32. Tanpa Keraguan
Tidak mendapatkan kabar mengenai hasil konsultasi kandungan anak pertama, jelas adalah hal yang meresahkan calon nenek dan kakek. Ehm, calon om juga. Padahal jelas sekali bahwa seharian itu ada dua keluarga yang menunggu kabar terbaru dari Eros dan Leony. Mengenai perkembangan bayi mereka.
Namun, bersabar hingga hari berganti hari, pada nyatanya kabar yang mereka tunggu-tunggu tidak kunjung datang. Hingga mendesak mereka pada ujung kesabaran yang berbuah dengan satu kunjungan di pagi hari itu.
Pratiwi menekan bel unit apartemen dengan tidak sabaran. Pun dengan Utami yang juga sama tidak sabaran seperti besannya itu.
"Namanya anak-anak. Kalau lagi senang, lupa deh sama orang tua."
Pada akhirnya Pratiwi tidak bisa menahan diri untuk tidak menggerutu. Kentara sekali bahwa wanita paruh baya itu kesal lantaran belum mendapatkan kabar terbaru tentang cucu pertamanya.
Utami tertawa. "Jangankan kamu deh. Aku aja juga nggak dikabarin sama Leony. Ck. Apa kabar kalau dia udah melahirkan ntar? Jangan-jangan kita nggak disuruh ganti popoknya malah."
"Ah ...." Mata Pratiwi membesar. "Atau kalau Leony melahirkan ntar, kita suruh mereka tinggal di rumah aja dulu? Kamu liat kan? Ini tempat mereka kecil kayak gini."
"Yang penting, ini pintu mereka kenapa nggak buka-buka sih dari tadi?"
Percakapan antara Pratiwi dan Utami terjeda. Oleh gerutuan Rizal yang tampak kesusahan membawa satu butir melon di tangannya. Sementara di sebelahnya, tampak Adi yang juga membawa dua kantung plastik bewarna hitam. Remaja SMA itu tampak cemberut pula.
"Atau jangan-jangan ini akal-akalan Kak Eros? Biar kita nggak ketemu sama bumil?"
Sementara itu, di dalam unit, Eros dan Leony yang masih bergelung di tempat tidur, mulai merasa terganggu dengan bunyi bel yang terdengar terus-menerus. Membuat tidur nyenyak keduanya terusik. Tergantikan oleh keluhan Leony.
"Itu di unit kita atau tetangga sih, Ros?" tanya Leony setengah menggumam. "Kok dari tadi nggak berenti bunyi?"
Menggeliat, Eros masih memejamkan matanya. Terkesan belum ingin bangkit dari tidur. Alih-alih, ia justru mengusap lengan Leony. Cenderung menenangkan istrinya agar melanjutkan tidurnya kembali.
"Tetangga sebelah deh kayaknya. Ehm ... udah. Kita lanjut tidur aja. Kamu nggak boleh capek."
Memang berniat untuk melanjutkan kembali tidurnya, tetap saja Leony tak mampu menahan desakan untuk terkekeh sekilas. Lantaran perkataan Eros pastinya.
Kembali meringkuk dengan posisi yang nyaman, Leony menikmati usapan demi usapan Eros yang menenangkan. Bersiap untuk kembali nyenyak dalam tidur mereka. Berencana untuk menghabiskan hari Minggu itu dengan bermalas-malasan. Namun ....
"Ting! Tong!"
Mata Leony membuka dengan tiba-tiba. Suara bel lagi-lagi membuat tidurnya terganggu. Pun dengan Eros, yang urung memejamkan matanya. Alih-alih justru bergumam dengan kesan malas.
"Coba aku cek dulu deh. Kali aja itu tamu kita."
Tidak ingin melepaskan Eros, tapi Leony tidak punya pilihan lain. Hanya bisa memberikan ekspresi manyunnya dan mengingatkan cowok itu.
"Kalau bukan, cepet balik lagi ya."
Eros terkekeh. Seraya bangkit dari tidurnya, ia tak lupa melabuhkan kecupan di dahi sang istri.
"Iya iya. Aku lihat bentar."
Mengabaikan penampilannya yang berantakan, Eros langsung menuju ke pintu. Melihat melalui lubang pengintip hanya untuk membelalak ngeri. Lantaran pawai keluarga yang lagi-lagi terjadi di depan pintunya!
Astaga!
Ternyata yang dari tadi itu Mama?
Membayangkan akan semarah apa orang tuanya lantaran tidak dibukakan pintu dari tadi, maka Eros pun langsung memutar kunci. Buru-buru membuka pintu dan seketika mendengar suara seruan pecah di udara.
"Astaga! Akhirnya dibuka juga pintunya, Ros?"
"Papa pikir harus manggil pemdamkar buat buka pintu kamu."
Eros meringis. Langsung menyingkir ketika rombongan keluarganya memilih untuk segera masuk. Melewati dirinya yang tampak garuk-garuk kepala dengan ekspresi salah tingkah.
"Maaf," kata Eros menyusul ke dalam setelah menutup kembali pintu unit. "Aku nggak tau kalau pada mau datang ke sini."
Mereka berempat duduk di ruang tamu. Dengan barang bawaan yang langsung memenuhi meja di sana.
"Ya gimana kami nggak datang," kata Adi mencerocos. "Orang kami mau tau kabar bumil kita." Ia tersenyum lebar. "Mana Kakak, Kak?"
Dan ketika itu, di saat Eros baru akan menjawab pertanyaan Adi, terdengar derap langkah halus di belakang tubuh Eros. Disusul oleh suara gumaman seorang wanita yang tak lain adalah Leony. Dengan kesan malas lantaran baru bangun tidur.
"Siapa, Ros, yang---"
Langkah kaki Leony berhenti seketika. Pun dengan ucapannya yang menggantung di udara. Tergantikan oleh ekspresi terkejut dengan mata yang membola. Begitu alamiah untuk menunjukkan bahwa ia tak mengira bahwa sepagi itu mereka mendapat kunjungan keluarga mereka.
"Mama .... Papa .... Adek .... Mama ...."
Menggelikan, Leony layaknya sedang mengabsen kedatangan mereka.
"Kok pada datang sepagi ini?"
Utami bangkit sejenak. Demi meraih tangan putrinya, agar turut bergabung duduk bersama dengan mereka. Sementara Adi dengan sukarela memilih untuk melantai saja. Maklum, keterbatasan perkakas.
"Kami nungguin kabar kamu," jawab Utami. "Eh, taunya kalian nggak ada yang ngubungin kami. Jadi ya kami datang ke sini dong."
"Kabar aku?" tanya Leony bingung. "Kabar apaan, Ros?"
Kembali, sebelum Eros menjawab, adalah Rizal yang kali ini memilih untuk bicara.
"Tentu saja kabar kamu dan bayi kamu, Ny. Gimana kabar cucu Papa? Sehat?"
Sepertinya Leony masih belum mengerti apa yang terjadi pada saat itu. Hingga butuh waktu beberapa saat lamanya untuk ia paham. Itu pun karena Pratiwi yang menjelaskannya.
"Kemaren kalian konsul kan? Nah! Kami nungguin kabar kamu dan bayi kamu, Ny. Tapi, ya ampun. Mau kamu ataupun Eros, sama-sama nggak ada yang ngabarin kami."
Eros dan Leony langsung saling bertukar pandang. Hingga beberapa detik kemudian, mereka berdua kompak meringis bersamaan.
"Aaah .... Kabar Dedek?" tanya Leony salah tingkah. "Kabar Dedek baik kok. Sehat."
Adi tampak antusias. "Jadi, panggilannya Dedek ya, Kak? Kok hampir mirip kayak panggilan aku sih? Ehm .... Biar anaknya ntar cakep kayak aku ya?"
"Ck," decak Eros spontan. "Cakep kayak kamu apaan. Ya cakep kayak Kakak dong. Orang Kakak bapaknya."
Mendengar itu, Adi pun hanya bisa mencibir. Walau jelas, adu kata itu menerbitkan kekehan-kekehan geli di udara. Terutama Leony, yang lagi-lagi dibuat takjub. Lantaran tak percaya bahwa keluarganya masih antusias dengan kehamilannya. Karena jelas cewek itu sempat mengira kalau antusiasme keluarga mereka hanya akan bertahan di bulan pertama kehamilannya saja. Eh, ternyata tidak. Memang sih. Pengaruh anak pertama bukan kaleng-kaleng. Hihihihihi.
"Mama udah tau banget. Kalian pasti belum pada sarapan kan?" tanya Utami ketika pada akhirnya ia beranjak ke dapur. Bersama dengan Pratiwi dan juga Leony yang langsung memilih duduk di meja makan.
Leony tampak mengulum senyum. "Boro-boro sarapan, orang kalau Mama nggak datang, ya aku dan Eros masih pada tidurlah. Hihihihihi."
"Kalau kamu mau tidur sampe pagi sih Mama maklum, tapi kalau Eros?" tanya Pratiwi dengan geleng-geleng kepala. "Emang itu anak malasnya nggak tertolong lagi sejak masih kecil. Harusnya kalau istri hamil dan mau tiduran, ya suami dong yang siapin makanan."
Tak terlalu menganggap serius omelan Pratiwi, Leony lebih fokus dengan bolu yang disajikan ibu mertuanya. Satu piring penuh dan tampak menggugah selera. Merasakan air liurnya terbit, Leony memilih untuk bicara sejenak.
"Maunya Eros juga bangun, Ma. Tapi, aku yang nggak nyuruh dia bangun. Soalnya akhir-akhir ini aku nggak nyenyak tidur kalau nggak bareng dia."
"Iiih! Dasar pengantin baru."
Leony terkikik dengan ekspresi malu-malu ketika Pratiwi menukas gemas padanya. Begitupun dengan Utami yang di depan wastafel tampak membasahi perkakas kotor, geleng-geleng kepala mendengar kejujuran putrinya.
Mengulurkan tangan, Leony pun kemudian meraih sepotong bolu marmer. Dari penampilannya, ia berani bertaruh bahwa kue basah itu masakan Pratiwi. Memang, untuk urusan makanan, ibu mertuanya itu benar-benar ahlinya.
Dengan wajah yang semringah, Leony pun menikmati satu gigitan bolunya. Merasakan lezat makanan itu ketika menyentuh indra perasanya. Namun, ketika Leony akan menelan bolu itu, mendadak saja Leony merasakan perutnya bergemuruh.
"Eumph ...."
Bolu terlepas dari tangan Leony. Diiringi oleh suara tertahan cewek itu. Yang tentu saja langsung menghadirkan kecemasan para wanita di sana.
"Ny? Loh? Kamu mau muntah?"
"Ny? Ny?"
Mengabaikan kepanikan Utami dan Pratiwi, Leony langsung beranjak dari sana. Menuju ke kamar mandi dan langsung mengeluarkan isi perutnya. Satu aktivitas melelahkan yang sebenarnya sudah lumayan lama tidak ia alami lagi belakangan ini.
Mendengar keriuhan di dapur, para pria yang semula berkumpul di ruang tamu sontak bergegas ke dapur. Dan mereka langsung mendapati kepanikan di sana.
"Leony muntah lagi, Ros."
Mata Eros membesar. Jelas tau bahwa akhir-akhir ini Leony sudah tidak muntah lagi. Tapi, kenapa sekarang ia mengalaminya kembali?
"Padahal tadi cuma makan bolu loh," kata Pratiwi merasa bersalah. "Apa bolu Mama buat Leony mual lagi?"
Tak menghiraukan ibunya sendiri, Eros langsung buru-buru ke kamar mandi. Mengetuk pintunya dan memanggil nama istrinya.
"Ny, ini aku. Buka pintunya ya?"
Tak butuh waktu lama, pintu itu pun membuka. Menyilakan untuk Eros masuk. Dan mendapati Leony yang tampak berantakan duduk di kloset. Cewek itu, langsung memeluk Eros.
"Ini udah lama nggak muntah, kenapa aku mendadak muntah lagi?" tanya Leony langsung dengan meringis. "Apa Dedek lagi marah sama aku, Ros?"
Sebisa mungkin, Eros menenangkan Leony. Mengusap-usap punggungnya. "Nggak ah. Dedek nggak lagi marah."
"Tapi, ya ampun. Tiba-tiba aja aku mual-mual lagi. Padahal baru aja segigit bolu marmer itu masuk ke mulut aku. Aku laper, Ros."
Kalau ada satu orang yang tau persis bagaimana kehamilan membuat Leony kesusahan, maka itu pasti adalah Eros orangnya.
Tentu saja, kehamilan selalu menghadirkan kebahagiaan. Namun, bukan berarti tidak ada pengorbanan di sana. Yang mana pasti adalah ibu yang paling mengalaminya. Dan naik turun nafsu makan, itu adalah salah satu perjuangan yang dialami oleh Leony.
Berbicara mengenai makan, sebenarnya dari gadis Leony tidak pernah mengalami kesulitan. Nyaris semua makanan ia lahap. Tapi, jangan salah. Ketika ia hamil, cewek itu bahkan tidak bisa menikmati makanan seperti biasanya. Dari tidak nafsu, mual, hingga benar-benar muntah. Dan baru akhir-akhir ini Leony kembali bisa menikmati makanan seperti biasanya. Tapi, berkat bolu marmer, cewek itu muntah-muntah lagi.
"Kamu laper? Ehm ... aku masak bentar gimana?" tanya Eros menenangkan. "Kan harusnya Dedek makan masakan aku. Bukan malah makan masakan neneknya."
Menarik napas dalam-dalam, Leony membiarkan Eros merapikan penampilannya. Untuk kemudian, mereka berdua pun keluar dari kamar mandi. Dan menemukan keluarga mereka menunggu dengan ekspresi cemas.
"Nggak apa-apa, Ma. Cuma muntah dikit."
Namun, raut lelah di wajah Leony tentu saja menjelaskan semuanya. Membuat rasa bersalah menciptakan suasana yang tak enak di sekitar mereka. Hingga Eros pun berkata.
"Ini bukan karena bolu Mama. Tapi, ini kayaknya Leony emang nggak bisa makan makanan lain kalau bukan aku yang masak."
Atau mungkin lebih dari itu? Karena Eros mendadak ingat perkara singkong rebus tempo hari. Makanan yang semula tidak enak di lidah Leony, sontak berubah menjadi enak ketika istrinya itu memakannya dari dirinya.
Keanehan yang membuat Eros menatap pada perut Leony. Sementara jelas, yang lain justru menatap pada Eros. Seperti tidak percaya dengan perkataan cowok itu. Hingga kemudian, ketika pada di satu momen, Leony yang melihat Eros melahap bolu masakan ibunya, tak mampu menahan rasa inginnya. Memutuskan untuk mengambil sisa potongan di tangan suaminya itu. Dan keajaiban pun membuat mereka percaya. Bahwa sang bayi hanya ingin makanan yang berasal dari tangan ayahnya.
Karena sampai bolu itu habis, jangankan muntah, bahkan sedikit mual pun tidak dirasakan oleh Leony. Dan tentu saja, setelahnya celetukan pun terdengar.
"Dasar. Ini mah namanya beneran anak Eros."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top