42. Samar-Samar Timbul
Mengatakan bahwa Leony meleleh seperti es yang terkena sinar matahari, itu pasti bukanlah hal yang berlebihan mengingat bagaimana keadaannya kala itu. Tak bisa mengatakan apa-apa, Leony perlahan merasakan kedua lututnya mulai goyah. Ibarat kata kakinya yang sedang lumer. Dan sekarang tinggal menunggu waktu saja untuk kemudian dirinya berceceran di lantai, layaknya ia yang kemudian benar-benar mencair.
Merasakan sepasang tangan Eros merengkuh dengan erat pada tubuhnya, Leony yang semula mulai sesak, perlahan berpikir bahwa bukanlah perlakuan itu yang menjadi penyebab ia mendadak susah bernapas. Alih-alih karena perkataan Eros sedetik kemudian.
"Jangan deket-deket sama cowok lain, Ny."
Sekarang, mendengar kalimat itu, harusnya Leony berpikir. Siapa gerangan cowok yang tampak dekat dengan dirinya belakangan ini. Namun, sayangnya tidak. Dalam posisi seperti itu, dipeluk erat oleh Eros, justru membuat otak Leony tidak bisa berpikir. Jangankan berpikir, sekarang Leony justru memejamkan matanya. Dengan tangan yang kemudian perlahan naik, balas memeluk, tampak satu senyum lebar tersungging di wajahnya. Nah, kali ini Leony akhirnya bisa menghirup napas dengan lancar kembali. Berikut dengan aroma Eros tentunya.
Berlama-lama, tak mengatakan apa-apa, hanya menikmati pelukan Leony, pada akhirnya cewek itu merasakan bagaimana pelan-pelan tangan Eros mengendurkan pelukannya. Seiring dengan berpisahnya tubuh mereka berdua, mata Leony membuka pelan-pelan. Hingga kemudian pandangannya beradu dengan tatapan Eros yang terasa menusuk hingga ke jantungnya. Kali ini, sungguh! Sesak napas bukan lagi kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan Leony. Ia persis merasa seperti orang yang tak bisa lagi menarik udara!
"Ya? Jangan dekat-dekat sama cowok lain."
Sedetik, Leony hanya bisa terdiam. Tapi, sedetik kemudian, tersadarkan dari keterpanaannya, ia pun mengerjapkan matanya. Dan lantas, ia mengangguk perlahan. Hanya sekali, namun pasti lebih dari cukup untuk menjadi jawaban bagi Eros. Karena jelas, setelah itu tampak senyum yang merekah di wajahnya. Dengan ekspresi lega yang menyertainya.
Itu persis seperti Eros yang ibaratnya baru saja selamat dari eksekusi hukuman mati. Atau mungkin seperti Eros yang bersyukur karena selamat dari sakaratul maut. Rasa leganya ... hanya ia yang tau persis bagaimana sensasinya.
Seperti ada bongkahan warna aneka rupa yang mendadak pecah di dadanya. Pun memeriahkan pandangan matanya. Hingga membuat ia sadar. Bahwa ia terpana pada wajah Leony di hadapannya.
Karena ketika itu, tak ada lagi hal yang paling tepat untuk Eros lakukan selanjutnya, selain memberikan sentuhan penutup yang tepat untuk mendamaikan perasaan gelisahnya. Hingga mendorong dirinya untuk membawa satu tangan. Menuju pada dagu Leony. Hanya untuk mendorong pelan wajah sang istri. Naik. Agar ia bisa dengan mudah melabuhkan bibirnya di tempat yang seharusnya.
Leony memejamkan matanya. Sedetik, otaknya berpikir. Bertanya-tanya. Memperkirakan kapan terakhir kali Eros menciumnya seperti ini. Karena berani bersumpah, sungguh! Ciuman itu terasa amat lembut. Amat manis. Itu persis seperti hidangan es krim terbaik di dunia. Yang rasanya menghadirkan keinginan tamak di benak Leony.
Bibir Leony merekah. Menyilakan Eros untuk melumat di sana dengan irama yang membuat kaki Leony gemetaran. Hingga tak ingin mengambil risiko, ia pun lantas berpegangan pada dada Eros.
Jantung Leony berdebar-debar. Tatkala lumatan Eros lantas berubah menjadi pagutan. Yang terasa membuai kedua belah bibirnya secara bergantian. Layaknya ia yang tak ingin membiarkan ada sedikit bagian pun yang tidak mendapatkan sentuhannya.
Memperdalam ciumannya, Eros lantas menahan tekuk Leony. Semakin menengadahkan wajahnya. Agar ia bisa dengan leluasa menjajah bagian itu dengan dominasinya. Yang terkesan amat maskulin. Namun, juga amat sensual.
Dengan ujung lidahnya yang hangat, Eros pun menyapa kehangatan di dalam sana. Memberikan sentuhan menggoda yang membuat Leony mengerang. Pun diikuti balasan serupa oleh lidahnya pula. Membalas sentuhan Eros. Juga mengikuti tarian intim yang terjadi di dalam mulutnya.
Hingga kemudian, pegangan tangan Leony di dada Eros berubah. Berganti menjadi remasan yang tak tertahankan ketika Eros mengisap lidah Leony. Hanya untuk menuruti hasrat dan gejolak yang memercik di dadanya. Agar ia bisa melumat lidah itu. Mencecap aneka rasa yang tersaji di sana. Dan melakukan semua kenakalan yang menjadi imajinasi liar setiap pikiran suami di muka bumi.
Dan mereka berdua, sepasang suami istri seakan tak peduli sudah berapa kali jarum jam berputar di porosnya. Yang cukup menjadi tanda bahwa ciuman memang tidak pernah menjadi aktivitas yang sebentar. Pelan-pelan, asap mengepul di nasi yang hangat telah memudar. Pun begitu juga yang terjadi dengan cah kangkung udang. Seperti turut ingin memberikan bukti bahwa waktu telah cukup lama berlalu.
Mungkin, ehm ... mungkin saja, baik Eros maupun Leony sama-sama akan terus hanyut dalam ciuman itu. Bahkan lebih dari itu. Bisa saja ciuman mereka berlanjut ke menu makan malam lainnya. Andai kala itu tidak terasa satu gemuruh di perut Leony yang membuat remasan tangannya di dada Eros berubah menjadi sentuhan penahanan. Terkesan mendorong Eros. Dan itu, sudah lebih dari cukup untuk menjadi isyarat.
Eros menarik diri. Dengan napas yang terasa kejar-mengejar, ia membuka mata. Menampilkan hiasan kabut di sepasang matanya. Begitu juga dengan Leony.
"Kenapa?" tanya Eros kemudian. Dengan suara yang parau dan napas yang payah. Sepasang bola matanya tampak mencari-cari di manik Leony yang bening.
Meneguk ludah, Leony menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk menenangkan diri. Karena ya ampun! Keadaan jantung dan gemetar di tubuhnya, sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti bahwa ia benar-benar terbuai oleh ciuman tadi. Dan sejujurnya, jauh di lubuk hati Leony yang terdalam, ia masih ingin melanjutkan permainan itu. Tapi ....
Leony tampak cemberut. Dari dada Eros, tangannya lantas turun ke perutnya. Berkata dengan ekspresi tak berdaya.
"Dedek lapar, Ros. Aku mau makan dulu. Ya?"
Astaga! Eros sontak tertawa. Dan ia menurunkan tubuhnya. Mengelus perut Leony dengan geli.
"Maaf ya, Dek. Papa sih keterusan cium Mama. Hahahaha. Mau makan sekarang?"
Leony terkekeh. Memukul pelan pundak Eros dan berkata dengan manja.
"Ros, udah deh. Kita makan dulu."
Eros bangkit, mengangguk. "Iya iya. Kasian Dedek udah lapar."
Membiarkan Eros meraih tangannya, mengajak dirinya duduk di meja makan, Leony kemudian mengatakan sesuatu yang membuat Eros menganga. Yaitu ....
"Ntar abis makan," kata Leony dengan senyum malu-malu. "Kita ciuman lagi ya?"
Astaga. Tapi, seumur hidup, baru kali ini Eros mendapati ada ciuman yang direncanakan. Maka tak mengherankan bila ia pun tergelak. Walau jelas, ia tak mungkin menolak. Justru yang ada malah balas menggoda.
"Oke. Tapi, dengan syarat. Abis ciuman, aku boleh jenguk Dedek."
Dan gerlingan nakal di mata Eros, membuat Leony terkekeh. Dengan penuh antusias pastinya.
*
Rasanya sekarang, sulit sekali untuk Leony bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Memalukan mungkin. Ehm ... atau mungkin justru menggelikan. Tapi, yang pastinya adalah fokus Leony bekerja saat ini terganggu dengan bayangan Eros. Oh, lebih tepatnya masih terganggu dengan bayangan ciuman mereka malam itu. Walau jelas sekali, sudah beberapa hari berlalu dari kejadian di meja makan tersebut. Namun, aneh sekali. Leony merasa hal itu baru saja terjadi semalam. Karena sungguh! Bahkan rasa dan sensasi bibir Eros seperti masih tertinggal jelas di bibirnya. Hingga tak jarang, Leony mengangkat satu tangannya. Hanya untuk meraba bibirnya sendiri.
Ya ampun, Ny.
Norak banget nggak sih?
Kamu tuh nggak terhitung lagi udah berapa kali ciuman sama Eros.
Nggak usah betingkah kayak kamu yang baru dapat ciuman pertama deh.
Yang ada sekarang kamu lagi hamil anak pertama coba.
Leony terkikik samar. Lantas tangannya turun dari bibirnya, menuju ke perutnya. Memberikan usapan lembut di sana.
Uh ....
Dedek tenang banget.
Pasti di dalam sana Dedek lagi senyum-senyum kayak Mama juga ya?
Ehm ... pasti Dedek juga lagi seneng kayak Mama.
Rasanya itu mungkin seperti Leony sedang menang undian berhadiah milyaran rupiah. Walau sebenarnya Leony tidak tau sih uang milyaran rupiah itu sebanyak apa. Hihihihi. Tapi, yang pasti adalah Leony merasa hari-harinya terasa amat menyenangkan. Ringan. Bahkan ketika ia berjalan, ia merasa seperti kakinya sudah tidak menginjak lantai lagi.
Hingga ketika hari menjelang sore, menunggu jemputan Eros pun lantas menjadi hal yang mendebarkan untuk Leony. Persis seperti dugaan Miska tempo hari. Leony tak ubahnya anak remaja yang baru kenal cinta monyet. Terutama selama menunggu, Leony tampak berpikir. Bahkan sesekali bergumam, bertanya pada diri sendiri.
"Sayur bening bayam? Pake bakso dan makaroni? Ehm ... atau aku masakin tumis buncis pake tempe aja ya? Eh, tapi kan ada tempe goreng sih. Entar Eros bosan lagi ikut-ikutan makan tempe terus sama aku. Ehm ...."
Miska di sebelah Leony, mengembuskan napas. Bertanya acuh tak acuh. "Ngapain? Lagi mikirin mau masak apa malam ntar?"
Tanpa berpaling, Leony mengangguk. "Iya. Bingung aku mau masakin apa buat Eros. Ehm ... enaknya apa ya?"
Tak menjawab pertanyaan itu, Miska yakin seratus persen bahwa Leony tidak benar-benar mengharapkan jawabannya. Hingga kemudian, ketika Miska memutuskan untuk tidak mengganggu Leony, ia justru mendapati bagaimana Sony yang justru bertanya pada cewek itu.
"Kamu lagi hamil gini ... masih masak gitu di rumah?"
Pertanyaan Sony membuyarkan bayangan tumisan sawi putih dan jagung manis di benak Leony. Ia menoleh pada rekan kerjanya itu dan mengangguk.
"Iya," jawab Leony. "Soalnya Eros itu suka makan masakan rumah. Apalagi kalau masakan aku."
Miska yang semula sudah tidak peduli lagi dengan Leony, sontak menoleh dengan horor. Ngeri melihat raut malu-malu di wajahnya. Membuat Miska merinding rasanya.
"Astaga, Ny," kesiap Miska. "Nyebut. Ya ampun. Apa kehamilan ngebuat kamu makin nggak waras ya?"
Tidak tersinggung sama sekali, Leony justru tertawa renyah menanggapi perkataan Miska. Karena memang saat itu perasaan Leony sedang dalam suasana yang bagus. Alih-alih merasa tak nyaman dengan kesiap Miska, ia justru geli karena menganggap itu adalah godaan.
"Kamu ini ya, Mis. Aku tuh ya beneran. Eros itu emang paling suka masakan aku. Sang istri tercinta. Hihihihi."
Miska memvonis bahwa perilaku Leony sudah tak tertolong lagi. Maka ia pun memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Ketimbang ia ikut-ikutan menjadi tidak waras kan?
Namun, layaknya masih senang berceloteh, Leony lantas berpaling pada Sony. "Kalau kamu nggak percaya, Mis. Coba tanya sama Sony. Dia juga pasti lebih senang makan di rumah. Apalagi kalau udah disiapkan sama istrinya kan?" Lalu mata Leony membesar. "Eh, kamu kan belum punya istri. Hihihihihi. Sorry sorry."
Tidak diragukan lagi, suasana hati Leony memang sangat bagus. Hingga ia nyaris tidak percaya bahwa sedetik kemudian, Sony justru benar-benar menjawab pertanyaan Leony.
"Kamu bener."
Mata Leony mengerjap. "Ya?"
Tampak tersenyum, Sony melanjutkan perkataannya. "Ya pasti senenglah kalau balik ke rumah dan makanan udah disiapkan sama istri."
"Tuh kan," imbuh Leony berseri-seri. "Eros tuh gitu. Ya ... walau aku nggak masak, seenggaknya harus ada sayur dan lauk untuk dia makan malam. Ehm ... dia nggak bisa kalau nggak makan nasi pas malam. Aneh aja."
Lantas Leony merenung. Karena mendadak saja ingatannya seperti terbawa ke masa lalu. Ketika ia yang terlalu lelah memutuskan untuk membeli bakso di depan kantornya untuk makan malam Eros. Tapi, saat itu Eros tidak memakannya. Rasanya menyedihkan.
"Dulu ... aku pernah beli bakso untuk Eros. Tapi, dia nggak makan. Katanya dia cuma mau makan nasi. Ya ... masakan aku," lirih Leony pelan dengan senyum samar. "Aku nggak tau kalau segitunya dia suka sama masakan aku."
Astaga. Kalau dulu Leony merasa tersinggung karena bakso yang ia beli tidak dimakan, maka mungkin karena pengaruh hormon kehamilan ia justru berpikir sebaliknya. Itu seperti membuktikan bahwa Eros memang cinta mati dengan masakannya. Hingga tanpa sadar, membuat senyumnya merekah. Dengan wajah yang berseri-seri sekali. Terutama karena di depan sana, sudah ada yang melambai padanya.
Tentu saja, Eros.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top