20. Kesamaan Yang Berbeda

Satu hari di kampus ....

Eros tampak melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. Menyadari bahwa saat itu hari sudah beranjak sore. Nyaris jam lima sore. Dan ketika ia menghitung sejenak di benaknya, setidaknya sudah dua jam berlalu dari pertama Leony masuk ke salah satu ruangan dosen. Namun, hingga kini pintu itu belum juga terbuka kembali.

Eros mengembuskan napas panjangnya. Ekspresi wajahnya tampak khawatir.

"Kok dia konsul lama banget sih? Astaga. Jangan aja dia disuruh revisi lagi."

Hingga sejurus kemudian, samar telinganya mendengar suara pintu yang terbuka. Membuat Eros langsung bangkit. Tak mampu menahan desakan dari dalam dirinya, ia pun melangkah. Berencana untuk menyambut Leony. Namun, ia justru tertegun. Itu adalah ketika ia melihat Leony yang keluar dari sana dengan wajah yang tampak lesu. Bertekuk. Langkahnya tampak gontai ketika berjalan menuju pada Eros.

"Ny?" panggil Eros pelan. "Kamu baik-baik aja? Gimana konsulnya?"

Berhenti tepat di hadapan Eros, Leony kala itu menyadari bahwa suasana kampus sudah mulai sepi. Mungkin karena jam kerja sudah berakhir sejak satu jam lalu, terutama karena saat itu hari Jum'at. Menjelang akhir pekan.

Leony mengembuskan napas panjang. Lesu di wajahnya tampak semakin menjadi-jadi tatkala ia memberikan satu gelengan samar.

"Kayaknya aku nggak bakal tekejar buat wisuda periode ini," lirihnya pelan. "Kayaknya aku nggak bisa wisuda bareng kamu, Ros."

Eros diam sejenak. Tak perlu bertanya lebih lanjut lagi, cowok itu pun paham dengan apa yang terjadi di dalam ruangan dosen tadi. Terutama ketika Eros menunduk, ia dapat melihat pada draft skripsi yang masih dipegang Leony. Sekilas saja ia bisa mendapati beberapa tinta merah yang tampak mengotori kertas itu. Lebih dari jelas untuk Eros bisa menduga bahwa Leony harus kembali merevisi hasil penelitiannya. Dan sekarang, cowok itu yakin bahwa yang dibutuhkan Leony bukanlah pertanyaan ada apa dan kenapa. Alih-alih adalah sesuatu yang menenangkan yang pacarnya butuhkan.

Lantas Eros meraih tangan Leony. Dengan senyum yang mengembang di wajahnya, ia berkata seraya mengajak Leony beranjak. Menuju ke tempat di mana ia tadi duduk menunggu.

"Kamu konsulnya lama banget, by the way. Dan sekarang kamu pasti lapar kan?" tanya Eros menebak. "Nih, aku udah siapin piscok buat kamu."

Eros mengambil satu kotak makanan di kursi. Membukanya dan lantas memamerkan isinya pada Leony.

"Ada rasa blueberry kesukaan kamu juga loh."

Leony melirik isinya. Dan ia mengembuskan napas panjang. Hal yang tentu saja disadari sepenuhnya oleh Eros. Cewek itu pasti terpikirkan soal skripsinya. Tapi, Eros tidak ingin melihat Leony yang biasanya ceria justru mendadak bermuram durja.

Eros mencubit sekilas ujung hidung Leony. "Mau makannya nggak?" tanyanya kemudian. "Ini spesial banget aku siapin buat cewek aku yang tercinta soalnya. Karena kalau nggak cinta, ini piscok udah aku makan juga dari tadi."

Refleks, Leony terkekeh mendengar perkataan Eros. Bahkan tanpa sadar membuat tangannya terangkat satu. Mengepal. Dan lantas mendarat dalam bentuk satu pukulan lembut di tangan cowok itu.

Mendapati itu, Eros sontak saja mengembuskan napas leganya. Hingga ia tak segan-segan untuk mengajak Leony duduk. Dan menyajikan camilan khas anak muda itu di hadapan Leony.

Leony mengambil satu, mulai menikmatinya. Tak peduli bagaimana Eros yang hanya memandanginya, alih-alih ikut makan camilan itu pula. Karena bagaimanapun juga, mendapati Leony yang pada akhirnya bisa tampak santai setelah keluar dari ruangan dosen, adalah hal yang melegakan untuk Eros.

"Kamu nggak mau makan juga?" tanya Leony kemudian setelah menghabiskan tiga piscok dalam kurun waktu tak lebih dari sepuluh menit. Matanya melirik. "Masa segini banyaknya aku sendiri yang ngabisin?"

Bertopang dagu dengan satu siku, Eros tampak tersenyum. "Nggak apa-apa. Makan aja semuanya. Aku sih udah berasa kenyang ngeliat kamu makannya lahap banget."

"Hahahaha."

Tak mampu ditahan, Leony pun tertawa lepas mendengar gombalan itu. Beruntung sekali ia tidak sedang mengunyah piscok. Ehm ... kalau tidak, bisa Leony pastikan saat ini ia tersedak parah gara-gara perkataan Eros yang barusan.

"Ih, merinding gila aku, Ros," gelak Leony. "Beneran receh banget ya gombalan kamu."

Eros tampak cengar-cengir. "Tapi, walau receh buktinya bisa buat kamu ketawa gitu. Ckckckck. Emang cantik banget cewek aku."

Pipi Leony sontak tersipu. Memberkaskan warna merah yang langsung menguarkan panas di sana. Membuat ia mengulum senyum malu-malu seraya melirik ke kanan dan ke kiri berulang kali.

"Ntar ada yang denger, Ros. Kamu ini." Matanya tampak menyipit sekilas. "Malu-maluin aja."

"Loh? Kok malu-maluin sih? Orang aku muji pacar aku sendiri coba. Kan wajar kali. Mana lagi, ehm ... kamu kan emang cantik."

Maka bisa dibayangkan semerah apa pipi Leony karena pujian yang lagi-lagi ia terima. Terutama ketika ia melihat bagaimana Eros yang mengatakan itu dengan ekspresi seriusnya. Tak sedikit pun tampak ada kebohongan di sana. Beuh! Rasanya nyaris bisa membuat Leony terbang melayang-layang hingga ke nirwana.

"Tuh ... tuh .... Pipinya tambah merah. Eh eh eh .... Senyumnya ...."

Leony sontak memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan tak hanya itu, ia pun menutup mulutnya. Berusaha mencegah senyumnya yang makin melebar itu tampak oleh Eros.

"Eh? Malah ditutupin?"

Eros menyeringai lebar. Berusaha menarik tangan Leony. Tapi, cewek itu justru berusaha menghindar.

"Eh? Beneran nggak nyuruh aku ngeliat ya?"

Lantas, Leony pun tak mampu menahan dirinya. Membiarkan Eros menarik tangannya untuk lepas dari mulutnya dan tawa cewek itu pun meledak.

"Hahahaha. Kamu ini bener-bener ya, Ros. Hobi banget buat aku tersipu kayak gini."

Eros ikut-ikutan tertawa. "Hahahaha. Salah sendiri coba. Aku mau liat senyumnya, eh ... malah ditutupin."

Dan ketika itu, Leony lantas menarik napas dalam-dalam. Tawanya berhenti, tergantikan oleh satu senyuman yang teramat manis di mata Eros. Di detik selanjutnya, cewek itu berkata.

"Makasih ya, Ros."

Tentu saja, perkataan itu membuat Eros turut menghentikan tawanya. Alih-alih terus merasa geli, kali ini Eros justru mengerutkan dahi. Tampak bingung.

"Eh? Makasih? Karena udah ngebuat kamu tersipu?"

"Ehm ... bukan," dehem Leony seraya menggeleng sekali. "Makasih karena udah buat aku seneng lagi." Ia mengembuskan napas panjangnya sekilas. "Abis konsul tadi, aku rasanya udah kayak yang mau mati aja."

Mata Eros membesar. Jelas tidak menyukai pilihan kata-kata yang diucapkan pacarnya itu. Tapi, belum lagi ia sempat menginterupsi, Leony langsung lanjut berkata.

"Tapi, sekarang aku udah ngerasa baikan lagi. Udah ngerasa enjoy lagi. Udah ngerasa happy lagi. Dan itu berkat kamu."

Eros bisa merasakan kebenaran dari perkataan Leony. Karena jelas sekali, ketika Leony mengatakan itu ... ada binar-binar yang terpancar dari sepasang matanya yang bening. Sorot di sana, tentu saja tidak akan menipu. Bahwa yang dikatakan oleh Leony memang adalah sesuatu yang ia rasakan jauh di lubuk hatinya yang paling dalam.

Leony tersenyum. Dengan amat sangat cantiknya.

"Kamu memang the best!"

*

Sekarang ....

Wajah Leony yang tampak semringah di hadapannya, membuat Eros tertegun untuk beberapa saat. Menyadarkannya bahwa dulu ada masanya ketika Leony juga memujinya spontan seperti itu. Dan kalau ia resapi, sepertinya sensasi yang timbul juga persis seperti dulu. Karena yang membedakan hanya dua hal, yaitu adalah piscok yang menjadi sumber pujian Leony dan sekarang justru tempe dan tahu goreng yang menjadi penyebabnya. Dan pembeda yang kedua tentu saja status di antara mereka berdua.

"Ros. Ros."

Eros tergugu. Mengerjapkan mata dan tersadar dari lamunannya beberapa saat. Tampak di hadapannya Leony melihat ke arah kompor.

"Itu tahu goreng aku udah masak belum? Ntar malah gosong lagi. Aku nggak mau anak aku makan tahu gosong."

"Oh," lirih Eros. "Bentar aku liat dulu."

Eros langsung beranjak. Dan beruntunglah, ia tepat pada waktunya. Tahu yang ia goreng telah masak sempurna. Dengan garing dan bewarna coklat keemasan.

Mengangkat tahu itu dengan penyaring minyak, Eros lantas mendapati ada tepuk tangan yang berbunyi di belakangnya. Ia menoleh. Melihat Leony yang menunjuk pada tahu gorengnya.

"Aku mau yang itu, Ros. Kayaknya yang itu gede deh."

Eros melihat pada tahu gorengnya. Tepat pada yang ditunjuk oleh Leony. "Ah, iya iya. Aku dinginkan bentar. Kamu duduk aja dulu."

"Iya iya. Tapi, buruan."

Leony kembali lagi ke kursinya. Duduk dengan tak sabaran. Tanpa sedetik pun matanya berpindah dari mengamati tiap gerak-gerik Eros. Dari cowok itu yang menaruh penyaring minyak di satu mangkok agar minyaknya turun. Hingga ketika Eros beranjak untuk mengambil piring lainnya. Pun termasuk ketika Eros menahan panas demi memotong-motong tahu itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.

Sejurus kemudian, Eros pun kembali menghampiri Leony. Dengan sepiring tahu goreng yang siap disantap olehnya.

Menyisihkan piring tempenya yang telah kosong, Leony langsung menyambut makanan selanjutnya. Dan tanpa mengatakan apa-apa, potongan kecil pertama pun lenyap ke dalam mulutnya.

"Ehm ...."

Mata Leony memejam. Ekspresi wajahnya menyiratkan kenikmatan tiada tara ketika rasa lezat bumbu goreng siap saji itu menyentuh indra perasanya. Dan ketika semuanya berpadu dengan pedas sambal, maka Eros bisa mendapati deheman Leony terdengar lebih nyaring lagi.

"Hahahahaha."

Kunyahan Leony terhenti seketika. Matanya membuka dan wajahnya tampak bingung saat mendapati Eros yang berusaha menahan tawanya.

"Kenapa ketawa?" tanya Leony. "Ada yang lucu?"

Masih terkekeh, Eros geleng-geleng kepala. "Kamu itu. Makan tahu goreng aja segitunya. Kayak yang enak banget."

Mata Leony sontak membola. "Wah, Ros! Ini emang enak banget," katanya seraya meraih sepotong lagi. Menunjukkannya ke depan wajah Eros. "Aku nggak bohong. Ini sumpah. Enak banget. Bahkan rasanya lebih enak dari yang biasa aku masak."

Eros kembali tertawa. "Mana pernah ada sejarahnya tahu goreng itu enak?"

"Eh eh eh? Kamu pikir aku bohong?"

"Hahahahaha."

"Sini. Kalau nggak percaya, coba kamu makan. Pasti kamu juga bakal ngomong rasanya enak."

Eros menggeleng. "Nggak ah. Kamu aja yang abisin."

"Cicip," delik Leony seraya bangkit dari duduknya. Makin mengulurkan tangannya ke depan mulut Eros. "Ayo, buka mulutnya. Aaa ...."

Eros kembali menggeleng. Masih berusaha menolak. Tapi, ketika ia melihat bagaimana sorot mata Leony menyiratkan keseriusan, Eros pun tau bahwa Leony tidak akan berhenti sebelum ia benar-benar mencoba tahu goreng itu. Maka pada akhirnya, Eros pun membuka mulutnya. Seiring dengan suara Leony yang kembali mengalun.

"Am ...."

Satu potong tahu goreng berukuran kecil itu, lenyap pula ke dalam mulut Eros. Seraya pelan-pelan kembali duduk, Leony mengamati wajah Eros. Ekspresinya menyiratkan harap-harap cemas.

"Gimana? Enak kan?"

Lantas, Eros mengangguk. "Iya. Emang enak."

"Tuh kan," kata Leony bangga. "Ini emang enak banget. Tapi ...." Matanya tampak membesar. Menarik piringnya kembali. "Jangan makan lagi. Ini jatah aku."

"Hahahaha. Aku bisa kok goreng lagi."

Wajah Leony berubah. "Kamu mau goreng lagi? Aku mau lagi dong."

"Loh? Hahahaha. Malah minta lagi. Ini aja belum abis."

"Ini nggak bakal cukup, Ros. Ntar malam aku masih mau lagi. Terus kalau tengah malam aku kebangun gimana? Aku pasti mau juga." Leony tampak mengerucutkan bibirnya. "Ya? Goreng lagi?"

Hingga kemudian, pertanyaan Leony mendapatkan anggukan dari Eros, cowok itu mendapati bagaimana istrinya yang sontak bertepuk tangan. Tampak tersenyum dengan teramat lebar hingga bersenandung seraya kembali melanjutkan acara makannya. Tanpa sadar membuat Eros mengembuskan napas panjang, pun tersenyum.

Leony yang kemudian menyadari bagaimana Eros mengamati dirinya makan, mengerutkan dahinya. Setitik rasa tak enak timbul di hatinya. Membuat ia bertanya.

"Kamu laper juga, Ros? Ini. Kalau mau makan juga bareng aku. Aku nggak beneran kok ngelarang kamu makan tadi."

Mendengkus geli, Eros memilih bertopang dagu pada satu sikunya di atas meja. Ia menggeleng.

"Nggak apa-apa. Makan aja semuanya. Abisin aja semuanya," kata Eros. "Aku sih udah berasa kenyang ngeliat kamu makannya lahap banget."

Dan Leony tertegun. Karena sumpah! Pada saat itu Leony merasa seperti tertarik ke masa lalu. Di mana Eros yang selalu berusaha menenangkan perasaannya ketika ia sedang tidak bersemangat. Terutama karena di detik selanjutnya, Eros tampak bangkit seraya berkata.

"Aku gorengin lagi. Kamu makan aja yang santai di sini."

Tak mengatakan apa-apa, Leony hanya memandangi Eros yang kembali menuju ke meja kompor. Mengiris dan lagi-lagi menggoreng tempe dan tahu untuknya. Membuat ia merasakan sesuatu berdenyut di balik dadanya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top