46. Beda Jalur
Rasanya tak ingin, tapi astaga. Bayangan Sony yang berada di belakang Leony ketika ia menghubungi sang istri melalui panggilan video, terus membayang di benaknya. Sungguh meninggalkan kesan tak nyaman yang membuat suntuk Eros sepanjang sisa hari ini. Yang tentu saja hal tersebut tak luput dari perhatian para karyawannya. Termasuk di dalamnya, Omen.
"Nggak kayak biasanya," kata Omen seraya menghampiri Eros yang tampak duduk termenung di dapur. Dekat jendela, melayangkan pandangannya ke luar sana. "Kenapa kamu keliatan kayak yang suntuk banget hari ini?"
Eros menoleh. Tepat ketika tangan Omen menepuk pundaknya, meremasnya pelan. Dan untuk itu, Eros hanya mengembuskan napas panjangnya.
"Eh, lagi ada masalah?"
Kali ini, sebagai respon untuk pertanyaan itu, Eros hanya memberikan gelengan singkat. Tidak berniat untuk menceritakan tentang pikiran yang sedang memenuhi kepalanya saat ini.
"Nggak ada masalah apa-apa kok," lanjut Eros menjawab kemudian. "Cuma ngerasa agak capek aja. Mungkin kurang tidur."
Menangkap isyarat bahwa Eros memang tidak ingin membicarakannya, maka Omen pun memutuskan untuk tidak mendesak. Alih-alih, ia justru memutuskan untuk meninggalkan Eros sendirian di sana. Mungkin temannya itu butuh waktu sendirian.
Mendapati Omen yang kemudian tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan langsung beranjak dari sana, Eros mengembuskan napas panjangnya. Merasa lega karena rasa pengertian Omen. Karena jelas, yang dibutuhkan Eros saat ini bukanlah waktu untuk berbincang-bincang. Sebaliknya, ia butuh keadaan yang damai. Demi menentramkan perasaannya yang terasa amat gelisah.
Padahal aku udah ngomong sama Leony, jangan deket sama cowok lain.
Lah?
Ini tadi malah aku ngeliat sendiri itu Sony berdiri di meja Leony.
Berusaha untuk menyingkirkan perasaan itu dan berpikir positif pun mendadak menjadi hal yang susah untuk Eros lakukan. Alih-alih bisa menyingkirkan bayangan Sony di dekat Leony tadi, eh ... yang terjadi justru sebaliknya. Malah bayangan-bayangan yang lainnya muncul. Seperti ingin memperiah suasana gundah yang Eros derita kala itu. Ckckckck. Meresahkan sekali.
Hingga pada akhirnya, ketika Eros harus meninggalkan La Coffee demi menjemput Leony di kantornya, ia berulang kali mengultimatum dirinya. Agar tidak terlihat sedang suntuk.
Ingat emosi Leony, Ros.
Ingat kandungan Leony, Ros.
Ingat keselamatan bayi kalian, Ros.
Karena Eros tidak akan pernah lupa kaitan penting antara emosi, stres, dan kehamilan. Jangan sampai bayi mereka yang tidak berdosa menjadi korban dari kegalauan yang tengah ia rasa. Amit-amit.
Maka Eros berusaha untuk memikirkan fakta yang terjadi belakangan ini. Betapa Leony yang menjadi sangat lengket padanya. Tidak bisa jauh darinya. Bahkan bersikap menjadi lebih manis dan manja lebih dari biasanya. Bukankah itu cukup menjadi tanda kalau semua baik-baik saja?
Namun, ketika Eros telah sampai di depan pelataran kantor Leony dan lagi-lagi mendapati Sony di sana, wah! Emosi kembali hadir. Walau jelas sekali, logika Eros masih bisa melihat situasi kala itu. Leony yang tampak ceria langsung menghambur padanya, adalah satu fakta bahwa Leony tidak dekat-dekat dengan Sony. Yang ada justru Sony yang berusaha dekat-dekat dengan Leony.
Cowok itu terkenal dengan logikanya, Ros.
Jangan jadi kayak cewek yang apa-apa cuma ngandelin perasaannya doang.
Buat apa kamu emosi?
Toh, kamu bisa liat sendiri.
Leony nggak ada menghiraukan Sony sedikit pun.
Hanya saja, logika yang masih jernih itu tetap tidak mampu menahan rasa penasaran Eros. Dan sekarang, alih-alih memendamnya, Eros berusaha untuk bertanya pada Leony. Dengan cara halus tentunya. Karena jujur saja bahwa Eros tidak ingin justru dirinya yang mendadak stres ketika ia menjaga Leony agar tidak stres. Kan tidak lucu sama sekali.
Pada akhirnya, ketika malam itu setelah mereka berdua makan malam dan bersantai di ruang tamu, Eros memutuskan untuk memulai rencananya semula. Dengan terlebih dahulu menunggu hingga Leony membaringkan tubuhnya dengan nyaman di sofa sementara kedua kakinya naik di atas pangkuan Eros. Siap untuk menerima pijatan sang suami untuk meredakan pegal di betisnya.
Eros menunggu sejenak. Paling tidak setelah pijatannya berlangsung yah ... sekitar sepuluh menit lamanya. Untuk kemudian, ia mendehem. Memulai pertanyaannya dengan topik yang sederhana. Yaitu, menanyakan pekerjaannya di kantor.
"Ehm ... gimana kerjaan kamu di kantor hari ini? Nggak berat kan?"
Menikmati pijatan Eros dengan perut kenyang, Leony mendapati matanya yang mulai mengalami kesusahan untuk membuka. Namun, pertanyaan Eros seketika membuyarkan keinginannya untuk tertidur di sana. Alih-alih, ia hanya menguap sekilas. Sebelum menjawab pertanyaan itu.
"Nggak berat kok," jawab Leony seraya menggeleng. "Sama kayak biasanya aja. Duduk. Ngecek draft artikel. Terus upload deh." Ia mengembuskan napas panjang. "Tenang aja. Aku bahkan nggak ngeluarin keringat setetes pun."
Walau pertanyaan itu sebenarnya adalah pertanyaan basa-basi, tapi mau tak mau Eros mengembuskan napas lega juga mendengarnya. Untuk hal itu, tentu saja ia tulus.
Dan mendapati reaksi kelegaan itu di wajah sang suami, Leony pun tersenyum lembut.
"Kamu nggak perlu khawatir gitu," kata Leony kemudian. "Mudah-mudahan aku bisa jaga Dedek baik-baik kok. Dan kalau ada apa-apa, aku pasti langsung ngomong sama kamu."
Mata Eros melirik dengan cepat. "Beneran loh ya. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku."
"Pasti," angguk Leony.
Menjeda sejenak percakapan mereka, Eros masih melanjutkan pijatannya. Seraya otaknya yang berputar, berusaha menemukan pertanyaan yang tepat untuk memulai topik yang sesungguhnya.
"Juga ...," kata Eros lagi. "Kamu jangan stres. Ehm ... mudah-mudahan aja rekan kerja kamu nggak ada yang bawel deh. Aku khawatir banget kalau kamu sampe stres."
Eros melirik. Mencermati raut wajah Leony. Tapi, cewek itu tampak santai. Dengan sedikit raut geli di sana.
Tangan Leony tampak melambai sekali. "Tenang aja. Mudah-mudahan teman-teman aku di kantor pada baik kok. Yah ... yang rada bawel itu sih cuma Bu Donda. Tapi, akhir-akhir ini dia nggak pernah marahin aku lagi sih. Kayaknya karena kerjaan aku juga nambah bagus belakangan ini." Lantas Leony mengusap perutnya. "Kayaknya gara-gara Dedek, aku jadi lebih teliti gitu."
Ehm ....
Masih belum sampai ke topik yang Eros inginkan.
Oke, lanjut lagi.
"Oh ...." Eros melirih pelan. "Untunglah kalau teman-teman kamu pada baik semua. Aku jadi lega dengernya."
Leony tak membalas perkataan itu. Alih-alih, ia kemudian tampak fokus pada ponselnya. Menyasar pada satu aplikasi belanja daring. Melihat beberapa produk. Yang tentu saja dengan satu topik. Yaitu, perlengkapan anak bayi.
Mengabaikan senyum antusias Leony saat melihat beragam produk imut di layar ponselnya, Eros kemudian kembali melayangkan pertanyaannya.
"Ya walau sebenarnya aku cuma tau teman kerja kamu itu Miska dan Sony."
Seeet!
Mata Eros melirik. Kali ini ia memfokuskan matanya dengan amat tajam. Tidak ingin melewatkan sekelibat petunjuk pun yang mungkin akan terpancar dari ekspresi Leony. Tapi, yang ada justru Leony yang tertawa-tawa. Lantas bangkit dari posisi berbaringnya. Seraya menyodorkan ponselnya.
"Ros. Ini imut kan ya? Liat deh bebeknya. Ih, gemes deh."
Bukan seperti yang diharapkan Eros, tapi ia tak memiliki pilihan lain. Mau tak mau ia pun melihat pada ponsel Leony. Mendapati ada satu set mainan bebek yang digunakan sebagai mainan kala bayi mandi.
Eros terkekeh. "Ini mah ntar kita belinya, Ny. Kalau baru lahir mah Dedek juga belum bisa main."
"Kamu bener. Ini mainan ntar buat Dedek kalau udah bisa main. Ehm ...." Leony mendehem sejenak dengan mengulum senyum. "Paling nggak pas Dedek ntar udah bisa duduk di bak mandinya sendiri."
Membayangkan masa itu akan datang, Leony pun lantas kembali pada posisi nyamannya semula. Yaitu, berbaring. Seraya terus melanjutkan penjelajahannya pada aplikasi tersebut.
Sementara Eros?
Ya ....
Nggak dijawab pertanyaan aku?
Dia emang nggak ngeh atau dia sengaja ngalihin pembicaraan?
Kali ini, Eros yang mendehem. Kembali memutar otak. Mencari jalan lainnya untuk membawa Leony ke topik yang ia inginkan.
"Ngomong-ngomong," ujar Eros selanjutnya. "Selain Miska dan Sony, kamu nggak ada teman lain ya di kantor?"
Nah, kali ini barulah Eros mendapatkan respon Leony. Cewek itu tampak menurunkan sejenak ponselnya. Lalu menatap pada Eros. Seperti menunggu penjelasan Eros mengenai pertanyaannya itu. Dan Eros pun melakukannya.
"Ya ... maksud aku, kayaknya kamu sering ke mana-mana bareng Miska dan Sony. Aku kayaknya jarang ... atau nggak pernah malah ya ... ngeliat kamu sama yang lain gitu."
"Aaah ...."
Leony melirih. Angguk-angguk kepala. Sekarang mengerti maksud pertanyaan Eros. Dan ia mengembuskan napas panjang.
"Ya aku pasti ada dong temen yang lain. Lagian di bagian aku lumayan rame kok. Nggak cuma ada Miska dan Sony doang."
Oke!
Umpan mulai didekati, Saudara-Saudara.
Eros bersemangat. Begitu pun dengan pijatannya.
"Tapi, aku emang sering ngeliat kamu sama mereka sih. Nggak sama yang lain. Kenapa?"
Leony mengerutkan dahinya. "Ya ... nggak kenapa-napa sih. Kan kita nggak bisa nyaman dengan semua orang. Ya--- ah!"
Tak meneruskan perkataannya, Leony justru menjerit. Itu adalah karena mendadak saja pijatan Eros terasa bagai remasan di betisnya. Hingga membuat ia kesakitan.
"Eh? Sorry, Ny, sorry. Aku kelewat kuat ya mijitnya?"
Tampak manyun, Leony mencibirkan bibir bawahnya. "Pelan-pelan, Ros. Ntar malah memar lagi betis aku."
Eros meringis. Kembali meminta maaf. Sementara jelas sekali, di dalam hati ia merutuk habis-habisan.
Oh, jadi Leony ngerasa nyaman gitu sama Sony?
"Walau ..."
Suara Leony membuyarkan semua dugaan di benak Eros. Menarik kembali perhatian cowok itu pada istrinya.
"... sebenarnya aku tuh nggak dekat loh sama Sony. Dari awal aku kerja di sana, aku tuh cuma dekat sama Miska doang. Kalau Sony ..." Leony mengerutkan dahi. "... kayaknya baru akhir-akhir ini deh kami rada dekat."
Oke.
Jelas ya.
Sony emang lagi deketin Leony.
Terbukti gitu.
Dulu mereka nggak dekat!
Namun, di sisi Leony, ia merasa tak ada yang aneh dengan itu. Maka ia lanjut saja bicara.
"Belakangan ini Sony emang sering bantu-bantu aku sih. Kayak ngangkat tumpukan draft aku buat disimpan di gudang arsip."
Sungguh.
Ini tidak nyaman sekali untuk Eros. Harus mendengarkan istrinya sendiri menceritakan kebaikan cowok lain. Rasanya seperti ia yang menjadi Iron Man. Siap menyetrika siapa saja yang lewat!
"Terus ...," lanjut Leony lagi. "Kapan hari yang waktu hujan gede itu. Ehm ... dia nawarin buat nganter aku balik naik mobil dia sih."
O oh!
Kali ini tidak ada pijatan yang kelebihan tenaga. Alih-alih justru pijatan Eros yang berhenti seketika. Dan mendapati itu, Leony pun menatap Eros. Lalu pada betisnya. Lalu kembali lagi pada Eros.
"Loh? Kok berenti mijitnya?"
Namun, tentu saja sekarang tidak ada pijat-memijat di benak Eros. Yang ada cuma ada fakta baru yang ia dapatkan. Ternyata sudah segencar itu Sony mencoba mendekati Leony. Wah!
Sekarang, alih-alih melanjutkan pijatannya, Eros justru bertanya.
"Yang pas kita balik hujan-hujanan itu?"
Leony mengangguk.
Dan entahnya. Mungkin karena seharian ini emosi Eros memang sedang kacau. Jadi, pikiran buruk dengan mudahnya memenuhi kepala Eros. Menampilkan beberapa fakta yang terkesan didramatisir oleh pikiran buruknya sendiri.
Leony nyaman loh sama Sony.
Mana Sony bawaannya mobil.
Lah kamu cuma punya motor yang kalau mau dijalankan mesti diengkol dulu.
Beda jauh dong ya?
Rasanya sih benar-benar tidak nyaman bagi seorang cowok ketika itu menyangkut hal-hal yang tidak bisa ia berikan pada istrinya. Sementara di luar sana, ada cowok yang jelas-jelas bisa memberikan semuanya. Menghadirkan rasa rendah yang membuat harga dirinya turun seketika.
Hingga wajar saja bila pada akhirnya Eros merasakan seperti ada gumpalan di pangkal tenggorokannya.
"Terus ... kenapa kamu nggak balik sama dia kemaren? Kan kamu nggak bakal kehujanan bareng aku."
Leony terdiam. Tak mengira bahwa Eros akan mengatakan itu. Dan hal tersebut sontak membuat ia bangkit kembali. Beringsut mendekati suaminya.
"Eros ...."
Eros tak mengatakan apa-apa. Karena ia takut kalau dirinya justru akan mengatakan hal yang akan ia sesali nantinya. Mulut adalah hal yang harus dijaga oleh cowok dengan teramat sangat. Ia tau itu.
Dan mendapati Eros yang tidak bersuara, Leony pun merasa semakin heran. Hingga ia pun bicara.
"Kenapa aku harus balik sama dia? Kamu gimana sih, Ros? Kan aku nungguin kamu jemput. Gimana bisa justru aku balik sama cowok lain?"
Mata Eros mengerjap. "Tapi, kamu jadi kehujanan sama aku. Kalau kamu sakit gimana?"
Leony tau, ada kegusaran di kata-kata yang Eros ucapkan. Hal yang sebenarnya tidak ia tau apa penyebabnya. Hanya saja, satu ingatan membayang di benak Leony. Hal yang membuat ia tersenyum. Yang tentu saja justru membuat Eros mengerutkan dahi.
"Karena kalau nggak kehujanan bareng kamu, kita nggak bakal makan bakso bareng lagi kayak dulu," jawab Leony. "Nggak ketawa-ketawa bareng di bawah air hujan. Dan ..." Mata Leony yang bening melihat pada Eros. "... kita juga nggak mungkin mandi bareng kayak kemaren."
Dan pada saat itu, mungkin Eros baru menyadari sesuatu. Hal yang ia lewatkan. Atau mungkin sesuatu yang belum ia sadari dari dulu. Bahwa bagi seorang wanita, terkadang 'kehujanan' adalah sesuatu membahagiakan.
"Lagipula ...," lanjut Leony seraya tersenyum. "Aku nggak sakit. Kamu selalu berusaha ngejagain aku."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top