12. Bayangan Masa Depan

"A-a-apa kamu bilang?" tanya Eros gagap. "Po-po-positif?"

Leony menjawab dengan anggukan kepalanya, walau itu tidak dilihat oleh Eros lantaran cowok itu yang langsung fokus dengan ketiga test pack yang sekarang berada di tangannya. Mata cowok itu nanar melihat pada dua garis merah yang muncul di tiap test pack tersebut. Lantas, ia mengangkat wajahnya. Melihat pada Leony.

"Ka-ka-kamu ..."

Rasanya seperti ada bongkahan besar di pangkal tenggorokan Eros. Nyaris seperti ia yang tak bisa bernapas lagi. Tepat ketika ia kembali bertanya. Demi membenarkan maksud itu semua.

"... hamil?"

*

Eros dan Leony sama tak mengatakan apa-apa. Mereka berdua sama membekunya. Terdiam. Melihat lurus pada ketiga benda yang sekarang berada di atas meja ruang tamu itu. Eros dan Leony layaknya hakim dan jaksa penuntut yang sedang berhadapan dengan pelaku kejahatan.

Ehm ... pelaku kejahatan? Atau mungkin ... pelaku kekacauan?

Tentu saja pelaku kekacauan. Bagaimana bisa tidak sementara hasil itu benar-benar mengacaukan rencana mereka yang sudah tersusun dengan baik? Mereka kan sudah sepakat ingin bercerai.

Hening untuk beberapa saat. Pada akhirnya, seraya memegang perutnya dan tanpa mengalihkan pandangan dari test pack itu, Leony pun memutuskan untuk bicara.

"Aku nggak mau kita cerai," kata Leony menggeleng. "Kita nggak bisa cerai sekarang, Ros."

Tentu saja perkataan Leony membuat Eros berpaling. Ekspresi yang tercetak di wajahnya menyiratkan berbagai emosi di sana.

"Gi-gimana bisa kamu hamil, Ny? Ya ampun."

Leony turut berpaling. "Gimana bisa?" tanyanya dengan menggeram. "Itu tentu saja karena sperma kamu berhasil membuahi ovum aku. Itu pelajaran dasar Biologi dari SMP malah!"

"Argh!" ringis Eros. "Aku tau. Tapi, kita kan udah lama---"

Eros menggantung ucapannya. Otaknya entah bagaimana bisa, namun justru menarik dirinya ke belakang. Pada satu kejadian yang melibatkan gaun bewarna merah tanpa pundak dan juga sepasang sepatu berhak tinggi. Itu adalah di malam seharusnya mereka mendatangi resepsi pernikahan salah satu senior mereka di kampus. Tapi, justru berakhir dengan desahan dan keringat di atas tempat tidur. Sekitar dua bulan yang lalu.

Maka mata Eros pun memejam dengan dramatis. Dan layaknya tau ke mana arah pikiran cowok itu, Leony di sebelahnya pun turut mengembuskan napas panjangnya.

"Pokoknya aku beneran nggak mau cerai sekarang, Ros. Ya kali aku jadi janda dengan perut buncit. Lagian ini anak kamu. Mau nggak mau, kamu harus tanggung jawab."

Kedua tangan Eros naik. Mengusap wajahnya dengan kasar. "Ya pastilah. Kalaupun kita bermasalah, seenggaknya bayi yang kamu kandung itu anak aku. Mana mungkin juga aku menelantarkan darah daging aku sendiri. Aku ini masih manusia kali."

Merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Eros, membuat Leony bisa mengembuskan napas leganya. Sungguh! Terlepas dari keributan yang sering melanda mereka berdua belakangan ini, Leony benar-benar tidak bisa membayangkan harus melalui perjuangan mengandung seorang diri. Itu pasti tidak akan menjadi hal yang mudah bagi dirinya. Sekarang, mendengar ketegasan Eros, setidaknya Leony tidak perlu merasa khawatir.

"Makasih," ucap Leony kemudian. "Seenggaknya, dengan hal ini mau nggak mau kita terpaksa menunda perceraian kita."

Eros mengangguk. "Paling nggak sampe dia lahir."

Leony pun menyetujui hal tersebut. Tak memberikan argumen keberatannya. Terutama karena beberapa detik kemudian, suara bel terdengar. Keduanya tampak saling pandang dengan sorot bertanya-tanya, siapa adanya yang datang ke unit mereka di saat hari masih berada di jam delapan pagi?

Eros bangkit. Menuju ke pintu dan mengintip melalui lubang kecil di sana. Hanya untuk membelalak kaget.

Bagaimana tidak kaget? Di sana, di depan pintu mereka, ada Utami, Pratiwi, Rizal, dan juga Adi. Dan mereka datang, dengan kedua tangan yang sibuk memegang kantong-kantong yang berbeda.

Eros membuka pintu. Ekspresi wajahnya tampak syok. "Mama ...."

"Surprise!!!"

Tak hanya itu, bahkan Adi mengeluarkan terompet dari balik punggungnya. Meniup benda itu layaknya mereka yang sedang merayakan pesta tahun baru.

Dan ketika Eros masih melongo melihat tawa yang meledak di sana, ada derap langkah terdengar di belakang tubuhnya. Diiringi oleh satu suara.

"Siapa---"

Pertanyaan Leony terhenti di tengah jalan. Tepat ketika ia tiba di depan pintu, ia pun membeku di sebelah Eros. Tercengang melihat bagaimana keluarga mereka berdua lengkap berdiri di tepat pintu.

"I-i-ini ...."

"Leony!"

"Mana calon mama muda kita?"

"Apa kabar cucu Kakek?"

"Ini Om datang!"

Keriuhan itu membuat Leony tidak bisa berpikir tentang apa yang sedang terjadi saat itu. Ia gamang. Merasa semua itu antara nyata atau tidak. Dan lalu ia mendapati bagaimana keadaan itu membuat ia pusing. Mungkin syok. Mungkin pengaruh kehamilan. Atau perpaduan keduanya. Yang pasti, di detik selanjutnya, lututnya terasa goyah. Ia nyaris roboh. Namun, posisinya yang tepat di sebelah Eros membuat ia cepat ditangkap oleh suaminya itu.

"Eh?"

"Ny?"

Eros menahan tubuh Leony. "Kamu nggak apa-apa?"

Leony menarik napas dalam-dalam. Tampak lemas mendadak. Hingga membuat ia tak sanggup bicara.

Melihat itu, Eros pun mau tak mau bertindak. Meraih tubuhnya dan menggendongnya. Mengabaikan tatapan cemas dan keriuhan yang mendadak hilang itu, ia pun beranjak masuk ke dalam. Mendudukkan Leony di sofa. Dan ketika ia memutar tubuh, semua keluarganya sudah turut masuk pula.

Menaruh barang bawaannya di sembarang tempat, Utami dan Pratiwi lantas mengambil tempat masing-masing di sisi Leony, mengapitnya. Tampak cemas dan langsung menanyakan keadaan cewek itu.

"Kamu nggak apa-apa, Ny?"

"Ngerasa lemes ya?"

Mengambil inisiatif, Eros pun pergi ke dapur. Mengambil segelas air hangat-hangat kuku dan memberikannya pada Leony.

Dan selagi Leony menerima gelas itu, pun meminum isinya, adalah Adi yang kemudian tertarik dengan keberadaan benda yang tampak aneh di matanya. Ada tiga buah, tergeletak di atas meja. Hingga kemudian ia meraih satu benda itu. Bertanya.

"Ini apa?"

Pertanyaan Adi sontak membuat semua mata di sana berpaling pada dirinya. Melihat pada benda yang dipegang olehnya. Dan itu jelas membuat Eros memejamkan mata dengan dramatis. Ingin menyembunyikan benda itu pun terang saja sudah amat terlambat. Mengingat mertua dan orang tuanya sedetik kemudian langsung menghambur pada test pack lainnya yang masih tergeletak di atas meja. Lantas, seolah mengabaikan bahwa ada Leony yang masih syok, kegembiraan itu pun meledak.

"Ya Tuhan, anak aku beneran hamil."

"Akhirnya, aku bakalan jadi nenek. Pa, kita jadi nenek dan kakek."

"Iya, Ma. Papa bakal jadi kakek."

"Hore! Aku bakal punya keponakan!"

Eros berdecak kesal. Ingin merutuk, tapi tak tau siapa yang ingin ia umpatin. Pada dirinya sendiri yang teledor mengamankan benda keramat itu? Ck.

Hanya saja, ketika kegembiraan itu masih berlangsung, Eros mendapati Leony yang tampak menyandarkan kepala di punggung sofa. Matanya memejam. Ekspresi di wajahnya menyiratkan bahwa cewek itu tengah tidak nyaman dengan keadaan saat itu.

"Ny, kamu kenapa lagi?"

Mengabaikan keluarga mereka yang tampak kegirangan sambil berpelukan, Eros mengambil tempat yang ditinggalkan oleh Utami. Duduk di sebelah Leony dan menyentuhnya pelan.

Mata Leony membuka. "Ini ribut banget."

Dan tepat setelah Leony mengatakan hal itu, ajaib sekali. Semua suara mendadak lenyap. Seperti dirinya yang baru saja memberikan perintah untuk orang tua, mertua, dan juga adik iparnya itu. Mereka tampak salah tingkah.

Utami kembali menghampiri putrinya itu. "Kamu udah sarapan?"

Pelan, Leony menggeleng. "Belum, Ma. Rasanya perut aku aneh aja dari tadi."

Tentu saja mereka paham tentang hal itu. Wajar saja bila Leony merasakannya. Walau tetap, Leony harus makan sesuatu. Kalau tidak, ia benar-benar akan lemas sepanjang hari.

"Kalau gitu, kamu istirahat aja ya di kamar?" tawar Pratiwi kemudian. "Biar Mama nanti yang masak. Kamu mau makan apa? Kami udah belanja banyak ini."

Tentu saja apa yang dikatakan Pratiwi adalah hal yang benar. Dengan kantung plastik yang setidaknya berjumlah enam buah itu, Leony bahkan merasa heran mengapa mama dan mertuanya tidak sampai mengosongkan supermarket terdekat.

Namun, saat itu Leony merasa dirinya benar-benar tidak bisa beradu mulut seperti biasanya. Pada akhirnya, ia pun mengangguk. Menyadari bahwa saat itu yang paling ia butuhkan memang adalah istirahat.

Berusaha untuk bangkit, Leony mendapati Eros yang lantas meraih tangannya. Membantu dirinya untuk melangkah. Memastikan bahwa Leony berbaring di tempat tidur dengan nyaman. Dan ketika Eros menyelimuti Leony, ia mendapati cewek itu melirih.

"Aku nggak ngira kalau mereka bakalan datang sepagi ini."

Berniat untuk langsung keluar dari kamar, Eros mendapati perkataan Leony justru membuat ia tertegun. Hingga tanpa sadar membuat ia urung beranjak dari sana. Alih-alih justru mendudukkan bokongnya di tepi tempat tidur.

"Sama," lirih Eros. "Aku juga nggak ngira kalau mereka bakal seheboh itu."

Lalu, hening. Mereka sama-sama diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Jelas, mereka masih gamang dengan situasi itu. Belum benar-benar yakin dengan kenyataan yang terjadi di depan mata bahwa Leony hamil, eh ... keluarga mereka justru datang demi merayakan kehamilan tersebut.

"Lagipula ... bisa-bisanya mereka justru ngerayain hal ini kayak yang nggak ada beban sama sekali," lanjut Leony lagi. "Padahal jelas banget aku ngomong sama Mama kalau aku mau pisah sama kamu. Tapi, ngeliat pagi ini, kayaknya Mama bener-bener nggak ingat lagi tentang itu."

Wajah Eros tertunduk. Melihat pada jari tangannya. Jelas menyadari hal yang sama.

"Keluarga aku juga gitu." Eros mengembuskan napas seraya mengangkat kembali wajahnya. Melihat pada Leony. "Mereka malah ngira aku lagi nge-prank mereka pas ngomong kalau kita mau cerai. Dan katanya aku nge-prank karena mau ngasih kejutan berita kehamilan kamu."

Mata Leony membola. "Kok sama?" tanyanya tak percaya. "Mama aku juga ngira kalau aku lagi hamil."

Eros membeku. Dengan mata yang membesar, ia bertukar pandang dengan Leony. Seperti mereka yang sedang berusaha menyelami pikiran masing-masing. Hingga kemudian, kengerian itu menghampiri mereka berdua.

"Dan sekarang, aku ternyata beneran hamil."

Horor, Eros merasa bulu kuduknya bagai berdiri semua. "Gimana bisa omongan orang tua kita bisa jadi kenyataan kayak gini?"

Di saat seperti itu, ketika sepasang suami istri itu masih syok dengan kenyataan betapa ampuhnya ucapan orang tua mereka, Eros dan Leony mendapati pintu kamar mereka terbuka. Ada Pratiwi dan Utami yang masuk. Dengan membawa satu nampan berisi bubur ayam yang sudah mereka siapkan sebelum menuju ke rumah Eros. Berniat menyuruh Eros untuk menyuapi Leony, Pratiwi tak mampu menahan desahan bahagianya.

"Ah, semoga mantu dan cucu aku sehat selamanya."

"Semoga mantu aku juga bisa kuat mendampingi kehamilan anak aku, Tuhan."

"Dan semoga mereka sekeluarga selalu bahagia. Bersama selamanya."

"Sampai ajal memisahkan."

Teng!

Karena kalau ucapan orang tua adalah doa, maka sekarang Eros dan Leony sama memucat karenanya. Membuat kedua anak manusia itu sama membeku. Seperti baru saja melihat skenario hidup mereka sampai berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa.

Bersama selamanya.

Sampai ajal memisahkan.

Eros dan Leony saling pandang. Dengan pikiran yang sama-sama bisa menerka ke mana semuanya akan bermuara.

Selamanya mendapati handuk basah di atas kasur?

Sampai ajal mendengarkan teriakan handuk basah?

Keduanya meneguk ludah.

Yang benar saja!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top