18. Tanpa Sadar

Melihat Leony jatuh tak sadarkan diri, otomatis saja membuat beberapa karyawan di sana panik. Bahkan yang tadi masih duduk di kursi masing-masing di balik kubikel, sontak turut bangkit. Menghampiri cewek itu yang tampak terbujur lunglai dengan wajah yang memucat.

Miska mengguncang tubuh Leony. "Ny? Kamu pingsan?"

"Ya kali orang pingsan bisa jawab pertanyaan kamu, Mis. Dasar gila."

Mata Miska memejam. Tampak menggeram dan lantas berpaling. Pada seorang cowok yang turut turun berjongkok di sebelahnya. Demi melihat keadaan Leony.

"Iya, waras," sengit Miska seraya melayangkan tatapan tajam pada rekan kerjanya itu. "Kamu ini beneran deh ya, Son. Selalu aja buat orang emosi di saat genting."

Sony mendengkus. Tampak beringsut seraya mendorong tubuh Miska. "Gesseeer! Orang pingsan jangan dikerumbunin. Ntar nggak bisa napas."

Ingin membalas perkataan Sony, Miska justru terpaksa mengurungkan niatannya tatkala ia melihat Sony membawa satu tangannya untuk meraba dahi Leony. Dengan dahi berkerut, cowok itu tampak berusaha merasai suhu tubuhnya.

"Badannya dingin sih. Kayaknya dia sakit."

Miska pun teringat kejadian tadi di kantin. "Dan dia tadi nggak makan siang," terangnya. "Kayaknya nggak nafsu gitu."

Sony manggut-manggut. Dan setelahnya, terdengar suara Donda berkata dengan terbata.

"O-o-oh, ka-ka-kalau begitu Leony pingsan bukan karena bentakan saya loh ya?"

Sontak saja semua mata melihat pada Donda. Membuat wanita paruh baya itu jadi salah tingkah. Dan ia berusaha untuk membela dirinya.

"Be-bener kan yang saya bilang? Kalau dia makan ya harusnya dia tahan diomelin sama saya. Ja---"

"Oke!"

Sony memotong perkataan Donda. Tampak mengedarkan pandangannya sekali pada beberapa orang temannya yang masih berada di sana dan lanjut berkata.

"Sekarang, minggir dikit. Biar aku angkat dulu dia."

Tak ada yang keberatan, mereka dengan kompak beranjak. Memberikan ruang yang dibutuhkan oleh Sony untuk kemudian membawa tubuh Leony ke dalam gendongannya. Memastikan bahwa cewek itu nyaman, Sony lantas bertanya. Entah pada siapa.

"Jadi, ini Leony dibawa ke mana?"

Seorang dari mereka menjawab. "Bawa ke klinik sebelah aja."

"Alah. Kalau cuma lemes doang, bawa aja ke kursi pantry."

"Kalau beneran sakit?" tanya Miska. Dan tanpa menunggu balasan pertanyaannya, ia beralih pada Sony. "Mending yang past-pasti aja deh. Bawa ke klinik."

Maka Sony pun beranjak. Diikuti oleh Miska yang dengan cepat mengambil tas kerja Leony. Bersama-sama, mereka berdua pun menuju ke klinik yang terpisah satu gedung dengan kantor mereka berada.

*

Setelah mendapat telepon yang mengabarkan bahwa Leony pingsan, Eros tentu saja langsung tancap gas pergi dari toko kopinya. Berusaha melajukan motornya secepat mungkin seraya berdoa di dalam hati agar Leony dan kandungannya baik-baik saja. Dan ketika pada akhirnya ia tiba di klinik itu, ia pun bergegas masuk.

"Ros!"

Eros menghentikan langkah kakinya. Berpaling dan mendapati seorang wanita mengangkat tangannya. Memanggil dirinya. Dan segera saja ia menuju ke sana.

"Di mana Leony, Mis?"

Miska melihat bagaimana Eros yang tampak terengah-engah bertanya. Lebih dari itu, Eros pun menunjukkan ekspresi khawatirnya. Ditambah dengan keadaan cuaca yang kala itu panas, sontak saja membuat keringat yang bercucuran di wajahnya sebagai pelengkap. Benar-benar sempurna untuk menunjukkan betapa cemasnya Eros.

Miska menenangkan Eros. "Dia di dalam. Tenang aja. Dia udah diperiksa sama dokter. Dan dia nggak kenapa-napa."

Namun, Eros belum sepenuhnya tenang. Dan sepertinya Miska menyadari itu. Hal yang lantas membuat ia kembali berkata.

"Juga bayinya ... nggak apa-apa."

Nah! Baru sekarang Eros mengembuskan napas lega seraya memejamkan mata dan mengusap dadanya. Bahkan tanpa sadar kakinya tersurut ke belakang. Tertahan dinding. Dan ia bersandar sembari mengangkat kepalanya.

"Astaga, Ny. Kamu bener-bener buat aku takut."

Dan sejujurnya, Miska benar-benar syok ketika dokter mengatakan bahwa adalah hal yang wajar bila Leony tak nafsu makan dan pingsan. Itu lantaran rekan kerjanya tersebut sedang mengalami gejala morning sickness. Tentu saja, morning sickness tidak hanya terjadi pada pagi hari. Alih-alih kapan pun bisa saja terjadi, tidak memandang waktunya.

"Ehm ... sorry. Tapi, aku beneran nggak tau kalau Leony lagi hamil."

Permintaan maaf Miska membuat Eros kembali membuka matanya. Dengan heran ia bertanya.

"Emangnya kenapa? Kok kamu sampe minta maaf segala?"

Miska merasa tidak enak. "Soalnya tadi Bu Donda marahin Leony. Kalau aku tau dia lagi hamil, seenggaknya ya ... aku bisa ngasih tau ke beliau sih."

Eros tidak menganggap itu adalah hal yang patut dipermasalahkan. Lebih dari itu, setidaknya sekarang ia bisa bernapas lega karena Leony baik-baik saja. Dan kini, ia ingin menemui istrinya itu.

Miska mengajak Eros untuk beranjak. Masuk ke satu kamar perawatan dan melihat ada Sony yang sedang duduk di sana. Miska memperkenalkan keduanya.

"Ini Sony, Ros. Yang bawa Leony ke sini tadi," kata Miska pada Eros. Lalu ia berpaling pada Sony. "Ini Eros. Suami Leony."

Eros berjabat tangan pada Sony. Mengucapkan rasa terima kasihnya.

"Makasih, Son. Udah bawa Leony ke sini."

Tampak sedikit muram, Sony mengangguk. "Nggak apa-apa. Nyantai aja," katanya seraya bangkit dari duduknya.

Dan ketika Eros duduk di kursi yang semula ditempati oleh Sony, Miska berkata.

"Ehm ..., Ros. Ini karena kamu udah datang dan kami masih harus kerja, ini kami balik ke kantor ya? Takut bos marah lagi."

Belum benar-benar mendaratkan bokongnya di kursi itu, Eros bangkit lagi. "Oh iya iya. Maaf udah ngerepotin kalian."

Miska menggeleng. "Nggak apa-apa kok," katanya seraya menyerahkan tas kerja Leony. "Dan ini tas Leony. Mudah-mudahan dia cepet baikan ya?"

Eros menyambut tas itu. Mengangguk sekilas dan sekali lagi mengucapkan rasa terima kasihnya.

"Sekali lagi makasih banget ya, Mis," kata Eros. "Makasih juga, Son."

Eros mengantar kepergian Miska dan Sony sampai di depan pintu kamar itu. Setelah memastikan kedua orang rekan kerja Leony itu menghilang dari pandangannya, Eros pun lantas menutup kembali pintu. Menaruh tas Leony di nakas. Duduk dan meraih tangan cewek itu. Ia geleng-geleng kepala.

"Ya ampun, Ny. Untunglah kamu nggak kenapa-napa."

*

Mungkin sekitar dua jam kemudian barulah Leony sadar dari pingsannya. Dan pada saat itu, ia merasakan kepalanya yang berat. Terutama dengan sinar lampu yang langsung masuk ke retina matanya, membuat ia mengernyitkan dahi dengan perasaan yang tak nyaman.

"Ny?"

Leony mendengar suara seseorang menyebut namanya. Membuat ia perlahan berpaling. Dengan mata yang sedikit menyipit demi memfokuskan pandangan matanya, ia memanggil nama cowok itu.

"Eros ...?"

Dan memang adalah Eros yang berada di dekatnya. Cowok itu tampak memegang tangannya. Meremasnya. Dengan erat.

"Syukurlah," desah Eros lega. "Akhirnya kamu sadar juga, Ny. Ya ampun. Kamu bangun kok lama banget sih?"

Dahi Leony semakin berkerut. Alih-alih menanggapi perkataan Eros, ia justru beralih pada tiang infus yang menopang cairan berisi mineral dan vitamin tersebut. Melalui selangnya menyalurkan isinya ke dalam pembuluh darah Leony.

"A-aku di rumah sakit?"

Leony bertanya seraya berusaha bangkit dari tidurnya. Dan Eros pun dengan sigap membantunya. Juga dengan menyandarkan Leony di kepala ranjang.

"Kamu di klinik," jawab Eros. "Tadi kamu pingsan. Dan Miska yang nelepon aku tentang keadaan kamu."

Jawaban Eros membuat Leony diam. Ia tampak berpikir. Berusaha mengingat. Dan yang ia tau adalah dirinya yang dimarah –lagi- oleh Donda di hadapan banyak orang. Lalu, semuanya gelap.

Leony meringis. "Aaah," lirihnya seperti tengah menahan sakit. "Ini pasti gara-gara aku nggak makan siang tadi."

"Kamu nggak makan siang?" tanya Eros dengan mata yang membesar. Dan sebagai jawaban, ada anggukan Leony yang ia dapatkan. Membuat mata cowok itu semakin membesar lagi. "Kenapa kamu nggak makan siang? Kan kamu lagi hamil, Ny. Kata dokter kamu harus makan. Biar kamu nggak lemes."

"Aku juga maunya makan, Ros. Tapi, aku bisa apa? Tadi itu aku beneran nggak nafsu makan."

Leony tampak mengembuskan napas panjangnya. Lantas ia memalingkan wajahnya. Menatap ke arah lain. Namun, ternyata ia lanjut bicara. Setengah bergumam.

"Siapa juga ada orang yang nggak mau makan? Tapi, tiap aku lihat makanan, aku jadi mual. Bahkan sebelum makanan itu masuk ke mulut aku aja, perut aku udah bergejolak rasanya. Apalagi kalau aku beneran makan. Pasti langsung muntah aku tuh."

Eros mengembuskan napas panjang. Ia pun lantas teringat dengan penjelasan dokter Yusnida kemaren. Bahwa gejala hamil memang memberikan dampak yang berbeda pada tiap ibu hamil. Terkadang ada yang benar-benar mempengaruhi nafsu makan sang ibu. Maka Eros pun tidak bisa berbuat apa-apa. Terutama untuk yang selanjutnya Leony katakan.

"Kamu nggak bakal tau rasanya kayak gimana. Karena yang hamil itu aku. Bukannya kamu."

Tanpa bermaksud, tatapan mata Eros lantas turun. Jatuh di perut Leony yang masih tampak ramping. Membayangkan ada kehidupan di sana, menyadarkan Eros bahwa dalam beberapa waktu ke depan, perut Leony pasti akan membesar. Seiring dengan pertumbuhan yang akan terjadi pada bayi mereka. Dan itu, pastilah membutuhkan gizi dan nutrisi. Yang hanya bisa didapatkan oleh Leony melalui makanan sehari-hari.

"Jadi, kamu seharian ini belum ada makan selain sarapan di unit tadi?" tanya Eros kemudian. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin nyawa lemah di dalam rahim Leony menjadi kekurangan nutrisinya. Pun dengan Leony. Wanita yang tengah mempertaruhkan hidupnya demi kehidupan baru itu.

Leony menggeleng. "Aku nggak nafsu makan."

"Kalau makan tempe dan tahu goreng," kata Eros kemudian. "Mau?"

Pertanyaan itu membuat Leony pelan-pelan melirik. Tampak matanya mengerjap-ngerjap berulang kali. Bibirnya tampak cemberut.

"Tapi ...," lirihnya lesu. "Aku rasanya males banget buat masak."

Eros mengembuskan napasnya. "Biar aku yang masak."

Sontak saja mata Leony membesar. "Bener?"

"Iya," angguk Eros. "Bener."

"Yes!"

Eros geleng-geleng kepala. Takjub melihat perubahan ekspresi wajah Leony yang terjadi hanya dalam hitungan detik. Dan kala itu, ia pun lantas teringat lagi akan perkataan dokter Yusnida.

"Kalaupun ada hal yang paling penting yang harus diawasi oleh orang di sekeliling ibu hamil, itu adalah emosi ibu hamil. Jangan heran kalau ibu hamil itu mudah tersinggung, mudah marah, atau mudah merasa mellow. Bahkan melihat nyamuk mati pun ibu hamil bisa saja mendadak nangis sesegukan. Karena memang hormonnya lagi gitu. Jadi, kita yang nggak hamil yang harus mencoba untuk memaklumi itu."

Sekarang, sepertinya Eros menyadari kebenaran dari perkataan itu. Karena terbukti. Sedetik Leony merasa sedih dan sedetik kemudian, ia justru tampak sumringah.

"Aku ke luar bentar. Cari dokternya. Siapa tau kamu udah boleh langsung balik."

Leony mengangguk. Dan lantas, mengabaikan Eros yang akan beranjak dari sana, Leony menunduk. Melihat pada perutnya dan memberi usapan di sana.

"Dedek, ntar kita mau makan tempe dan tahu goreng masakan Papa. Yang sabar ya. Hihihihi."

Langkah kaki Eros terhenti tepat di depan pintu. Dan ia membalikkan badan. Melihat pada Leony yang tampak tersenyum lebar seraya mengusap-usap perutnya.

Deg!

Ada sesuatu yang tak asing berdenyut di jantungnya.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top