10. Bukan Sarapan

Ketika Eros masih bingung harus memberikan penjelasan seperti apa pada orang tua dan juga adiknya, ia justru mendapati ada getar halus yang diiringi oleh berderingnya ponsel yang ia taruh di dalam saku celana jeans-nya. Mengabaikan tawa yang masih meledak di sana, Eros pun mengambil ponselnya. Dan alangkah kagetnya ia ketika melihat siapa yang meneleponnya kala itu.

Mama mertua?

Ya ampun.

Ngapain Mama nelepon aku?

Apa Leony udah ngomong ke Mama dia kalau kami mau cerai?

Jangan ngomong kalau Mama justru mau maki-maki aku.

Masih bimbang harus mengangkat atau tidak panggilan itu, Eros mendapati bagaimana Pratiwi yang langsung beranjak ke sebelahnya. Lantaran melihat Eros yang tertegun menatap pada layar ponselnya, mau tak mau membuat wanita paruh baya itu penasaran. Siapa adanya yang menghubungi putranya saat itu. Ketika jam di dinding mulai menunjukkan jam setengah sepuluh malam.

"Mama mertua," desis Pratiwi. Lalu tangannya pun bergerak. Tanpa bisa dicegah oleh Eros, Pratiwi mengangkat panggilan itu. "Halo, Tami."

Mata Eros melotot. Berusaha untuk merebut kembali ponsel itu, namun ia justru melihat horor pada ibunya yang langsung berdiri. Beranjak demi kembali berkumpul pada Rizal dan Adi yang duduk melantai di depan televisi.

"Mama ...."

Lirihan pencegahan Eros tak berarti ketika Pratiwi sudah mengubah setelan panggilan itu. Menggantinya dengan loudspeaker. Seketika saja suara Utami terdengar.

"Tiwi? Ini kamu?"

Pratiwi tertawa. "Iya, Jeng. Aduh. Kebetulan banget kamu nelepon. Eh, kenapa? Ada urusan sama Eros? Ya ampun. Sebenarnya ada yang mau aku tanyain ke kamu. Tapi, kalau urusan kamu sama Eros lebih penting. Ehm ... ada apa?"

"Oh, bukan urusan penting-penting amat sih. Aku cuma mau nyuruh Eros ke rumah. Ini Leony katanya nggak mau pulang. Aduh, mendadak manja gitu, Jeng. Maunya ngelendot aja sama mamanya."

Mata Pratiwi membesar. Melihat pada suaminya dan anak bungsunya yang dari tadi memilih diam.

"Leony hamil kan?"

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Pratiwi sontak saja membuat Eros yang masih duduk di sofa, tercengang. Benar-benar tidak percaya bahwa lantaran ide prank yang dilontarkan Adi, semua orang jadi berhalusinasi seperti itu. Namun, alangkah kagetnya Eros ketika ia mendapatkan suara Utami yang menjawab seperti ini.

"Nah itu dia! Dia udah mulai ngidam."

What?!

Untung saja bola mata Eros tidak meloncat dari rongganya. Kengerian tercetak di wajahnya yang tampan. Ia benar-benar syok. Sementara jelas, orang tua dan adiknya sontak bersorak.

"Papa, kita beneran mau jadi kakek dan nenek."

"Aku bakal jadi om dong, Ma."

Jelas, hanya Eros yang masih melongo. Dengan satu pertanyaan yang melintas di benaknya.

Kenapa halu ini bisa melintasi jarak?

Ya ampun.

"Dan sekarang, ini aku nelepon buat ngabarin Eros. Nyuruh dia jemput Leony di rumah. Ya masa kan lagi hamil muda disuruh sendirian?"

Pratiwi melotot pada Eros. "Bisa-bisanya kamu nyuruh Leony sendirian ke rumah mamanya, Ros? Buruan sana. Jemput Leony."

"Ma---"

Kali ini Rizal turut bicara. "Pake mobil Papa. Ntar Leony masuk angin lagi kalau pake motor kamu itu. Hamil muda itu rentan. Harus dijaga bener-bener itu cucu Papa."

"Aku ambilin kuncinya bentar, Kak."

Tentu saja longoan Eros semakin menjadi-jadi. Bahkan Adi yang terkenal berat tangan mendadak saja bisa bergerak tanpa menunggu perintah. Dan hanya butuh hitungan detik yang teramat cepat, kontak mobil itu sudah muncul di depan wajahnya.

Adi cengar-cengir. "Apa aku aja yang nyetir? Biar Kakak jagain Kak Leony di belakang?"

Wah!

Secepat kilat Eros menyambar kunci mobil dari tangan Adi. Kengerian benar-benar merasuki pikirannya kala itu. Kalau sampai Adi ikut serta menjemput Leony, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya? Pasti suasana yang tercipta akan semakin keruh lagi. Dan Eros tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi!

"Oke oke. Aku jemput Leony sekarang."

Eros bangkit. Dengan meremas kunci mobil di satu tangannya, ia menunggu hingga pada akhirnya Pratiwi berkata pada Utami.

"Tami, ini Eros udah mau jalan. Suruh aja Leony nunggu bentar ya."

"Ah, iya iya. Makasih, Wi."

Setelah mengucapkan basa-basi perpisahan ala dua besan, panggilan itu pun berakhir. Dengan cepat Eros mengambil alih ponselnya kembali. Dan ketika itu, kembali keluargnya berkata.

"Buruan cepat."

"Ntar Leony kecapekan lagi."

Dan sungguh, dibutuhkan banyak kekuatan bagi Eros untuk tidak meradang. Meledakkan kekesalannya yang nyaris membuat kepalanya terasa ingin pecah.

Gimana bisa berita perceraian aku justru dianggap prank Leony hamil?

Dan terus, ini maksudnya Mama mertua ngomong Leony hamil apa?

Apa---

Mata Eros membesar. Beruntung sekali saat itu lampu lalu lintas berubah merah. Hingga rasa ngeri yang mendadak menjalari tubuhnya tidak memberikan peluang yang membahayakan untuk cowok itu.

Le-Le-Leony hamil?

Dia hamil?

Eros memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu. Alih-alih, ia mencoba untuk fokus dengan jalanan di depannya. Hingga kemudian, pada akhirnya ia tiba pula di rumah ibu mertuanya itu. Dan sepertinya, kedatangan Eros memang telah dinanti-nanti. Karena tepat ketika ia memadamkan mesin mobil, ia mendapati pintu rumah yang langsung membuka. Ada Utami yang langsung menyambutnya.

"Kamu bawa mobil Papa, Ros?"

Menyisihkan sejenak masalah yang sedang menimpa mereka, Eros tetap berlaku sopan pada ibu mertuanya itu. Bersalaman dan memberikan satu pelukan singkat yang terasa hangat di dada Utami. Dan tak lupa menjawab pertanyaan itu.

"Iya, Ma. Kata Papa biar Leony nggak masuk angin di jalan."

Utami tersenyum lebar. Dan ia kembali berkata seraya menunjuk ke dalam.

"Itu, Leony ada di dalam."

Eros mengangguk. Mengikuti langkah Utami yang mengajaknya turut masuk ke dalam. Demi menemui Leony yang tampak manyun, duduk di depan televisi yang tidak ia tonton lagi.

"Ny, ini Eros datang. Kamu ini. Bukannya disambut, eh ... malah cemberut," gerutu Utami seraya menghampiri putrinya. "Sudah. Sana pulang sama Eros. Kalau kamu nggak pulang, jangan harap kamu bisa tidur di kamar. Kamu bakal tidur di teras sana."

Leony meringis. "Mama ini. Tega amat sih sama anaknya."

Mengabaikan sikap Leony yang terkesan manja di matanya, Utami meraih tangan putrinya itu. Menariknya. Memaksa Leony untuk bangkit sementara Eros tampak datar saja melihat pada istrinya itu.

Utami menyeret Leony. Mendorongnya dengan halus ke arah Eros, hingga mau tak mau membuat cowok itu untuk menahan tubuhnya. Utami mengembuskan napas panjang.

"Oke. Karena ini udah malam," kata Utami kemudian. "Mama nggak nyuruh kamu duduk minum atau makan dulu, Ros. Ntar kalian kelamaan di jalan lagi. Mending kalian buruan balik sekarang. Biar Leony bisa istirahat dengan nyaman di rumah."

Gelagapan, Eros terpaksa mengangguk. Pun layaknya menantu yang hormat pada mertua, ia tak lupa berpamitan. Lantas memastikan Leony duduk dengan tenang di kursi penumpang sementara ia menyalakan mesin mobil. Tampak Utami yang melambaikan tangannya. Mengantar kepergian anak dan menantunya itu sebelum masuk kembali. Dan memastikan pintu rumah terkunci dengan aman.

Sepanjang perjalanan, keheninganlah menemani perjalanan pulang sepasang suami istri itu. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir keduanya. Dan hal itu sontak menghadirkan satu kenyataan yang miris. Bahwa dulu, mereka justru bingung bagaimana caranya untuk memutus percakapan. Lantaran ada saja yang menjadi bahan pembicaraan mereka.

Sekarang? Yang terjadi justru sebaliknya. Mereka seperti tidak memiliki topik apa pun untuk dibicarakan. Atau mungkin karena mereka sama-sama takut? Khawatir kalau topik yang mereka angkat malah membuat mereka bertengkar lagi. Karena, ketika mereka pada akhirnya tiba di unit, keduanya sama-sama menyadari. Bahwa mereka memang hanya bicara untuk ribut. Itu adalah ketika Eros melayangkan satu pertanyaannya.

"Kamu hamil?"

Leony mendengkus. Acuh tak acuh menaruh sepatu yang ia kenakan tadi di lemarinya. Sambil berjalan, tak menghiraukan Eros, ia menjawab.

"Siapa juga yang hamil."

Eros menyusul Leony. "Terus yang dibilangin Mama?"

Tangan Leony terangkat. Melambai sekilas di depan wajah dan mencebik. "Mama cuma ngira aku hamil gara-gara aku cerewet soal handuk basah kamu. Nggak tau deh pemikiran dari mana sampe-sampe ada kaitannya antara handuk basah dan kehamilan."

Eros mengembuskan napas lega. "Untunglah kalau gitu."

"Untung?" tanya Leony dengan menyipitkan matanya. "Hah. Seharusnya aku yang ngomong gitu. Untung aku nggak hamil. Toh kita mau pisah bentar lagi." Ia melirik. "Kamu udah ngasih tau belum ke keluarga kamu kalau kita mau pisah?"

"Udah," jawab Eros singkat.

"Terus?"

Eros mengembuskan napas panjangnya. Memutuskan untuk tidak mempermalukan diri sendiri dengan kegembiraan aneh keluarganya lantaran mengira Leony hamil. Mau ditaruh di mana muka Eros? Dan pada saat itu, keanehan itu melintas di benaknya. Bagaimana bisa dua keluarga salah mengira tentang hubungan mereka? Terlebih lagi salahnya dengan penyebab yang sama. Hamil? Ya ampun.

Maka dengan langkah gontai, ia pun berlalu dari hadapan Leony. Berkilah dengan memanfaatkan wajahnya yang tampak lelah, ia berkata.

"Besok aja kita ngomonginnya. Aku mau mandi dulu. Terus aku mau tidur."

Dan tepat sebelum Eros benar-benar beranjak dari sana, Leony pun memberikan peringatannya.

"Langsung jemur handuk basah kamu! Awas aja!"

*

Keesokan harinya, beruntung sekali hari Minggu, karena Leony merasakan tubuhnya benar-benar letih kala itu. Membuat ia enggan untuk bangkit dari tidurnya. Namun, derit tempat tidur tatkala Eros turun, membuat kesadarannya tidak bisa diusir lagi. Maka, cewek itu lantas mendengkus spontan. Tampak kesal.

"Berisik banget sih, Ros. Ngangguin orang tidur aja."

Eros berdecak. Tak kalah kesalnya dengan rutukan Leony yang menjadi pembuka harinya.

"Baru bangun tidur aja udah sewot kamu, Ny. Astaga."

Selesai mengatakan itu, Eros tampak beranjak. Langsung keluar dari kamar itu dengan beberapa rencana di benaknya. Eros tau, ia tidak tahan berlama-lama dengan Leony di unit dalam kondisi yang seperti itu. Dan itu membuat ia memutuskan untuk pergi ke toko kopinya saja. Mengingat biasanya Eros tidak pernah kerja di hari libur –selalu Omen yang menanganinya-, tentu saja itu akan memperjelas pada dunia bahwa dirinya dan Leony memang sedang tidak baik-baik saja.

Eros langsung menuju ke kamar mandi. Membiarkan air dingin membasahi tubuhnya dan ia pun membersihkan diri. Mungkin membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk cowok itu kemudian menuntaskan rutinitas paginya itu. Dengan sehelai handuk putih yang mengelilingi pinggangnya, Eros melangkah keluar dari sana.

Baru dua langkah kaki Eros berjalan, ia mendapati suara gaduh. Ada Leony yang tampak lari tergesa-gesa dengan satu tangan yang berada di mulutnya. Seolah mencegah sesuatu yang akan keluar dari sana.

Dan semua terjadi dengan begitu cepat. Sedetik Eros melihat Leony di seberang sana, sedetik kemudian eh ... Leony sudah berada di depannya. Berniat untuk masuk ke kamar mandi, tapi Eros justru terkesan menghalangi jalannya. Hingga karena itulah, Leony tak mampu bertahan lagi.

"Hueeekkk! Hueeekkk! Hueeekkk!"

Eros melotot. Horor. Melihat bagaimana di dadanya menempel cairan lengket beraneka warna. Merah, kuning, hijau, dengan latar putih yang tampak menjijikkan. Dan semua itu dilengkapi oleh aromanya yang membuat mual perut Eros. Maka tidak mengherankan bila pada akhirnya cowok itu menjerit.

"Aaah!!!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top