?"

Menikmati raut penasaran Eros dan Leony, dokter Yusnida terkekeh sekilas. "Kalau berbicara normal dan nggak normal, sebenarnya banyak sekali kebiasaan ibu hamil yang nggak normal. Ada yang selama hamil nggak suka lihat suami sendiri. Ada yang justru manja banget sama suami. Bahkan ada yang selama hamil dia suka ngeliat suaminya pake sarung aja tiap hari. Ya itu namanya kesukaan masing-masing ibu hamil. Jadi ... nggak ada istilah nggak normal untuk kebiasaan ibu hamil. Semua normal selagi nggak membahayakan ibu dan janin."

Menggelikan, tapi jelas penjelasan dokter Yusnida memberikan ketenangan bagi calon orang tua muda itu. Belum lagi karena selanjutnya, sang dokter kembali berkata.

"Lagipula menurut saya itu kebiasaan yang bagus kok." Dokter Yusnida tersenyum. "Itu artinya bisa mempererat hubungan Ibu, Bapak, dan anak. Ehm ... mungkin di dalam sana bayinya cuma ngerasa aman kalau Bapaknya yang ngasih makan."

Melakukan pemeriksaan kesehatan pada Leony sekitar sepuluh menit kemudian, dokter Yusnida memulainya dengan mengecek tekanan darah cewek itu. Lantas diikuti oleh serangkaian kontrol lainnya. Termasuk di dalamnya penimbangan berat badannya.

Semua data kesehatan Leony dicatat dengan teliti oleh perawat yang mendampinginya. Sebagai bahan pegangan medis ketika menjelang masa persalinannya nanti.

Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan, tibalah Leony pada hal yang paling ia tunggu-tunggu. Ehm ... termasuk Eros pula yang mendadak jadi tak sabaran.

Dokter Yusnida mengajak Leony ke ranjang pemeriksaan. Untuk menjalani pemeriksaan USG. Demi mengetahui keadaan janin mereka. Beserta melihat pertumbuhannya di dalam sana. Untuk mengecek apakah ada gejala ketidaknormalan atau tidak.

Berbaring di ranjang pemeriksaan, Leony mempersilakan perawat untuk menyingkap kemeja yang ia kenakan. Menaruh gel di sana dan lantas membiarkan dokter Yusnida untuk memulai pemeriksaan itu. Sementara Eros tentu saja mendampingi Leony. Berada tepat di sebelahnya istrinya.

Lebih dari sekadar mendampingi, sedetik kemudian Eros meraih tangan Leony. Menggenggamnya pelan. Dengan sesekali memberikan remasan. Seperti dirinya yang ingin menenangkan Leony. Hingga rasa tegang di wajah cewek itu berganti oleh satu senyuman.

Seraya menggerakkan tangannya di atas perut Leony dengan menggunakan alat pemindai, dokter Yusnida membawa fokus matanya untuk melihat tampilan yang muncul di layar monitor. Mencari posisi yang tepat untuk kemudian ia mempelajari gambar di sana. Dan berkata.

"Bayinya sehat, Bu. Coba dilihat dulu."

Ajakan yang tentu saja sangat membuat Leony dan Eros bersemangat. Terutama karena dokter Yusnida segera mengatur arah layar monitornya. Memposisikannya dengan tepat sehingga sepasang calon orang tua itu bisa melihatnya dengan jelas.

Menunjukkan gambar tersebut, dokter Yusnida pun menjelaskan pada Eros dan Leony. Bahwa pertumbuhan bayi mereka normal. Tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

Hingga kemudian, dokter Yusnida kembali mengamati. Dalam diam. Dan tentu saja itu membuat Leony tak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Jenis kelaminnya apa, Dok?"

Merasakan ketidaksabaran yang sama persis seperti yang Leony alami, Eros pun turut bertanya.

"Iya, Dok. Cewek atau cowok?"

Mendapati pertanyaan itu, dokter Yusnida tersenyum. Pada Eros dan juga Leony. Lalu ia menjawab dengan turut memberikan selamatnya.

"Selamat, Bu. Sepertinya Ibu ada teman masak dalam waktu dekat."

Membesarkan mata, Leony terkesiap. "Apa, Dok?" tanyanya menggebu. "Anak saya saudaranya Malika? Si kedelai hitam?"

Dan ketika pertanyaan itu meluncur dari mulut Leony, dokter Yusnida sontak saja bengong. Tak mengerti. Terutama karena di detik selanjutnya, tawa Eros meledak. Langsung mengusap perut Leony dengan kegembiraan yang tak akan mampu disangkal oleh siapa pun.

"Selamat datang, Maliki!"

Malika? Maliki?

Kedelai hitam?

Dokter Yusnida mendadak saja merasa berada di dunia yang berbeda. Hanya bisa melongo melihat bagaimana Eros tertawa sementara Leony yang tampak cemberut-cemberut manja.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top