30. Aura Berbeda
"Apa? Dedek ngomong apa? Oh ... iya iya. Ntar Papa jenguk lagi kapan-kapan. Iya iya. Janji deh. Asal Dedek juga janji, jangan buat Mama capek. Kalau Mama capek, Papa nggak bisa jenguk deh."
Entah percakapan apa yang saat itu sedang terjadi. Antara Eros dan perut Leony pastinya. Pembicaraan satu arah yang tentu saja penanya dan penjawabnya adalah sama-sama Eros. Tapi, cowok itu dengan teramat nakalnya berperilaku seperti kandungan Leony yang menjadi lawan bicaranya kala itu. Hingga membuat Leony tak mampu menahan tawanya.
"Hahahahaha. Udah deh, Ros. Kamu ini aneh-aneh aja."
Di bawah sana, Eros tampak mengangkat wajahnya. Melayangkan sorot geli ketika mendapati tawa Leony menyebabkan perut buncitnya bergetar halus. Hingga ia menjadi gemas. Dan tak mampu menahan desakan untuk tidak menggoda Leony lebih lanjut. Kali ini dengan meniup-niup pusar cewek itu. Hingga gelak Leony semakin pecah.
"Ih, malah diembus-embus. Hahahaha. Udah ah, Ros. Aku capek. Udah abis dijenguk, eh ... malah disuruh ketawa lagi."
Walaupun masih ingin menggoda, tapi perkataan Leony membuat Eros pun menghentikan perbuatannya. Bagaimanapun juga, ia tak ingin kalau Leony sampai benar-benar kelelahan. Apalagi kelelahan karena tertawa. Hihihihihi.
Eros mendaratkan satu kecupan terakhir di perut Leony, layaknya tanda pamit sebelum ia memutuskan untuk benar-benar beranjak dari sana. Menuju ke satu bantal tepat di sebelah Leony. Merebahkan tubuhnya dan langsung menyambut Leony yang menenggelamkan diri dalam rengkuhannya. Dengan wajah terangkat. Bibir yang terarah padanya. Yang tentu saja langsung disambut oleh Eros.
Mata keduanya, baik Eros maupun Leony, sama-sama memejam saat bibir mereka bertemu dalam satu ciuman. Dengan pergerakan yang lembut dan terasa mendayu-dayu, keduanya saling melumat. Bergantian mengecup. Lalu berakhir pada pagutan. Yang menimbulkan suara sensual di sekitar mereka.
Hingga ketika pada akhirnya ciuman itu berakhir, pelan-pelan mata mereka bertemu dalam sorot lurus yang sama-sama terasa syahdu. Terasa amat mendamaikan. Merasuk ke sanubari yang terdalam. Hanya untuk mengenyahkan semua pilihan yang ada di sisa malam itu. Dan menyisakan satu keputusan yang lantas mereka ambil bersama. Yaitu melepas kesadaran dengan saling berpelukan.
*
Untuk beberapa waktu lamanya, Omen sudah mengenal Eros. Walau terkadang mereka tidak melewati makan siang bersama lantaran sistem shift yang tak tertulis di antara keduanya, tapi bukan berarti hubungan keduanya tidak akrab. Alih-alih sebenarnya Omen justru memiliki waktu yang relatif lebih banyak bersama dengan Eros ketimbang dengan teman-teman mereka yang lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa cowok itu adalah orang pertama yang harusnya sadar dengan setiap perubahan yang terjadi pada Eros.
Sama seperti yang terjadi pada Sabtu pagi itu. Pertama kali melihat kedatangan Eros, Omen langsung menangkap ada sesuatu yang berbeda pada temannya. Tapi, terpikirkan kemungkinan bahwa efek cerah di pagi hari, maka Omen pun menganggap biasa saja ekspresi berseri-seri di wajah Eros.
Mungkin malam tadi tidur nyenyak.
Itu adalah dugaan sekilas lalu yang melintas di benak Omen. Yang langsung ia abaikan dan mengira bahwa semua seperti biasa-biasa saja.
Namun, pada akhirnya semua benar-benar membuat rasa penasaran Omen timbul tatkala menjelang siang ia mendapati Eros yang tampak bersiul-siul seraya meracik satu kopi pesanan pelanggan mereka.
"Satu cappuccino latte siap!"
Seorang karyawan dengan papan nama bertuliskan Desi tampak menyambut minuman itu. Lantas beranjak demi mengantarkannya pada sang pemesan. Meninggalkan Eros yang lanjut menerima pesanan lainnya.
"Ada kabar bagus ya? Atau apa?"
Eros yang baru saja mendudukkan bokongnya di satu kursi yang tersedia di dapur, mengerutkan dahi. Tampak mengelap tangannya yang terasa sedikit lengket dengan sehelai serbet seraya memikirkan maksud pertanyaan Omen, tapi sayangnya ia tidak memiliki petunjuk sedikit pun. Apa maksud dari pertanyaan temannya itu.
Mata Eros tampak berkedip-kedip. "Maksudnya?"
"Kamu keliatan seneng banget hari ini," jelas Omen kemudian. "Dari pagi aku perhatiin, kamu yang kayak happy gitu. Ada apa? Ada kabar bagus ya? Bagi-bagi dong."
Emang rela bagi-bagi?
Eros tampak terkekeh. "Apaan coba. Orang aku biasa aja," katanya geli. "Nggak ada apa-apa ah. Perasaan kamu aja."
"Ck."
Yang pasti, tentu saja Omen tidak percaya perkataan Eros. Orang terlihat sekali kok bedanya Eros hari itu dibandingkan dengan hari lainnya. Bahkan nih ya kalau mau ditambah efek dramatis, Omen yakin ia tidak perlu memutar lagu untuk menghibur para pelanggan yang sedang datang ke toko kopi mereka. Cukup suruh Eros berdiri dan bernyanyi saja. Pasalnya, kalau mau dihitung-hitung, dari pagi sampai menjelang sore itu, entah sudah berapa album lagi berhasil disenandungkan oleh Eros!
Bersikeras untuk tidak akan menjawab pertanyaan apa pun itu bila menyangkut senyum, senandung, ataupun siulannya, Eros memastikan Omen meninggalkan dirinya terlebih dahulu sebelum pada akhirnya ia merogoh sakunya. Mengambil ponsel hanya untuk menerbitkan senyum yang lebih lebar lagi di wajahnya.
Ups!
Ada pesan dari Mamanya Dedek.
[ Honey ]
[ Balik jam berapa, Ros? ]
[ Ini malam Minggu loh. ]
[ Jalanan pasti macet. ]
Eros melihat pada jam yang tertera di layar ponselnya. Sudah menunjukkan jam lima sore. Dan itu menyadarkan Eros mengapa toko kopinya terasa mulai padat kembali.
[ Honey ]
[ Paling aku cabut dari sini sekitar jam enam. ]
[ Kamu ada mau nitip sesuatu gitu? ]
[ Biar aku beliin pas balik ntar. ]
Eros sebenarnya bisa merasa bahwa terlepas dari perubahan sikap Leony, sebenarnya cewek itu tidak terlalu merepotkan selama masa kehamilannya. Ehm ... ini yang berkaitan dengan makanan kesukaannya sih. Tercatat cuma tempe dan tahu goreng. Yang agak merepotkan sih peuyeum tempo hari. Tapi, selebihnya tidak ada. Maka dari itulah mengapa Eros sebenarnya sedikit merasa khawatir. Jangan-jangan Leony tidak mengatakan keinginannya hanya agar tidak merepotkan dirinya.
Hanya saja, pesan balasan Leony kemudian membuat Eros sedikit tertegun.
[ Honey ]
[ Nggak ada mau apa-apa sih. ]
[ Kamu balik cepet aja aku udah seneng. ]
[ Biar aku nggak kesepian di sini. ]
[ Kalau malam aku kan takut sendirian, Ros. ]
Menarik napas dalam-dalam, Eros merasakan perasaan tak nyaman karena pesan itu. Walau jelas, ia pun membalas dengan sigap.
[ Honey ]
[ Iya, ntar aku balik cepet. ]
Memikirkan bahwa dirinya akan pulang lebih cepat, maka Eros pun bangkit. Kembali menaruh ponsel di kantung celananya dan kembali membantu di dapur. Setidaknya, sebelum ia pulang nanti Eros memastikan sudah cukup menolong.
Sudah sepuluh menit berlalu dari jam enam sore, Eros melepas celemek yang ia kenakan.
"Ini aku tinggal ya. Sorry, tapi aku harus balik cepet hari ini."
Omen yang tampak masuk seraya membawa satu nampan mengerutkan dahi melihat Eros yang terkesan terburu-buru.
"Loh? Udah mau balik?" tanya Omen. "Kan anak-anak pada mau ke sini, Ros."
Eros yang semula sudah akan keluar dari dapur, sontak mengurungkan niatnya. Alih-alih ia justru merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponselnya yang memang dari tadi bergetar. Hanya saja ia abaikan karena membuat pesanan para pelanggan.
Ada banyak pesan yang masuk. Dan itu adalah pesan dari teman-teman grupnya.
[ Mumpung awal bulan. ]
[ Udah deh. Kumpul di La Coffee aja. ]
[ Sekali-kali buat kaya teman sendiri. ]
[ Hahahaha. ]
[ Jam delapan ya pada kumpul? ]
[ Oke. ]
Omen menghampiri Eros. Tampak tak mengerti dengan raut bingung yang tercetak di wajah temannya itu. Hingga ia pun tak mampu menahan rasa penasarannya.
"Kenapa?" tanya Omen kemudian. "Kamu ... ikut gabung kan?"
*
Leony tampak mengusap perutnya beberapa kali. Seraya berdiri di depan cermin. Dengan mengenakan gaun selutut yang sudah lama tidak ia kenakan, lantaran tidak ada acara yang tepat untuk ia kunjungi dengan mengenakannya.
Namun, sekarang sepertinya berbeda. Berkat pujian yang ia terima dari Eros kemaren, Leony merasa bahwa dirinya amat cantik. Jadi jangan heran bila kala itu, selagi menyiapkan makan malam, ia justru tampak berdandan.
Bersenandung senang, Leony menata makanan di atas meja makan.
"Capcay kesukaan Eros, ayam goreng kesukaan Eros, dan sambal kesukaan Eros," kata Leony tersenyum lebar. "Semuanya udah siap."
Masih menunggu kepulangan Eros, Leony memutuskan untuk menutup sejenak sajian itu dengan tudung saji. Dengan perasaan berdebar-debar. Menebak-nebak. Akan sesenang apa Eros kalau melihat malam Minggu itu dirinya memasakkan makanan kesukaan Eros. Ditambah lagi dengan penampilannya yang terlihat segar dan cantik.
Hingga kemudian, ketika jam sudah menunjukkan angka delapan, Leony tampak mengerutkan dahi. Bingung.
"Kok dia belum sampe ya?" tanya Leony pada dirinya sendiri. "Aku chat juga centang satu."
Leony menyadari bahwa sejak setengah jam yang lalu, pesan yang ia kirimkan pada Eros tidak terkirim. Entah ponsel Eros yang habis dayanya atau justru paket internet cowok itu yang habis, Leony tidak tau dengan pasti. Yang penting adalah ... sekarang Leony merasa bertanya-tanya.
"Katanya dia mau balik cepet, tapi kok sampe sekarang belum sampe juga sih?"
Mungkin di situasi lain Leony bisa bersikap sedikit tenang. Tapi, kali ini tidak. Fakta bahwa Eros belum pulang membuat jantungnya berdetak dalam degupan yang tidak nyaman. Hingga menghadirkan getar-getar yang membuat tangannya terasa tak padu ketika mengangkat ponsel. Berniat untuk menghubungi Eros.
"Nomor yang anda tuju sedang---"
Leony langsung memutuskan panggilan itu. Dengan menarik napas dalam-dalam, berusaha agar pikirannya tidak ke mana-mana. Berusaha agar ia tidak mendadak stres dengan kenyataan kala itu.
"Eros," kata Leony dengan suara bergetar. "Kamu kok belum pulang?"
Leony menyalahkan hormon kehamilan yang membuat ia mendadak begitu mudahnya menjadi cewek cengeng. Tapi, sungguh. Kenyataan bahwa Eros belum pulang membuat perasaan Leony seperti diremas-remas. Membuat air matanya tak mampu dibendung lagi. Hingga menetes dalam bentuk deraian bening di pipinya. Tepat ketika suara kesiap itu pecah di udara.
"Ny? Kamu kenapa nangis?"
Leony mengangkat wajahnya. Dalam pandangan yang kabur, ia seperti melihat wajah Eros.
Mungkin halusinasi.
Atau mungkin kenyataan.
Namun, tak peduli itu halusinasi atau kenyataan, Leony memilih untuk menghambur. Dan ia menyadari bahwa itu benar-benar Eros yang datang.
"Astaga," desah Eros seraya membiarkan Leony masuk ke dalam pelukannya. "Kamu bukannya nangis gara-gara aku kan?"
Tak menjawab, Leony memilih menenggelamkan wajahnya yang basah di dada Eros. "Kamu bilangnya mau balik jam enam. Tapi, ini udah jam delapan. Mana kamu nggak bisa dihubungi lagi. Kenapa kamu balik lama?"
Eros tidak mau, tapi ia sontak terkekeh. "Ny, ya ampun. Hahahaha. Aku emang cabut dari toko jam enam. Tapi, kan macet, Ny. Makanya aku sampe lama."
Leony tak membalas perkataan itu. Alih-alih semakin menyurukkan wajahnya di dada Eros. Membiarkan Eros untuk lanjut bicara.
"Mana aku tadi mampir juga. Makanya aku tambah lama sampenya."
Mengeratkan pelukannya, Leony mengeluh. "Lain kali jangan mampir-mampir lagi. Langsung pulang aja. Aku nungguin kamu soalnya."
"Hahahaha."
Eros tertawa lagi. Tapi, tetap. Satu tangannya masih mengusap-usap punggung Leony. Berusaha untuk menenangkannya.
"Gimana aku nggak mampir? Ehm ... kalau aku nggak mampir, aku nggak bisa beliin kamu ini dong."
Menyentil rasa penasaran Leony, perkataan Eros berhasil membuat isakan cewek itu terjeda. Bahkan lebih dari itu, Leony pun lantas tampak sedikit menarik diri. Walau jelas, tidak benar-benar melepaskan Eros dari pelukannya.
"Ka-kamu beliin aku apa?" tanya Leony dengan pundak yang tampak berguncang sekali. "Apa?"
Kala itu Leony baru menyadari bahwa sedari tadi ada satu tangan Eros yang bersembunyi di balik punggungnya. Cukup menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang cowok itu bawa. Dan tentu saja, itu pastilah sesuatu yang dibelikan oleh sang suami dalam perjalanan pulangnya.
Eros tersenyum. Mengeluarkan tangannya dari balik punggung. Bersama dengan sebuket bunga mawar merah yang tampak cantik. Sesuatu yang sontak saja membuat Leony tak mampu berkata-kata lagi.
"Eros ...."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top