19. Seperti Sama
Tak butuh waktu lama untuk Eros kemudian bertemu dengan dokter yang menangani Leony tadi. Mereka lantas membicarakan keadaan Leony yang sebenarnya tidak mengkhawatirkan. Yang terjadi padanya memang murni gejala kehamilan Leony saja. Yang umum terjadi layaknya ibu hamil lainnya.
Namun, walau begitu dokter tetap mewanti-wanti Eros untuk mengontrol makan Leony. Jangan sampai Leony tidak mendapatkan asupan makanan yang dibutuhkan olehnya dan juga bayi yang ia kandung. Karena jelas kekurangan nutrisi bisa memberikan akibat buruk untuk Leony dan bayi mereka.
Sejurus kemudian, sekitar jam menunjukkan jam lima sore, Leony sudah bersiap. Bersama dengan Eros, ia keluar dari kamar perawatan itu. Dan lantaran mengkhawatirkan keadaan Leony yang masih sedikit pucat, Eros pun merengkuh tubuh Leony. Memastikan bahwa istrinya tidak akan mendadak jatuh kembali.
"Kamu balik gimana?" tanya Eros kemudian. "Apa nggak sebaiknya kamu naik taksi aja?"
Seraya terus berjalan, Leony malah balik bertanya. Alih-alih menjawab pertanyaan itu. "Loh? Emangnya kenapa? Kamu bawa motor kan?"
"Iya, aku emang bawa motor."
Eros menjawab seraya melirik sekilas pada Leony. Tampak cewek itu yang mengerutkan dahi saat tatapan mereka berdua bertemu. Dan itu membuat Eros mengembuskan napas panjangnya seraya kembali membawa tatapannya untuk menuju lurus ke depan.
"Tapi, kamu masih lemes gini. Aku khawatir kalau bonceng kamu. Gimana kalau kamu mendadak justru ngantuk?"
Leony merenungkan perkataan Eros. Memang ada benarnya sih. Dengan keadaan Leony yang saat ini mudah lemas, mengantuk memang menjadi risiko yang bisa saja terjadi tiba-tiba. Tanpa sempat ia kira. Dan itu mungkin saja berbahaya untuk keselamatannya. Hanya saja ....
Leony menggeleng. Tampak cemberut. "Nggak mau, Ros," jawabnya seraya menutup mulutnya dengan satu tangannya. "Aku takut sumpek di dalam mobil. Ntar bisa-bisa aku muntah-muntah lagi. Dan aku beneran nggak mau muntah. Muntah itu buat aku capek dan tambah lemes."
"Ah ...."
Eros angguk-angguk kepala. Kemungkinan yang satu itu memang bisa juga terjadi sih. Walau jendela mobil dibuka, tapi Leony tetap saja bisa merasa sumpek lantaran bentuk mobil yang tertutup.
"Ya udah. Tapi, ntar kalau kamu ngerasa ngantuk atau apa, kamu harus ngomong."
Eros mengatakan itu seraya menyerahkan helm pada Leony, barulah kemudian meraih miliknya sendiri. Mengenakannya.
"Iya," ujar Leony seraya mengangguk. "Ntar aku ngomong kalau aku mendadak ngantuk di tengah jalan. Tenang aja."
Tak langsung naik ke atas motor, sedetik kemudian Eros justru tampak mengangkat dagu Leony sejenak. Memastikan bahwa helm itu sudah terkunci dengan aman.
Mata Leony mengerjap. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa," kata Eros seraya menatap mata Leony. "Kamu kan kebiasaan helm nggak dikunci bener-bener."
Leony tak membantah hal tersebut. Memang dia seringkali abai untuk protokol keamanan berkendara yang satu itu. Dengan alasan merepotkan. Padahal jelas sekali itu demi keselamatan diri sendiri dalam perjalanan.
Memutar kunci motornya, Eros memastikan Leony sudah nyaman duduk di belakangnya sebelum ia melirik melalui spion. Bertanya pada istrinya itu.
"Udah?"
Leony hanya mengangguk. Namun, itu lebih dari cukup untuk Eros. Dan tak butuh waktu lama, motor itu pun melaju. Meninggalkan area parkiran klinik dan berbaur di jalanan.
Mengingat saat itu sore hari di mana jam pulang kantor telah tiba, otomatis saja Eros tidak bisa menaikkan kecepatan motornya. Alih-alih ia harus berhati-hati lantaran arus kendaraan yang mulai memadat. Namun, dengan keadaan itu, setidaknya Eros bisa sedikit mengembuskan napas leganya. Kembali terpikir soal kekhawatirannya ketika Miska menghubunginya tadi.
Sungguh! Terlepas dari sifat menjengkelkan Leony akhir-akhir ini yang mendorong dirinya untuk berpisah, Eros tidak ingin ada sesuatu yang terjadi dengan bayi yang sedang dikandung cewek itu. Terutama kalau Eros ingat, betapa keluarga mereka sangat mewanti-wanti dirinya untuk selalu menjaga Leony. Wah! Eros tidak bisa membayangkan kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Leony sementara baru saja kemaren ia mendapat setumpuk petuah dari keluarganya. Mati digantung mungkin adalah hukuman yang paling ringan yang bisa ia terima. Hiks. Tapi, Eros yakin, dirinya pasti akan dimutilasi hidup-hidup oleh mereka.
Sementara Eros yang memikirkan itu, di belakangnya Leony justru memikirkan hal lainnya. Entah mengapa, saat ia berada di balik punggung Eros, mendadak saja satu pertanyaan melintas di benaknya.
Eh?
Kapan ya terakhir kali aku boncengan sama Eros kayak gini?
Leony tak yakin, tapi sepertinya beberapa bulan belakangan ini, sudah jarang mereka bepergian bersama. Eros sibuk dengan toko kopinya yang sedang ramai-ramainya. Dan Leony sendiri terkadang pulang ke unit dengan jadwal yang tentu. Mengingat terkadang ia justru harus menyelesaikan deadline.
Melalui perjalanan itu dengan hanyut dalam pikiran masing-masing, Eros nyaris silap ketika di depannya ada mobil yang berhenti mendadak. Beruntung refleks cowok itu cepat tanggap, hingga ia bisa menghentikan laju motornya tepat pada waktunya. Namun, tak urung juga. Tindakannya menerbitkan kesiap kaget Leony. Seiring dengan tubuhnya yang mendarat di punggung Eros.
Eros menoleh. "Eh? Kamu nggak apa-apa? Sorry aku ngerem mendadak."
Dahi Leony tampak mengernyit. Dengan kedua tangan yang berpegang pada pinggang Eros, refleks karena takut jatuh, ia pun lantas menggeleng.
"Nggak kok. Nggak apa-apa."
Merasa lega, Eros pun kembali fokus dengan jalanan di depannya. Tapi, setelah beberapa menit berlalu, ketika motornya melaju dengan kecepatan yang stabil, mendadak saja Eros merasakan sesuatu. Hal asing yang rasanya justru tak asing. Bahkan kalau mau jujur, sensasinya malah terasa ... familiar.
Dan di satu kesempatan yang tepat, Eros menundukkan pandangannya. Hingga ia menemukan penyebab rasa itu. Adalah tangan Leony yang ternyata melingkar di pinggangnya. Menghadirkan satu pertanyaan di benaknya.
Kapan terakhir kali Leony meluk aku kayak gini?
*
Tiba di unit, Leony tidak heran sama sekali bila mendapati ponselnya berdering. Dan ternyata itu adalah Utami yang menghubunginya. Seraya masuk dan menaruh sepatunya di lemarinya, Leony menjawab panggilan itu.
"Iya, Ma. Ini aku baru aja sampe ke unit."
Leony terus berjalan, kemudian memilih untuk duduk di ruang tamu. Mendengarkan tiap kata yang ibunya katakan. Dan ia tampak mengangguk berulang kali.
"Nggak sih. Aku balik sore ini bareng Eros."
Eros yang baru saja masuk, mendengar namanya disebut. Tapi, ia tak mengatakan apa-apa selain langsung beranjak. Masuk ke kamar demi mengambil handuk dan berniat untuk mandi sore terlebih dahulu sebelum masak.
Sekitar dua puluh menit berlalu, Eros keluar dengan handuk dan mendapati Leony yang sudah tidak ada lagi ruang tamu. Dan ia mendapati istrinya itu sudah di kamar. Berganti pakaian dan langsung terburu-buru meraih ponselnya yang kembali berdering. Kali ini adalah Pratiwi yang menghubunginya.
"Udah sampe ke unit, Ma. Iya. Nggak apa-apa. Udah nggak muntah kayak kemaren sih."
Selesai berpakaian, Eros sudah akan beranjak ketika ia justru mendengarkan suara mual Leony.
"Eumphh ...."
Leony tampak menutup mulut dan hidungnya. Dengan mata yang melihat pada handuk basah Eros yang tergeletak di atas tempat tidur, ia berusaha berkata.
"B-baunya, Ros. Buat aku mual."
Memangnya sebau apa sih handuk lembab?
Ingin rasanya Eros mendebat hal itu. Tapi, melihat mata Leony yang makin membesar, otomatis saja ia tidak ingin mengambil risiko. Eros pun lantas langsung menyambar handuknya.
"Jangan muntah di kamar, Ny. Jangan."
Tepat setelah mengatakan itu, Eros buru-buru keluar dari kamar. Menaruh handuk itu di jemuran dan kembali lagi hanya untuk memastikan bahwa Leony tidak muntah. Dan ternyata, yang ia dapati adalah Leony yang sedang tertawa-tawa.
"Hahahahaha. Mama ini bisa aja."
Ya ampun.
Padahal Eros tadi sudah ketar-ketir kalau harus mendapati Leony yang muntah di kasur. Ugh! Itu pasti sangat .... Oke! Eros tidak ingin membayangkannya. Daripada memikirkan hal yang membuat perutnya bergejolak, Eros justru memutuskan untuk beranjak. Ia tidak akan lupa kalau tadi ia sudah berjanji akan masak untuk Leony. Dan ketika ia akan keluar dari kamar, ia mendengar suara Leony bicara dengan Pratiwi.
"Nggak, Ma. Nggak usah kirim apa-apa ke sini. Ini bentar lagi Eros mau masak kok. Mau gorengin aku tempe dan tahu. Hihihihi."
Eros berbalik. Mendapati Leony yang tampak rebahan dengan santai dan masih tertawa-tawa. Berbeda sekali dengan ekspresinya ketika di klinik tadi.
Syukurlah.
Karena kalau ada hal penting lainnya yang Eros ingat ketika konsultasi dengan dokter Yusnida kemaren, itu pasti adalah.
"Bukan hanya makanan yang bergizi yang ibu hamil perlukan. Melainkan juga perasaan yang senang. Itu berperan penting dalam pertumbuhan janin selama kehamilan. Maka dari itu, kalau ingin anak yang sehat, maka bahagiakan ibunya."
Dan Eros tidak mengira bahwa kebahagiaan Leony sebatas tempe dan tahu goreng. Tanpa sadar membuat Eros merasa geli. Karena ketika ia sedang mengiris tempe itu tipis-tipis, ia menjadi terkekeh seorang diri. Bahkan ia refleks sana ketika mengangkat sehelai tempe itu ke depan wajahnya dan bertanya.
"Kok bisa kedelai kayak gini bisa buat orang jadi senang?"
Karena jelas sekali, bahkan sebelum Eros selesai menggoreng tempe dan tahu itu, Leony yang sudah tidak sabar dan memang sedang kelaparan, langsung datang ke dapur. Tak peduli bahwa tempe goreng itu masih ditiriskan di penyaring minyak, ia mengambil sepotong. Berusaha untuk menggigitnya walau rasa panas itu membuat ia kewalahan.
"Ya ampun, Ny," kesiap Eros. "Itu masih panas. Tungguin bentar."
Leony tampak cemberut. "Aku udah lapar, Ros. Nih! Tangan aku udah gemetaran."
Meninggalkan sejenak wajannya, Eros mengembuskan napas panjangnya. Mengambil kembali tempe itu dari tangan Leony dan beranjak demi meraih satu piring kecil. Leony mengikutinya.
Eros menaruh tempe goreng itu di piring kecil. Lalu memotongnya dalam ukuran kecil-kecil. Tak lupa menyiapkan sambal dalam mangkok kecil.
"Nih! Biar cepet dingin."
Leony tampak semringah. Duduk di meja makan dan langsung menarik piring itu ke hadapannya. Wajahnya terangkat. Menampilkan senyum tanda senang yang teramat sangat.
"Makasih, Ros," katanya. "Kamu memang the best!"
Dan kala itu, Leony yang langsung melahap tempe gorengnya, tidak menyadari sama sekali perubahan yang terjadi pada wajah Eros. Karena entah bagaimana bisa, Eros mendadak saja merasa seperti dirinya yang tertarik ke belakang. Pada masa lalu di mana begitulah Leony sering memujinya. Alih-alih mengomelinya seperti belakangan ini.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top