14. Prioritas 2

Eros memastikan bahwa Leony benar-benar siap ketika mereka kemudian pada akhirnya keluar pula dari kamar mandi. Dan seperti yang ia perkirakan sebelumnya, semua keluarganya menunggu tepat di tepat pintu kamar mandi. Dalam hati Eros berdoa, semoga saja setiap perkataan mereka mengenai perceraian tadi tidak terdengar sedikit pun oleh salah satu di antara mereka. Kalau sampai terjadi, ehm ... Eros yakin. Kiamat akan segera datang.

Utami langsung meraih tangan Leony. Lantas mengusap pipinya yang terasa lembab. Wajah wanita paruh baya itu tampak cemas.

"Kamu baik-baik aja, Ny?"

Leony berusaha menenangkan semua orang. Memberikan anggukannya dan berusaha untuk tersenyum. Walau jelas, semua juga mengerti bahwa Leony tidak baik-baik saja. Dan itu tentu saja bukan salah Leony. Kehamilan memang memberikan dampak yang berbeda pada setiap wanita. Ada wanita yang tidak merasa mual dan nyaris tanpa mengalami gejala kehamilan seperti pada umumnya, sementara wanita lain justru sebaliknya. Mual, letih, lesu, tidak bertenaga, dan semuanya sehingga sangat membutuhkan pengawasan dari orang sekelilingnya.

Memilih untuk beristirahat sejenak di kamar, keluarga mereka dengan berat hati membiarkan Leony untuk menunda makannya sejenak. Walau tak berapa lama kemudian, mereka pun berhasil membujuk Leony untuk kembali mengisi perutnya. Dan itupun nyaris tanpa nasi yang masuk.

"Cuma tempe dan tahu goreng?" tanya Pratiwi. "Makan yang lain?"

Leony menutup mulut dan menggelengkan kepalanya. Tapi, ia berpaling pada Adi. Bertanya. "Buah kamu tadi mana, Di?"

Mata Adi membesar. "Bentar aku ambilin, Kak."

Maka secepat itu pula Adi beranjak dari kamar. Mengambil piring buahnya yang tadi sempat ia taruh sejenak di dalam kulkas. Ketika ia tiba kembali ke kamar, ia pun menyerahkan itu pada Eros yang duduk di tepi tempat tidur.

Leony tersenyum pada Adi. "Makasih," katanya. "Kayaknya aku cuma mau makan jeruknya."

Mendengar itu, Utami dan Pratiwi saling lempar pandang dengan wajah mesem-mesem. Sudah bisa mengira bahwa Leony mulai menyukai makanan yang rasanya kuat. Dan ketika itu, Rizal terdengar bersuara.

"Oh, iya. Sebelum Papa lupa. Untuk jadwal konsultasi Leony udah Papa buat. Sore ini kita bisa pergi ke klinik."

Eros dan Leony saling pandang. Sama-sama tidak tau tentang konsultasi dan klinik yang dimaksud. Maka dari itu Eros bertanya.

"Konsultasi apa, Pa?"

Dan sebagai jawaban, adalah delikan mata Pratiwi yang Eros dapatkan. "Konsultasi kehamilan Leony dong."

"Uhuuuk!"

Leony tersedak biji jeruk dan Adi dengan sigap memberikannya segelas air putih. Meneguknya hingga tiga kali tegukan dan lantas mendesah lega. Leony berharap agar makanan yang belum lama masuk ke dalam perutnya tidak akan keluar lagi.

"Kita ntar ke Klinik," kata Utami. "Buat ngecek kehamilan Leony. Ya ... sekalian konsultasi tentang keadaan Leony sekarang. Biar bayi yang dia kandung bisa terpantau perkembangannya."

Menimpali penjelasan Utami, Pratiwi menyeletuk. "Tuh kan. Beruntung banget kami datang. Ternyata kalian masih pada buta kan tentang ginian? Ckckck. Jadi, sekarang kita biarin aja dulu Leony istirahat. Ntar sore baru deh kita ke klinik bareng-bareng."

Eros dan Leony saling tukar pandang. Menyadari bahwa apa yang dikatakan Pratiwi tadi benar. Mereka terbukti memang buta. Toh, bagaimana tidak buta kalau mereka justru lebih fokus memikirkan soal perceraian?

*

Sekitar jam lima sore, Eros dan Leony dengan didampingi oleh keluarga mereka sudah tiba di salah satu klinik. Bernama Klinik Bunda, kedatangan mereka yang terkesan ramai sempat membuat petugas keamanan menjadi bingung. Khawatir membuat kekacauan, namun untungnya mereka tidak diusir. Alih-alih disuruh menunggu di tempat yang tersedia.

Tak menunggu lama, pada akhirnya giliran Leony untuk diperiksa pun tiba. Hal itu tentu saja berkat Rizal yang telah membuat janji temu terlebih dahulu. Walau mendadak, hanya saja hubungan di belakang layar membuat hal itu mudah untuk diatur. Tercatat, dokter kandungan yang nanti akan memeriksa Leony adalah putri dari salah seorang sahabat dekat Rizal dari dulu.

Mengingat terbatasnya ruang pemeriksaan dan memikirkan faktor kenyamanan Leony, Rizal dan Adi harus berlapang dada untuk tidak turut masuk. Mau tidak mau mereka merasa kesal pada Pratiwi dan Utami yang tentu saja berhasil turut mendampingi Eros dan Leony.

Berbaring di ranjang pemeriksaan, seorang perawat mengoleskan gel di perut Leony. Cewek itu tampak gugup. Hingga sadar atau tidak, tangannya bergerak. Meraih tepian kemeja yang dikenakan oleh Eros. Menarik perhatian cowok itu. Dan di saat itu, Eros bisa melihat bahwa lagi-lagi Leony tidak seperti biasanya. Tidak cukup dengan pingsan, kali ini Eros menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana tangan istrinya itu gemetaran.

Eros meraih tangan Leony. Pun entah sadar atau tidak, ia menggenggam jemarinya. Berkata.

"Nggak apa-apa. Ini cuma diperiksa doang."

Satu hal kecil yang ternyata tidak luput dari perhatian Pratiwi dan Utami. Membuat mereka mengulum senyum seraya sambil melempar lirikan lucu. Hingga sejurus kemudian, semua perhatian mereka pun teralihkan. Tepat ketika dokter yang tampak bersahaja itu mulai melakukan pemeriksaan pada kandungan Leony. Dan ketika itulah, baik Eros, Pratiwi, maupun Utami, terpana melihat pada tampilan yang terhubung pada monitor. Bahkan saking takjubnya dengan hal itu, mereka nyaris tidak benar-benar mendengar penjelasan yang diberikan oleh dokter Yusnida.

Sejurus kemudian, Leony sudah duduk di hadapan dokter Yusnida. Didampingi oleh Eros di sebelahnya, mereka mendengarkan setiap penjelasan yang dokter berikan. Sementara Pratiwi dan Utami untuk beberapa saat masih sibuk dengan gambar janin yang mereka dapatkan.

"Kondisi kandungannya sudah masuk bulan kedua. Dan keadaannya sehat."

Suara dokter Yusnida membuat kesenangan Pratiwi dan Utami dengan gambar janin di tangan mereka, terjeda sejenak. Alih-alih tetap fokus dengan kegembiraan itu, mereka berdua langsung ikut terjun dalam percakapan tersebut.

"Tapi, Dok. Ini Leony nggak nafsu makan."

"Mualnya parah banget, Dok. Kami takut nanti bayinya kenapa-napa."

Dokter Yusnida tersenyum. "Mual di awal kehamilan wajar, Bu. Walau memang tiap wanita berbeda-beda responnya. Ada yang mual ala kadarnya, namun ada juga yang parah." Ia lantas beralih pada Leony. "Tapi, yang pasti Ibu jangan lupa untuk makan."

Leony meringis. "Saya akhir-akhir ini memang ngerasa nggak mau makan nasi, Dok. Terakhir saya makan bubur, eh ... malah muntah."

"Bener, Dok," imbuh Utami. "Dia cuma mau makan tempe dan tahu goreng. Sama buah-buahan."

"Kalau memang Ibu merasa nggak nyaman makan nasi, ya ... nggak usah dipaksa. Masih banyak kok makanan lain yang bisa mencukupi kebutuhan harian Ibu," terang dokter Yusnida. "Bisa diatur dengan konsumsi buah-buahan, susu, ataupun sayur-sayuran yang terasa enak di lidah."

"Tapi, kalau Leony lemes gimana, Dok, karena nggak makan nasi?" lanjut Utami bertanya. "Kan ntar malah bayinya yang kenapa-napa."

Itu adalah hal yang wajar dikhawatirkan oleh mereka. Cemas bila buruknya nafsu makan Leony akan berimbas pada janin yang sedang ia kandung. Dan tentu saja itu tidak lepas dari sepasang mata Eros yang dari tadi senantiasa mengamati bagaimana antusiasnya orang tuanya dalam menanyakan banyak hal pada dokter tersebut. Cukup membuktikan bahwa baik Pratiwi maupun Utami sama-sama khawatir dengan kesehatan Leony dan bayinya.

"Nasi bukan satu-satunya sumber makanan kok, Bu. Tenang saja. Selama Ibu Leony makan buah-buahan, sayuran, roti, atau kue sekalipun, mudah-mudahan kondisi Ibu Leony akan tetap sehat," terang dokter Yusnida. "Lagipula justru bagus kalau selama kehamilan Ibu Leony suka makan buah-buahan. Buah-buahan memiliki banyak kandungan vitamin yang dibutuhkan selama kehamilan."

"Oooh ...."

Dokter Yusnida pun lantas memberikan beberapa penjelasan lainnya terkait dengan kehamilan Leony. Terutama ia tujukan pada Eros sebagai suaminya. Dan ketika dokter Yusnida tau bahwa itu adalah kehamilan pertama, maka dokter Yusnida pun menyarankan untuk mereka mengikuti kelas ibu hamil. Dan mendengar itu, mata Eros membesar.

"Sa-sa-saya juga ikut kelas ibu hamil, Dok?"

Dokter Yusnida terkekeh. "Walau namanya kelas ibu hamil, Pak, tapi tetap saja nanti dibutuhkan suami dalam pelaksanaannya. Ada banyak materi yang juga diperuntukkan untuk suami."

"Kamu jangan macam-macam, Ros. Pokoknya kamu harus ikut kelas ibu hamil juga. Temenin mantu dan cucu Mama."

Eros mesem-mesem ketika melihat Pratiwi yang langsung mendelik dan berkata padanya tanpa tedeng aling-aling. Bukannya apa, tapi sungguh. Eros tidak pernah berpikir bahwa akan ada masa di mana ia ikut kelas ibu hamil. Toh, banyak kok yang tidak ikut hal semacam itu.

"Emang dulu Papa juga ikut kelas ginian apa, Ma?"

Entah apa yang dipikirkan Eros kala itu, tapi sontak saja mulutnya mengatakan hal tersebut. Maka bukan hal yang aneh bila Pratiwi lantas menyerocos.

"Zaman Mama dulu emang belum ada kelas ginian, makanya Papa nggak ikut. Lagian ini kan mengikuti perkembangan zaman."

Utami terkekeh. "Kalau dulu sudah ada, kami pasti mau ikut juga, Ros."

Dan belum cukup dengan serangan ibu dan ibu mertuanya, Eros pun mendapati bagaimana mata Leony yang menyipit padanya. Mengirimkan sorot peringatan. Seolah-olah ingin berkata seperti ini.

'Mau lepas tanggung jawab heh?'

Berniat agar perdebatan kecil itu tidak menjadi perdebatan yang besar, dokter Yusnida pun melanjutkan penjelasannya.

"Karena nanti, bisa saja di kemudian hari terjadi sesuatu yang mengharuskan andil Bapak dalam mengurus Ibu dan bayinya. Seperti persiapan yang harus disediakan ketika menjelang kelahiran. Barang-barang apa saja yang harus disiapkan dalam tas bersalin. Kemudian, kita juga akan belajar merawat bayi. Termasuk cara memandikan, cara mengganti pakaian, dan popok. Serta cara menyusui."

"Tuh, Ros. Dengerin."

Eros makin mesem-mesem. Menyadari bahwa lain kali kalau ia harus menemani Leony periksa kandungan, maka ia harus memastikan bahwa ibunya tidak turut serta. Bagaimana bisa dari tadi ia terus-menerus dipojokkan? Toh, bukan salah Eros kan kalau tidak tau apa-apa.

"Iya, Ma, iya. Aku kan juga belum tau apa-apa."

Pratiwi geleng-geleng kepala. "Makanya karena nggak tau apa-apa, kamu ikut kelas ibu hamil sama Leony."

"Iya. Aku ikut aku ikut," ujar Eros cepat. Tidak ingin perdebatan itu semakin berlanjut lebih jauh lagi.

Melihat interaksi itu, lantas membuat Leony mau tak mau jadi terkekeh. Merasa geli. Hal yang terang saja membuat Eros justru melirik dengan ekspresi setengah cemberut.

"Dan hal penting yang harus diperhatikan adalah Ibu Leony harus merasa senang. Usahakan jangan sampai stres. Hindari memikirkan hal yang berat. Karena bisa mengganggu kesehatan dan ketenangan janin, itu juga nggak bagus untuk kesehatan mental Ibu nantinya."

Ketika dokter Yusnida menjelaskan hal itu, Utami pun lantas bertanya. "Yang orang-orang bilang itu ya, Dok? Baby blues?"

Dokter Yusnida mengangguk. "Dalam tingkat yang parah, itu bisa membahayakan keselamatan ibu dan anak. Jadi, buat lingkungan yang nyaman untuk Ibu Leony. Mengandung itu berarti membawa dua nyawa ke mana-mana. Dibutuhkan dukungan dari keluarga."

Menjeda sedikit penjelasannya, dokter Yusnida kemudian mempersilakan bila ada dari mereka yang ingin menanyakan hal lainnya. Hingga pada akhirnya sesi konsultasi berakhir dan Leony mendapatkan beberapa vitamin penunjang, mereka pun lantas keluar dari ruangan pemeriksaan itu.

Di luar, Rizal dan Adi tampak antusias melihat foto hitam putih janin Leony. Memang, nyaris tidak memperlihatkan apa-apa. Tapi, setidaknya itu menjadi bukti nyata bahwa sudah ada kehidupan di dalam rahim Leony. Tanpa sadar, membuat Leony mengelus perutnya yang masih datar. Mungkin dalam beberapa bulan ke depan, perut itu akan berubah. Lebih besar. Lebih membuncit. Dan lantas, Leony merasakan satu kehangatan yang memenuhi dadanya.

Aku akan menjadi seorang ibu.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top