23. Pelan-Pelan Tampak

Leony menahan sejenak napasnya di dada. Entah mengapa, saat itu perasaannya mendadak beraneka rasa. Tak mampu untuk ia uraikan dengan kata-kata. Lebih dari itu, sepertinya hanya air mata yang mampu memberikan sedikit isyaratnya.

"Astaga, Ros. Pe-perut aku mulai besar. Dedeknya mulai besar, Ros."

Bahkan sepertinya, penampakan perubahan yang terjadi pada perut Leony, tidak hanya berdampak pada empunya. Karena jelas Eros juga mengalami hal yang sama. Cowok itu mendadak seperti merasakan bongkahan tak kasat mata muncul dan menyumpal tenggorokannya. Nyaris membuat ia tak bisa bernapas lagi. Dan tepat ketika kulitnya menyentuh gundukan samar di sana, Eros pun kehilangan kata-kata.

Sebisa mungkin, Eros berusaha untuk menarik udara. Sungguh. Ia tidak ingin mendadak pingsan lantaran rasa bahagia yang menyeruak di dadanya itu.

Tu-tunggu?

Ba-bahagia?

Eros mengerjapkan matanya. Merasa ada yang berbeda di sana. Hingga ia menyadari sesuatu.

Tentu saja aku bahagia.

Cowok mana yang nggak bahagia mendapati hal seperti itu?

Maka menuruti dorongan hati yang tak mampu ia kekang, jari-jari tangan Eros mulai melepaskan diri dari pegangan Leony. Layaknya ia yang memiliki hak sendiri, tangan Eros perlahan bergerak. Menyusuri perut Leony dan dengan jelas merasakan perubahan di sana. Samar memang. Tapi, tentu saja tak bisa dipungkuri lagi perbedaannya.

"Pe-perut kamu mulai buncit, Ny."

Leony buru-buru menutup mulutnya. Terlalu bahagia dengan kenyataan itu hingga ia tak mampu untuk bicara.

"Be-berarti dia sehat kan ya, Ros? Dia baik-baik aja kan?"

Eros refleks mengangguk berulang kali. "Kamu udah jagain dia. Pasti dia bakal sehat."

Ada air mata yang menetes di pipi Leony. Tentu saja itu adalah air mata kebahagiaan. Karena di baliknya, bibir Leony tampak merekah dalam satu senyuman lebar.

"Mama pikir kamu nggak bakalan sehat, Dek. Mama sering muntah. Sering pingsan. Nggak nafsu makan," lirih Leony seraya menatap pada perutnya. "Tapi, untung Papa mau masakin tempe dan tahu goreng buat Mama." Dan setelah mengatakan itu, Leony mendadak saja menghambur pada Eros. "Eros!"

Eros tentu saja kaget. Tidak mengira bahwa Leony akan memeluknya tiba-tiba seperti itu. Terlebih lagi dengan air mata yang terurai dengan teramat teras. Hingga tak butuh waktu lama, Eros bisa merasakan kaus yang ia kenakan jadi basah.

Leony mengeratkan pelukannya. Terisak. Lantas merasakan satu tangan yang besar mendarat di punggungnya. Bergerak membelai.

Mungkin maksud Eros baik. Untuk menenangkan Leony. Tapi, sungguh! Tidak ada yang bisa memperkirakan dampak hormon bagi ibu hamil. Karena selanjutnya, Leony malah semakin menangis.

"Ny ...."

Leony membenamkan wajahnya di dada Eros. Pundaknya berguncang dengan parah di sela-sela tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

"Ka-kalau kamu nggak ada, aku dan Dedek pasti udah kelaparan, Ros. Padahal aku selama ini malas. Aku selalu bentakin kamu. Tapi, kamu selalu ngurusin aku. Lihat ini. Dedek cepat besarnya. Ini pasti gara-gara tempe dan tahu goreng kamu."

Sungguh!

Eros langsung merasakan panas di matanya berubah seperti lahar yang membakar. Walau tentu saja, kehadiran tempe dan tahu goreng membuat rasa geli hingga kedua sudut bibirnya berkedut pula.

"Iya, Ny, iya ...."

Hanya itu yang dikatakan Eros. Menarik napas dalam-dalam seraya tetap membelai istrinya itu. Membiarkan Leony untuk terus bicara.

"Berapa hari aku nggak nafsu makan. Badan aku lemes terus. Sering pingsan. Selama itu, cuma tempe dan tahu goreng kamu yang buat aku bertenaga lagi, Ros."

Menggigit bibir bawahnya sekilas, Eros memejamkan mata dan geleng-geleng kepala mendengar celotehan Leony. Menggelikan. Namun, mengapa Eros merasa ada yang mengalir di matanya?

Maka Eros pun buru-buru menyeka matanya. Tepat sebelum genangan itu benar-benar berubah menjadi air mata pula. Sebisa mungkin, Eros berusaha untuk menahan gejolak perasaannya sendiri. Terutama jelas, karena ia pun harus menenangkan Leony.

"Iya, Ny, iya ...."

"Ja-jadi ...," lanjut Leony seraya sesegukan. "Ka-ka-kamu jangan lupa buat masakin tempe dan tahu goreng aku malam ini, Ros. Biar aku tetepa ada tenaga."

Seketika saja rasa haru yang sempat menyelimuti Eros berubah menjadi kekehan. Hingga membuat dadanya bergetar dan Leony menarik pelukannya. Dengan wajah basah, ia mengerutkan dahi.

"Ke-kenapa kamu ketawa?" tanya Leony masih dengan sesegukannya.

Eros sekarang tidak tertawa. Tapi, meringis. Antara ingin tertawa atau justru menangis. Hanya saja, cowok itu tetap mengangguk.

"Iya, Ny, iya. Tetap aku masakan malam ini," ujar Eros seraya meraih pundak Leony. Sedikit mendorongnya hanya untuk menciptakan jarak yang ia perlukan, agar ia bisa melihat kekacauan yang dialami Leony lantaran menangis. "Tapi, kamu jangan nangis. Kamu ingat kan kata dokter kemaren apa? Kamu nggak boleh stres. Nggak boleh sedih. Semuanya bakal dirasa sama Dedek."

Leony mengerjap-ngerjapkan matanya. "Aku juga nggak mau nangis, Ros. Tapi .... Tapi .... Aku mendadak aja mau nangis."

"Ssst ...."

Eros buru-buru menenangkan Leony. Mengusap air mata yang mengalir di pipi itu dan menunduk demi mengecup dahinya.

"Kalau kamu nangis terus, aku nggak mungkin ninggalin kamu buat goreng tempe dan tahunya loh. Gimana?"

Pertanyaan itu membuat Leony menggigit bibir bawahnya. Pun buru-buru mengelap asal air matanya. Juga berusaha untuk menghentikan segukannya yang masih berlanjut.

"A-aku nggak nangis lagi."

Kembali, Eros meringis melihat kelakuan Leony. Persis seperti anak kecil yang berusaha untuk meyakinkan orang tuanya. Tak ada bedanya sedikit pun.

"Jadi, kamu baik-baik di kamar ya? Aku tinggal bentar buat masak," kata Eros kemudian. "Ingat? Jangan nangis. Kasian Dedeknya."

Mendengar itu, spontan Leony kembali menunduk. Melihat pada perutnya yang telah kembali tertutupi oleh pakaian tidurnya. Dan ketika itu, ia mendapati bagaimana Eros yang mengelus perutnya dengan lembut. Sedikit menunduk, Eros mengambil posisi sejajar dengan perut Leony. Dan layaknya ia berhadapan dengan anak yang telah lahir, Eros berkata.

"Dedek jagain Mama ya? Bilangin ke Mama, jangan nangis. Ntar Dedek juga sedih di dalam sana."

Leony sontak tersenyum malu-malu mendengar perkataan Eros. Hingga refleks saja tangannya melayangkan pukulan lembut pada cowok itu. Dengan bibir yang tampak mengerucut dengan kesan cemberut karena tersipu, ia berkata.

"Ayo, buruan masaknya."

"Iya iya. Aku tinggal bentar."

Tanpa melupakan handuknya, Eros lantas keluar dari kamar. Langsung menuju ke dapur setelah terlebih dahulu menjemur handuk di tempat yang semestinya.

Mengambil sepapan tempe dan empat balok tahu putih, Eros pun tidak membuang-buang waktunya. Malah ia cenderung berusaha untuk bisa masak dengan lebih cepat. Bukannya apa, tapi ia tau ada yang sedang menunggu masakannya.

Menunggu tempe itu masak di dalam minyak penggorengan, Eros tak kuasa untuk menahan keliaran benaknya untuk memutar kejadian tadi. Hingga membuat ia mengangkat tangan. Melihat pada jari-jarinya tangannya. Dan Eros berani bersumpah. Ia tak pernah merasakan sensasi yang menyerupai sensasi ketika jarinya tadi menyentuh gundukan samar itu di perut Leony.

Anak mereka sedang tumbuh di dalam rahim Leony. Bahkan untuk hitungan waktu yang tak terasa telah berlalu beberapa hari, Eros tidak tau bahwa pertumbuhannya akan senyata itu. Mungkin ... mungkin beberapa hari ke depan, perut Leony akan semakin nyata buncitnya. Dan mungkin ... mungkin tak butuh waktu lama lagi untuk kemudian ia merasakan pergerakan halus dari dalam sana. Ketika bayi mereka mulai menendang.

Eros buru-buru menarik napas dalam-dalam. Mengusap wajahnya dengan kasar dan merasakan samar setitik air di sudut air matanya. Dan ia tergelak. Seraya mengangkat tempe yang telah matang sempurna itu, ia berpikir.

Ini kenapa aku mendadak melankolis juga?

Ya ampun.

Apa hormon ibu hamil juga bisa nyasar ke bapaknya?

Ketika pada akhirnya semua irisan tempe dan tahu itu telah menjadi gorengan siap santap, Eros langsung menata semuanya di dua piring terpisah. Setelah menaruhnya pada satu nampan berikut dengan semangkuk kecil saos cabenya dan tak lupa dengan segelas air putih, Eros pun meninggalkan dapur. Menuju ke kamar. Untuk memberikan makanan itu pada---

Langkah kaki Eros terhenti tepat ketika ia baru selangkah masuk ke kamar. Sedetik ia tertegun, tapi di detik selanjutnya ia justru geleng-geleng kepala dengan ekspresi geli. Dan entah mengapa, pada saat itu suara Rizal seolah menggema kembali di benaknya.

"Papa dulu bahkan rela jalan berkilometer jauhnya demi nyari empek-empek kapal selam buat Mama, Ros. Waktu itu taksi mana ada. Angkot masih sepi. Terpaksalah Papa jalan kaki. Nah, itu baru laki! Laki itu harus jantan! Pantang menyerah."

"Ah .... Iya iya iya, Pa."

"Walau pada akhirnya pas Papa pulang Mama kamu udah nggak selera makan empek-empek kapal selam lagi sih. Emang dasar ibu hamil."

Sepertinya, kali ini Eros sedikit bisa mengetahui mengapa ketika menceritakan hal itu Rizal tampak cemberut. Mungkin karena rasanya seperti ini. Yang ketika Eros selesai memasak semuanya, ia justru mendapati Leony yang sudah tak sadarkan diri dalam tidurnya yang lelap.

Pelan-pelan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang bisa mengusik tidur ibu hamil, Eros menaruh nampan itu di meja. Mungkin saja nanti Leony terbangun di tengah malam dan merasa kelaparan.

Beranjak ke tempat tidur, Eros kemudian menyamankan posisi Leony. Mengatur letak bantal di kepalanya dan lantas menyelimutinya. Dan ketika itulah, ia melihat bagaimana wajah Leony yang tampak kusut. Acak-acakan. Dengan beberapa jejak air mata yang masih tertinggal di pipinya.

Eros mengembuskan napas panjang. Tau dengan pasti bahwa setidaknya dalam kurun waktu tidak sampai satu jam, Leony sudah menangis dua kali. Dan penyebabnya bukan hal yang besar. Tapi, tangisan Leony jelas bukan tangisan yang kecil. Nyatanya, ketika Leony telah tertidur, sesekali masih terlihat ia yang sesegukan. Hingga mendorong Eros untuk membelainya. Agar cewek itu lebih tenang.

Hingga kemudian, entah bagaimana ceritanya, Eros mendapati satu tangan Leony telah mendarat di atas perutnya. Dan ketika ia tertegun, Leony justru beringsut semakin mendekat padanya. Dengan pundak yang masih sesekali berguncang, ia menyurukkan wajahnya pada Eros.

Eros menahan napas. Merasa gamang dengan keadaan itu untuk beberapa saat. Walau pada akhirnya, pelan-pelan tubuhnya merasa santai juga. Hingga dengan penuh kesadaran, Eros kembali membelai Leony. Terus menenangkannya hingga Leony semakin nyaman dan sesegukannya hilang. Dan ketika itulah belaian Eros berhenti. Lantaran kesadarannya yang turut menghilang pula.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top