44. Terbawa Keinginan
Bahkan sepertinya ABG akan kalah dengan ibu hamil yang sedang bersiap-siap untuk acara kencannya di malam Minggu nanti. Dari pemilihan baju hingga sepatu. Dan itu termasuk dengan aksesori yang akan ia kenakan sebagai pelengkap semuanya.
Diawalai dari baju, Leony menyadari bahwa perutnya yang membuncit menghalangi keinginannya untuk mengenakan pakaian tertentu. Seperti celana jeans misalnya. Ehm ... itu pasti akan sulit bagi Leony memasukkan kancing ke lubangnya.
Dan kalau pun kancingnya bisa masuk, rislitingnya belum tentu. Ah, yang pasti. Jangan lupakan fakta bahwa kedua betis Leony yang mulai ikut-ikutan membesar. Ehm ... bisa-bisa sepanjang malam Leony akan merasa letih. Serta, hal yang paling fatal adalah bagaimana bila celana itu tidak bisa dilepas dari kaki Leony? Lantaran karena terlalu sempit?
"Aaah ...."
Leony memegang kepala dengan kedua tangannya. Mau tak mau, bayangan sengsara lantaran mengenakan celana jeans melintas di pikirannya. Otomatis membuat ia menyingkirkan opsi pakaian itu.
Mengembuskan napas perlahan, Leony lantas melihat-lihat isi lemarinya. Kali ini dengan lebih teliti lagi. Khawatir kalau ia melewatkan satu pakaian yang sebenarnya cukup menarik untuk ia kenakan di malam kencannya.
Ups!
Senyum seketika timbul di wajah Leony. Berjeniskan malu-malu tapi mau yang membuat pipinya memerah seketika. Diikuti oleh rasa panas yang seketika membuat ia mengipasi wajahnya dengan kedua tangan.
"Ih, jangan mikir ke mana-mana dulu deh, Ny. Mending cari baju dulu. Ntar keburu Eros udah balik lagi."
Karena di hari Sabtu itu, Eros tetap bekerja. Walau jelas, ia akan pulang lebih awal. Demi memastikan mereka bisa pergi ke pasar malam lebih cepat. Alasannya, Eros tidak ingin Leony masuk angin.
Ya ampun.
Malah nambah ingat coba.
Maka dibutuhkan banyak tenaga bagi Leony untuk kembali berhasil memusatkan konsentrasinya pada isi lemari pakaiannya. Alih-alih berkonsentrasi pada Eros.
"Ehm ...."
Tangan Leony terulur. Meraih satu gantungan pakaian. Tampak satu gaun berbahan sifon yang longgar. Satu pakaian yang Leony tak yakin entah kapan terakhir kali ia mengenakannya. Ehm ... mungkin saat ia masih jadi remaja yang berlagak feminin. Hihihihi.
Melihat keadaan gaun selutut itu, Leony mendapati bahwa warna merah mudanya masih terlihat cerah. Cukup menjadi bukti bahwa ia memang jarang mengenakannya. Bahkan saking jarangnya, motif bunga-bunga kecil bewarna ungu itu tampak seperti nyata.
Leony mengusap lengan pendek gaun itu. Merasakan kehalusan bahannya. Pun lantas menghirup aromanya –khawatir bila ada bau apek. Namun, setelah menilai dengan saksama, Leony pun memutuskan bahwa ia sudah mendapatkan pakaian kencannya.
Menaruh sejenak gaun itu di atas tempat tidur, Leony yang masih berbalutkan handuk di tubuhnya, meraih pakaian dalam. Mengenakannya dan merasakan bagaimana payudaranya terasa menyesak. Melihat pada cermin, Leony mengembuskan napas panjang dengan geli.
"Kayaknya bukan betis aku aja yang nambah gede. Hehehehe."
Karena semakin berumur kandungan Leony, maka perubahan fisik pada wanita itu terlihat makin jelas. Kalau di awal-awal hanya bokongnya yang tampak berubah, maka sekarang tidak. Dari betis, kaki, hingga payudaranya mulai menunjukkan perbedaan. Mengalami penambahan ukuran. Dan itu memang normal terjadi.
Tepat setelah Leony meloloskan gaun itu di tubuhnya, pintu kamar terbuka. Menampilkan Eros yang ternyata sudah pulang. Dan mata cowok itu tampak membesar. Melihat Leony dalam balutan pakaian berbahan halus tersebut.
Leony mengulum senyum. "Aku takut pake celana jeans. Takut ntar nggak bisa dilepas. Hehehehe. Jadinya, aku pake ini deh." Leony menunduk, melihat pada dirinya sendiri sebelum bertanya. "Cocok nggak? Apa norak ya? Masa ibu hamil pake baju bunga-bunga gini."
Satu yang diketahui Eros adalah terkadang cewek memang seperti itu. Yang sekarang sering disebut dengan istilah merendah untuk meroket. Biasanya sih para istri melakukan itu demi memancing pujian sang suami. Tapi, rasa-rasanya kali ini Eros merasa bahwa dirinya tidak perlu dipancing. Karena sepertinya ia memang sudah terpancing. Dari langkah pertama ia masuk ke kamar dan mendapati Leony berputar di depan cermin.
"Nggak norak kok," jawab Eros tulus. "Cocok banget malah. Kamu keliatan cantik banget."
Melirik pantulan wajahnya di cermin, Leony lantas bergumam. "Emang sih. Kayaknya akhir-akhir ini aku emang nambah cantik ya?"
Biasanya, orang kalau dipuji pasti akan mengelak. Sekadar berbasa-basi. Tapi, ya ampun. Untuk apa lagi berbasa-basi dengan suami sendiri? Maka tentu saja, hal tersebut membuat Eros tertawa. Hingga alamiah sekali ia lantas menarik tubuh Leony. Memeluknya dengan mata terpejam. Seperti ingin meresapi momen itu.
Tangan Leony bergerak. Memukul pelan dada Eros dengan manja.
"Jangan peluk-peluk. Ntar baju aku kusut. Aku nggak ada baju lainnya."
Tersenyum, Eros lantas melepaskan tubuh Leony. Tanpa lupa melabuhkan satu kecupan singkat di kepalanya.
"Aku mandi dulu. Ntar kita langsung pergi."
Tak mengatakan apa-apa, Leony hanya mengangguk dengan mengulum senyum. Melihat Eros yang lantas langsung keluar dari kamar.
Sepeninggal Eros, Leony menyempatkan waktunya sejenak untuk menyiapkan pakaian cowok itu terlebih dahulu. Untuk kemudian barulah ia mendaratkan bokongnya di meja rias. Mulai bermain-main dengan aneka make up dan peralatannya.
Mungkin sekitar setengah jam kemudian, Eros dan Leony keluar dari unit apartemen mereka. Berkendara di atas motor, keduanya melajut di jalanan. Menuju ke tempat yang diidam-idamkan oleh sang ibu hamil.
Untunglah, ketika Eros dan Leony tiba, keadaan pasar malam belum terlalu ramai. Mengingat saat itu baru menjelang jam tujuh malam. Dan semua orang tau. Bahwa jam ramainya pasar malam itu di kisaran angka sembilan ke atas.
Berjalan berdua, Eros membiarkan Leony merengkuh tangannya. Sesekali bahkan menyandarkan kepalanya. Cewek itu tidak mengatakan apa-apa. Namun, Eros bisa melihat bagaimana dari tadi mata Leony bergerak liar ke sana ke mari. Seraya memulas senyum di bibirnya yang bewarna merah muda.
"Kamu mau makan apa?" tanya Eros kemudian. "Terakhir kali kita ke sini, kamu malah nggak makan-makan apa-apa loh."
Mengangkat sedikit wajahnya, Leony tampak mengernyitkan hidung dengan ekspresi yang tampak menggemaskan di mata Eros.
"Itu bukan terakhir kali, tapi itu yang pertama kali," ralat Leony kemudian. "Dan ini yang kedua kali."
Eros terkekeh. "Iya iya. Maksudnya gitu. Ehm ... jadi kamu mau makan apa? Gulali kan?" Mata Eros menangkap seorang penjual gulali di seberang sana. Ia pun menunjuk. "Itu gulali."
Melihat ke arah yang ditunjuk Eros, wajah Leony tampak antusias. "Ah, iya. Aku mau gulali. Buruan, Ros."
Layaknya seperti orang yang tidak memakan gulali sebelumnya, Leony begitu bersemangat ketika melihat penjual itu mulai membuatkan gulali untuknya. Menabur bibit gulali di mesinnya. Dan lalu dengan handal menyatukan serabut-serabut manisnya di satu tangkai. Untuk kemudian memberikannya pada Leony.
Eros menyerahkan sejumlah uang pada sang penjual sebelum kembali membiarkan Leony merengkuh tangannya. Dan lalu, tanpa kata-kata, Leony menyuapkan sejumput gulali itu pada Eros.
"Enak banget."
Eros membuka mulutnya. Menerima suapan itu dan merasakan manisnya. Rasa gulali dan juga Leony.
Leony tersenyum lebar. "Enak kan?"
Dan tak ada jawaban lain yang Eros berikan, selain anggukan tanda setujunya.
Menghabiskan beberapa waktu hanya sekadar untuk berjalan-jalan –selagi menunggu wahana komedi putar siap, Eros memastikan untuk berhenti beberapa kali. Hanya untuk memastikan bahwa Leony tidak merasa lelah. Bahkan beberapa kali ia menawarkan Leony untuk singgah di warung mi ayam terdekat. Tapi, Leony menolak.
"Aku ke sini bukan mau makan, Ros. Cuma pengen naik komedi putar aja. Soalnya ...."
Eros menunggu kelanjutan perkataan Leony, namun tak terlihat tanda-tanda bahwa cewek itu akan melanjutkannya.
"Soalnya ...?"
Menutup sejenak mulutnya, Leony berusaha untuk tidak terkekeh geli. Tapi, pada akhirnya ia menarik tangan Eros. Hanya agar cowok itu sedikit menunduk. Memudahkan dirinya untuk mencapai telinga Eros. Demi bisa berbisik di sana.
"Dedek mau tau tempat di mana kamu ngelamar aku."
Melongo, itu adalah respon yang Eros berikan untuk perkataan Leony. Terutama ketika Leony menarik diri, ia mendapati sang istri yang tampak mengulum senyum malu-malu. Mengusap perutnya.
"Nggak tau deh. Berapa hari ini aku kepikiran terus momen malam itu," kata Leony lagi. "Aku pikir itu karena Dedek mau diajak ke sini."
Eros bangkit. Mengusap rambut Leony dengan senyum tulus dengan sorot mata yang tak terbaca oleh Leony. Hingga sejurus kemudian, Eros meraih tangannya. Menggenggamnya dengan erat. Berkata tepat sebelum ia mengajak Leony beranjak dari sana.
"Kalau gitu, ayo. Kita kasih tau ke Dedek kalau papanya itu cowok paling romantis di dunia mamanya."
Dan rasanya ... masih sama.
Ketika Eros dan Leony masuk ke dalam sangkar komedi putar, mereka merasa seperti melangkah kembali ke masa lalu. Karena ketika pada akhirnya sangkar itu pelan-pelan bergerak, naik ke atas, memberikan pemandangan indah malam hari, mereka seperti melihat kejadian malam itu. Di mana Leony menerima cincin dan lamaran Eros. Hingga kini, keduanya masih melekat pada Leony. Cincin dan pernikahan mereka.
"Eros ...."
Pada akhirnya, Leony bisa juga mengeluarkan suaranya. Karena sumpah. Untuk beberapa saat yang lalu, cewek itu mengira ia tak akan mampu untuk bicara. Lantaran merasakan gumpalan di pangkal tenggorokannya.
Dan Eros melihat pada Leony yang kala itu tampak bersinar. "Ya?"
Leony tersenyum. "Makasih ya?" Matanya mengerjap. "Karena udah jagain aku dan Dedek. Nggak pernah marah kalau aku minta yang aneh-aneh. Aku ...."
Saat itu, Leony sebenarnya merasa bahagia. Tapi, entah mengapa mendadak saja ada satu bulir air mata yang jatuh menetes di pipinya. Membuat ia buru-buru mengusapnya.
"Ny ...."
Melihat air mata itu, Eros meninggalkan tempat duduknya. Mengambil tempat di depan Leony. Cemas.
"Kamu kenapa nangis?"
Leony menggeleng. Berusaha untuk tidak membiarkan ada air mata lainnya yang jatuh. Tapi, perasaannya terasa sesak.
"Kamu sakit?" tanya Eros lagi. "Capek? Atau kita balik sekarang?"
Lagi-lagi, Leony menggeleng. "Aku nggak sakit," jawabya seraya mengerjapkan mata. Dan kali ini, berhasil. Air matanya tak lagi menetes. "Aku cuma ..." Ia tersenyum. "Senang. Aku bahagia banget."
Walau Leony menangis, setidaknya jawaban cewek itu membuat Eros merasa lega. Ia pun mengembuskan napas panjang. Memutuskan daripada mempersoalkan air mata Leony, lebih baik ia mengatakan hal lainnya.
Mengusap perut Leony, Eros lantas berkata pada sang bayi.
"Dek, tuh kan. Gara-gara Dedek ngajak Mama ke sini, Mama jadi baper. Keingat dulu waktu Papa ngelamar di sini."
Dan sekarang, alih-alih menangis, Leony justru tertawa. Aneh. Tapi, begitulah adanya. Ia tertawa dalam tangisannya.
Leony menunduk. Turut melihat pada perutnya. "Soalnya kan Dedek juga mau diajak main komedi putar ya, Dek? Makanya ngajak ke sini kan?"
"Hahahahaha." Eros tertawa. "Itu bisa-bisanya Mama kamu, Dek. Alasan mau main."
Perkataan Eros sontak saja membuat tawa Leony semakin meledak. Dan ia pun merasa tak perlu menampik tuduhan itu. Karena entah itu keinginan bayi mereka atau murni keinginan Leony sendiri, nyatanya Eros tetap mengabulkannya. Dengan senang hati malah.
Dan Eros tampak lega, senang, ketika ia melihat Leony yang tertawa dengan begitu lepas. Hingga itu lantas, berkata kembali pada bayi mereka, seraya tetap mengusap.
"Kalau emang Dedek mau main komedi putar, ntar pas Dedek udah lahir ya. Kalau Dedek udah gede, ntar kita main ke sini lagi."
Ketika itu, tawa Leony berhenti. Tergantikan oleh ketakjuban ketika mendengar janji Eros. Dan di saat Eros mengangkat wajahnya, menatap pada mata Leony, cewek itu tidak menemukan hal lain yang wajar untuk ia lakukan. Selain menangkup kedua pipi Eros. Memejamkan mata dan melabuhkan bibirnya pada bibir Eros.
Seakan tak peduli bagaimana sedetik mata Eros menunjukkan keterkejutan. Hingga kemudian, mata itu pun turut memejam.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top