Khayalan

Wanita itu selalu datang tiap hari Jumat. Duduk sendirian di dekat jendela, memandang keluar sambil minum espresso dari cangkir putih dengan asap mengudara. Kadang-kadang, ia membawa buku, hanya membacanya lima-enam halaman, lalu meninggalkannya di meja. Belas-belas menit berlalu dengan dia memandang keluar jendela.

Tidak ada atraksi atau semacamnya di luar. Kecuali, dia punya gangguan mental; senang melihat orang-orang berwajah murung lewat, yang siang malamnya banting tulang untuk menjemput kebahagiaan kecilnya.

Kurasa dia wanita baik-baik, dia sering meninggalkan uang tip di bawah piring cangkirnya. Pakaiannya pun sederhana. Dia selalu mengenakan gaun panjang semata kaki, tak pernah warna terang. Selalunya warna-warna netral seolah suasana hatinya tak pernah baik. Orang-orang berpikir dia berkabung. Sebagai pengamat yang baik, aku bisa bilang 'tidak ada yang mati'. Dia tidak pernah sekali pun memakai pakaian hitam.

Bagiku, yang paling menarik darinya adalah matanya. Matanya biru, sangat indah seperti permata laut. Sebagian orang mengatakan itu palsu, sebagian menebak-nebak mungkin dari nenek moyangnya. Orang Asia mana yang punya mata biru?

Kamu menemukan satu, sayang. Wanita itu. Yang sedang menyibak rambutnya ke belakang, dan helaian-helaian rambut panjangnya jatuh halus. Bibirnya merah bagai buah ceri.

Oh sayang, aku tidak jatuh cinta.

Wujudnya memang patut dicintai, namun niatku sebatas menjalin hubungan baik dengan pelanggan tetap café.

Atau mungkin, awalnya begitu. Sekarang, aku selalu menunggu Jumat jam tiga sore.

****

Suara gemeretak dari biji kopi yang digiling mata pisau bergerigi pada coffee grinder muncul tenggelam dalam lantunan lagu jazz ketika kulihat wanita itu masuk ke café. Hari masih Rabu dan waktu menunjuk jam lima sore. Lebih tak biasa, dia memakai terusan biru sewarna matanya. Rupanya sangat memukau, aku selalu menduga paduan warna cerah pasti cocok dengan kulit putihnya.

Kegiatannya jauh lebih ringkas dari kemarin-kemarin. Dia tidak membawa buku, hanya minum espresso beberapa teguk di mejanya, menatap keluar sebentar, sebelum mengecek arloji-kebiasaan yang selalu ia lakukan kalau mau pulang. Dia meninggalkan mejanya pada pukul lima lewat sepuluh menit.

Kurapikan meja-meja habis dipakai, mengangkat cangkir-cangkir dan mengelap meja, waktu sekelebat kulihat sesuatu mengilap di bawah kaki kursi. Dompet kulit warna hitam mengilap dengan batang besi di tengahnya.

Tanpa perlu mengecek isi dompet, pemiliknya sudah kutahu siapa. Wanita cantik bergaun biru yang tadi duduk di kursi ini. Jiwa pengecutku lantas menjerit-jerit, "Ini saatnya! Sudah saatnya!"

Tungkaiku bergerak tak sabaran keluar café. Menajamkan mata mencari satu sosok di trotoar jalan yang ramai. Bunyi bising dari klakson mobil-mobil di lampu merah membuatku pusing. Waktu aku sedang mengomeli debu halus berterbangan di depan muka, kulihat dia duduk di kursi halte seberang jalan, menunggu bus yang kiranya mengetem di suatu tempat.

"Permisi, Kak!" sapaku, menyetop mobil terakhir di ujung zebra cross, lalu berjalan cepat kepadanya. "Dompet Kakak ketinggalan." Kuserahkan dompet hitam mengilap itu, masih dalam napas pendek-pendek.

Matanya memancarkan tanya, namun tangannya terulur menerima. "Itu jatuh di bawah kursi waktu saya bersih-bersih," kataku. Lagi-lagi, matanya memandang ragu. "Kakak bisa cek isinya untuk jaga-jaga."

Ia masih mengawasiku sambil membuka kancing dompetnya. Pura-pura kulupakan rasa kecewa karena perbuatan baikku dicurigai niat buruk sambil memandang atap biru kursi halte.

Bus biru datang dari arah Utara.

Orang-orang turun dari bus ketika pintu dibuka. Aku mengawasinya sambil dalam hati berharap agar wanita ini tidak pulang sekarang. Sudah lama aku menanti pertemuan ini, dan haruskah berakhir secepat ini?

"Tidak usah." Wanita itu tidak bergerak dari tempatnya, ia menutup dompetnya. "Aku tahu kamu tidak mengambil apa pun. Yang tidak kutahu adalah alasanmu selalu mengamatiku."

Keterkejutan pasti tampak di wajahku karena dia membuang napas geli. Dia menunjuk ke samping. "Dari kaca jendela café aku bisa lihat pantulanmu. Kamu mengamatiku diam-diam."

Kata-kata tersangkut di lidah, pipiku memanas bukan karena panas matahari sore. "I-itu .... Saya cuma ...."

"Cuma apa?" godanya, selangkah mendekat. Matanya melengkung seperti bulan sabit waktu tersenyum. Aku tidak tahu pesona wanita, harumnya, senyumnya, bisa membuat jantung pria begitu tidak tenang.

"Cuma tertarik sama kamu." Eh?

Kalimat yang harusnya hanya ada di kepalaku malah kuumbar ke dunia nyata. Sangat kuno dan menggelikan. Herannya, itu membuatnya tertawa. Tawanya persis seperti cuitan burung-burung yang terbang mengelilingi atas pohon. Manis sekali. Bahunya yang kurus bergetar tiap kali dia menarik napas.

Dari ujung mata, kulihat bus mulai berjalan.

"Shift-mu sudah selesai?" tanyanya, saat tawanya berakhir. Kujawab dengan anggukan. "Setelah itu, kamu mau jalan sama aku?" Dia menatap penuh harap.

Aku diam sejenak, menenangkan diri agar tidak salah tingkah.

"Boleh."

Senyum serupa bunga mekar di musim semi menutup pertemuan pertama kami. Besoknya, dia datang lagi ke café memakai gaun biru yang sama, namun sosoknya tidak lagi misterius. Nama wanita itu Sonya.

Ia bukan wanita pemurung, binar matanya tak pernah berkurang tiap menatapku. Ia punya banyak kesukaan. Dia suka warna biru laut, penggemar kopi, suka menari bertelanjang kaki di halaman belakang rumah, otaknya penuh lagu-lagu jadul yang bisa asal comot tiap dia menunggu kue di panggangan, dan kebiasaannya adalah tertawa pada leluconku.

Dia tertawa lagi waktu kulontarkan lelucon paling garing. Kuminum kopi untuk menyembunyikan senyum, lalu mengamatinya menari di halaman belakang rumah. Ia bergerak seperti peri dengan sayap capung di punggung, kaki-kaki kecilnya meloncat halus di atas permukaan tanah berumput, membiarkan badannya bergoyang mengikuti lagu jazz dan gaunnya mekar di udara.

"Kamu senang?"

Dia melebarkan tawa lagi. Tangannya menarikku bangkit dari duduk, kuberi alasan tidak pandai menari karena malu. Tapi, dia tetap menuntunku, mengarahkan tanganku melingkari pinggangnya dan sebelah tangan di pundak. Lalu, ia mengayunkan kaki di bawah, selangkah demi selangkah mengikuti ritme lagu bertempo lambat. Yang kuikuti pelan-pelan, selangkah demi selangkah.

Ia tertawa kecil waktu aku berhasil membuatnya berputar beberapa kali. Tawa menyebalkan yang manis. Aku selalu rindu tawanya bahkan di dalam mimpi.

Malamnya, kami bercengkrama di café, membiarkan lampu padam. Satu lampu kuning dekat dapur menyala, selebihnya dari cahaya bulan menembus kaca jendela.

"Apa yang kamu lihat di luar jendela?" tanyaku, meletakkan cangkir di meja.

Dia berpaling dari jendela kepadaku. Uap kopi di cangkirnya tidak nampak lagi. Masih tak menjawab, jadi kupancing, "Tiap kali kamu ke café kamu selalu duduk di sini dan menatap keluar jendela. Apa yang kamu cari?"

Wajahnya berubah kuyu. Kabut-kabut sendu yang sudah lama hilang dari wajahnya datang kembali dengan kekuatan lebih besar.

"Aku mencari seseorang yang kehadirannya terlambat kusadari sangat penting. Sudah kucari dia dimana-mana, tapi aku tidak menemukannya."

"Aku bisa bantu. Besok aku bisa cuti sehari. Mungkin kalau berdua, pencariannya jadi lebih mudah."

Dia menggeleng, menatapku dalam. "Tidak usah. Satu-satunya yang kutahu tentang dia hanya café ini."

"Siapa dia?" tanyaku hati-hati.

Ia tidak menjawab. Malah menerbitkan senyum seolah memberi batas pada keingintahuanku. Keesokan harinya, dia datang kembali dalam rupa yang sama, lalu terus begitu hingga tiba-tiba suatu hari sosoknya tidak datang lagi.

Kursi kosong dekat jendela di waktu petang kembali menjadi pemandanganku. Halaman belakang pada malam hari tak lagi diisi lagu-lagu jadul tahun 80-an. Hanya secangkir kopi dingin dan berteman sepi. Tak ada lagi wajah manis yang menyambutku di pintu depan café dan mengajak pergi menonton film layar hitam-putih.

Seminggu berlalu begitu saja. Lalu, hari ini aku melihat sosoknya lagi. Masuk lewat pintu café dengan senyum memikat yang sama waktu pertama kali kami bicara. Di kala langit senja, dan suara lembut mengucap 'terima kasih' berkali-kali sudah menemukan dompetnya sebelum menaiki bus ke arah Selatan.

Sonya datang dalam pelukan seorang pria berbaju hitam-hitam. Anak kecil dalam gandengannya-yang memakai pakaian warna sama-berlari ke kursi samping kaca, melompat ke atas kursi dengan kaki pendeknya. Itu tempat favorit Sonya.

Pria itu meletakkan Sonya di atas meja dan membuka buku menu. Wajahnya lelah, kantung matanya menghitam, jenggot tipis-tipis tumbuh tak terurus. Ia bergerak seperti boneka tanpa jiwa. Dari pakaian dan foto itu saja semua orang sudah tahu apa penyebabnya.

Seseorang yang ia cintai baru saja pergi.

Orang yang sama yang melubangi hatiku sampai ke dasar hingga rasa sakitnya tak terasa lagi. Hanya kosong. Hari ini aku memandang keluar jendela lagi, menatap orang-orang lalu lalang yang terus bergerak seolah takut soak bila berhenti. Berharap seseorang datang memberiku tambalan hati.

[ E N D ]

Jumlah kata : 1282


***

Silakan vote dan komen

kalau berkenan ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top