22. Samar Berubah

Mungkin sekitar jam tujuh malam ketika Eros menghentikan laju motornya di area parkir gedung apartemennya. Sengaja pulang lebih cepat dari biasanya, Eros mendapati bahwa keputusannya tadi memang tepat. Di atas sana, di langit nun jauh itu, Eros bisa melihat dalam kegelapan sekalipun awan bewarna abu-abu tampak semakin pekat. Dan tak butuh waktu lebih lama lagi, rintik air hujan pun turun membasahi bumi. Fyuh! Waktu yang sangat tepat. Setidaknya hujan turun ketika Eros sudah sampai.

Langsung menuju dan menaiki satu lift, tak butuh waktu lama untuk Eros kemudian tiba di lantai tempat unitnya berada. Pintu lift membuka dan ia pun segera keluar.

Masuk ke unit, Eros mendadak tertegun ketika baru satu langkah kakinya melewati pintu. Dahinya tampak berkerut ketika indra penciumannya menangkap aroma yang menggiurkan. Sontak membuat perutnya bergemuruh. Menimbulkan bunyi yang teramat riuh. Seperti ada ribuan demonstran yang sedang melakukan unjuk rasa di dalam sana.

Tunggu.

Ini ....

Tidak menuntaskan pertanyaan penasaran itu di benaknya, Eros langsung buru-buru menutup pintu. Membuka sepatunya dengan asal dan bergegas masuk. Menuju ke belakang. Tepatnya ke dapur.

"Udah balik?"

Eros tergugu. Matanya mengerjap sekali untuk pada akhirnya ia menyadari bahwa Leony bertanya padanya. Setelah menyisihkan satu irus yang pegang ke satu piring kecil di meja kompor.

"I-i-iya," jawab Eros sedikit terbata. Lalu, dengan langkah ragu-ragu ia beranjak. Mendekati Leony yang tampak sibuk. "Kamu masak apa?"

"Aaah ... ini."

Leony tampak mondar-mandir. Memindahkan ayam goreng yang ia tiriskan di penyaring minyak ke satu piring. Lalu menaruh hidangan itu di atas meja makan.

"Tadi aku kepikiran udah lama nggak masak sup sih," lanjut Leony seraya memadamkan kompor. "Makanya malam ini aku masak sup makaroni. Kamu belum makan di luar kan?"

Karena jelas sekali, semenjak Eros tau bahwa Leony hamil dan istrinya itu terkena gejala malas yang bisa saja dialami oleh ibu hamil -sesuai dengan penjelasan dokter Yusnida-, cowok itu memutuskan untuk makan di luar. Eros tidak berharap Leony mendadak rajin dan masak untuk dirinya. Lebih dari itu, Eros bahkan sadar bahwa justru dirinya yang akhir-akhir ini masak demi Leony. Ya walau hanya tempe dan tahu goreng sih.

Berkaca dari itu, maka setiap pulang dari toko kopinya, Eros selalu menyempatkan waktu untuk mampir ke warung makan atau resto terdekat. Sekadar untuk menikmati makan malamnya sejenak sebelum pada akhirnya benar-benar pulang ke unit. Mau bagaimanapun juga, Eros tidak mau ia mendadak ditelepon oleh Pratiwi lantaran Leony yang mengadu karena dirinya yang pulang terlambat.

Begitu juga dengan malam itu. Jujur saja, sebelum pulang, Eros juga sudah makan. Untuk mengganjal perutnya dan juga untuk tenaga demi masak tempe dan tahu goreng Leony. Tapi, sekarang di hadapannya Leony justru sudah masak?

Mendapati tak ada jawaban dari Eros, Leony pun bisa menebak.

"Kamu udah makan di luar ya?"

Mata Eros spontan mengerjap. "Eh?"

Leony tampak menggigit bibir bawahnya. Dan sedetik kemudian, Eros melotot saat mendapati ada genangan bening di kelopak mata Leony.

"N-N-Ny ...."

Leony sontak jatuh ke lantai. Terduduk. Dengan kedua tangan menutupi wajahnya saat ia mulai terisak.

Astaga!

Leony menangis! Cewek itu benar-benar menangis sesegukan hingga pundaknya langsung berguncang parah karenanya.

"Ny, kamu kenapa?"

Eros buru-buru menghampiri Leony. Meraih tubuh istrinya itu. Panik? Tentu saja. Eros sangat panik saat itu.

"Ka-kamu kenapa nangis? Ya ampun. Aku ada ngapain sampe kamu nangis?"

Leony berontak. Berusaha untuk melepaskan dirinya dari sentuhan Eros. Sambil terisak, ia berusaha untuk berkata.

"Ka-kamu udah makan ... hiks ... di luar. Hiks! Pada ... hiks ... hal aku udah masak untuk kamu, Ros. A-aku rela-rela ke supermarket buat hiks ... belanja. Hiks! Tapi, kamu ... hiks ... udah makan di luar. Apa ... hiks ... masakan aku udah nggak enak lagi?"

Seketika saja mata Eros memejam dramatis.

Ya ampun.

Kapan hari dia bilang mager.

Nggak mau masak.

Ya mana aku tau kalau mendadak hari ini dia bakal masak.

Eros mengembuskan napas panjangnya. Kembali teringat dengan petuah yang berkaitan dengan emosi ibu hamil dan pengaruhnya terhadap kesehatan janin yang sedang dikandungnya.

Sial!

Kali ini mata Eros membesar.

Anak aku dalam bahaya!

Alarm peringatan seketika berbunyi di benak Eros. Membuat cowok itu berusaha untuk mengambil tindakan penyelamatan secepatnya.

Maka dengan lembut, Eros mencoba kembali meraih Leony. Berusaha untuk tidak terlalu kuat ketika mempertahankan Leony. Lalu ia pun berkata.

"Ny, aku emang makan di luar. Tapi, bukan berarti aku nggak bakal makan masakan kamu malam ini."

Leony masih berontak. Pun masih terisak. "Ka-kalau ... hiks ... kamu udah makan di luar. Buat apa ... hiks ... makan masakan aku lagi?"

Sungguh, pulang kerja dan menghadapi masalah istri yang sedang dipermainkan oleh hormon kehamilannya merupakan ujian bagi Eros. Tapi, sebisa mungkin cowok itu untuk bersabar. Lagi-lagi karena teringat dengan keselamatan janinnya. Bukankah sudah teramat banyak kasus keguguran terjadi karena ibu yang stres? Amit-amit, Eros tidak ingin kehilangan anak yang bahkan belum sempat ia miliki.

"Aku makan di luar itu cuma buat dapat tenaga untuk sampe ke unit. Nah, sekarang aku udah sampe di sini, tenaga aku udah habis lagi. Kalau udah habis, aku kan perlu makan lagi."

"Hiks ... hiks ... hiks ...."

Leony masih sesegukan. Tapi, perkataan Eros membuat ia pelan-pelan menurunkan kedua tangannya dari wajahnya. Terkesan ragu-ragu, ia berpaling. Melihat pada Eros. Dan mendapati respon Leony seperti itu, Eros pun kembali bersuara.

"Kalau aku nggak makan, gimana ntar aku bisa gorengin kamu tempe dan tahu coba?"

Ajaib sekali.

Eros bisa melihat dengan jelas bagaimana aliran air mata Leony berhenti seketika. Alih-alih terus menangis, Leony justru tampak antusias ketika balik bertanya.

"Kamu mau gorengin kapan, Ros?"

Eros garuk-garuk kepala. "Ya ... tergantung kamu maunya kapan. Kalau mau kini juga---"

"Ntar aja," potong Leony cepat. Lantas cewek itu langsung bangkit sambil satu tangannya meraih tangan Eros, turut mengajaknya bangkit pula. Berhadapan, Leony tampak menengadahkan wajahnya. "Aku siapkan bentar makan kamu. Biar kamu makan dulu. Abis makan, baru kamu gorengin aku tempe dan tahunya. Gimana?"

Hanya saja, belum lagi Eros sempat menjawab pertanyaan itu, Leony sudah keburu menarik Eros. Menyuruhnya untuk duduk di meja makan dan ia memegang kedua pundak Eros sejenak seraya berbisik.

"Aku siapin bentar."

Lagi, Eros pun tak sempat merespon perkataan Leony ketika cewek itu dengan segera beranjak. Seraya mengelap wajahnya yang basah seadanya, ia mengambil satu mangkuk dari raknya dan bergegas ke kompor. Menyiapkan sup ke dalamnya. Dan dalam hitungan detik yang teramat cepat, semangkuk sup yang menggoda selera, lengkap dengan taburan bawang goreng yang wangi, telah tersaji di hadapan Eros.

Tak langsung menyantap hidangan itu, Eros malah mengamati Leony yang lantas beranjak demi mengambil sepiring nasi untuknya. Tak luput juga dengan segelas air. Dan setelahnya, dengan senyum lebar, Leony pun duduk di hadapan Eros.

"Ayo dimakan. Mumpung masih hangat."

Oh, tentu saja. Ketika hujan turun, semangkuk sup yang hangat tentu saja adalah berkah yang tak ternilai. Terutama karena ada pelengkap berupa ayam goreng dan sambal goreng andalan Leony.

"Ehm ...."

Mata Leony membesar. Sikap santainya tadi sontak berubah menjadi rasa penasaran ketika mendengar deheman penuh irama Eros. Hingga ia pun bertanya.

"Gimana? Gimana? Rasanya gimana? Enak nggak?"

Eros tersenyum. "Sup masakan kamu itu emang nggak ada duanya. Selalu aja enak."

"Ah, masa sih?" tanya Leony tersipu. Bahkan tanpa sadar, cewek itu tampak mengulum senyum malu-malu. "Padahal aku udah lama nggak masak. Pasti rasanya nggak seenak dulu."

Menyempatkan waktunya untuk melegakan tenggorokannya dengan beberapa teguk air putih, Eros lantas mendesah dengan ekspresi nikmat. Melepas sejenak sendok dan garpu dari kedua tangannya, ia menatap Leony dengan dahi berkerut.

"Kamu nggak percaya omongan aku? Ckckckck." Eros berdecak beberapa kali seraya menggeleng. "Kamu tau? Urusan rasa, lidah nggak pernah bohong."

Leony sontak tertawa. "Eros, aku tuh serius. Beneran enak atau nggak?"

"Leony, aku tuh juga serius. Astaga. Ini enak. Banget. Malah lebih enak dari yang pernah kamu masak. Makin enak."

"Bener?" tanya Leony lagi seraya kembali tersenyum malu-malu.

Mengembuskan napasnya, Eros justru meraih sendoknya. "Kamu cobain deh. Biar kamu yakin omongan aku nggak boong."

Namun, Leony menutup mulutnya. Langsung geleng-geleng kepala. "Nggak. Aku kan mau makan tempe dan tahu goreng ntar."

Eros tidak menyerah. "Satu sendok doang. Cuma buat bukti kalau omongan aku bener."

Terdiam, Leony tampak seperti tengah berpikir seraya melihat sendok yang mengarah ke mulutnya. Berisi sepotong kentang dan wortel. Juga dengan makaroni di sana. Oh, ada seiris bawang gorengnya pula.

Mata Leony berkedip sekali. "Satu sendok doang ya?"

Eros mengangguk. "Iya. Satu sendok doang."

Lalu tangan Leony turun dari mulutnya. Dan pelan-pelan, ia beringsut. Mendekati sendok itu dengan mulut yang menganga. Hingga kemudian, makanan lezat itu pun lenyap ke dalamnya.

"Gimana?" tanya Eros kemudian layaknya dia yang memasak itu, bukan Leony. "Enak kan?"

Leony mengunyah dengan penuh irama. Dan tiap detik yang berlalu, menimbulkan perubahan pada ekspresi Leony. Mata cewek itu membesar.

"Kok enak banget, Ros?"

"Kan! Udah aku bilangin," kata Eros senang. "Gimana? Mau lagi nggak? Sini?"

Namun, melihat sendok yang kembali Eros arahkan padanya membuat Leony ragu. "Tapi, ntar kan aku mau makan tempe dan tahu goreng, Ros."

"Abis makan tetap bakal aku gorengin kok. Tenang aja."

"Bener ya? Janji loh."

Eros mengangguk. Dan lantas ia mendapati bagaimana Leony yang tak menolak untuk suapan keduanya. Bahkan dengan semringah menikmatinya.

Hingga pada akhirnya makanan di atas meja itu habis, Leony tampak terkesiap seraya memegang kedua pipinya. Tampak syok.

"I-ini kenapa rasanya lebih banyak aku yang makan ketimbang kamu, Ros?"

Eros terkekeh. "Ah, masa sih? Perasaan kamu aja kali."

Yang mana sebenarnya itu tentu saja bukan sekadar perasaan Leony saja. Sejujurnya, memang Leony-lah yang lebih banyak berpartisipasi dalam menghabiskan sepanci sup dan empat potong ayam goreng itu. Namun, layaknya itu adalah hal yang biasa, Eros lantas bangkit seraya merapikan semua piring kotor itu. Menaruhnya di wastafel. Ia berkata.

"Kamu istirahat aja. Abis ini aku mandi bentar, terus aku gorengin tempe dan tahunya."

Masih bingung, Leony bangkit dari duduknya. Mengangguk sekali dan beranjak dari dapur seraya mengerutkan dahi. Tampak masih berpikir.

"Yang banyak aku atau Eros ya?"

Eros berusaha untuk menahan tawanya. Sungguh! Melihat ekspresi wajah Leony yang tampak bingung seperti itu memang menggelikan untuk Eros. Maka bukan hal yang aneh bila Eros butuh waktu beberapa saat sebelum pada akhirnya ia beranjak ke kamar mandi.

Setelah mandi, Eros yang masuk ke kamar dengan sehelai handuk di pinggangnya dibuat geleng-geleng kepala ketika dilihatnya Leony yang tampak menghitung di atas tempat tidur.

"Aku paha ayam satu. Eros dada satu. Terus ... yang paha atas dua itu siapa?"

Eros mendehem. Setelah berpakaian, dengan mengalungkan handuk di lehernya, ia berkata pada Leony.

"Aku gorengin bentar tempe dan tahunya."

Dan Eros sudah akan beranjak ketika Leony justru buru-buru mencegahnya.

"Bentar, Ros."

"Apa?"

Tak langsung menjawab pertanyaan itu, Leony tampak bangkit dari tidurannya. Berjalan di kasur dengan menggunakan lututnya, ia beranjak menuju pada Eros.

"Apa menurut kamu bukannya aku ya yang makannya banyak tadi itu?" tanya Leony. "Soalnya bukan apa, Ros. Tapi, liat deh. Perut aku jadi rada gede gini."

Ucapan Leony sontak saja membuat Eros menundukkan pandangannya. Pada perut Leony. Tampak cewek itu mengusap bagian itu berulang kali. Dan tak hanya itu, bermaksud untuk meyakinkan Eros, Leony lantas mengangkat baju tidurnya. Memperlihatkan perutnya yang tampak mengalami perubahan.

Eros tertegun. Melupakan niatannya semula, cowok itu duduk di tepi tempat tidur. Sekadar untuk melihat lebih dekat lagi. Bagaimana perut Leony yang ramping tampak mulai membuncit. Masih teramat samar. Tapi, jelas tidak perlu diragukan lagi.

Tangan Eros terangkat. Turut menyentuh perut Leony hingga cewek itu terkesiap. Seperti baru menyadari sesuatu. Dan ia bertanya.

"I-ini bukan karena aku kekenyangan kan?" Leony merasakan matanya memanas. "I-ini karena Dedek, Ros."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top