BAB 5 - Kamsa
Hai, hai. Gimana sejauh ini? Sudah suka belum sama ceritanya? Hehe.
Oh iya. Untuk memperjelas, karena agaknya masih ada yang bingung. Jadi, Ronan, Betari, dan Huri adalah bayi yang ditemukan Romo dan Nyai di malam yang sama.
Ronan dan Betari ditemukan oleh Romo, sementara Huri adalah bayi Cangeling lain yang ditemukan di bawah amben Dulham. Bukan bayinya Dulham, ya. Bayinya memang diculik peri, tapi Huri adalah bayi Cangeling yang dipulangkan. Sengaja mereka taruh di sana karena tahu Mala akan kembali lagi. Dan para peri yang menculik Ronan, Betari, dan Huri berasal dari kelompok atau 'klan' yang berbeda. Paham kan sampai sini?
Kita lanjutin, ya.
Baca sambil dengerin New Romance by Beach House.
*************
Juni 2006
Kenapa ya kita bisa berakhir mencintai seseorang yang sebelumnya begitu kita benci?
Ron, aku kangen sama surat-suratmu setengah mati!
Aku seneng banget waktu kamu pengin kita surat-suratan lagi. Meskipun kita udah punya hp, tapi kayaknya kita jadi agak mengabaikan komunikasi nggak sih? Kayak, kita kadang males buat langsung balesin SMS. Pesan yang singkat itu malah bikin aku sendiri, jujur nggak begitu menghargainya.
Ya ampun, aku punya banyak hal yang pengin aku ceritain!
Tapi aku pengin nulisnya sedikit demi sedikit. Aku juga pengin tahu lebih gimana perkembangan keramatmu sejak kamu nggak mau cerita lewat SMS atau telepon. Tapi nggak apa-apa, kan sekarang kita udah surat-suratan lagi. Meski aku tahu korespondensi seperti ini bakal bikin aku makin kangen sama Huri.
Dia lagi apa, ya, Ron? Dia sekolah nggak, ya?
Mikirin itu aja udah bikin aku pengin nangis. Tapi kamu yakin dia masih hidup, kan?
Tolong kalau kamu bisa ketemu Huri lagi di pengembaraan mimpimu, kasih tahu dia kalau aku kangen banget.
Kamu masih ingat Enis, adik kelasku waktu SMP yang kubilang belagu itu? Dia sekarang masuk Sekolah Pelayaran di Tegal. Aku tahu ini aneh, tapi aku nggak mau gengsi di depan kamu. Jadi, udah beberapa minggu ini aku SMS-an terus sama dia. Dan hawanya tuh beda. Kami seolah lupa pernah sebel-sebelan pas SMP. Awalnya sih cuma ngobrolin rumah pamannya yang katanya ikut terendam lumpur Lapindo. Lama-lama, dia jadi sering SMS aku duluan. Setiap pagi. Setiap siang. Setiap mau tidur, sampai lupa tidur.
Salah nggak sih kalau aku suka sama dia? Aku nggak malu ngakuin ini ke kamu!
Jujur aku masih belum begitu siap buat pacaran lagi sejak Irwin meninggal. Kecelakaan itu masih menghantui aku, Ron. Meski aku nggak melihat kejadiannya dan cuma ikut prosesi pemakamannya, tapi nggak ada bedanya karena aku tetap kehilangan sosoknya. Irwin berarti banget di hidupku. Aku juga sempat berpikir nggak akan bisa menyukai seseorang lagi. Sampai akhirnya Enis datang lagi dalam sifat yang berbeda. Terutama sejak Irwin pergi, Enis udah nggak begitu rese sama aku.
Omong-omong, apa kamu nggak punya pacar atau naksir seseorang? Cewek idamanmu seperti apa sih, Ron? Aku penasaran, deh.
Tolong dibalas yang panjang sama ceritain perkembangan keramatmu.
Sudah dulu.
Yang sedang gelisah,
Betari
Di perpustakaan, Ronan duduk di sudut dekat lemari, tepat di bawah cahaya dari luar jendela yang sedikit terlalu terang. Di hadapannya, selembar kertas terbentang, dan pulpen tergenggam di tangannya. Namun, ujung pulpen itu tak bergerak, hanya melayang beberapa milimeter di atas permukaan kertas. Ia ingin menulis surat balasan untuk Betari. Dirinyaa sudah berjanji, dan ia tahu Betari menunggu. Tetapi ada sesuatu yang menahan dirinya.
Tidak mungkin ia menceritakan segalanya.
Ada hal-hal yang, bahkan kepada Betari, mungkin terlalu sulit untuk dijelaskan. Huri yang pergi meninggalkan mereka tanpa kabar. Romo yang lebih banyak diam. Dan keramat yang tumbuh di dalam dirinya, yang setiap hari semakin mendesak untuk diungkapkan, namun tetap menjadi misteri. Semua itu terasa seperti beban yang hanya bisa ia pikul sendiri.
Ronan menatap sebuah jurnal di atas meja. Jurnal itu adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa mencurahkan semua yang ia temukan. Seratus lembar kertas kosong yang ia jilid sendiri itu, kini hampir penuh dengan tulisan dan sketsa. Di dalam jurnal itu ada rahasia-rahasia yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun, bahkan pada dirinya sendiri di depan cermin.
Segalanya dimulai dari satu tidur.
Tidur bukan sekadar istirahat. Tidak bagi Ronan. Tidur adalah pintu, sebuah transisi dari alam bangun ke sesuatu yang lebih dalam, lebih luas. Jika bagi orang lain tidur adalah hilangnya kesadaran, maka bagi Ronan, tidur adalah kesadaran yang justru bertambah. Kesadaran yang, dalam kata-kata sederhana, ia sebut sebagai kesadaran ruh total.
Ia sering mengamati para kuli Romo yang tertidur di teras rumah. Mereka bersandar di tiang joglo, berbaring di atas karung gabah, terkulai dengan tenang. Tapi Ronan tahu, mereka tidak sepenuhnya di sana. Mata mereka mungkin terpejam, tubuh mereka mungkin diam, tetapi jiwa mereka sedang melayang entah ke mana. Dan para Rasian berbisik kepada mereka, mendongengkan mimpi-mimpi.
Ronan tidak hanya melihat kuli-kuli itu tertidur. Ia melihat ke mana mereka pergi.
Mimpi-mimpi mereka muncul di sekitarnya, seperti proyeksi samar yang bisa disentuh jika ia cukup fokus. Ia mendengar suara pasar yang bising, melihat bayangan seseorang yang menghitung uang dengan cemas. Di pojok joglo, seorang kuli bermimpi tentang tanah longsor yang menelan rumahnya. Mas Wahyu? Ia sedang bermimpi bercumbu dengan seorang perempuan di siang bolong.
Bagi Ronan, ini adalah pelajaran yang tidak pernah ia dapatkan di sekolah. Tidur adalah sarang, pikirnya. Tempat di mana burung-burung kembali setelah seharian lelah terbang, membawa pulang keinginan-keinginan mereka untuk dierami, lalu ditetaskan di dunia mimpi.
Kamsa bersandar di kursinya, mendesah pendek seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan perjalanan panjang hanya untuk menemukan ujungnya adalah lingkaran ide tak berujung.
Ia melirik ke arah Ronan, matanya mengamati sesaat sebelum akhirnya beralih ke halaman terakhir sebuah buku MOP lawas di tangannya. Meski ia sering menjodohkan Ronan dengan Santi, atau cewek-cewek lain, Ronan tahu itu cuma permainan. Tapi ia tidak akan pernah bisa sepenuhnya tertawa. Bukan karena Santi, bukan juga karena keisengan Kamsa, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam karena ingin menjaga perasaan Kamsa.
Atau mungkin, aku tidak akan seperti ini jika saja saat aku bermain ke dalam mimpinya, yang kulihat bukanlah dia yang sedang menciumku. Ronan menulis itu di jurnalnya.
Ronan menatap kosong ke arah meja, ingatan tentang mimpinya merayap masuk seperti bayangan panjang yang tak bisa ia abaikan. Seperti remaja lainnya, Ronan juga terjebak dalam musim mimpi yang membingungkan. Layaknya kebanyakan mimpi remaja di usia puber berputar di sekitar hal yang sama: seks.
Tetapi bagi Ronan, mimpi bukan sekadar proyeksi bawah sadar. Dengan keramatnya, ia bisa melihat lebih jauh. Mimpi orang lain tidak hanya terpampang jelas, tetapi juga memberitahu lebih banyak daripada yang seharusnya ia ketahui.
Seks.
Kata itu melayang di kepalanya, bukan sebagai sesuatu yang menggoda, tetapi sebagai fakta. Sebuah hasrat biologis yang tertanam dalam, namun jarang dibicarakan dengan terbuka. Saat pubertas tiba, spektrum ketertarikan seksual mulai jelas, tetapi tabu yang melingkupinya membuat banyak remaja memilih untuk memendamnya. Seperti telur-telur keinginan yang dierami di alam sadar, kemudian menetas liar di dunia mimpi.
Ronan telah melihatnya, setiap malam. Gelembung-gelembung mimpi teman-temannya penuh dengan fantasi liar, absurd, kadang begitu mentah hingga terasa seperti berjalan tanpa alas kaki di atas batu licin. Ia tidak hanya melihat, tetapi ia memahaminya. Keramatnya seperti sebuah pintu ke ruang rahasia yang tidak dimaksudkan untuk dilihat siapa pun.
Ronan hanya tidak menyangka kalau salah satu rahasia yang dilihatnya itu adalah milik Kamsa.
Kamsa menyimpan perasaan padaku.
Ronan merasakan aliran darahnya melambat saat memikirkan malam itu, ketika ia tanpa sengaja tersesat ke dalam mimpi Kamsa. Ia melihat dirinya, bukan sebagai teman, tetapi sebagai objek dari sesuatu yang lebih dalam. Kamsa menciumi Ronan dalam mimpinya, penuh dengan kerinduan yang ia sembunyikan begitu rapi di dunia nyata.
Ronan memalingkan muka.
Itu bukan karena jijik. Bukan karena tidak menyukai Kamsa. Tetapi karena Ronan merasa seperti mencuri sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui. Ia tahu, mimpi adalah tempat orang melepaskan hasrat mereka yang paling dalam, tempat keinginan yang tak terucap menemukan bentuknya. Dan sekarang, ia harus membawa beban mengetahui rahasia Kamsa yang tidak pernah dimaksudkan untuk dilihat siapa pun.
Ini semua tentang telur-telur keinginan itu.
Mimpi adalah tempat di mana keinginan-keinginan tersembunyi menetas. Ronan telah melihat spektrum orientasi yang berbeda dalam mimpi-mimpi itu yang mencerminkan jiwa setiap orang yang unik dan kompleks.
Tetapi yang ia pelajari malam itu lebih besar daripada sekadar rahasia. Ia menyadari, dengan keramatnya ia tidak hanya bisa melihat mimpi. Ia bisa menyaksikan manusia, jiwa mereka yang paling murni, tanpa filter, tanpa topeng. Dan itu, pikir Ronan, adalah beban yang mungkin tidak siap ia tanggung.
"Informasi di mading, batas akhir pengumpulan cerpen tanggal sepuluh. Itu artinya lusa. Memangnya kamu bisa kelarin cerpenmu, Sa? Seenggaknya kalau mau ngalahin aku, kamu perlu lebih banyak waktu," kata Ronan, menyeringai kecil sambil menutup buku catatannya.
Kamsa menurunkan MOP dari depan wajahnya, matanya menyipit penuh ketidaksetujuan. "Sombong! Punyamu aja belum kelar!"
Ronan menyandarkan punggungnya ke kursi, tangan terlipat dengan santai. "Aku sih cuma tinggal nambahin topik terakhir. Itu pun satu paragraf. Besok pagi juga aku bakal ngumpulin."
"Berapa halaman?"
"Kalau dipindahin ke komputer mungkin sekitar tiga halaman. Nanti sepulang sekolah aku mau ngetik di lab."
Kamsa mengangkat alisnya, menantang. "Kalau gitu aku bakal bikin yang lima halaman."
Ronan tertawa pendek, lalu mengangkat bahu. "Semoga menang, ya. Karena kalau kalah, capek banget bikin lima halaman."
"Nyebelin banget, sih."
Ronan terkekeh, menikmati bagaimana Kamsa tidak pernah benar-benar terganggu oleh sikapnya yang sering dia anggap menyebalkan.
"Kasih kesempatan kali biar orang lain juga nyicipin rasanya menang."
"Yang kamu maksud dengan ngasih kesempatan itu kayak gimana? Aku harus nyerah? Ya, kamu dong yang harus berusaha lebih baik. Aku ya nulis sebaik yang aku bisa. Dan kalau aku juara pertama, itu bukan salahku juga," Ronan menatap Kamsa dengan nada meledek, sengaja melempar senyum yang membuat gadis itu memutar matanya dengan kesal.
Tapi Ronan tahu lebih baik.
Ia bisa merasakan senyum kecil yang terselip di balik buku MOP yang diangkat lagi oleh Kamsa, layaknya barikade tipis yang tidak pernah benar-benar dimaksudkan untuk menghalangi mukanya sendiri.
"Lihat aja nanti," gumam Kamsa, nada bicaranya seperti ancaman, tetapi Ronan menangkap ironi manis di dalamnya.
Ronan memandang koran dengan alis terangkat, halaman-halaman berganti di bawah jarinya hingga ia menemukan kolom kecil yang tidak biasa. Nama yang tercetak di sana membuatnya sedikit mengernyit.
"Tajmudin," gumamnya pelan, membaca tulisan itu. Seseorang, tampaknya cukup berduit, membayar kolom itu hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun ke-17 kepada calon presiden RI ke-20. Itu saja. Tidak ada detail lebih lanjut. Tidak ada nomor kontak. Tidak ada ajakan kampanye.
"Ini nggak bercanda, kan?" Ronan memiringkan koran, seolah mencari penjelasan tersembunyi. "Koran Radar bener-bener ngasih izin buat publisitas semacam ini?"
Kamsa, yang masih sibuk dengan MOP di tangannya, mengintip dari balik halaman yang menutup wajahnya. "Publisitas apa?"
Ronan menunjuk kolom itu. Kamsa menurunkan MOP, matanya sekilas membaca tulisan di koran Ronan. "Oh, yang itu. Udah tahu aku."
"Kamu udah tahu?" Ronan mengerutkan dahi.
"Udah. Itu kan koran minggu lalu. Masuk tv juga, loh."
"Ha?" Ronan nyaris menjatuhkan korannya.
"Iya, beliau sempat diwawancara. Aku cuma lihat sekali sih, tapi tayangannya diulang-ulang juga. Kamu nggak nonton tv emang? Ini sempat ramai meski nggak seheboh piala dunia."
"Aku nggak suka nonton tv," Ronan mendesah. "Tapi ini beneran? Paranormal gitu masuk berita?"
"Beneran. Tapi ya gitu, kalah tenar sama piala dunia. Lagian, kayaknya orang-orang cuma nganggap itu lucu-lucuan."
"Menarik." Ronan menatap kolom itu lagi, matanya menyipit. "Ada nggak edisi baru-baru ini yang masih bahas dia?"
"Coba cari aja di sampiran," jawab Kamsa santai.
Ronan segera beranjak menuju sampiran, tempat koran-koran lama ditinggalkan. Ia menyibak tumpukan halaman demi halaman, mencari sesuatu yang tampaknya hanya ia anggap penting. Akhirnya, matanya tertumbuk pada judul besar yang mencolok.
Meski Dianggap Gila, Mbah Taj Tetap Tidak Mau Banyak Merespon Komentar Miring Tentangnya.
Artikel itu menjelaskan siapa sebenarnya Taj. Seorang pria dari Brebes, baru berusia tiga puluh dua tahun, tapi mendapat sebutan "Mbah" karena statusnya sebagai paranormal.
"Gimana? Ada?" Suara Kamsa mengejutkan Ronan dari belakang.
"Ada." Ronan melipat koran itu. "Dia nggak nyebut siapa calon presiden yang dia maksud."
"Ya iyalah." Kamsa mendengus. "Menurutku, dia cuma cari sensasi. Sekarang kan jadi terkenal. Pasti pelanggan dia naik."
"Kalau cuma cari sensasi, kenapa nggak sekalian nyantumin nomor kontak? Atau minimal iklan 'ketik REG,' gitu."
"Mana aku tahu, Ronan." Kamsa mengangkat bahu. "Memangnya kenapa? Kamu mau konsul ke paranormal?"
"Aku cuma bilang ini menarik," Ronan mengabaikan nada sinis Kamsa, melipat koran itu dengan rapi. "Kalau dikembangin, ini bisa jadi ide cerpen kedua buat lomba."
"Serius, Ron?" Kamsa menatap Ronan, setengah sewot, setengah terhibur.
"Loh, kenapa nggak?" Ronan tersenyum kecil. "Peraturan lombanya kan memperbolehkan lebih dari satu karya."
Kamsa menggelengkan kepala sambil berjalan kembali ke kursi mereka.
"Makanya, fokus."
Kamsa meletakkan kedua telunjuknya di tiap sisi dahi untuk memijit. "Zodiakmu apa? Aku lagi kepikiran bikin cerpen tentang tumbal zodiak," tanyanya berusaha kembali ke halaman zodiak di MOP, agak meledek.
"Virgo. Nggak cocok jadi tumbal. Aries aja yang kepala batu," candaku.
Kamsa mendengus. "Ini nggak bakal selesai."
"Lebih baik kamu cari tempat yang sepi biar bisa konsentrasi. Ini kamu malah ngikut aku ke mana-mana."
"Pede banget."
Ronan terkekeh sambil merapikan meja. "Aku mau cup komputer ke lab buat ngetik nanti. Mau nitip nggak?"
"Iya, sekalian dong."
"Oke."
Untuk beberapa alasan yang tak sepenuhnya Ronan pahami, Kamsa tidak lagi mengganggunya seperti dulu.
Ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang lembut dalam cara cewek itu berbicara atau bergerak di sekitarnya. Kamsa tetap Kamsa, yang keras kepala dan sering mengejek, tetapi kini ada jeda di antara candaannya, seperti ia berpikir dua kali sebelum melontarkan komentar yang mungkin terlalu tajam pada Ronan.
Dan Ronan merasakannya, meskipun ia pura-pura tidak tahu.
Ronan masih memikirkan surat balasannya. Ia tahu Betari akan membaca surat itu dengan hati-hati, seperti ia membaca setiap surat darinya. Dan Ronan ingin surat ini menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar tanggapan. Ia ingin memberi Betari sesuatu yang bisa dipahami dan dirasakan—bukan hanya kata-kata, tetapi juga kehangatan dari seorang saudara.
Kamsa seperti sedang meletakkan dirinya pada sebuah risiko. Risiko yang besar. Sesuatu yang tidak pernah mereka bicarakan secara langsung tetapi terasa nyata dalam setiap interaksi mereka. Persahabatan mereka terlalu baik untuk dipertaruhkan oleh sebuah perasaan yang sekarang, entah bagaimana, sudah mulai tumbuh di dalam diri Kamsa.
Dan Ronan? Ia tidak bisa sepenuhnya membencinya. Ada sesuatu yang manis dalam cara Kamsa memperlakukannya, terkadang, seperti bunga liar yang perlahan mendekat, menawarkan keindahan tanpa memaksa. Tetapi persahabatan mereka adalah taman yang sudah mapan, dan Ronan tidak yakin apakah satu bunga baru bisa mengubah segalanya atau justru merusaknya. Tanda tanya.
Sambil berjalan menuju lab, Ronan berusaha mengabaikan pikiran itu. Ia menyusun balasan surat untuk Betari di dalam kepalanya. Tetapi meskipun ia mencoba fokus pada kata-kata untuk Betari, pikirannya terus kembali pada Kamsa, terus memantul pada senyumnya yang kecil, pada cara dia memiringkan kepala saat mendengar sesuatu yang menarik, pada keberanian yang tersirat dalam caranya untuk selalu ada di sekitarnya selama ini.
Mungkin, pikir Ronan, ini adalah risiko yang Kamsa bersedia ambil. Dan mungkin, meskipun ia tak pernah mengakuinya, Ronan sedikit menghargai keberanian itu.
Bet,
Jatuh cinta bukan di tangan kita.
Terkadang, kita benci sama seseorang begitu dalam, sampai kebencian itu menjadi sesuatu yang kita pelihara tanpa sadar. Kita terbiasa dengan orang itu, merasa nyaman meski kebencian itu menggerogoti. Lalu, ketika kebencian itu mulai memudar, satu derajat saja, rasanya seperti ada sesuatu yang pecah di dalam diri kita.
Aku pikir itu yang sedang terjadi dengan kamu dan Enis. Awalnya kalian saling benci. Kemudian Irwin meninggal, dan kebencian itu kehilangan tempat untuk bersemai. Enis berhenti ganggu kamu, mungkin karena dia tahu bahwa mengganggu seseorang yang sedang berduka adalah hal yang kejam. Lalu waktu berlalu, dan kalian nggak saling bertemu untuk melanjutkan kebencian itu. Kemudian, datang tragedi Lapindo, dan tiba-tiba kamu merasa simpati padanya.
Aku nggak yakin yang kamu rasakan adalah cinta, Bet. Mungkin, itu cuma angin sejuk dari gencatan senjata. Sebuah kelegaan sementara yang datang dari kebencian yang akhirnya berhenti tumbuh. Tapi, kalau perasaan itu ternyata memang cinta, aku harap kamu nggak takut.
Bet, akan selalu ada akhir untuk setiap awal, dan sebuah awal hanya akan terjadi jika sebuah akhir berani diambil. Simpan Irwin di hat kamu. Tapi jangan jadikan dia alasan untuk mengunci hatimu selamanya.
Setibanya di lab, Ronan melihat buku reservasi penggunaan komputer. Hanya ada satu slot tersisa, dan ia tahu nama siapa yang harus ia tuliskan di sana.
Dengan senyum kecil, ia menuliskan nama Kamsa. Ia menitipkan disket miliknya pada petugas lab dengan pesan sederhana, titip buat Kamsa.
Ronan tahu, ini akan membuat Kamsa senang. Bahkan mungkin, Kamsa akan berpikir bahwa ia juga menyukainya. Tapi Ronan tidak peduli apa yang akan dipikirkan Kamsa. Karena baginya, menyirami benih cinta, bahkan dengan cara sekecil ini, adalah sesuatu yang wajar. Kan?
Sambil berjalan keluar dari lab, ia kembali membayangkan kalimat-kalimat untuk surat Betari.
Bet,
Mencintai artinya rela berkorban untuk kebahagiaan orang yang kita cintai.
Kamu pernah bilang padaku kalau kamu mencintai dirimu sendiri, kan? Kalau begitu, jadikan kesedihanmu sebagai tumbal. Biarkan dukamu menjadi sesuatu yang kamu lepaskan, bukan sesuatu yang kamu pelihara. Berhenti bersedih ya, Bet.
Ronan berhenti sejenak di lorong, menatap jendela yang memantulkan langit mendung di luar. Ada perasaan yang tidak ia mengerti, seperti sesuatu yang ia coba pahami dari surat terakhir Betari.
Bet,
Perasaanmu ke Enis mungkin sudah bercambah. Kalau itu sesuatu yang baik untukmu, untuk kebahagiaanmu, coba biarkan sampai akarnya menguat. Sampai sulur-sulurnya tumbuh, dan mencari arah. Dan saat waktunya tiba, mungkin kamu akan tahu ke mana kamu ingin mengarahkannya.
Selalu mendukungmu,
Ronan
Sepulang sekolah, Ronan berjalan santai dari kelas menuju parkiran. Langkahnya terhenti ketika Kamsa muncul entah dari mana, berdiri menghadangnya sambil membawa disket di tangan. Wajahnya sedikit berkerut, seperti orang yang baru saja melewati debat di kepalanya.
"Kenapa nama kamu nggak ada di sana?" tanyanya, menunjuk arah lab komputer dengan dagunya.
"Cuma ada satu slot," jawab Ronan singkat, terus melangkah seolah-olah pertanyaan itu tidak penting.
"Kan bisa tulis nama kamu sendiri," Kamsa mengejarnya.
Ronan menghela napas sambil tetap berjalan. "Kalau aku menulis namaku sendiri, kamu pasti mikirnya aku terlalu berusaha untuk memenangkan lomba ini."
Kamsa terhenti sesaat, terpaku. "Ya ampun, terus kalau aku menang, kamu bakal anggap kemenangan itu pemberianmu?"
"Sa," Ronan menoleh dengan pandangan tenang, "lab penuh banget. Meski aku cuma perlu memindah tulisan dari kertas ke komputer, improvisasi saat mengetik pasti ada. Dan itu perlu konsentrasi."
Kamsa melenguh, jelas tidak puas dengan jawabannya.
"Udah, sana tulis cerpenmu," lanjut Ronan, mengibaskan tangan untuk menyuruhnya pergi.
"Terus kamu mau ngetik di mana?"
"Warnet," jawab Ronan sambil mengangkat bahu. "Lagian di sana jaringan internetnya lebih cepat. Modem di lab nggak ada gunanya sama sekali."
Kamsa melipat tangannya. "Kalau gitu aku juga mau ke warnet."
Ronan memutar bola mata. Gadis itu memang keras kepala. Saat dia berbelok ke arah parkiran, Kamsa masih mengikutinya seperti bayangan.
"Kamu bawa motor?" tanya Ronan akhirnya, menyerah pada kenyataan bahwa dia tidak akan bisa menghilangkan Kamsa begitu saja.
"Kan aku mau bonceng kamu," jawab Kamsa, tanpa malu-malu.
Pergerakan Kamsa kurang halus untuk menyembunyikan perasaannya. Ronan menggeleng sambil mengambil helmnya.
"Udah cukup aneh anak-anak lihat kita sebagai dua kompetitor yang sering bareng. Kamu nggak mau mereka mikir kita pacaran juga, kan?" tanyanya, nada suaranya memancing.
"Nggak bakal ada yang mikir kita pacaran," balas Kamsa cepat, sedikit defensif.
"Ya udah," Ronan menyalakan motor, tersenyum tipis di balik helmnya. "Lagian nggak mungkin juga kamu mulai diam-diam naksir aku. Aku bukan tipemu banget, kan?"
Kamsa tidak menjawab, hanya memutar bola matanya dan memasang wajah datar. Tapi Ronan melihat sedikit rona merah di pipinya sebelum gadis itu melangkah ke belakang motor dan naik tanpa sepatah kata pun.
Setibanya di warnet, Ronan dan Kamsa langsung berpisah ke bilik masing-masing. Suara klik-klik kibor dan gumaman pelan pengguna lain menjadi latar yang monoton, namun menenangkan. Ronan duduk di biliknya, menyumpal telinga dengan headphone, lagu-lagu Ada Band mengalun lembut, menemani jarinya yang sibuk mengetik.
Satu jam pertama berlalu tanpa hambatan. Ronan sempat beberapa kali berjalan ke bilik Kamsa, yang rupanya lebih sering bingung soal format penulisan daripada fokus pada ceritanya. Tapi setelah bolak-balik dua atau tiga kali, ia memutuskan untuk membiarkannya.
Saat ia kembali duduk, sesuatu mulai terasa ganjil. Lagu yang mengalun dari headphone tiba-tiba terdengar seperti datang dari kejauhan. Ia melepas headphone, namun ruangan tetap sunyi. Bukan sunyi yang biasa, tapi sunyi yang terasa terlalu penuh, terlalu padat. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengintai dari setiap sudut warnet.
Lampu-lampu mulai mati-nyala, membanjiri biliknya dengan cahaya yang menyentak-nyentak. Layar komputer di depannya berkedip, simbol-simbol asing muncul sekilas sebelum lenyap. Ia mencoba melirik pengguna lain di bilik sebelah, tetapi mereka tampak tidak menyadari apa-apa. Beberapa tertawa kecil, melanjutkan aktivitas seolah tidak ada yang aneh.
Hawa dingin mengendap, menusuk tulang.
Ronan merasakan bulu kuduknya berdiri, tubuhnya membeku. Dan saat itu, suara-suara mulai terdengar—bukan suara biasa, tapi bisikan-bisikan samar yang saling bertumpuk, tidak beraturan. Suara itu seperti berasal dari tempat yang tidak terlihat, seolah dinding-dinding warnet menyembunyikan sesuatu di baliknya.
Dengan napas yang memburu, Ronan melepas headphone dan bangkit dari kursinya. Lampu kembali stabil, layar komputer berhenti berkedip, dan bisikan itu lenyap, seolah tidak pernah ada. Tapi Ronan tahu betul, sesuatu baru saja terjadi. Sesuatu yang tidak wajar.
Dia keluar dari bilik dengan tergesa-gesa, kakinya langsung melangkah ke bilik Kamsa. Saat ia tiba, napasnya tercekat. Kamsa tergeletak di atas kibor, wajahnya tersembunyi oleh rambut yang tergerai. Ada setitik darah yang menetes dari hidungnya. Ronan mengguncang bahunya berusaha membangunkannya.
"Kamsa!" serunya, panik.
Dan saat itulah, dia merasakannya. Kehadiran yang berat dan dingin di belakangnya. Ia menoleh perlahan, dan di sudut bilik, ia melihatnya. Sesosok Rasian berdiri, tubuhnya setengah memudar seperti asap, namun sesuatu seperti ... matanya? Bersinar, memancarkan sesuatu yang tidak bisa diartikan dengan kata-kata. Rasian itu menatap Kamsa dengan tatapan penuh maksud, seolah-olah sedang memutuskan sesuatu.
***
Apa komentarmu untuk bab ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top