Monday : Together

Menjalani misi bersama mungkin tidak begitu buruk, jika yang pergi bukanlah Halilintar dan Solar. Dua orang terkuat dari elemental bersaudara itu sama sekali bukan kombinasi yang baik, bahkan semua orang tahu itu.

Masalahnya, kenapa Komandan Kokoci masih saja mengatur misi mereka seperti itu?

"Kalau saja bukan Komandan yang memerintahkan kita untuk pergi bersama, aku tidak sudi untuk pergi berdua denganmu," omel Solar sembari terus mengemudikan pesawat angkasa, hal itu membuat Halilintar berdecih.

"Lagipula siapa yang mau pergi berdua dengan makhluk narsis seperti kau? Aku sendiri merasa keberatan," sinis Halilintar.

Bagaikan memercikkan minyak ke dalam kobaran api, ucapan sang kakak sulung membuat dirinya semakin kesal. Jika saja Halilintar tidak langsung menahan tubuhnya agar tetap berada di kursi kemudi, dapat dipastikan pertarungan antara kedua kakak beradik itu akan terjadi.

Halilintar kemudian menyeringai sebelum mengarahkan dagu sang adik dengan telunjuk miliknya agar menatap langsung ke wajahnya. "Duduk dengan benar di kursi kemudi, Adik manis. Kau tidak mau bukan harus kehilangan otakmu yang berharga itu karena kecelakaan konyol?"

Solar hanya bisa menatap sang kakak kesal sebelum akhirnya kembali fokus mengendalikan pesawat milik TAPOPS tersebut. "Aku menantang kau dalam sebuah duel saat kita kembali ke markas!"

"Baiklah, siapa takut?" balas Halilintar sebelum tertawa remeh. "Fokus mengemudi, aku tidak mau kita mati konyol karena kau tidak sengaja menabrak asteroid."

"Mati bersama denganmu adalah hal paling menyedihkan dalam hidupku."

Setelah perdebatan kecil itu, Halilintar memutuskan untuk meninggalkan Solar sendirian di ruang kemudi.

Misi mereka kali ini adalah menyelamatkan sebuah power sphera dari planet yang terbengkalai. Belum diketahui dengan pasti power sphera yang berada di sana, namun TAPOPS mendapatkan sinyal darurat dari sana.

Setibanya di planet itu, keduanya dapat melihat reruntuhan dimana-mana. Entah sudah berapa lama planet itu ditinggalkan, namun hampir seluruh bangunannya sudah hilang dimakan usia.

"Apakah benar planet ini terbengkalai?" gumam Halilintar sembari memperhatikan kondisi sekitar dari balik jendela kemudi, Solar yang mendengarnya pun mendengus.

"Tentu saja tidak, Hali. Jika memang terbengkalai, seharusnya kita tidak menerima sinyal darurat apapun dari tempat ini." Solar kemudian mengecek layar navigasi pesawat. "Sinyal itu berada di arah barat daya, sekitar sepuluh kilometer dari sini."

Halilintar pun mengangguk. "Kalau begitu, ayo ke sana."

Solar pun menghela napas, kedua netra kelabunya masih menatap lekat ke arah layar navigasi. "Kita hanya bisa mendekat hingga radius lima kilometer dari tempat itu. Akan terlalu berbahaya bagi pesawat ini jika terbang terlalu dekat dengan tempat itu."

"Yang benar saja? Lima kilometer?" tanya Halilintar tidak percaya, dirinya kemudian ikut menatap ke arah layar navigasi. "Memangnya tidak bisa jika kita terbang dengan mode transparan tepat di atas tempat itu?"

"Kau gila? Kalau kau ingin seperti itu, itu tandanya kau harus pergi sendirian." Solar kemudian menggeleng. "Tidak, Hali. Aku tidak setuju. Aku memang sering bertengkar denganmu, namun bukan berarti aku akan membiarkanmu masuk ke markas musuh seorang diri."

"Aku bisa bergerak cepat, kau tahu? Lagipula, salah satu dari kita memang harus menjaga pesawat ini. Meninggalkan pesawat ini juga bukanlah ide yang bagus," balas Halilintar sebelum melambaikan tangannya. "Aku akan kembali dalam satu jam."

"Halilintar!"

Terlambat, dirinya sama sekali tidak dapat mencegah pemuda keras kepala itu. Solar hanya bisa berdecak malas sebelum menghubungkan posisi jam milik Halilintar dengan pesawat, hal itu ia lakukan agar dapat segera memberikan bantuan kepada Halilintar jika diperlukan.

Netra kelabu menatap lekat titik merah yang berada di layar, dirinya benar-benar fokus memperhatikan setiap langkah yang dilakukan oleh sang kakak.

Setengah jam tidak terasa telah berlalu, titik merah tersebut kini telah dekat dengan titik putih yang menjadi simbol keberadaan power sphera tersebut.

Namun entah kenapa, perasaan Solar menjadi tidak enak. Jika memang semudah itu, lantas mengapa bisa ada sinyal darurat yang diberikan?

Kedua kelopak matanya terbelalak saat menyadari sesuatu. Ini adalah perangkap, entah itu power sphera palsu ataupun ada perangkap yang telah disiapkan di sekitar power sphera tersebut.

Kemunculan puluhan titik hitam di sekitar lokasi Halilintar secara mendadak membenarkan dugaan pemuda itu, yang membuatnya berdecak kesal.

"Sialan!"

Tanpa pikir panjang, dirinya segera menghampiri lokasi sang kakak. Tidak butuh waktu lama hingga dirinya menemukan Halilintar yang tengah sibuk bertarung dengan makhluk-makhluk yang bahkan bentuknya saja tidak jelas.

"Halilintar!"

Merasa dipanggil, pemuda itu pun menoleh sebentar sebelum kembali bertarung. "Aku kira kau akan membiarkanku mati di sini."

"Tentu saja tidak, bodoh!" kesal Solar, dirinya kemudian bersiap mengeluarkan kekuatan miliknya. "Dalam hitungan ketiga, kau harus keluar dari sana!"

"Satu!"

Halilintar melirik sekilas ke arah Solar, memastikan apa yang hendak dilakukan oleh adik bungsunya itu sebelum kembali fokus ke pertarungan. Dirinya harus mencari celah untuk melarikan diri.

"Dua!"

Solar sesekali bertarung dengan makhluk-makhluk yang mulai menghampirinya, dirinya sendiri tidak boleh lengah dengan keadaan.

"Tiga!"

Tanpa basa-basi, Solar mengeluarkan sebuah cahaya terang yang dapat membutakan siapapun kecuali dirinya sendiri. Belum juga sempat mengeluarkan jurus untuk melarikan diri, dirinya merasa tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang keluar dari bangunan tersebut.

Setibanya di luar bangunan, seketika Halilintar terjatuh sebab tenaganya sudah habis. Melihat hal itu, Solar menjadi sedikit panik. "Hei, Halilintar! Jangan mati terlebih dahulu!"

"Cepat kembali ke pesawat, bodoh. Jika kita tertangkap, aku sudah tidak ada tenaga untuk bertarung," desis Halilintar.

Melihat hal itu, Solar segera memposisikan tubuh Halilintar agar merangkul bahunya. "Pegangan yang erat. Aku tidak mau kau terjatuh saat aku membawamu ke atas."

Setelah yakin pemuda itu berpegangan dengan erat, barulah dirinya mengeluarkan kekuatannya. "Lompatan cahaya!"

Keduanya tiba di atas kapal dengan selamat, misi mereka dapat dikatakan berhasil sebab Halilintar juga dapat membawa kembali power sphera tersebut.

"Hei, bedebah. Apakah kau baik-baik saja? Tidak biasanya kau mudah kelelahan seperti ini?" tanya Solar sambil mengecek kondisi pemuda di hadapannya itu, bahkan raut wajahnya pun mengatakan bahwa dirinya benar-benar mengkhawatirkan kondisi Halilintar.

"Bukan urusanmu," ketus Halilintar, dirinya benar-benar malas harus menanggapi semua ocehan Solar.

"Halilintar! Kalau kondisimu memang sedang tidak baik-baik saja, kau bisa meminta yang lain untuk menggantikan dirimu untuk misi ini!"

Merasa pemuda di hadapannya itu tidak akan berhenti mengoceh, Halilintar segera menarik kerah jaket yang dikenakan oleh Solar hingga wajah mereka terpaut beberapa sentimeter saja.

"Dengar, aku sudah muak mendengar ocehanmu. Cepat bawa pesawat ini kembali ke TAPOPS, atau ... kau mau aku cium saja biar kau diam?"

"DASAR HALILINTAR GAY SIALAN!"

THE END

So don't forget to vote, spam comments, follow, and share if you like this story!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top