37. Efek Bahagia

Pagi yang cerah. Sama cerahnya dengan Leony yang tampak mengantarkan secangkir kopi hitam pada Miska. Seraya memamerkan senyum lebarnya kala itu.

"Ini kopinya."

Miska yang masih disibukkan dengan pekerjaannya di depan komputer, berpaling. Pada Leony yang menyodorkan secangkit kopi yang sempat ia tawarkan beberapa menit yang lalu.

Miska bangkit. Menyambut kopi tersebut dan menaruh di mejanya. Lantas mengucapkan terima kasihnya.

"Makasih."

Hanya tersenyum dan mengangguk, Leony lantas berlalu dari sana. Seraya membawa secangkit teh miliknya sendiri. Menuju ke balik kubikelnya sendiri. Meninggalkan Miska yang langsung meraih kembali telinga cangkir kopinya. Menghirup sejenak aromanya yang khas seraya memejamkan matanya.

"Ehm ...," gumam Miska menikmati hirupan aroma kopi. "Aroma kopi di pagi hari memang adalah yang terbaik."

Benar-benar menikmati aroma kopi yang wangi itu, nyaris membuat Miska terlonjak kaget dan menjatuhkan cangkirnya ketika ia membuka mata dan mendapati ada Sony di depan matanya.

"Ya ampun, Son. Ngapain kamu?"

Miska melotot. Alih-alih lanjut menikmati kopinya, cewek itu justru menaruh kembali cangkirnya ke atas tatakan. Khawatir minuman bewarna hitam pekat itu justru tertumpah.

Tak menampilkan sedikit pun rasa bersalah karena membuat kaget rekan kerjanya, Sony tampak bertahan pada kubikel Miska. Dengan ekspresi wajah yang tampak penasaran, ia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah cewek itu. Dahinya tampak sedikit berkerut, seperti tengah penasaran akan sesuatu.

"Ssst ...."

Miska bingung. "Apaan?"

"Aku mau nanya, Mis."

Sony menjawab pertanyaan itu dengan sedikit kesan misterius di sana. Membuat Miska mau tak mau terpengaruhi juga. Hingga turut mencondongkan tubuhnya ke arah cowok itu. Pun ikut-ikutan merendahkan volume suaranya. Juga menampilkan kesan misterius yang sama pula.

"Apa, Son?"

"Ehm ... akhir-akhir ini kok aku ngeliat Leony agak beda ya?" tanya Sony kemudian. "Beda banget dengan kemaren-kemaren. Dia kenapa?"

Dari sekian banyak hal yang bisa memberikan kesan misterius dalam percakapan mereka, Miska sama sekali tidak menyangka kalau topik yang dibawa oleh Sony adalah Leony. Ya ampun. Miska sampai bengong melihat Sony.

Kayak nggak ada pertanyaan lain yang lebih berbobot gitu?

Eh, ini malah ngomongin si ibu hamil.

Tampak tersenyum miris, Miska lantas menarik dirinya kembali. Mengembalikan tubuhnya pada posisi semula. Seraya mencibir sekilas.

"Alah, Son. Aku pikir apaan. Taunya tentang si Ibu Maliki."

Dahi Sony mengerut. "Ibu Maliki?"

Geleng-geleng, Miska melambaikan sekilas tangannya di depan wajah. "Maksudnya Leony," ralatnya kemudian. "Eh, emangnya apa yang beda sama dia?"

"Ya beda gitu. Kamu nggak ngerasa? Belakangan ini dia kayaknya happy gitu? Nggak kayak kemaren-kemaren. Bawaannya murung terus. Apa dia mendadak dapat jatah warisan atau apa?"

"Ck. Bukan dia yang mendadak dapat jatah warisan. Tapi, ya wajarlah dia happy gitu. Kan dia lagi hamil."

"Oh ...."

Hanya melirihkan satu kata itu, Sony tampak manggut-manggut. Namun, ketika cowok itu berniat untuk menarik diri, Miska terdengar bertanya.

"Emangnya kenapa kamu nanyain dia? Tumben banget."

"Ehm ... nggak sih. Cuma penasaran aja." Sony mengembuskan napas panjang. Matanya melirik sekilas pada ke seberang sana, di mana tampak Leony yang sedang menyesap tehnya dengan wajah yang berseri-seri. "Soalnya perasaan kapan hari kayaknya dia sering murung gara-gara berantem sama suaminya."

Mata Miska membesar dengan ekspresi kaget. Lalu diikuti oleh tangannya yang menggaruk tekuknya. Merasa heran.

"Kapan Leony murung gara-gara berantem sama Eros?"

"Itu ... kapan hari. Yang pas dia dimarahin sama Bu Donda. Kan waktu itu dia lagi ribut sama Eros sih."

Masalahnya adalah sudah terlalu sering Leony dimarahi Donda. Bahkan yang aneh adalah belakangan ini justru adegan marah-marah Donda pada Leony yang sudah lama tidak terjadi lagi. Maka tidak mengherankan sama sekali bila pada akhirnya Miska justru berpikir, mengingat di benaknya, kapan kejadian Leony dimarahi Donda di saat cewek itu tengah ribut dengan suaminya.

Hingga beberapa saat kemudian, mata Miska membesar. Ketika bayangan percakapan itu muncul di ingatannya. Itu adalah ketika Leony dimarahi lantaran kekacauan artikel yang ia unggah.

"Udah. Nggak usah dipikirin. Kan Bu Donda emang sering kena migrain."

"Bukan migrain Bu Donda yang aku khawatirkan. Tapi ...."

"Udah, nggak apa-apa. Abis ini tinggal kamu edit bentar. Terus unggah ulang. Beres deh."

"Semua ini gara-gara Eros ...."

Ketika ingatan itu membayang di benak Miska, mau tidak mau cewek itu membenarkan perkataan dan rasa penasaran Sony. Karena memang begitulah yang terjadi. Tapi ....

"Eh?" Mata Miska melotot. "Kok kamu bisa tau sih?" Karena jelas sekali Miska sekarang heran. Waktu itu hanya ada mereka berdua di pantry, tanpa ada Sony. "Kan Leony ceritanya sama aku aja."

O oh.

Wajah Sony seketika tampak berubah. Menampilkan kesan seperti dirinya yang baru saja terlepas mengatakan sesuatu yang tak seharusnya ia katakan. Hingga matanya mengerjap-ngerjap dengan ekspresi salah tingkah.

"Ehm ... itu ...."

Tidak langsung mendapati jawaban yang ia harapkan, Miska langsung bangkit dari duduknya. Tampak mendelik pada rekan kerjanya yang memiliki rambut hitam dengan ikal-ikal lebar di ujungnya.

Miska mengangkat satu tangannya. Dengan jari telunjuk yang menuding. "Kamu nguping obrolan aku sama Leony?" tanyanya lagi. "Iya? Ya ampun." Mata Leony semakin membesar. "Kamu nguping? Kurang kerjaan atau gimana, Son?"

"Ehm ...." Sony mendehem dengan penuh irama. "Aku bukannya nguping. Tapi, nggak sengaja aja denger."

Mata Miska masih melotot. "Nggak sengaja dengarnya komplit ya, Bun?"

Ups!

"Oke deh. Kalau gitu, aku balik ke meja lagi."

Seperti tidak ingin mengambil risiko, Sony langsung buru-buru menyudahi percakapan mereka. Berniat untuk segera beranjak dari kubikel Miska.

"Bye!"

Miska bengong. Melongo. Tak bisa menuntut jawaban yang ia harapkan ketika pada detik selanjutnya Sony sudah beranjak dari sana. Meninggalkan dirinya yang tampak tak percaya.

"Bye?"

Sementara itu, di balik kubikelnya, Leony dengan nyaman menggerakkan jari-jari tangannya di atas keyboard komputer. Memeriksa artikel yang masuk. Membacanya dengan saksama, lantas memberikan perbaikan-perbaikan di sana. Dari tata bahasa, susunan kalimat, hingga tanda bacanya.

Sekilas, tadi Leony tampak melayangkan tatapan matanya. Ketika sayup-sayup ia mendengar suara percakapan antara Miska dan Sony. Tapi, tak lama. Lantaran karena ada satu pesan yang masuk ke ponselnya.

[ Hubby ]

[ Bu Maliki, ingat ya. ]

[ Kerjanya jangan yang stres. ]

[ Terus, jaga omongan. ]

[ Jangan sampe Dedek jadi tertekan di dalam sana. ]

Dan demi apa? Leony dengan teramat nakalnya –layaknya nakal seorang istri pada suaminya, ia pun membalas seperti ini.

[ Hubby ]

[ Ehm .... ]

[ Bapak Maliko lupa ya? ]

[ Kan yang sering nekan-nekan itu bukan aku loh. ]

[ Tapi, ya kamu, Ros. ]

Melihat pesan yang ia kirimkan telah dibaca oleh Eros, Leony pun langsung buru-buru menutup mulutnya. Mencegah kikik tawanya menyembur dan membuat kegaduhan di ruang kerjanya. Hihihihi.

Walau jelas, di balik kubikel yang berbeda. Ada seseorang yang tampak terpana melihat pada wajah Leony yang berseri-seri. Tapi, sungguh. Akhir-akhir ini Leony memang terlihat begitu menarik. Mungkin karena efek lebih sering tersenyum dan tertawa?

Ehm ... bisa jadi.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top