BAB 3 - Hurikan
Komentarmu di setiap paragraf akan menyenangkan saya. :)
Baca sembari dengarkan Swept Away by Boundary Run
***
Ronan membaca ulang surat dari Betari, matanya terpaku pada setiap kata seperti mencoba menemukan sesuatu yang tersembunyi di antara baris-barisnya.
Apakah ini ide baru? Atau sudah lama bersarang di kepala Huri? Kalau iya, sedalam apa Huri sudah bergumul dengan pikiran itu? Dan bagaimana bisa Ronan tidak menyadarinya?
Ronan menggelengkan kepala pelan, rasa bersalah kembali membanjiri. Jika benar Huri berniat pergi, dan ia tidak melihat tanda-tandanya, apa artinya dia sebagai seorang kakak? Meskipun, sejujurnya, Ronan tahu, perannya sebagai anak tertua hanyalah sebuah gelar yang diberikan secara tidak resmi, yaitu berdasarkan urutan penemuan, bukan pengalaman hidup.
Empat belas tahun. Itu usia yang seharusnya diisi dengan pikiran-pikiran sederhana tentang sekolah, teman, atau hobi baru. Tapi Ronan memikul sesuatu yang lebih besar. Tanggung jawab atas dua jiwa lain yang ia cintai seperti darah dagingnya sendiri. Dan sekarang, salah satu dari mereka, yang paling sulit dijangkau, sedang memikirkan untuk melepaskan semuanya.
Kenapa Huri hanya memberitahu Betari? Kenapa tidak langsung padanya? Apa ini tentang aku? pikir Ronan, serangkaian kemungkinan berkelebat di benaknya.
Apakah aku tidak cukup? pikirnya. Apakah kita semua tidak cukup?
Ronan memejamkan mata, membayangkan wajah Huri dengan semua ciri khas yang membuatnya berbeda. Kulitnya yang seputih pualam, mata pirusnya yang seperti permukaan laut yang gelap dan dalam, rambutnya yang tidak hitam pekat seperti miliknya dan Betari, tetapi cokelat tua seperti kayu yang sudah tua. Huri selalu tampak seperti seseorang dari dunia lain, bahkan sebelum mereka tahu apa arti kata Cangeling.
Dan sekarang, Huri mungkin benar-benar ingin kembali ke dunia itu.
Ia menatap surat Betari lagi, mencari jawaban yang tidak ada di sana. Huri tak pernah membalas surat-suratnya, membuat Ronan kesulitan memahami apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya seperti mencoba membaca buku yang halaman-halamannya telah hilang.
Ronan meremas surat itu. Ia ingin marah, ingin berteriak kepada siapa pun yang bisa mendengar. Tetapi lebih dari segalanya, ia merasa takut. Takut bahwa Huri sudah memutuskan. Takut bahwa tidak peduli apa yang ia katakan, tidak ada yang bisa mengubah pikiran Huri.
Di bawah, suara langkah berat para kuli bergema. Nyai sedang sibuk membayar mereka, suaranya terdengar lembut namun tegas. Bau cabai segar yang baru dipanen bercampur dengan aroma pedas bawang merah, dan sengir daun-daun nilam yang kering menyusup ke dalam kamar Ronan. Ia mendengar suara Nyai bercakap-cakap, diselingi tawa kecil dari para kuli. Sebuah kontras yang aneh, mengingat pikirannya yang semakin berat.
Jika berita ini sampai ke Romo dan Nyai, mereka akan khawatir. Tapi Ronan tahu, ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tidak sebelum ia memahami semuanya lebih baik. Dan itu berarti, ia harus memulai dari awal. Dari Huri.
Betari pernah berteori, mungkin Huri adalah keturunan seorang menir—seseorang dari zaman penjajahan yang nasibnya entah bagaimana berakhir di tengah bangsa peri. Ronan sendiri punya teori yang lebih liar, bahwa mungkin Huri adalah anak dari seorang pelancong yang terdampar di Indonesia dan melahirkan di tengah hutan. Tapi siapa yang tahu? Tidak ada yang tahu berapa lama Huri diculik oleh peri. Tidak ada yang tahu cerita lengkapnya. Bahkan Huri sendiri bersumpah tidak ingin mendengarnya lagi.
Ronan menghela napas dan bangkit dari tempat tidur. Surat Betari masih ia genggam erat di tangan, seolah itu adalah kompas yang bisa membimbingnya menemukan jawaban. Ia menuruni tangga kayu yang sudah tua, setiap langkahnya menciptakan suara berderit yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
Di beranda, ia disambut oleh hiruk-pikuk transaksi hasil bumi. Karung-karung cabai merah berdiri berjajar seperti benteng kecil, sementara tumpukan bawang merah memancarkan aroma yang menusuk. Gabah, nilam, tomat, dan jahe berserakan di sudut-sudut, menunggu giliran untuk ditimbang. Nyai berdiri di tengah keramaian itu, wajahnya tenang meskipun dikelilingi oleh kesibukan. Ia melirik ke arah Ronan, memberi senyum kecil sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.
Ronan membalas senyum itu, meski hatinya terasa berat. Huri, pikirnya lagi, lagi, dan lagi. Bagaimana aku bisa menjangkau Huri? Bagaimana aku bisa membuatnya tetap tinggal? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, bahkan saat ia melangkah keluar, menuju tempat di mana ia tahu ia akan menemukan sedikit kedamaian di tengah kekacauan ini.
Wahyu, kuli muda yang terkenal paling ulet, sedang berbaring di sisi tumpukan karung cabai. Kalkulator tua ada di tangannya, tombol-tombolnya berderak pelan saat ia memencet angka-angka entah untuk menghitung apa. Ketika Ronan turun dari beranda, langkahnya terdengar pelan di atas lantai kayu, Wahyu segera mengangkat kepala dan menyeringai.
"Yang mau tamasya ke Yogya. Masih seminggu, Ron, masa sudah tidak bisa tidur dari sekarang?" godanya.
Ronan hanya menghela napas, dalam dan panjang, seolah mencoba menyingkirkan beban yang menempel di dadanya. Bahunya merosot. "Aku lapar," jawabnya singkat.
Dari pintu dapur yang terbuka separuh, Nyai menyahut dengan nada yang selalu terdengar seperti perintah halus, "Itu ada sate di dalam. Tadi semuanya makan bareng, kamu dipanggil tapi tidak turun-turun."
"Romo mana?" Ronan bertanya tanpa menoleh.
"Lagi salat. Kamu udah salat?"
Ronan mengangguk pelan.
"Kalau begitu, makan dulu. Itu sama Wahyu aja sekalian. Dia belum makan juga, katanya mau nemenin kamu," Nyai menunjuk dengan dagunya ke arah Wahyu, lalu menatap Wahyu dengan pandangan yang sulit dibantah. "Yu, makan sana dulu sebelum pulang. Sama Ronan."
Wahyu segera bangkit, meraih pundak Ronan dengan santai. "Ayo, Bos," katanya, setengah bercanda.
Di rumah itu, batasan satu-satunya bagi para kuli adalah unggah-ungguh terhadap Nyai dan Romo. Tidak ada yang berani melewatinya. Nyai dan Romo bukan hanya kepala keluarga, mereka adalah tiang utama Anukarang. Semua hasil bumi mengalir ke rumah ini sebelum menjadi uang bagi para petani. Romo Raharja sendiri lebih dari sekadar kepala desa. Ia adalah simbol stabilitas dan kebaikan, seorang pemimpin yang dikenal karena kemurahan hatinya.
Warga menyebut rumah ini sebagai wastu. Dapur besar di dalamnya sudah seperti milik umum. Para perempuan desa datang setiap hari, memasak untuk para kuli dan tamu. Nasi selalu tersedia, lauk pauk tidak pernah habis, dan upah yang diberikan Nyai selalu adil. Rumah ini adalah pusat denyut kehidupan Anukarang, sebuah kesejahteraan kecil yang menghidupi banyak orang.
Namun, di lantai dua, suasana berbeda. Di dalam kamar yang temaram, Romo duduk di depan meja kayu tua, tangannya bergerak pelan menyentuh kertas surat yang terlipat rapi. Kamar itu, yang telah menyaksikan begitu banyak doa-doa, kini menjadi saksi pergulatan hati seorang pria yang mencoba memahami kalimat-kalimat yang seharusnya akan mudah bagi seorang anak berusia empat belas tahun.
Huri telah mengirimkan surat itu dua hari yang lalu. Sebuah surat singkat, hanya beberapa baris, tetapi isinya memukul lebih keras dari ribuan kata.
Romo memandangi huruf-huruf itu untuk kesekian kalinya, alisnya berkerut, napasnya berat. Orang tua tidak pernah benar-benar siap untuk bertemu dengan dirinya sendiri dalam bentuk pertanyaan anak-anaknya. Pertanyaan yang lebih tajam dari pisau, memotong ke inti hati mereka, memaksa mereka untuk memilih antara kejujuran yang menyakitkan atau kebohongan yang melindungi.
Huri telah menuntut jawaban. Dan jawaban itu terasa seperti jurang yang menganga, siap menelan siapa pun yang berani mendekat.
Juli 2003
Aku sehat dan berjanjiakan menang di kompetisi.
Untuk Romo dan Nyai yang aku sayangi,
Tanpa bermaksud membuat kalian bersedih.
Tanpa bermaksud meragukan kasih sayang kalian.
Tanpa bermaksud menjadi durhaka.
Bisakah Romo dan Nyai mencari tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya?
Hanya ingin tahu.
Bukan untuk pergi setelah aku tahu.
Selamanya milikmu,
Huri
Romo menyeret pandangan dari satu kata ke kata berikutnya, perlahan, seperti sedang meniti jalan setapak yang penuh duri. Surat dari Huri tergeletak di meja, tetapi beratnya terasa seperti batu yang menghantam dadanya. Keningnya berkerut, matanya menyipit seolah-olah huruf-huruf di kertas itu bisa memberikan jawaban yang tak pernah ia miliki.
Huri, bocah yang selalu tampak jauh meski berada di ruangan yang sama, telah mengirimkan permohonan yang tak terelakkan. Bukan tuntutan, bukan perintah, tetapi sebuah permohonan yang datang dengan syarat yang membuatnya mustahil ditolak.
"Tanpa bermaksud membuat kalian bersedih. Tanpa bermaksud meragukan kasih sayang kalian. Bisakah Romo dan Nyai mencari tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya? Hanya ingin tahu. Bukan untuk pergi setelah aku tahu."
Kata-kata itu sederhana, tetapi terasa seperti jaring yang menjebak Romo dalam dilema yang tak terucapkan. Bagaimana ia bisa menolak? Bagaimana ia bisa berkata "tidak" kepada anak yang ia temukan di tempat paling sunyi dan menyeramkan di Anukarang. Di bawah kolong amben rumah Dulham, pada malam ketika segalanya terasa seperti cerita horor yang keluar dari mimpi buruk, dengan tangisan lirih yang hampir kalah oleh deru angin dan gemerisik dedaunan.
Namun, di sisi lain, bagaimana dirinya bisa berkata "ya" tanpa merasa bahwa ia akan kehilangan Huri sedikit demi sedikit?
Romo mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa lelah yang tak ada hubungannya dengan tubuhnya. Ia menarik napas panjang, mencoba membayangkan bagaimana dalam surat balasannya, kata-katanya akan terdengar jika diucapkan langsung. Akankah Huri mengerti? Akankah ia merasa cukup dengan jawaban Romo, atau justru semakin terjepit oleh keinginan untuk tahu lebih banyak?
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang dengan hati-hati, Romo mulai menulis balasan. Setiap kalimat terasa seperti berjalan di atas tali tipis, antara kejujuran dan harapan. Ketika selesai, ia melipat surat itu dengan hati-hati, menyegelnya ke dalam amplop cokelat, dan menyisipkan sepuluh lembar uang seratus ribuan. Jumlah itu kecil untuk seorang ayah yang ingin menyampaikan cinta dan pengertian, tetapi besar untuk seorang remaja yang sedang mencari jawaban dalam kekosongan.
Di tempat lain, jauh dari keheningan rumah mereka, Huri meringkuk di bawah selimut tipis di asrama sekolah. Lampu kamar sudah dipadamkan, tapi cahaya senter kecil menyembul dari balik selimutnya, layaknya sebuah rahasia yang tak ingin ia bagi dengan dunia. Di tangannya ada tiga lembar kertas, surat yang sudah ia tulis dan periksa berulang kali.
Apakah sudah cukup jelas? Apakah akan terdengar bodoh? Apakah Ronan akan mengerti? Atau justru tertawa?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayut di benaknya. Setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya untuk mengirim surat itu, sebuah dorongan kecil di belakang kepalanya membisikkan hal sebaliknya. "Ronan berbeda," ia bergumam dalam hati. "Dia tidak akan mengerti."
"Kalau kamu terus-terusan mainin senter itu, aku bersumpah bakal minta tempat tidurmu dipindah ke luar," protes Mufid, teman sekamarnya, dari ranjang bawah.
Huri tidak menjawab. Ia hanya menarik selimutnya lebih rapat, berusaha mengurung cahaya dan pikirannya sendiri.
"Kamu sudah memeriksa surat itu puluhan kali. Gimana kalau sekarang kamu tidur, lalu besok pagi-pagi kamu pergi ke kantor pos? Aku nggak bisa tidur kalau kamu terus mainin senter itu setiap malam!" protes Mufid dari ranjang bawah.
"Aku nggak akan mengirim surat ini," Huri berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.
Mufid mendesah, setengah mengantuk. "Nggak heran kalau Ronan berpikir kamu bermasalah."
"Kenapa kamu selalu membela Ronan?"
"Aku nggak membela siapa pun. Tapi kalau kamu cuma membalas surat Betari dan mengabaikan Ronan, siapa pun akan mengira kamu bermasalah. Dan, menurutku, kamu memang bermasalah."
"Ronan berbeda. Kamu cuma nggak tahu," suara Huri keluar seperti desis.
"Mau dia berbeda atau sama saja seperti kelakuanmu, itu bukan urusanku. Dan aku nggak akan minta dijelasin kenapa Ronan berbeda. Yang pasti, kalau kamu terus ganggu jam tidurku, aku bakal ngomong ke kepala asrama buat mindahin kamu ke kamar lain segera."
Huri mendengus, nada ejekan yang samar. Ia meraih bantal yang lepek dan kumal di ujung kakinya, lalu dengan gerakan malas melemparkannya ke bawah. Bunyi gedebuk terdengar, disusul gumaman Mufid yang lebih seperti kesal daripada marah.
Pagi berikutnya, asrama terlihat normal. Suara langkah kaki di koridor, bau bubur kacang hijau yang biasa dibagikan oleh pengurus asrama, dan obrolan anak-anak yang setengah mengantuk. Tapi bagi Mufid, ada sesuatu yang tidak biasa. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menggenggam surat-surat Huri di tangan. Surat-surat yang sudah ia ambil dari meja sahabatnya tanpa izin.
Kertas-kertas itu seperti bom yang siap meledak kapan saja. "Dia nggak bakal marah, kan?" pikirnya, mencoba meyakinkan diri. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu. Huri akan marah besar.
Namun, Mufid merasa tindakan ini perlu. Sesuatu di dalam surat terakhir yang ia temukan membuatnya tidak bisa diam. Itu bukan sekadar surat biasa yang penuh dengan basa-basi atau cerita ringan. Surat itu berisi rencana. Dan rencana itu, dalam pandangan Mufid, adalah sebuah kesalahan besar.
Huri yang bersembunyi di balik selimut, menulis dengan cahaya senter kecil, sudah menjadi kebiasaan yang terlalu sering ia lihat. Tapi surat-surat yang dilempar ke tong sampah, yang jumlahnya sudah cukup banyak untuk dijilid menjadi buku, menceritakan sesuatu yang lain. Mufid tahu, ada sesuatu tentang Ronan yang selalu menjadi bayang-bayang dalam pikiran Huri.
Mufid menghela napas panjang. Surat terakhir itu lebih dari sekadar bukti kekesalan biasa antara saudara. Itu adalah pintu menuju sesuatu yang lebih gelap.
Dengan tekad yang terasa seperti beban di dadanya, Mufid menyelipkan surat itu ke saku jaketnya. Ia meraih sepedanya dan mulai mengayuh keluar dari asrama, melewati jalanan yang masih sepi. Pikirannya penuh dengan keraguan dan rasa bersalah.
Sesampainya di tempat fotokopi, ia berhenti sejenak, mengusap kening yang basah oleh keringat. Tangannya gemetar saat ia menyerahkan surat itu kepada petugas fotokopi. "Dua rangkap," katanya singkat.
Peladen, seorang pria muda dengan baju partai yang kebesaran, melirik Mufid dengan alis terangkat, tapi tidak mengatakan apa-apa. Orang panik yang datang ke tempat fotokopi adalah hal biasa.
Sementara mesin fotokopi berderak pelan, menyalin surat demi surat, Mufid menatap lantai dengan tatapan kosong. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya benar. Apakah Huri akan memaafkannya?
Tapi satu hal yang pasti.
Mufid tidak bisa hanya duduk diam sementara sahabatnya berjalan menuju sesuatu yang ia tahu hanya akan berakhir dengan kehancuran.
Mufid melirik jam dinding di antara dua rak kayu yang sudah kusam. Jarum pendeknya telah dua titik bertolak dari angka tujuh, dan setiap detik terasa seperti palu yang menghantam benaknya. Kening dan dadanya mengembun, napasnya masih naik-turun seperti mesin yang dipaksa bekerja terlalu keras. Cahaya dari mesin fotokopi berkedip berulang-ulang, menghantam matanya dengan ritme yang hampir memekakkan. Ia menghitung setiap kilat itu dengan waspada.
Ia sudah menyiapkan alasan yang menurutnya cukup masuk akal. "Hari ini persiapan final lomba sains antar SMP," bisiknya mencoba meyakinkan diri sendiri. "Kalau aku bolak-balik ke tempat fotokopi, itu wajar." Di dekatnya, diktat-diktat berjilid yang telah ia bawa hanya menjadi properti untuk sandiwara yang nyaris sempurna.
"Sekalian amplopnya, Mas. Yang cokelat," ujarnya.
"Ada lagi?" suara itu terdengar datar, tanpa emosi.
Mufid menggeleng, menahan napas.
Ketika salinan selesai, ia menyortir surat-surat itu dengan hati-hati, mengikuti urutan robekan pertama yang ia temukan di meja Huri. Tangannya gemetar, tapi ia terus bekerja dengan tekad yang hampir memaksa. Amplop cokelat itu ia jejalkan dengan surat-surat dan memo kecil yang ia tulis terburu-buru, sebuah pesan yang menyampaikan rasa bersalah dan keputusan sulitnya:
Aku rasa Huri nggak akan pernah mengirim surat-surat ini untukmu atau mungkin Betari. Tapi aku pikir kalian harus tahu. Rahasiakan ini dari Huri. Aku mempertaruhkan persahabatanku untuk mengirim ini. —Mufid.
Mufid melirik jam sekali lagi. Sudah lewat pukul delapan. Mustahil ia tiba di sekolah tepat waktu. Jantungnya berdetak kencang saat ia melangkah ke sepedanya. Siswa macam apa yang terlambat selama ini?
Ia baru hendak menaiki sadel ketika sebuah suara menyergapnya dari belakang.
"Fid! Kenapa kamu nggak di sekolah jam segini?"
Suara itu seperti dentuman palu godam. Mufid menelan ludah, jantungnya nyaris berhenti. Otaknya berpacu mencari jawaban paling masuk akal. Ia menoleh perlahan, mendapati kakak laki-lakinya berdiri dengan wajah penuh tanya, satu tangan menurunkan sekotak roti pia dari sepeda motornya yang akan dititipkan pada sebuah toko kelontong.
"Aku disuruh wali kelas buat memfotokopi dokumen," katanya dengan nada setenang mungkin. Ia mengangkat amplop di tangannya. "Ini mau diantar ke kantor pos."
Kakaknya menatapnya lama, seolah mencoba membaca setiap celah kebohongan itu. Mufid menahan napas, mencoba terlihat setenang batu karang. Dia tahu tangan kakaknya sangat ringan untuk memukul, terutama jika merasa adiknya sedang melakukan sesuatu yang bodoh.
Akhirnya, kakaknya mengangguk pendek. Tanpa menunggu aba-aba lebih lanjut, Mufid segera menaiki sadel dan mulai mengayuh. Ia bisa merasakan mata kakaknya masih mengawasi, jadi ia tetap mengayuh dengan kecepatan normal. Tapi begitu mencapai tikungan dan merasa dirinya bebas, ia memacu sepedanya seperti pencuri yang dikejar massa.
Kantor pos tampak sunyi, pintunya terkunci dengan tanda "TUTUP" yang tergantung di kaca depan. Mufid hampir saja melempar umpatan keras jika tidak ingat posisinya di jalan umum. Ia menunggu sambil mondar-mandir, keringat di punggungnya mulai menetes deras.
Beberapa menit kemudian, suara motor bebek terdengar. Pak Mizwar, dengan helm yang sudah penuh goresan, menghentikan motornya di depan kantor pos. Pria tua itu, yang hampir semua rambutnya sudah memutih, menatap Mufid dengan dagu yang sedikit terangkat.
"Wesel?" tanyanya pendek, sambil melepas helmnya dengan gerakan lambat.
Mufid menggeleng, tenggorokannya terlalu kering untuk menjawab. Ia hanya mengangkat amplop cokelat di tangannya.
Pak Mizwar mendengus kecil, membuka pintu kantor pos dengan kunci yang terdengar berderit. Mesin komputer tua di dalam menyala dengan suara berisik. Butuh belasan menit sampai semuanya selesai. Komputer lamban itu seperti memprotes setiap perintah yang diberikan.
"Penerima atas nama Ronan, ya?" tanya Pak Mizwar sambil menatap alamat yang tertera.
Mufid mengangguk singkat, merasa bahwa pria tua itu mungkin tidak tahu apa pun, tapi entah kenapa, ucapannya terasa seperti vonis yang berat. Ketika surat itu akhirnya disegel, Mufid merasa seperti baru saja menandatangani surat mati.
Angin yang menggulung di roda sepeda Mufid adalah informan yang tak pernah memihak siapa pun kecuali Huri. Mereka adalah pembisik, pengintai, pengamat setia yang membawa rahasia dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan yang tak dapat dipahami manusia. Bisikan pertama meluncur dari napas Mufid, membawa serta semua kecemasan, rencana, dan tekad yang berpusar dalam dadanya. Angin itu bergerak cepat, mengabarkan segalanya ke semilir yang lebih besar, lalu ke yang lebih besar lagi, hingga akhirnya mencapai tempat yang bahkan Mufid tak pernah tahu. Setiap putaran roda, setiap embusan napas Mufid, memadatkan kabar itu.
Huri sedang berjalan menuju lapangan ketika bisikan itu tiba. Angin sepoi yang kuat menyentuh tengkuknya, menyusup masuk melalui serat-serat seragam sekolahnya, membawa informasi yang tak perlu diterjemahkan. Huri tahu, tanpa ragu, bahwa sesuatu telah dikhianati. Ia tahu siapa, di mana, kapan, bagaimana, dan—yang paling menyakitkan—mengapa.
Badai yang telah lama bersemayam dalam dirinya mulai terbangun. Jantungnya memompa kemarahan, menyebarkannya ke seluruh tubuh seperti racun yang tak terlihat. Huri berhenti di tempat, mengerjap sekali, dua kali. Ia benci ketika rahasia yang ia pegang erat dipermainkan oleh orang lain. Ia benci ketika kepercayaannya, hal yang ia berikan dengan sangat hati-hati, diinjak-injak oleh seseorang yang ia kira tidak akan pernah melakukannya.
Langkah kakinya melambat, lalu kembali berjalan. Setiap langkah, setiap gerakan, mendayung udara di sekitarnya. Pusaran kecil mulai terbentuk di sekitar Huri, tak terlihat oleh mata telanjang, tapi cukup nyata untuk membuat daun-daun bergemerisik dan debu beterbangan. Molekul-molekul udara merespon kemarahannya, berputar, berdesir, dan menciptakan semacam energi liar yang mulai terasa di sekitar tubuhnya.
Di tengah pusaran itu, Huri mendengar sesuatu. Suara rantai sepeda. Mufid. Ia bisa merasakan pengkhianatan dan ketulusan yang bercampur dalam napas sahabatnya. Dua hal yang bertentangan, namun terasa begitu nyata. Dan meskipun ia telah berjanji untuk tidak membiarkan keramatnya menguasai dirinya, janji itu terasa rapuh sekarang. Naluri tergelapnya muncul tanpa peringatan. Bayangan Mufid tersungkur di jalan raya, tubuhnya bertumbuk dengan truk besar. Itu hanya sekelebat, tapi cukup untuk membuat Huri mengertakkan gigi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan dirinya.
Huri mengepalkan tangan. "Tidak," katanya, nyaris tidak terdengar. Tapi pusaran di sekelilingnya punya rencana lain. Angin itu tidak lagi sepenuhnya dalam kendalinya. Ia sudah lepas, liar, dan memiliki tujuannya sendiri. Dan tujuan itu jelas, amplop di kantor pos.
Sementara itu, Mufid merasa segalanya berjalan lancar. Saat ia tiba di sekolah dengan diktat di tangan, satpam membukakan gerbang tanpa ragu. Mufid yang pintar, populer, dan tak pernah membuat masalah, adalah tipe anak yang tidak pernah dicurigai. Skenarionya sempurna, dan ia merasa aman.
Saat jam istirahat kedua, ia berjalan menuju kantin, mencoba mengisi energi yang terkuras. Semuanya terasa normal, Huri terlihat biasa saja di lapangan tadi pagi, bahkan tertawa saat bermain sepak bola. Tidak ada tanda-tanda amarah atau kecurigaan.
Tapi di dalam dirinya, Mufid tahu semuanya tidak benar-benar normal. Perutnya melilit seperti ada ular yang menggeliat di dalamnya. Rasa bersalah menyusup di sela-sela pikirannya, mengingatkannya bahwa apa yang ia lakukan, meskipun benar, adalah pelanggaran yang tidak bisa dengan mudah ia jelaskan.
Untuk menyempurnakan misinya, ia hanya perlu satu langkah lagi, tiba di asrama lebih awal dan mengembalikan surat-surat itu ke tempat asalnya.
Sesampainya di kantin, Mufid berhenti di ambang pintu, nyaris tak jadi masuk ketika matanya menangkap sosok Huri yang sedang duduk sendirian di sudut ruangan. Seragam olahraga Huri masih basah oleh keringat, dan rambutnya sedikit basah, mungkin karena baru saja disiram air untuk mendinginkan kepala. Ia sedang makan pelan-pelan, sendok di satu tangan, gelas di tangan lainnya, dan matanya tertuju langsung ke arah Mufid. Lambaian kecil dari tangannya cukup untuk membuat jantung Mufid berdegup lebih kencang.
Pikiran pertama Mufid: lari.
Pikiran kedua: jangan. Itu akan membuatnya curiga.
Dengan napas yang terasa lebih berat dari biasanya, Mufid berjalan mendekat. Ia mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang berdenyut di dadanya. Huri tampak terlalu santai untuk seseorang yang, menurut Mufid, seharusnya memiliki firasat tentang apa yang telah terjadi pagi ini.
"Aku pulang agak sore hari ini," kata Huri, suaranya datar, sambil mengangkat gelas ke mulutnya. Gelas itu berbunyi pelan saat es batu di dalamnya bertabrakan.
"Kenapa?" tanya Mufid, tenggorokannya terasa kering hingga suaranya hampir serak. Ia berdehem untuk menyembunyikannya.
"Aku ada gladi di sasana," jawab Huri tanpa banyak penjelasan. Buku-buku jarinya yang kapalan terlihat jelas saat ia memutar gelas di tangannya. Es mencair, tetesannya membentuk lingkaran kecil di atas meja.
"Oh, itu." Mufid mencoba terdengar santai. "Aku juga ada persiapan terakhir hari ini, sekalian lihat prototipe dari anak-anak KIR. Tapi ..." Ia mengangkat bahu dan tertawa gugup. "Aku mulai grogi menjelang kompetisi. Kayaknya aku butuh tidur lebih banyak. Akhir-akhir ini kamu yang mengacaukannya."
Huri terkekeh pelan, suara yang anehnya tidak menyenangkan. "Semua anak yang ikut kompetisi pasti grogi. Dibawa santai saja, Fid." Ia meneguk minumannya, lalu menambahkan, "Oke, aku minta maaf. Aku bakal bakar surat-surat itu malam ini. Lagian, Coach Heri juga meminta aku buat tidur lebih awal."
Mufid membeku. Membakar surat?
"Kenapa harus membakar kalau kamu bisa mengirimnya saja?" katanya, mencoba terdengar ringan meski perutnya seperti terpelintir.
"Aku berubah pikiran," jawab Huri santai.
Mufid menatapnya dengan rahang mengatup. Apa yang telah ia lakukan pagi tadi, semuanya percuma?
"Kenapa?" tanya Mufid, suaranya lebih tajam dari yang ia maksudkan. "Kenapa berubah pikiran?"
Huri mengangkat bahu. "Aku janji bakal menulis surat yang lebih baik untuk Ronan begitu aku dapat balasan dari Betari."
"Kamu selalu bilang begitu." Mufid menggelengkan kepala, frustrasi. "Apa pun masalah kalian, aku harap kamu melibatkan Ronan juga untuk menyelesaikannya. Ini saran dari teman untuk teman."
"Aku pasti bakal melibatkan Ronan, kok," jawab Huri, tetapi nada suaranya membuat Mufid meragukan kesungguhannya. "Aku cuma perlu menyepakati beberapa hal dengan Betari terlebih dahulu. Kamu tahu dia mulutnya ember. Gampang cerita ke Ronan sebelum semuanya selesai."
"Cewek." Mufid menghela napas, setengah menggerutu.
"Iya, cewek," Huri menyetujuinya dengan setengah senyum.
"Tapi ..." Mufid akhirnya mengungkapkan apa yang sudah lama mengganjal di benaknya.
"Kenapa kamu selalu memperlakukan Ronan seolah dia anak kecil? Kamu yang lebih muda, kan? Tapi kamu selalu berlagak seperti lebih tua dari dia. Maksudku, kenapa kamu nggak memperlakukan Ronan seperti kamu memperlakukan Betari? Betari bahkan yang paling muda, kan? Dari cara kalian berkomunikasi lewat surat, misalnya. Kalian nggak menggunakan bahasa seperti anak-anak seusia kita."
Huri menatapnya, pandangannya tajam tetapi tenang, seperti menilai apakah kata-kata Mufid layak ditanggapi. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata dengan nada dingin, "Justru Ronan yang paling naif dan merasa paling dewasa."
Mufid memutar bola matanya, napasnya berat. Pikiran tentang Huri yang pura-pura akur dengan Ronan mulai menyeruak seperti asap tebal yang sulit diabaikan. Ia berdiri, siap melangkah ke konter untuk memesan makanan. Tapi Huri menghentikannya dengan suara rendah yang terlempar seperti kail.
"Sudah dengar kabar tentang Pak Mizwar?"
Mufid berhenti, tubuhnya membeku. Ia perlahan memutar badan, mengangkat alis, mencoba terlihat tenang meski dadanya mulai berdegup lebih cepat.
"Pak Mizwar? Petugas kantor pos?" tanyanya.
"Iya, siapa lagi?"
"Kenapa?"
"Barusan anak-anak pada ngomongin di kelasku. Katanya dia mati."
"Mati? Meninggal?" tanya Mufid, suaranya nyaris melonjak. Ia menarik kembali kursinya dan duduk dengan hentakan kecil. "Kapan? Kenapa?"
"Kabar kematiannya sih baru terdengar sekarang. Aku nggak tahu pastinya kapan. Mungkin satu atau dua jam yang lalu," jawab Huri datar, seperti sedang membicarakan hujan yang turun tiba-tiba.
"Nggak mungkin," gumam Mufid. Pundaknya mengendur, dan ia memijat tengkuknya.
"Katanya kantor pos hancur. Ditubruk angin puyuh atau semacamnya. Aku nggak tahu detailnya. Mungkin nanti kita perlu lihat ke sana. Atau kamu saja yang pergi, karena tadi kamu bilang mau pulang lebih awal. Aku bisa mampir sepulang dari sasana," lanjut Huri, tetap tanpa ekspresi.
"Kamu bercanda, kan? Cuaca lagi cerah, Huri. Lihat, langitnya bersih. Nggak ada awan."
"Apa hubungannya?" Huri menatapnya, matanya penuh tantangan.
"Apa hubungannya?" ulang Mufid, suaranya lebih keras. "Serius, apa hubungannya cuaca dengan—"
"Alam bisa berubah sekehendaknya," potong Huri. Suaranya rendah, tetapi ada kekuatan yang menekan di baliknya. "Apalagi kalau alam menyetujui kematian seseorang."
Mufid terdiam, kehilangan kata-kata. Tapi Huri tidak berhenti.
"Sebaiknya kamu koreksi ekspresi wajahmu. Ini kabar kematian. Mestinya kamu berduka, bukan kecewa."
Sial. Mufid menggertakkan giginya. Ia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.
Namun, sepulang sekolah, ketika Mufid akhirnya sampai di lokasi kejadian, pemandangan di depannya membuat napasnya tersangkut di tenggorokan.
Kantor pos itu hancur. Tidak seperti bangunan yang diterjang badai biasa, puing-puingnya tidak berserakan acak. Sebaliknya, semuanya tersusun dalam pola spiral yang aneh, melingkar di tanah seperti jejak kaki raksasa yang tidak masuk akal. Pohon-pohon di sekitar bangunan itu miring dengan sudut yang seragam, seolah-olah ada kekuatan yang menghancurkan semuanya dengan presisi yang menakutkan.
"Ini nggak mungkin angin," gumam Mufid, matanya menyusuri pola spiral itu dengan rasa ngeri.
Terlepas dari itu, tak ada, barang secuil pun Mufid berpikir ini semua adalah perbuatan Huri, yang dalam marahnya masih sanggup meredam untuk tidak menghabisi temannya.
Malam itu, di ranjangnya, Mufid memecah keheningan.
"Huri?" bisiknya, lirih tapi penuh tekanan.
Tidak ada jawaban. Tetapi Mufid tahu Huri tidak tidur. Ia bisa merasakan kehadirannya, diam, tetapi penuh. Huri selalu begitu.
Mufid menarik napas, mencoba mengusir bayangan Pak Mizwar yang terus menghantui pikirannya. Ia berpikir tentang surat yang gagal ia kirim, tentang ironi di balik kelegaan yang ia rasakan. Seharusnya ia merasa bersalah. Tetapi yang ada hanya rasa syukur, yang membuatnya lebih benci pada dirinya sendiri.
Di ranjang atas, Huri tetap terbaring, matanya terbuka lebar, menatap gelap yang tidak bisa dipecah oleh cahaya kecil sekali pun. Ia mendengar Mufid. Tetapi Huri memilih diam sebagai benteng terakhirnya.
Fakta bahwa ini pertama kalinya ia membunuh seseorang tidak mau menghilang dari pikirannya. Pikiran itu terus berputar, lebih cepat dari pusaran angin yang ia ciptakan. Rasanya seperti duri yang terus menusuk, mengingatkannya bahwa keramat yang ia miliki bukanlah berkah, tetapi kutukan yang semakin dalam mencengkeram jiwanya.
Di dalam hatinya, Huri tahu, ia adalah bahaya. Dan bahaya itu tumbuh, semakin kuat, semakin sulit dikendalikan.
Agustus 2003
Ini surat pertama dan terakhirku.
Ronan Thamrin,
Sejak dulu aku heran, kenapa kamu selalu merasa menjadi satu-satunya yang bukan Cangeling adalah hal yang tidak adil.
Apa yang kamu mau sih, Ron? Keramat seperti yang aku dan Betari miliki? Kamu pikir, dengan memiliki keramat, kamu akan berubah menjadi manusia super? Kamu ingin kita bertiga membentuk trio hebat dan menyelamatkan dunia? Kamu ingin merasa keren seperti itu?
Tapi, sebelum kamu semakin salah paham dengan nada surat ini, aku ingin kamu tahu bahwa ini mungkin surat pertama dan terakhir yang akan kamu terima dari aku.
Ini keputusanku untuk pergi. Bukan karena kamu. Bukan karena Betari. Bukan karena siapa pun.
Aku pergi karena aku terlalu berbeda dari kalian. Terlalu lain.
Aku pergi karena aku ingin tahu siapa aku sebenarnya. Aku harus tahu.
Aku mencintaimu, Ron. Kamu dan Betari adalah satu-satunya alasan aku bertahan selama ini.
Tapi jangan coba menemukanku.
Aku akan baik-baik saja.
Dan aku akan selalu tahu ke mana aku harus pulang.
Selamanya saudaramu,
Hurikan
***
Apa komentarmu untuk bab ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top