16. Fluktuasi Keadaan
Sama seperti beberapa hari belakangan ini, Evan mendapati wajah Eros yang tertekuk. Tampak begitu kusut. Persis seperti pakaian yang baru keluar dari dari mulut sapi! Saking kusutnya.
Evan mengembuskan napas panjang. Melihat pada piring makan siang Eros yang nyaris tidak tersentuh oleh cowok itu. Heran. Padahal soal nasi dan lauk pauknya, Eros selama ini tak ada bandingannya. Dia termasuk ke dalam golongan orang 'makanan tidak boleh dibuang-buang'. Maka heran sekali bagi Evan bila mendapati Eros yang justru tampak seperti orang yang tidak bernafsu makan.
"Kenapa lagi, Ros?" tanya Evan seraya meraih gelas minumnya. Tepat sebelum ia meneguk isi di dalamnya. "Ribut lagi sama Leony?"
Dengan sorot mata yang kosong, entah memandang ke mana, Eros mengerjapkan matanya sekali.
"Leony hamil, Van."
"Pruuuttt!"
Sontak saja air yang sedang berada di dalam mulut Evan menyembur keluar. Beruntung tidak sampai mendarat di wajah Eros. Walau jelas, setelahnya Evan justru terbatuk-batuk.
"Huuukkk! Huuukkk! Huuukkk!"
Mendapati reakasi alamiah Evan, Eros hanya mengembuskan napas panjang. Tampak wajahnya yang seperti tidak berekspresi. Hingga kemudian, setelah Evan berhasil meredakan batuknya, ia meraih beberapa helai tisu makan. Dengan segera membereskan kekacauan yang telah ia buat. Selanjutnya, ia pun mengkonfirmasi perkataan Eros tadi. Khawatir kalau-kalau Eros salah bicara.
"A-a-apa kamu bilang?" tanya Evan. "Leony hamil?"
Mengangguk sekali dengan lesu, Eros menjawab. "Iya. Dia hamil."
"Hamil?" Mata Evan membesar. "Mengandung maksud kamu?"
Kembali mengangguk dengan lesu, Eros membenarkan pertanyaan itu. "Iya. Istilah lainnya mengandung."
"A-ada bayi dalam rahimnya?" tanya Evan kemudian. Dan ia buru-buru lanjut berkata ketika dilihatnya bagaimana mata Eros melayangkan lirikan tajam padanya. "Ya iyalah ada bayi di dalam rahimnya. Masa ada paku sih."
Eros kembali mengembuskan napas panjangnya. Membiarkan Evan untuk menggaruk kepalanya yang jelas tidak terasa gatal sama sekali. Alih-alih, temannya itu justru bingung.
"Ha-hamil anak kamu kan?" tanya Evan selanjutnya. Dan sama seperti sebelumnya, ia kembali langsung menjawab pertanyaannya sendiri saat Eros kembali melirik tajam ke arahnya. "Ya iyalah anak kamu. Orang buatnya sama kamu."
Kembali mengacuhkan Evan yang masih tampak seperti orang linglung di depannya, Eros lagi-lagi mengembuskan napas panjang. Hal yang sepertinya mendadak menjadi kebiasaan Eros sekarang. Karena bukannya apa, cowok itu memang tengah pusing tujuh keliling.
Dan seakan tau dengan apa yang sedang memenuhi kepala temannya, Evan pun memilih diam untuk sejenak. Karena tentu saja, bukan hanya Eros yang bingung. Sekarang ini Evan pun ikut-ikutan bingung.
"Ehm ..., Ros ...."
Suara pelan Evan yang terkesan ragu-ragu terdengar menyapa indra pendengaran Eros. Membuat ia sedikit mengangkat wajahnya. Mengerjapkan matanya dengan lesu, ia bertanya.
"Apa?"
Sementara Evan, wajahnya menampilkan ekspresi salah tingkah ketika balik bertanya lagi. "Ini aku harus ngucapin selamat atau apa ya?"
Untuk kesekian kalinya, Eros mengembuskan napas panjang. Dan mendapati itu, Evan buru-buru lanjut berkata. Khawatir kalau Eros justru salah menafsir maksudnya tadi.
"Bu-bukannya apa, Ros. Tapi, sumpah. Itu muka kamu bukan kayak cowok yang lagi happy karena bakal jadi ayah. Makanya, aku bingung. Orang dari tadi wajah kamu kayak orang yang lagi dikejar-kejar debt collector. Aku pikir ada masalah. Eh, taunya Leony hamil." Evan meringis. "Wajah cowok yang bakal jadi ayah jelas bukan kayak wajah kamu sekarang, Ros."
Eros meraih gelas minumnya sejenak. Membasahi tenggorokannya dan lalu mendesah dengan kesan berat. Layaknya ia yang sedang menangggung beban seluruh penduduk Indonesia.
Dan pada saat itu, Evan pun turut melakukan hal yang serupa. Meminum kembali airnya yang tersisa. Tepat ketika didengarnya Eros berkata.
"Kemaren aku dan Leony sepakat mau cerai."
"Pruuuttt!"
"Huuukkk! Huuukkk! Huuukkk!"
Evan tampak sengsara dengan air yang tersedak di tenggorokannya. Kali ini, matanya melotot horor pada Eros.
"A-a-apa kamu bilang?" tanya Evan syok. "Cerai?"
Hanya satu anggukan samar yang Evan dapatkan sebagai jawabannya. Dan itu membuat Evan geleng-geleng kepala seraya menyingkirkan gelas minumnya. Refleks, ia mengumpat.
"Gila! Kayaknya seharian ini aku lebih baik nggak usah minum deh kalau masih bareng kamu. Gimana bisa omongan kamu hari ini pada buat aku kaget? Ya ampun. Bukan cuma soal berita kehamilan Leony, tapi juga tentang perceraian? Astaga. Kamu gila?"
Meringis, tampak benar-benar putus asa, rasanya tidak aneh kalau Eros tidak membantah perkataan itu.
"Sumpah, Van," lirih Eros frustrasi. "Aku pikir aku emang bakalan gila sebentar lagi. Semuanya terjadi mendadak banget."
Mata Evan melotot. "Terjadi mendadak banget? Yang bener aja. Itu Leony hamil nggak mungkin terjadi mendadak banget. Itu ya terjadi karena nggak mendadak. Yang namanya mendadak itu ya nggak sengaja, tiba-tiba. Lah emang waktu kamu buatnya itu nggak sengaja? Tiba-tiba gitu?" Evan geleng-geleng kepala. Tangannya terangkat, menunjuk pada sahabatnya itu. "Oke, fix. Kali ini aku beneran percaya kalau kamu emang bakalan gila bentar lagi."
Eros tampak tersudut. "Bukan gitu maksud aku. Tapi ...." Ia tampak kian frustrasi. "Argh!" geramnya. "Aku dan Leony beneran mau cerai, Van. Dan kemaren kami sepakat buat ngabarin keluarga masing-masing. Terus kamu tau? Keluarga aku malah ngira aku lagi nge-prank gitu. Mau ngasih kejutan kalau Leony hamil. Nggak taunya? Leony beneran ketauan hamil besoknya!"
Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Evan. Ia hanya melongo dengan ekspresi tak percaya. Terutama karena selanjutnya Eros lanjut bertanya.
"Gimana aku ngerasa nggak bakal gila?"
Evan tampak meneguk ludah dengan raut yang tampak mesem-mesem. "Untung aku mutusin untuk nggak minum lagi."
Mata Eros terlihat tajam. Membuat Evan buru-buru berkata.
"Tapi, kok ya bisa pas banget gitu momennya? Mana keluarga sampe ngira Leony hamil lagi. Eh, langsung kejadian."
Muram, Eros mengangguk. "Dan ternyata, hal yang sama juga terjadi sama Leony. Pas dia ngomong sama mama mertua kalau kami mau cerai, eh Mamer malah nggak percaya. Terus ngomong kalau sikap Leony waktu itu kayak cewek yang lagi hamil. Dan teng! Besoknya dua garis merah itu muncul semua di tiga test pack yang dia coba."
Sekarang Eros mengembuskan napas panjangnya. Geleng-geleng kepala, benar-benar tak percaya kalau ingat hal itu.
"Gila kan? Omongan mereka langsung jadi kenyataan aja."
Membenarkan perkataan Eros dengan cara tidak menyanggah kesimpulannya, Evan lantas mengerutkan dahinya. Matanya lantas sedikit menyipit ketika memikirkan sesuatu.
"Itu makanya orang bilang ucapan adalah doa. Eh, mana dua keluarga lagi yang ngomong. Mana nggak jadi kenyataan coba?"
"Bener juga," kata Eros lesu.
"Tapi," lanjut Evan lagi. "Yang penting kini, gimana kalian selanjutnya?"
Kali ini Eros yang mengerutkan dahinya. "Maksud kamu?"
"Ya maksud aku, Leony kan hamil. Jadi, kalian nggak mungkin cerai kan? Ehm ... maksud aku ya gimana ya. Kalaupun kamu dan Leony udah nggak bisa bareng lagi, tapi itu kondisi Leony lagi hamil anak kamu. Kok kayaknya nggak laki banget ya kalau nelantarin anak sendiri?"
"Nggak. Aku dan Leony nggak cerai," jawab Eros seraya mengembuskan napas panjang. "Seenggaknya kami bakal nunda dulu pembahasan soal ini sampe anak kami lahir."
Dan entahlah, tapi yang pasti Evan tampak merasa lega. Hingga refleks, cowok itu bangkit. Meraih tangan Eros untuk menjabatnya dan lalu memberikan pelukannya.
"Selamat, Ros, selamat."
Namun, Eros masih seperti tadi. Tampak lesu dan terkesan datar. "Selamat karena nggak jadi cerai?"
Ya ampun.
Evan terkekeh kaku. "Selamat karena sebentar lagi kamu bakal jadi seorang ayah."
"Aaah ...," lirih Eros. "Begitu."
*
Setelah melewati makan siang yang tidak sepenuhnya ia nikmati –nyaris ia tidak makan pesanannya tadi-, pada akhirnya Eros kembali lagi ke toko kopinya. Bernama La Coffee, tempat minum bernuansa kekinian itu terletak di tempat yang strategis. Di pinggir jalan, berdekatan dengan beberapa perkantoran, dan pastinya memiliki beberapa menu pilihan andalan.
Sesampainya ia di dalam toko kopinya itu, Eros yang masih gamang dengan situasi dirinya saat itu, justru dibuat terperangah ketika mendapati karyawannya beserta Omen yang tampak memegang terompet. Meniupnya dan langsung bersorak.
"Happy otw Daddy!"
Eros melongo. "Hah?!"
Mengabaikan ada beberapa pelanggan yang masih menikmati pesanannya, karyawan dan Omen langsung menghampiri Eros. Memberikan jabat tangan dan ucapan selamatnya.
"Selamat, Bos. Akhirnya bakal jadi ayah sebentar lagi."
"Semoga langgeng selalu, Bos. Anak dan istri sehat selalu."
Omen menyeringai. "Congrat, Bro," ujarnya seraya menepuk punggung temannya itu. "Paten juga ya. Cuma berapa bulan, eh ... langsung jadi aja. Resepnya apa?"
Eros benar-benar syok. "Seperempat terigu dan dua butir telur."
"Hahahaha."
"Dikira buat kue."
Mata Eros memejam dengan dramatis. Mengabaikan tawa penuh suka cita yang meledak di sana, ia lantas buru-buru menarik Omen ke dalam seraya berkata pada karyawannya.
"Makasih untuk ucapannya dan selamat bekerja."
Tak menghiraukan balasan untuk perkataannya, Eros mengajak Omen untuk menuju ke ruangan yang terletak di lantai dua. Ruang kerjanya.
Memastikan pintu sudah menutup, Eros bertanya dengan raut penasaran.
"Tau dari mana? Tau dari mana kalau Leony hamil?"
"Oh," lirih Omen. "Tadi Evan ngasih tau di grup. Makanya aku dan anak-anak pada tau." Ia tersenyum. "Sekali lagi selamat."
"Astaga."
Eros mendesis seraya mengusap wajahnya dengan kasar. Sekarang ia benar-benar makin tidak siap untuk situasinya yang menimpa dirinya saat ini. Ketika ia masih berusaha untuk menyesuaikan diri dengan keadaannya, orang-orang di sekitarnya justru memberikan tambahan tekanan mental berupa ucapan selamat? Yang benar saja.
"Evan ini bener-bener ember," geram Eros.
Namun, sejurus kemudian beberapa pesan yang ia terima di ponselnya membuat Eros tertegun. Tidak hanya satu atau dua orang. Nyaris puluhan orang mengucapkan selamat padanya untuk kehamilan Leony. Dan ketika itulah Omen berkata.
"Akhirnya, Ros. Kamu bakal jadi ayah bentar lagi."
Eros tertegun. Menyadari bahwa sehari itu ada dua ucapan serupa yang ia dapatkan. Menarik napas dalam-dalam, perlahan senyum terbit di wajah Eros.
"Makasih."
Dan kala itu, Eros baru saja mendudukkan bokongnya di kursi. Berniat akan membuka pesan ucapan selamat dan membalasnya satu persatu. Ketika ponselnya berdering dan adalah Leony yang menghubunginya. Tapi, ketika Eros mengangkat panggilan itu, ia pun kaget. Karena jelas, bukan suara Leony yang ia dengar. Alih-alih suara cewek lainnya yang terdengar panik.
"Ros, Leony pingsan. Dan kini dibawa ke klinik."
Ya ampun.
Eros merasa tekanan darahnya naik turun dengan teramat cepat dalam seharian itu. Dibuat tak berdaya dengan sikap Evan, dibuat syok oleh sambutan Oman dan karyawannya, sekarang? Dapat kabar bahwa Leony pingsan?
Dan mata Eros melotot ngeri.
"Apa?!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top