15. Prioritas 3
"Pokoknya, Ros, kamu harus pastikan Leony senang dan selalu sehat. Kamu denger kan apa kata dokter Yus tadi? Leony harus merasa nyaman dengan kehamilannya."
Tak cukup dengan mendengarkan ultimatum Pratiwi, eh ... selang sedetik suara Utami langsung menimpali.
"Mama mohon banget, Ros. Usahakan Leony jangan sampe kecapekan. Hamil muda itu rentan loh. Jadi, kalau kalian ada apa-apa, kamu harus buru-buru ngubungi kami."
Eros baru akan mengiyakan perkataan Utami, tapi persis seperti tadi. Kali ini adalah Rizal yang lanjut berkata padanya.
"Papa nggak mau calon cucu Papa kenapa-napa, Ros. Papa udah nggak sabar mau jadi kakek soalnya. Jadi, ingat. Kalau sampe Leony dan bayinya kenapa-napa, kamu harus siap dengan semua konsekuensinya."
"Hah?"
Mata Eros membesar. Dan tepat sebelum Adi ikut-ikutan bicara, Eros langsung mendelik pada adiknya itu.
"Iya, Kakak tau. Kamu nggak usah ikut-ikutan ngasih ultimatum."
Adi mengerjap-ngerjapkan matanya. Tampak salah tingkah dengan ekspresi geli, lantas menggaruk tekuknya.
"Nggak kok nggak," katanya lucu. "Aku nggak mau ngomong apa-apa."
Tentu saja, Eros tidak percaya itu. Hingga ia nyaris frustrasi. Bahkan ya, saking bertubi-tubinya nasihat dan petuah yang ia dapatkan dari tadi, Eros merasa ingin membenturkan kepalanya di dinding terdekat. Ia merasa kepalanya sudah penuh. Di dalam hati, mau tak mau ia merutuk.
Ini bagus banget.
Di saat aku kena sidang dua keluarga, eh ... Leony enak-enakan tidur di kamar.
Karena memang itulah yang terjadi. Setelah pulang dari klinik dan mereka mendapati Leony yang tampak lelah, otomatis saja calon ibu muda itu disuruh untuk langsung beristirahat. Yang mana itu tidak ditolak sama sekali oleh Leony. Malah dengan senang hati ia turuti. Dan ketika Leony sudah lelap, maka waktu penghakiman untuk Eros pun tiba.
"Ya ampun. Iya iya," kata Eros hampir putus asa. "Aku bakal berusaha ngejaga Leony. Kalau ada apa-apa, aku bakal langsung ngubungi. Tenang aja."
Kali ini Eros berkata dengan penuh penekanan. Dengan tak lupa memasang ekspresi serius di wajahnya. Dalam hati ia berdoa, agar keluarganya tidak lagi meragukan tekadnya. Karena sungguh! Saat ini yang Eros butuhkan adalah istirahat. Entah mengapa Eros merasa hari itu teramat menguras tenaganya. Seperti makanan yang ia konsumsi seharian itu tidak memberikan efek apa pun untuknya. Alih-alih, ia justru seperti mengalami defisit tenaga. Hiks.
Utami menarik napas. "Mama sih ngerasa kehamilan Leony ini tipe kehamilan manja."
"Eh?" Eros mengerjap sekali. "Apa kehamilan ada tipe-tipenya?" tanyanya bodoh. "Apa itu ntar bakal aku pelajari di kelas kehamilan?"
Pratiwi berdecak. "Ini nggak ada teorinya. Tapi, ini ilmu turun-temurun."
Eros bengong. Tapi, ia sama sekali tidak berbohong. Eros benar-benar tidak mengerti tipe kehamilan. Terutama tipe kehamilan manja.
"Itu maksudnya ada yang waktu hamil, cewek itu tetap kayak biasa. Tapi, ada juga yang berubah jadi manja," terang Utami. "Banyak kok cewek yang pas hamil nggak mual, badan tetap bugar, atau bahkan nggak ngidam sama sekali. Persis kayak biasanya. Tapi, jangan salah. Ada cewek yang pas hamil justru manja banget."
"Persis kayak Mama hamil kamu dulu, Ros," seloroh Rizal. Dan setelah ia mengatakan itu, mendadak saja ekspresi wajah pria paruh baya itu berubah. Seperti dirinya yang baru saja mendapat undian berhadiah. Tepat ketika sesuatu melintas di benaknya. "Nah! Jangan-jangan ini karma kamu lagi karena sering nyusahin Papa waktu masih dalam kandungan dulu."
Lagi-lagi, Eros cuma bisa bengong. "Bahkan aku yang belum lahir bisa langsung booking karma aku?" tanyanya syok. "Ya ampun, Pa."
Adi tertawa. "Hahahaha. Kakak harus jadi suami siaga. Atau kalau mau, aku bisa kok tinggal di sini bareng Kakak. Gimana?"
"No!"tegas Eros. "Big no! Yang ada bukannya kamu ngebantuin Kakak, eh ... yang ada malah Kakak ketambahan harus ngurusin kamu lagi."
"Jadi, intinya adalah kamu harus ingat kata dokter Yus tadi. Kamu harus menyenangkan perasaan Leony. Jangan buat dia stres. Jangan sampe kandungan dia kenapa-napa. Dan amit-amit ya, Tuhan. Jangan sampe Leony kena baby blues," ujar Pratiwi dengan ekspresi khawatir.
Di saat itu, Eros kembali mencoba untuk membela dirinya. Atau paling tidak mengatakan sesuatu agar percakapan itu berhenti sampai di sana. Tapi, Pratiwi justru mengangkat satu tangannya. Isyarat untuk putra sulungnya itu bahwa ia belum selesai bicara.
"Dan jangan pernah kamu banding-bandingkan Mama dulu dengan Leony sekarang."
Mulut Eros bergerak. Kembali berusaha untuk bicara, tapi Pratiwi lebih cepat.
"Mama tau dulu kami nggak ada kelas ibu hamil. Tapi, sekarang ada. Dan dulu, memang belum ada istilah baby blues. Tapi, sekarang ada. Namanya aja zaman udah berubah," kata Pratiwi. "Kamu nggak bisa ngebandingkan satu ibu hamil dengan ibu hamil lainnya, Ros. Kamu tau? Zaman Mama dulu, tingkatan stres itu nggak setinggi zaman sekarang. Jadi, tentu saja dampak dan penanganannya beda." Pratiwi berpaling pada Utami. "Bener kan?"
Utami tentu saja mengangguk. "Zaman kami dulu hp nggak ada. Tv pun hitam putih. Yang kalau udah malam tayangannya malah warna pelangi. Bandingkan dengan sekarang. Siaran macam-macam. Terus ada fb, ig, twitter, ah ... entah deh apa aja. Dan itu pasti ada banyak tayangan atau postingan yang buat kita stres. Ada yang ngomong harus inilah harus itulah. Padahal semua orang kan kondisinya nggak sama."
"Tuh! Dengerin omongan mertua kamu, Ros!" kata Pratiwi lagi. "Apalagi dulu rumah itu tetangganya jauh-jauh. Bisa satu kilometer baru ada tetangga. Lah kalian? Kanan kiri atas bawah tetangga semua. Panci jatuh aja bisa jadi topik ghibah. Dibilangin lagi berantem. Apa itu bukan artinya tingkatan stres zaman sekarang lebih tinggi?"
"Oh iya. Jangan mentang-mentang dulu nggak ada istilah baby blues terus kamu mau ngomong ibu-ibu sekarang lebay. Karena dulu orang emang nggak ngerti istilah baby blues," tukas Utami. "Yang ada istilah kena santet!"
"Atau kena tegur roh nenek moyang!"
Astaga!
Yang bener aja!
Sementara Eros, hanya bisa melongo seraya berpindah-pindah fokus matanya. Dari Utami, lalu ke Pratiwi, lalu ke Utami lagi, lalu ke Pratiwi lagi, dan begitulah seterusnya. Tanpa bisa melakukan apa-apa selain tetap diam. Layaknya ia yang tetap fokus mendengarkan semua ceramah yang diberikan oleh kedua orang ibunya. Dan itu, tentu saja belum termasuk kalau Rizal turut bicara.
"Papa dulu bahkan rela jalan berkilometer jauhnya demi nyari empek-empek kapal selam buat Mama, Ros. Waktu itu taksi mana ada. Angkot masih sepi. Terpaksalah Papa jalan kaki. Nah, itu baru laki! Laki itu harus jantan! Pantang menyerah."
"Ah .... Iya iya iya, Pa."
"Walau pada akhirnya pas Papa pulang Mama kamu udah nggak selera makan empek-empek kapal selam lagi sih," tutup Rizal dengan sorot mata yang tampak setengah kesal. Sementara Pratiwi hanya tertawa-tawa karena diingatkan tentang kenangan dulu. "Emang dasar ibu hamil."
"Jadi, intinya itu, Ros ...."
Mengabaikan interaksi lucu antara kedua besannya, Utami terus berkata pada Eros. Demi menenangkan perasaannya yang gamang. Ada pengharapan di ekspresi wajahnya.
"Mama harap kamu jaga Leony baik-baik. Jangan sampe dia stres. Kita semua nggak mau terjadi hal yang buruk sama Leony dan bayi yang dia kandung."
Glek.
Walau jujur saja, Eros memang merasa nyaris gila karena semua petuah yang dipaksa harus masuk ke otaknya secara bersamaan, tapi di satu titik ia merasa tak berdaya ketika melihat wajah penuh harap orang tuanya. Tak hanya Utami yang merupakan mertuanya, tapi orang tua kandungnya pun jelas tampak berharap banyak dengan Eros.
"Karena kalau bukan dengan suaminya," kata Utami kemudian. "Dengan siapa lagi istri harus mempercayakan keselamatan mereka?"
Dan pada saat itu, entah bagaimana ceritanya, ingatan Eros mendapat berputar ke belakang. Pada satu masa telah lama ia lalui. Ketika untuk pertama kalinya ia mendatangi Leony di rumahnya. Di malam Minggu yang cerah.
*
Di satu malam Minggu ....
Eros grogi. Jujur saja, ia memang gugup. Bukan bermaksud untuk norak. Tapi, ini adalah kali pertama bagi cowok itu datang ke rumah seorang cewek untuk mengapelinya. Wih! Jangan ditanya bagaimana kabar jantung Eros saat itu. Terancam copot! Hihihihi.
Hanya saja, itu bukan hal yang berlebihan mengingat bahwa yang membuka pintu rumah tersebut bukanlah Leony. Alih-alih adalah Eggy, kakak Leony. Maka sontak saja Eros memucat.
Mengetahui bahwa ada seorang cowok yang akan mengapeli adiknya, Eggy tentu saja bersikap layaknya kakak pada umumnya. Dengan segera memasang badan. Tampil paling depan. Seperti malaikat penentu nasib Eros ke depannya. Apakah layak untuk memacari adiknya atau tidak. Karena Eggy tau jelas, tanpa ada kehadiran ayah di sisi mereka, maka ialah yang memegang tanggung jawab untuk menjaga Leony. Termasuk dari godaan cowok-cowok nakal yang sering mematahkan hati para cewek.
Eros meneguk ludah. Tampak mengusap kedua tangannya berulang kali. Terasa basah.
Sial!
Aku keringetan!
Namun, di sanalah Eros berada. Telah duduk di satu kursi teras. Bersama dengan Eggy. Dengan ditemani oleh dua cangkit teh yang mulai mendingin.
Ya ampun.
Aku tuh niatnya mau ngapelin Leony.
Bukannya malah mau ngapelin kakaknya.
Di saat Eros sibuk dengan upaya menenangkan dirinya, terdengar suara deheman Eggy. Cowok yang tua nyaris sepuluh tahun ketimbang dirinya itu menoleh. Menatap pada Eros dengan sorot mata yang tajam.
"Kamu serius dengan adik aku?"
Eros menarik napas dalam-dalam. "Serius, Kak. Serius banget malah. Kalau aku cuma mau main-main, aku juga nggak bakal sampe datangin Leony ke rumahnya."
"Huh!" dengkus Eggy ketus. "Nggak usah pake akal-akalan kayak gitu. Aku juga cowok."
Mata Eros memejam dengan dramatis. Merasa dirinya siap akan dikuliti saat itu juga. Hingga kemudian, ketika Eggy kembali bersuara, ia nyaris tak percaya dengan apa yang telinganya dengar.
"Kalau kamu memang serius, aku cuma ingin satu."
Eros berpaling. Mendapati bagaimana tak ada ancaman di mata Eggy. Alih-alih adalah pengharapan.
"Jaga dia baik-baik," kata Eggy datar. "Ini janji kita sebagai seorang laki-laki."
*
Sekarang ....
Eros nyaris melupakan hal itu. Dan mertuanya seperti sedang mengingatkan dirinya. Terutama dengan keadaan Leony sekarang. Seakan menyadarkannya bahwa ada nyawa lain yang turut menjadi tanggung jawabnya saat ini.
Untuk itu, Eros pun ingat bahwa beberapa saat yang lalu, ia dan Leony sama bertekad untuk menyingkirkan terlebih dahulu semua hal yang berkaitan dengan perceraian mereka. Dan bukankah tadi dokter sudah mengatakan? Bahwa stres sangat mempengaruhi kondisi janin dan ibu?
"Untuk tingkat yang parah, stress bisa menyebabkan keguguran," ujar dokter Yusnida kala itu. "Jadi, keguguran bukan hanya soal benturan, kurang makan, atau kelelahan. Bahkan stres yang kita lihat tidak memberikan tekanan secara fisik, juga mampu menyebabkan keguguran. Karena itu, penting sekali untuk menjaga perasaan ibu hamil agar selalu senang dan tenang."
Maka lantas Eros pun menarik napas dalam-dalam. Setidaknya ia sadar, bahwa kali ini ia harus memikirkan satu nyawa lemah yang sedang dikandung Leony. Bagaimanapun juga, itu adalah anaknya. Darah dagingnya. Manusia macam apa yang tidak mengkhawatirkan anaknya sendiri?
Eros memberikan satu anggukannya. Hal yang tentu saja menenangkan kegelisahan semua keluarganya.
"Aku bakal jaga Leony baik-baik," katanya. "Jangan khawatir."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top