Sepuluh Tahun (I)

"Saudara Gibran Bagaskara," kata Pendeta Gilbert, menoleh pada pria jas hitam dan dasi kupu-kupu. "Bersediakah Saudara menerima Saudari Gayatri Nandhana sebagai istri Saudara, mengasihi dan melindunginya, dalam suka maupun duka, sakit maupun sehat, baik dalam kekurangan maupun kelimpahan, sebagaimana wajib diperbuat seorang suami yang beriman kepada Yesus Kristus?"

"Ya, saya bersedia."

"Saudari Gayatri Nandhana," kata Pendeta Gilbert pada wanita bergaun putih sebahu, tudung kepala putih panjang menutupi wajah manisnya. "Bersediakah Saudari menerima Saudara Gibran Bagaskara sebagai suami Saudari, setia dan tunduk padanya, dalam suka maupun duka, sakit maupun sehat, baik dalam kekurangan maupun kelimpahan, sebagaimana wajib diperbuat seorang istri yang beriman kepada Yesus Kristus?"

"Ya, saya sangat bersedia," jawab Gayatri lantang, sudut bibirnya bergetar menahan kegembiraan saat menatap calon suaminya, yang untuk sesaat tadi, tampak gugup.

Pria tuksedo datang menyerahkan sekotak cincin biru bludru. Semua tamu undangan terpana pada adegan pemasangan cincin. Proses pengukuhan yang singkat dan beban tanggung jawab seumur hidup terjadi dalam hening yang syahdu.

"Dengan ini saya nyatakan Saudara dan Saudari sebagai suami-istri yang sah."

Gibran membuka tudung kepala Gayatri hati-hati. Wanita itu menyambutnya dengan menarik kerah dan mencium suaminya.

Hujan pita metalik meledak di atas mereka. Riuh tepuk tangan tamu-tamu terdengar. Seperti waktu dapat berhenti saat itu, menyelamati hari ketika dua orang yang mulai pada detik itu menjadi satu.

****

Leticia Leta Oetomo memandang keluar jendela. Kerlap-kerlip kuning dari lampu jalan membentuk formasi bintang-bintang di langit gelap, mobil-mobil yang terus melintas, orang-orang hilir mudik di trotoar, gedung-gedung pencakar langit yang bergerak cepat, nyanyian pria logat Inggris yang kental diiringi musik jazz, dan udara sejuk dari kisi-kisi AC mobil. Bila alat perekam keindahan pemandangan dan perasaan itu ada, maka saat ini adalah saat yang tepat memakainya.

"Senang?" Suara bariton itu memecah perhatian wanita yang sering disapa Leta. Dia sedang memerhatikan sepasang remaja bermesraan di pinggir jembatan layang.

Pria bertampang mirip rubah, mata serupa kacang almond yang ujungnya tertarik ke atas, hidung mancung dan mulut tipis, meliriknya. Samar-samar kerutan di dahinya tampak. Seperti ingin menegaskan watak serius, selain itu efek alami dari faktor usia seseorang saat memasuki kepala tiga.

"Waktu kita menikah, apa aku secantik Aya?" Leta menatap suaminya penuh harap. Mereka baru saja dari pernikahan teman SMP-nya, Gayatri Nandhana. Dulu, Aya anaknya paling tidak peduli fashion, dekil, kribo, dan petakilan. Lihat wanita itu sekarang. Angsa putih yang cantik. Kembaran Sandra Dewi yang hilang.

"Semua orang pasti cantik kalau pakai make up dan dress putih," jawab Adrian Putra Oetomo, menatap lurus ke jalan.

"Kalau kamu bilang begitu pada pengantin wanita, kamu bisa ditampar high heels."

Adrian mengedikkan bahunya tak peduli.

Layar radio pada dashboard menampilkan nama pemanggil 'Mr.Fred'. Adrian memencet sesuatu di telinganya dan mulai berbicara dengan siapapun yang Leta yakini salah satu kliennya.

Leta yang terabaikan kembali pada rutinitas. Memandang ke luar jendela, melihat gemerlap kehidupan malam. Yang kecantikannya tak lagi sama.

****

Genap sudah sepuluh tahun sejak Leta dan Adrian membina rumah tangga bersama. Usia mereka masih belia saat keputusan besar itu diambil. Sama sekali bukan karena alasan mendesak, seperti benih yang terlanjur tumbuh di tubuh si wanita atau penjualan anak berkedok pernikahan karena ketidakmampuan finansial keluarga.

Mereka hanya dua orang muda yang jatuh cinta dan sama-sama yakin kalau cinta itu butuh komitmen lebih dari sekedar janji di mulut. Bermodal nekat dan restu orang tua yang susah payah didapat, mereka menikah.

Hanya pernikahan sederhana. Di suatu bukit belakang gereja tua di Jakarta. Pernikahan itu dihadiri tiga sahabat mereka. Kedua orang tua mereka tidak mau datang karena malu.

Di bawah pohon tanjung yang dililit pita putih pada batang-batangnya, mereka berdiri di hadapan pendeta. Mengenakan gaun dan kemeja sewaan dari binatu yang kelonggaran. Mengucap ikrar pernikahan.

Hari itu, Leta benar-benar sangat bahagia. Senyum selebar pipinya terus terkembang, sembari sesekali menarik lengan gaun putihnya yang jatuh karena kedodoran. Buket bunga mawar yang ia petik dari rumah tetangga dipegangnya erat-erat. Dalam kesederhanaan itu, baginya, itu pernikahan terbaik.

"Kamu menonton itu lagi?"

Adrian muncul dari kamar tidur, mengancingi kancing terakhir pada piyama kotaknya. Tatapannya melewati Leta yang duduk di sofa, pada TV berlayar datar. Video berhenti pada bagian Leta dan dirinya berbagi tawa usai pengucapan sumpah nikah.

"Iya. Pengen nostalgia zaman pas kita nikah," jawab Leta, lesung pipi menusuk pipinya lebih dalam saat tersenyum. "Dulu kita baby sekali. Nggak ada kerutan sana-sini, badan langsing, ah ... aku rindu model rambut panjangku."

Adrian berjalan menuju meja bar di belakang sofa, menuang air dari teko kaca tinggi.

"Kalau dipikir-pikir, kita berani sekali ya waktu itu? Kita nikah pakai uang tabungan karena orang tua nggak niat mendanai. 'Paling tahun depan sudah cerai', ingat nggak ibumu pernah bilang begitu waktu kamu datang meminang?"

"Mmhm. Karena itu kita tertantang nggak mau balik rumah padahal kelaparan, nggak punya uang." Adrian menarik sudut bibir, menyamarkannya dengan meneguk isi gelas.

"Tinggal di kos-an sempit, yang cuma ada tempat untuk kasur dan dapur kecil. Butuh setengah hari buat kita membersihkan noda di dinding dan lantai. Nggak dua kali deh, tinggal di tempat begituan."

Adrian mendesah, "Kita benar-benar berusaha waktu itu."

"Kerja dari pagi ke pagi. Jadi pelayan restoran, tukang cuci baju, kerja apa pun. Nggak nyangka kita bisa tinggal di apartemen senyaman ini sekarang." Leta memandang berkeliling dengan mata berbinar, perabotan nuansa monokrom, dapur mewah berbahan marmer, sampai langit-langit dengan tiga lampu kepompong warna kuning pucat menancap di atasnya.

Bagi diri mereka sepuluh tahun lalu, tinggal di apartemen seperti ini adalah mimpi. Model yang hanya dapat mereka lihat dari brosur iklan rumah.

Tidak disangka-sangka, suatu hari seorang teman menawarkan Adrian menjadi OB di suatu bank. Ajaibnya, setelah tiga tahun bekerja, ia berhasil masuk dalam tim marketing, kemudian suatu hari mereka bisa hidup berkecukupan dan tinggal di apartemen mewah. Leta pun dapat bekerja dalam bidang yang ia sukai, menjadi professional graphic designer.

Kerja keras mengukuhkan finansial keluarga selama bertahun-tahun berbuah manis. Hidup benar-benar berjalan penuh kejutan.

"Yah, itu semua terjadi dulu." Adrian menumpuk gelasnya ke bak cuci piring. "Besok pagi aku ada meeting penting. Aku tidur duluan."

Leta memandang pintu kamar yang ditutup. Mengharap suaminya bisa lebih lama di sisinya. Entah sudah berapa lama mereka tidak mengobrol selama tadi.

Ia meraih kalender duduk di meja bar. Mengambil spidol merah yang terselip pada spiralnya dan mencoret tanggal hari ini. Tinggal dua hari sampai hari itu tiba. Peringatan pernikahan kesepuluh mereka.

Rasanya, dia semakin merindukan cowok lugu yang menyemat cincin kaleng ke jari manisnya pada suatu sore di taman sekolah. Dengan telinga memerah dan suara gugup, meminta untuk menikahinya.

****

Pagi bagi seorang istri seperti persiapan menghadapi medan perang. Leta bangun pagi-pagi dan bebersih diri, menyapu lantai, menyiapkan sarapan, membangunkan suami, menyetrika kemeja kantor pilihannya, lalu menata meja.

Adrian keluar dari kamar pagi itu dengan muka kesetanan. Ia menyambar kopinya dan meneguknya sedikit. Leta mendekat untuk memperbaiki dasinya yang miring.

"Nanti aja, Hon. Udah telat." Adrian berusaha melepas jari Leta di dasinya, tapi wanita itu bersikeras. "Sebentar nggak usah nunggu pulang, ya. Anak-anak ngadain makan-makan untuk perpisahan Bu Melanie."

"Bu Melanie?"

"Manajer marketing yang gendut dan rambut sebahu."

"Oh, yang itu." Leta selesai merapikan dasi suaminya. "Kamu ingat besok hari apa kan?"

Adrian menatap arlojinya dan membeliak. "Gawat. Lima belas menit lagi mulai. Aku pergi!"

"Hon, sarapanmu!"

Punggung suaminya berlalu di balik pintu kayu mahoni. Kericuhan berakhir oleh suara pintu mengunci otomatis.

Leta mendesah. Menumpuk piring bersih di meja dan memasukkan makanan ke kulkas. Sudah lama mereka tidak sarapan dengan layak. Apa dia tidak rindu menikmati pagi dengan tenang? Minum kopi hangat, mengunyah sarapannya pelan-pelan sambil mengomel kabar korupsi pejabat tamak dan bagaimana tindakan buruk itu sudah mendarah daging di negara kita. Atau, paling tidak mengecup pipi istrinya sebelum pergi?

Dengusan keluar dari mulutnya. Paginya masih panjang. Ia harus bersih-bersih rumah, lalu mulai mengerjakan logo permintaan klien.

Wanita itu mengerutkan dahi ketika merasakan sesuatu berbahan halus, tipis, dan mungil, dari kantung jas suaminya. Dia selalu memeriksa kantung-kantung jas dan celana sebelum dicuci supaya tidak ada uang kertas atau slip penting yang tertinggal. Tapi, hari ini berbeda. Dia menemukan kelopak bunga anyelir pink dan sebuah kartu nama.

'Vicky's Secret', begitu typografi besar pada kartu nama itu, diikuti alamat dan contact person. Leta tidak tahu kenapa ada kartu nama itu di sana, tapi dia kenal satu toko perhiasan bernama Vicky's Secret di Jakarta Selatan.

Apa mungkin ..., Adrian ingin memberikannya kejutan hadiah ulang tahun pernikahan?

Leta tidak berharap banyak. Cukup Adrian ingat tanggal pernikahan mereka saja itu sudah sangat menyentuh hati. Tapi, dia tidak menyangka Adrian akan membelikannya hadiah. Lebih baik pura-pura tidak tahu sampai besok. Ini akan jadi kejutan yang romantis! pikir Leta.

Dengan senandung kecil, dia melempar cucian masuk ke dalam mesin cuci dan segera masuk ke kamar dengan segudang rencana di kepalanya.

****

Buket bunga anyelir pink-putih menjadi pemandangan pertama yang ia lihat saat bangun. Leta langsung menyambar buket bunga dan mencium aromanya dalam-dalam. Ia menikmati wangi bunga segar itu, lebih mendebarkan karena itu dari suaminya. Jadi, begini rasanya mendapat kejutan romantis dari suami.

Ia mengambil kotak hitam seukuran asbak rokok dan membukanya. Jam tangan bertali besi warna rose gold. Sangat sesuai seleranya.

Kertas ucapan jatuh saat Leta meletakkan buket bunga untuk mencoba jam tangan. Ia memungut kertas itu dan membacanya.

Mendadak, seseorang dari belakangnya, merampas kertas ucapan itu.

"Kebiasaan buruk banget. Suka gatal lihat barang punya orang," omel Adrian, sambil menyematkan kartu ucapan pada tangkai-tangkai buket bunga.

Leta tercenung. Hatinya berkecamuk. Dia bicara pelan-pelan, "Itu ..., buat bos kamu?"

"Buat siapa lagi memang?" Adrian mengembalikan jam tangan pada kotaknya. "Ini hadiah perpisahan buat Bu Melanie. Dia sangat berjasa sama kita. Dia yang merekomendasikan aku jadi marketing, ingat?"

"Terus, karena itu, dia lebih penting dari istrimu?"

Adrian memegang pelipisnya dengan frustasi. "Leta, kepalaku masih pusing karena minum-minum kemarin. Bisa nggak kalau kamu lagi ada masalah ngomong nanti aja. Pas pulang, oke?"

"Bicarakan pas pulang? Maksudnya, pas kamu kelelahan pulang dan langsung tidur itu?"

Adrian mengangkat tangan. "Oke, oke. Aku yang salah. Aku minta maaf. Sudah ya, aku mau siap-siap dulu. Ntar telat lagi."

Adrian membawa buket bunga dan kotak jam tangan masuk ke dalam kamar. Leta menahan sikunya.

"Kamu selalu bilang maaf, maaf, untuk semuanya. Padahal sebenarnya kamu nggak benar-benar peduli masalahnya apa! Itu cuma alasan kamu saja supaya bisa lari. Bisa nggak kamu sekali saja nggak bersikap pengecut?"

"Astaga, Leta! Kenapa kamu selalu mendramatisir semuanya?"

Leta menenangkan diri di bawah napas, perasaannya tak terkendali. "Kamu ingat hari ini hari apa?" Getir yang tidak ingin ada di sana, terdengar.

Adrian memandangnya dongkol tapi tetap berpikir. "Hari ... Sabtu, kan? Iya aku tahu kalau harusnya aku nggak masuk kerja hari ini tapi ada kli-"

"Aku nggak percaya aku sudah berbunga-bunga karena orang sepertimu!" potongnya, suaranya bergetar. Ia menatap suaminya dengan tatapan menantang. "Jujur saja, kamu masih sayang sama aku?"

"Kamu selalu bertanya pertanyaan yang sama."

"Yang nggak pernah kamu jawab," sambung Leta.

Adrian membuka mulut tapi tidak mengucap apa-apa. Semuanya sudah Leta duga.

"Kayaknya kita harus pisah dulu sampai kita berdua tahu apa layak nggak hubungan ini dipertahanin."

Leta melangkah mundur dan berjalan tegas menuju kamar. Adrian mengikutinya di belakang, persis seperti anjing dan suaranya seperti gonggongan di telinganya. Leta menutup pintu dan mengunci tepat di depan hidung Adrian. Adrian mengetuk pintunya.

"Kita belum selesai bicara. Keluar, Leta!" Dia memutar-mutar kenop pintu tak sabaran. "Leta, buka pintunya!"

Leta mengumpul barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam koper. Kalau Adrian tidak menganggapnya penting, maka dia bisa juga keluar dari hidup Adrian.

****

[ B E R S A M B U N G ]

NB :
Harusnya ini cerpen tapi kepanjangan jadi kupotong dua bagian 🙈 Maapkeun
Karena harus update hari ini, bagian keduanya yang belum selesai akan saya update besok kalau sempat, kalau nggak sempat mungkin lusa 🙂

Makasih sudah membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top