45. Perkataan Dan Keadaan
Hari Minggu pagi itu, Leony bangun dari tidurnya dengan perasaan yang amat ringan. Persis seperti balon udara yang siap untuk melayang ke angkasa sana. Pasrah saja terbang mengikuti arah angin yang berembus padanya. Dan itu ... jelas sekali karena semalam ia baru menjalani satu malam yang menyenangkan.
Sebelum Leony memutuskan keluar dari kamar, ia melihat sejenak pada Eros yang masih tampak lelap dalam tidurnya. Wajah tampannya –setidaknya di mata Leony, terlihat begitu damai. Seperti memberikan peringatan pada Leony, bahwa suaminya itu tidak akan bangun dalam waktu dekat. Bahkan lebih dari itu, Leony berani bertaruh Eros tetap akan tidur walau ia membangunkannya. Walau tentu sih. Leony tidak berencana membangunkan Eros dalam waktu dekat.
Dia pasti capek.
Kemaren abis kerja langsung ngajak aku jalan.
Merapikan sejenak selimut di tubuh Eros, Leony memberikan satu kecupan singkat di dahi cowok itu. Berencana untuk langsung keluar dari kamar, ia justru mendapati dering di ponselnya. Maka buru-buru Leony mengangkatnya agar tidak mengganggu tidur Eros.
Leony keluar dari kamar, seraya mendengar sapaan di seberang sana. Suara khas seorang wanita paruh baya. Sang ibu, Utami.
"Ny ...."
Menutup pintu kamar dengan hati-hati, Leony menuju ke ruang tamu dan menyahut panggilan itu.
"Ya, Ma? Kenapa?"
"Nggak ada apa-apa sih. Cuma mau nelepon aja. Kamu itu kan kalau nggak ditelepon duluan mana ingat mau nelepon orang tua. Mentang-mentang lagi senang," jawab Utami panjang lebar, tak peduli dengan kikik Leony. "Ehm .... Mama mau tau keadaan kamu kini. Gimana? Sehat kan? Masih muntah?"
Tanpa sadar mengusap perutnya, Leony menyandarkan punggung di sofa. Mengubah kikiknya lantaran omelan Utami tadi menjadi satu senyuman. "Sehat kok, Ma. Tenang aja. Sekarang sih aku nggak ada muntah-muntah lagi. Kayaknya Dedek juga udah pinter."
Terdengar helaan napas lega Utami. "Oh, syukurlah kalau gitu. Sehat-sehat kamu, Ny. Jangan lupa makan, terus istirahat yang cukup. Jangan stres. Ah, jangan sampe kecapekan juga. Kalau kamu ngerasa capek, balik aja ke rumah. Ajak Eros. Ketimbang kamu ntar kenapa-napa lagi."
Leony maklum sekali dengan rasa khawatir ibunya itu. Tapi, mendengar nasihat itu mau tak mau ia mengulum senyum.
"Iya, Ma, iya. Tenang aja. Mama nggak perlu khawatir. Makan aku teratur kok. Nggak pernah lupa. Bahkan sekarang selalu ingat lagi."
Leony meringis. Menyadari bagaimana akhir-akhir ini bukan tiga kali sehari lagi jadwal makannya. Alih-alih kadang empat kali sehari. Atau bahkan lima kali sehari. Ehm ... mungkin karena itu juga alasan mengapa tubuhnya makin membesar belakangan ini. Hiks.
"Di kantor aku juga nggak kerja berat kok," lanjut Leony kemudian. "Kan aku cuma duduk. Di depan komputer, terus ngetik deh. Bahkan aku nggak keringatan. Mana kalau balik, Eros selalu jemput aku. Dijamin, Ma. Aku nggak bakal kecapekan. Dan kalau pun kecapekan, ehm ... malamnya Eros biasa pijitin aku sih."
Lagi-lagi, indra pendengaran Leony menangkap embusan napas lega Utami di seberang sana.
"Ah, untunglah. Seneng Mama dengernya. Kalian yang baik-baik berdua ya? Dan kamu, Ny. Ingat. Jaga diri baik-baik. Dengerin omongan Eros."
Leony mengangguk, walau jelas Utami tak akan melihatnya. "Iya, Ma, iya. Tenang aja. Mama nggak perlu cemas. Aku bakal jaga diri baik-baik dan selalu dengerin omongan Eros."
Hingga kemudian, ketika pada akhirnya panggilan Utami berakhir, Leony pun benar-benar beranjak ke dapur seperti rencananya semula. Walau dengan dahi yang berkerut seraya berpikir.
"Ngomong-ngomong soal dengerin omongan Eros," kata Leony pada dirinya sendiri. "Kok aku jadi keingat omongan dia malam itu ya?"
"Jangan deket-deket sama cowok lain, Ny."
Langkah kaki Leony berhenti di dekat meja makan. Kali ini ia sepertinya memutuskan untuk benar-benar berpikir.
"Kenapa Eros mendadak ngomong kayak gitu ya?" tanya Leony bingung. "Padahal selama ini dia nggak pernah tuh ngomong kayak gitu. Ehm ... tumben banget."
Sekarang, kalau Leony pikirkan dengan lebih saksama lagi, ia merasa sangat aneh. Karena sejauh ini, Leony merasa bahwa Eros bukanlah tipe cowok posesif. Yang suka khawatir kalau pasangannya akan direbut oleh cowok lain. Itu bukan Eros sama sekali.
Mata Leony mengerjap-ngerjap. Merasa mustahil bila Eros mengatakan sesuatu yang tidak ada sebabnya sama sekali. Lantas, satu pertanyaan yang kemudian Leony tujukan pada dirinya sendiri, membuat tubuh cewek itu merinding.
"Masa ada cowok yang lagi deketin aku sih?"
Karena pada akhirnya Leony merasa bahwa penyebab Eros mengatakan itu tentulah karena ada seorang cowok yang sedang mendekatinya. Hingga ia pun terkesiap dengan pemikirannya sendiri.
"Eh? Emangnya siapa yang mau deketin ibu hamil kayak aku?"
*
Semakin memikirkan perkataan Eros tempo hari, semakin membuat Leony penasaran. Rasa-rasanya ia tak percaya kalau ada cowok yang sedang mendekatinya.
Tangan Leony mengusap perutnya. Merasakan lekukan buncit di sana dan tersenyum geli setelahnya.
Eros ini ada-ada aja.
Mana ada coba cowok yang mau deketin ibu hamil.
Mending deketin gadis langsing gitu kan ya?
Sejurus kemudian, bangkit dari duduknya, Leony mengumpulkan beberapa draf artikel yang sudah ia tangani nyaris sebulan ini. Memberikan hasil berupa tumpukan kertas yang nyaris menggunung. Harus segera ia singkirkan dari mejanya.
Menarik napas dalam-dalam, Leony memperkirakan sejenak berat tumpukan kertas itu. Walau memang kertas adalah benda ringan, tapi kalau tinggi tumpukannya nyaris setinggi empat puluh sentimeter, tentu saja itu lain cerita.
"Mau dibawa ke belakang?"
Tepat ketika Leony akan mengangkat tumpukan kertas itu, satu suara mendadak menyapa gendang telinganya. Membuat Leony berpaling dan mendapati ada Sony yang di tangannya tampak setumpuk kertas.
"Eh," gugu Leony. Lantas, ia mengangguk. "Iya. Mau dibawa ke belakang."
Langsung bertindak, tanpa mengucapkan permisi atau basa-basi, Sony lantas menaruh kertas miliknya di atas milik Leony. Untuk kemudian mengangkatnya sekaligus.
"Udah. Biar aku aja yang bawa ke belakang."
Mata Leony membesar. "Eh? Nggak apa-apa?" tanyanya khawatir melihat tumpukan kertas itu yang tepat berada di bawah dagu Sony. "Itu pasti berat."
Berusaha menggeleng tanpa menjatuhkan kertas di tangannya, Sony menjawab seraya tersenyum.
"Tenang aja. Nggak berat kok. Timbang kamu yang bawa. Kamu kan lagi hamil. Nggak boleh bawa yang berat-berat."
"Aaah ...."
Leony melirih pelan seraya mengusap perutnya. Bagian di mana yang ternyata menjadi fokus mata Sony untuk beberapa detik. Untuk kemudian, cowok itu kembali berkata.
"Oke. Aku ke belakang dulu."
Lantas setelah mengatakan itu, Sony pun langsung beranjak meninggalkan meja Leony. Menuju ke gudang arsip, tempat di mana mereka menaruh dokumen-dokumen pekerjaan mereka.
Melihat Sony hingga cowok itu menghilang dari pandangan matanya, Leony lantas duduk kembali di kursinya. Seraya menggumam pelan.
"Ehm .... Sony memang teman yang baik. Pengertian banget sama aku yang lagi hamil."
Memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, Leony justru mendapati pesan dari Eros masuk ke ponselnya. Hal yang menjadi rutinitas cowok itu. Selalu menanyakan keadaannya pasca kejadian muntah tempo hari.
[ Hubby ]
[ Ny, gimana keadaan kamu? ]
[ Bentar lagi jam siang. ]
[ Istirahat dulu. ]
Dengan cepat, Leony mengetik dan mengirim balasannya untuk pesan itu.
[ Hubby ]
[ Keadaan aku baik. ]
[ Tenang aja. ]
[ Kamu juga, istirahat. ]
[ Jaga ginjalnya baik-baik. ]
Melihat bagaimana dua centang abu-abu di pesan itu telah berubah menjadi biru, mau tak mau Leony merasa geli sendiri.
[ Hubby ]
[ Kamu ini sebenarnya manusia atau kuyang coba? ]
[ Yang diperhatikan malah ginjal aku. ]
[ Hahahaha. ]
Dan masih merasa geli, Leony lantas membalas seperti ini.
[ Hubby ]
[ Manusia atau kuyang? ]
[ Ehm .... ]
[ Kamu lupa kalau aku ini bidadari yang selendangnya kamu curi? ]
Astaga.
Beruntung saat itu ternyata jam istirahat telah datang. Hingga Leony pun bisa tertawa. Lantaran merasa geli sendiri dengan pesan yang ia kirimkan pada sang suami.
Bertepatan dengan itu, mata Leony yang nyaris menyipit karena tawa, melihat Sony di seberang sana. Baru kembali dari gudang arsip. Dan mungkin lantaran ia mendapati Leony melihat padanya, maka Sony pun beranjak ke sana.
"Udah?" tanya Leony ketika Sony tiba di mejanya. Dan ia langsung mendapati cowok itu mengangguk. "Makasih."
"Sama-sama," kata Sony tersenyum. "Ngomong-ngomong, ini udah istirahat. Turun yuk. Makan dulu."
"Iya iya," kata Leony bersemangat. Ia tampak bangkit, namun denting ponselnya membuat ia berkata lagi seraya membuka pesan yang masuk. "Ehm ... kamu duluan aja deh, Son. Bareng Miska. Ntar aku nyusul."
Sony yang semula memang akan beranjak karena mengira Leony pun begitu, mengurungkan niatannya. Alih-alih pergi bersama Miska yang tampak menunggu di mejanya –yang posisinya lebih dekat dengan pintu ruangan, ia justru terusik untuk bertanya.
"Eh? Kenapa? Ada sesuatu?"
Tak acuh, Leony menggeleng. "Nggak kok. Cuma ini Eros ngajak vc bentar. Katanya mau ngeliat bidadari yang selendangnya dia curi. Hehehehehe."
Sony tertegun. Sementara Leony, jelas terkikik melihat pada pesan yang baru ia terima itu.
[ Hubby ]
[ Astaga. ]
[ Kok aku lupa ya? ]
[ Ehm ... kayaknya kamu deh yang salah ingatan. ]
[ Waktu itu bukan selendang kamu yang aku curi. ]
[ Tapi, hati kamu. ]
[ Btw, coba deh aku pastiin kalau emang kamu ceweknya. ]
[ VC bentar deh. ]
Tak lama dari pesan itu masuk, panggilan video pun menghampiri ponsel Leony. Dan ia segera mengangkatnya. Tak membiarkan panggilan itu berdering lebih dari dua detik. Ckckckck.
"Eros!"
Dan ketika wajah Eros tampak di layar ponselnya, Leony pun langsung menyerukan nama suaminya itu. Begitu pun dengan Eros. Seketika membalas panggilan Leony. Dengan sama bersemangatnya.
"Leony!"
Leony terkikik. Sama halnya dengan Eros yang tergelak. Tampak senang melihat wajah istrinya yang ceria. Tidak memperlihatkan tanda-tanda letih seperti yang ia khawatirkan belakangan ini.
Namun, kelegaan yang Eros rasakan saat melihat keadaan Leony, seketika saja menghilang. Pelan-pelan membuyarkan tawa di wajahnya. Itu lantaran karena ia melihat ada Sony yang berdiri di belakang Leony!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top