34. Tentang Nama
"Aku jadi nggak sabar buat konsul bulan depan."
Leony bicara dengan mata yang memejam. Tampak menarik napas sekilas seraya beringsut dengan malas. Mendarat di dalam pelukan Eros sementara cowok itu tengah berusaha mengatur napasnya yang masih kacau. Seperti ia yang baru saja habis berlari melintasi satu pulau saja.
Sama malasnya dengan Leony –bukan malas sebenarnya yang tepat, melainkan lelah, Eros ikut-ikutan memejamkan mata. Walau jelas sekali ia tidak akan tidur dalam waktu dekat. Terutama karena pergerakan Leony di dekapannya, membuat ia terdorong untuk melakukan beberapa hal penutup. Menghirup aroma rambut Leony misalnya. Hanya sekadar untuk bermanja-manja ria.
"Kita baru aja konsul dua hari yang lewat loh," kata Eros lemah dengan senyum samar yang mampu ia hadirkan di wajahnya. "Udah mau konsul lagi aja." Dan ia terkekeh.
Sama seperti Eros, Leony pun yang seperti baru menyadari perkataannya sendiri, turut terkekeh. Memberikan getaran di sepanjang kulit Eros yang terasa mulai mendingin lantaran keringat yang perlahan mengering.
"Aku nggak sabar mau lihat Dedek," kata Leony kemudian seraya membuka matanya. Tampak sedikit mengangkat wajahnya, ia melihat pada Eros. "Penasaran mau tau. Kira-kira Dedek cewek atau cowok ya?"
Ah, sekarang Eros paham antusiasme Leony. Karena jelas, saat ini sepertinya rasa penasaran Leony berhasil menular pada sang suami. Buktinya, mata Eros pun membuka. Dan ia menunduk. Melihat pada istrinya yang tersenyum.
"Kamu juga penasaran kan sama jenis kelamin Dedek?"
Membawa tangannya untuk mengusap-usap lekukan di atas bokong Leony, Eros terdengar mendehem dengan ekspresi berpikir.
"Sekarang ya aku jadi kepikiran juga," jawab Eros jujur. "Kira-kira cewek atau cowok ya? Ehm ... menurut feeling kamu?"
Ah, percakapan itu dengan cepat menghadirkan rasa senang tersendiri yang membuat sepasang suami istri yang semula lelah lantaran habis bercinta langsung menjadi bertenaga lagi. Tampak sama-sama mendadak bersemangat kembali. Dengan pemikiran menakjubkan itu di benar mereka.
"Aku sih kepikiran kalau Dedek ini cowok, Ros."
Mata Eros tampak berbinar. "Kenapa bisa kamu mikir Dedek itu cowok?"
"Ehm ... soalnya aku ngerasa Dedek ini kayak kamu aja sih. Apa-apa maunya sama kamu. Bahkan selera makannya mirip kayak kamu."
Eros tersenyum lebar. Rasa bahagia itu tidak bisa ditahan untuk mengembang di dadanya. Rasanya amat membuncah hingga Eros tak yakin bisa menahan kebahagiaan itu untuk semakin membesar lagi.
"Ehm .... Tapi, bisa aja sih dia cewek walaupun sifatnya sama persis kayak aku."
Leony memikirkan kemungkinan itu. Memang bisa saja terjadi sih.
"Dan kalau anak kita cewek," kata Leony kemudian. "Ini pasti jadi anak yang ke mana-mana ngekor sama bapaknya. Dedek pasti lengket banget sama kamu."
"Pastilah Dedek bakal lengket sama aku. Orang aku bapaknya. Ehm ... jangan-jangan kalau udah besar ntar, kamu bahkan nggak bisa deket-deket sama aku, Ny. Hahahahaha. Soalnya Dedek terus yang deket-deket sama aku."
"Tapi, kalau Dedek cewek, kayaknya bagus juga."
Mendadak saja imajinasi itu tumbuh di benak Leony. Memperlihatkan seperti apa masa depannya nanti. Yang tentu saja melibatkan seorang gadis kecil. Yang bisa ia ajak ke toko aksesori terdekat setelah belanja baju bersama.
"Aku ada temennya. Jadi kalau nonton drama nggak bakal sendirian lagi."
Eros sontak terkekeh. "Cita-cita kamu mulia banget, Ny. Mau punya anak cewek biar bisa ada temen nonton drama."
Sepertinya pembicaraan mengenai jenis kelamin anak mereka benar-benar adalah topik yang tepat diangkat setelah mereka selesai bercinta. Karena bukannya apa, baik Eros maupun Leony tampaknya sama-sama antusias dengan kemungkinan itu. Cewek atau cowokkah? Sementara jelas, di benak mereka masing-masing mulai terpampang khayalan betapa menyenangkannya nanti kalau anak mereka sudah besar.
"Pokoknya aku beneran nggak sabar, Ros. Ya ampun. Ntar kalau kita udah tau jenis kelamin Dedek, berarti kita udah bisa langsung persiapan untuk buat nama dong?"
Karena anak pertama akan selalu menjadi hal yang istimewa. Bahkan dari sekadar nama. Calon ibu dan ayah pasti akan mengerahkan semua kemampuan terbaik mereka untuk memberikan nama yang indah untuk anak mereka, terutama karena dia adalah anak pertama. Hingga tak jarang fakta memperlihatkan bahwa untuk seorang anak, para orang tua bisa memiliki banyak pilihan nama. Ehm ... rasanya pasti menyenangkan.
"Nama?" Mata Eros membesar. "Ehm ... nama buat Dedek harus bagus."
Leony sependapat dengan Eros. "Ntar ah aku mulai mau nyari nama-nama bayi di Google. Hihihihi. Cari yang langka, biar nggak ada nama yang sama dengan Dedek kalau dia sekolah ntar."
Lihat? Bahkan untuk bayi yang belum lahir, orang tua dengan begitu hebatnya sudah berkhayal tentang masa sekolahnya nanti.
"Langka sih langka, Ny. Tapi, jangan sampe nyari nama yang buat lidah orang keseleo kalau manggilnya," gurau Eros. "Salah-salah ntar Dedek malah dipanggil Anu lagi saking namanya susah." Dan Eros semakin geli. "Eh, Anu sini dulu. Nama kamu susah banget sih, Anu. Hahahaha."
Tangan Leony melayang. Mendarat dalam bentuk satu pukulan yang tak seberapa di perut Eros. Walau jelas, ia juga tertawa.
"Ya jangan sampe ngasih nama yang susah juga sih. Ehm ... seenggaknya aku tau satu resep untuk buat nama."
Masih terkekeh, Eros bertanya. "Apa resepnya?"
"Resepnya adalah jangan sampe buat nama yang janggal. Maksudnya, kamu ingat nggak sama temen kita yang itu? Yang namanya Rudi Putra Herman Yanto."
"Hahahahaha."
Sudahlah. Eros yang semula akan perlahan menghentikan kekehannya, mendadak pecah lagi tawanya. Lantaran Leony yang mengungkit nama seorang teman mereka saat kuliah dulu.
Leony bangkit. Memilih untuk mengambil posisi tengkurap di atas dada Eros. Di wajahnya terpampang senyum geli.
"Pokoknya kita jangan sampe buat nama Dedek yang janggal, Ros. Ntar Dedek jadi bahan ketawaan teman-temannya."
"Hahahahaha."
Sepintas memang tidak ada yang salah dengan nama Rudi Putra Herman Yanto, tapi kalau dicermati lagi maka orang pasti akan merasakan sedikit keanehannya. Hal yang disadari jelas Eros dan Leony.
"Gara-gara Rudi, aku akhirnya tau kalau nama itu emang ada yang bisa digabung ada yang nggak. Terus ternyata nama itu ada kodratnya masing-masing. Ada yang kodratnya jadi nama depan, nama tengah, dan nama belakang. Ini kenapa nama depan dijadiin satu nama coba?" Leony tertawa. "Jadinya nggak enak di lidah. Mana berasa kayak empat orang di satu tubuh coba."
Sudahlah. Eros semakin terpingkal. Walau jelas, ia menyadari kebenaran perkataan Leony.
"Harusnya buat nama kayak orang tua kita kan?" tanya Eros. "Pradipta Erosandy. Ehm ... emang enak di lidah sih. Hahahaha."
"Eh, Leony Rosalie juga enak di lidah kok."
Tawa Eros terjeda. Dengan mata yang menyipit, ia lantas tersenyum menggoda. "Kamu mah emang enak banget di lidah aku."
Jangankan tawa Eros, tawa Leony pun seketika berhenti lantaran perkataan Eros yang satu itu. Alih-alih terus terpingkal, sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Leony tampak mengulum senyum malu-malu. Dengan pipi yang memerah.
"Kamu ini," kata Leony dengan sok manja. "Bisa aja omongannya."
Menikmati senyum malu-malu Leony, terutama karena euforia percintaan masih melingkupi jiwa dan raga Eros, membuat cowok itu merasa damai. Dengan tangan yang masih setia mengusap-usap punggung Leony yang polos, ia mendapati bahwa dirinya nyaris melewatkan kesempatan untuk bemesraan dengan Leony akhir-akhir ini.
Hingga kemudian, Leony kemudian membawa topik pembicaraan mereka ke jalur yang seharusnya. Alih-alih tetap meladeni pembelokkan maksud mengenai enak di lidah, Leony berusaha untuk kembali fokus pada nama anak mereka nantinya.
"Tapi, beneran deh ya, Ros. Kita harus buat nama Dedek yang bagus. Aku nggak mau Dedek menanggung malu seumur hidup gara-gara kita."
Eros geleng-geleng kepala. Merasa geli dengan ketakutan Leony yang terasa menggelikan.
"Iya iya," kata Eros kemudian. "Apalagi sebenarnya aku udah ada mikir satu nama sih. Ehm ... itu kalau Dedek ntar cewek."
"Oh ya?" Mata Leony tampak membesar. Ekspresi yang terbentuk di wajahnya menyiratkan kesan antusiasme yang tak mampu ditahan lagi. "Apa namanya?"
Namun, sayangnya adalah ... Eros justru sebaliknya. Karena dari tadi percakapan mereka nyaris lebih banyak bercandanya, maka cowok itu pun tak mampu menahan diri untuk kembali menggoda Leony. Hingga Leony benar-benar dibuat terpingkal ketika Eros berkata.
"Malika."
"Hahahahaha."
"Gimana? Malika bagus kan? Ya bagus dong. Kan dirawat sepenuh hati karena anak sendiri. Hahahahaha."
Leony ambruk di atas dada Eros. Dengan perut yang sakit saat tawanya tak kunjung berhenti.
"Anak kita bukan kedelai hitam, Ros. Nggak cocok pake Malika."
"Ah, kamu bener. Tempe dan tahu dibuatnya kan pake kedelai yang biasa. Ehm ... kalau gitu, gimana kalau Maliki?"
Sudahlah!
Leony menggeleng berulang kali. "Ya Tuhan, semoga Dedek cowok. Sumpah! Aku nggak mau Dedek dikasih nama Maliki. Hahahaha."
"Hahahahaha. Kalau cowok ... ntar kita namain Maliko? Hahahaha. Gimana?"
"Nggak mau! Hahahahaha."
"Maliko keren loh, Ny. Ketimbang Anu."
"Hahahahaha. Udah. Biar aku aja yang ngasih nama buat Dedek. Hahahaha. Kamu ntar nggak boleh ikut campur."
"Ck. Nggak boleh ikut campur. Kamu ingat? Kalau aku nggak ikut campur, Dedek nggak bakalan ada loh."
"Ya ampun, Eros! Hahahahaha."
Dan begitulah malam itu dilewati oleh Eros dan Leony. Dengan tawa yang menghiasi kamar mereka. Betapa pemandangan yang mendamaikan hati.
"Tapi, Maliko beneran keren loh, Ny."
"Eros, buat anak kok coba-coba?"
"Hahahahaha."
"Hahahahaha."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top