BAB 1 - Rasian
Komentarmu di setiap paragraf akan menyenangkan saya. Komen yang ramai, ya! 🤗
Baca sembari dengarkan If The World Falls To Pieces by Young Summer
Sejak Betari dan Huri pergi kembali ke asrama SMP, keheningan menjadi teman yang tak pernah diinginkan oleh Ronan. Suara nyaring jangkrik di luar jendela dan ketukan ranting rambutan pada kaca kamarnya hanya membuat kekosongan semakin terasa.
Ronan duduk di atas dipannya, cahaya remang lampu meja menerangi kertas kosong di depannya. Surat ini, pikirnya, harus menjadi penghubung di tengah jarak. Namun, bukan hanya sekadar penghubung. Ronan ingin surat itu menjadi cara untuk menyampaikan apa yang sulit ia ungkapkan secara langsung, tentang satu kabar besar yang belakangan ini ia simpan sendiri.
Juli 2003
Di kamar, sedang bersiap untuk menghadapi
keberangkatan kalian besok pagi.
Untuk Betari Adik Favoritku,
Aku senang kita sempat bicara banyak selagi kamu dan Huri di rumah. Jujur aku masih kangen. Tapi aku nggak ingin menahan kalian pergi. Lagi pula, akhir tahun nanti kita bakal ketemu lagi, kan? Aku punya firasat, liburan nanti bakal lebih seru dari liburan sekarang. Kamu dan Huri nggak mungkin melewatkan musim panen, kan?
Nyai dan Romo akan aku jaga baik-baik, sesuai permintaanmu. Walaupun, tanpa aku jaga, mereka pasti tetap baik-baik saja. Kita punya orang tua yang hebat, setuju, kan?
Semalam, waktu kita bertiga makan talas, sebenarnya aku mau cerita sesuatu ke kamu dan Huri. Tapi Huri lagi heboh banget cerita soal kejuaraan silatnya. Aku nggak tega buat motong. Kita selalu suka dengar cerita Huri, kan?
Begini, Bet. Aku rasa aku akhirnya punya keramat.
Aku serius.
Aku nggak bercanda.
Maksudku, bukan hanya kalian berdua yang punya.
Aku tahu, kata Romo, aku cuma empat jam di alam peri. Itu beda jauh sama kalian. Tapi aku yakin aku benar-benar punya keramat. Ya, mungkin aku terlambat belasan tahun dari kalian, tapi rasanya itu nggak penting lagi. Yang penting, sekarang aku juga sama seperti kamu dan Huri.
Aku nggak tahu gimana ngomongnya, tapi ... selama ini aku selalu merasa beda. Sekarang, aku akhirnya ngerti gimana rasanya jadi seperti kalian.
Aku belum cerita ke siapa pun. Nyai, Romo, bahkan Huri belum tahu. Aku cuma cerita ke kamu lewat surat ini. Aku juga nulis surat buat Huri, tapi menurut kamu, dia bakal balas surat kita nggak?
Kalau kamu udah sampai asrama, balas surat ini, ya. Aku bakal cerita lebih banyak soal keramatku setelah balasanmu nanti.
Jaga dirimu baik-baik di sana.
NB: Jangan kasih tahu Huri kalau kamu adik favoritku. Sekalipun dia mungkin nggak bakal peduli.
Ronan
__________
Kertas surat Ronan tergeletak di atas bantal Betari, sedikit kusut karena berjuang menahan antusiasmenya sejak tadi sore. Bau kayu tua dari lemari di sudut ruangan bercampur dengan aroma pelembap murahan yang terlalu banyak digunakan penghuni asrama. Di luar, suara bola basket menghantam lantai beton berulang kali, ritme monoton yang menggerogoti pikirannya seperti tetes air di batu, atau detak jam yang memaksa waktu berjalan.
Betari duduk di lantai dingin, bersila, dengan pena tergenggam erat di tangannya. Lututnya menjadi penyangga untuk semua pikiran yang mendesak untuk dituangkan ke dalam kertas. Ia membaca ulang surat itu di dalam pikirannya, setiap kalimat yang ditulis Ronan terus bergema.
Ada senyum kecil di bibir Betari, namun senyumnya itu terasa lebih seperti tameng. Akhirnya, pikir gadis itu. Akhirnya Ronan punya keramat juga. Kata-kata itu seharusnya menjadi kabar baik. Dan memang, sebagian dirinya menganggap itu benar. Tapi di balik perasaan lega itu, ada sesuatu yang membuat benaknya penasaran.
Kenapa dia tidak langsung cerita?
Pertanyaan itu mengendap di benak Betari. Ronan bukan tipe yang suka menyimpan rahasia, apalagi darinya. Jadi kenapa? Apakah dia ragu? Apakah dia merasa masih tidak cukup, meskipun mereka sudah menghabiskan seluruh hidup mereka meyakinkannya bahwa dia selalu lebih dari cukup?
Betari menutup mata sejenak untuk mengusir bayangan itu. Dia tahu Ronan terlalu sering merasa berbeda dari dirinya dan Huri. Itu adalah hal yang selalu ada, seperti udara di dalam ruangan ini. Terasa, namun tak pernah terlihat. Tapi andai saja Ronan tahu, berapa kali Betari dan Huri membicarakannya, memikirkannya, merencanakan hal-hal kecil hanya untuk membuatnya tertawa.
Betari menarik napas, pelan tapi dalam. Jari-jarinya menggerakkan pena di atas kertas, kalimat pertama sudah ada di kepalanya.
Tidak ada waktu untuk basa-basi. Jika ada cara agar Ronan tahu betapa pentingnya dia, betapa istimewanya dia bagi mereka, maka cara itu adalah dengan menuliskannya sekarang.
Juli 2003
Di asrama
Untuk Ronan, Favorit Semua Orang,
Ron, aku seneng banget akhirnya kamu punya keramat! Cepet ceritain semuanya!
Aku masih nggak percaya kamu tega banget nggak langsung cerita malam itu. Aku jadi penasaran setengah mati tahu nggak! Kamu pasti sengaja kan bikin aku sama Huri nyesal pergi ke asrama?
Oh iya, di sini ada anak baru namanya Enis. Cowok sombong yang super ngeselin. Dia datang naik mobil Toyota Starlet warna perak. Mobil keluarga kaya banget, kan? Tapi itu belum apa-apa. Dia juga bawa ponsel! Serius, Ron, ponsel beneran. Terus dia pamer main Sudoku di depan semua orang. Mana pas aku nganter dia registrasi, dia bilang aku kayak orang yang belum mandi sejak lahir. Parah banget! Padahal aku mandi dua kali hari itu!
Gara-gara dia juga, peraturan soal alat komunikasi diubah. Padahal sebelumnya ponsel nggak boleh dibawa ke asrama, dan kita cuma boleh kirim kabar lewat surat atau wartel. Eh, dia datang, terus kepala asrama langsung ngalah. Aneh banget, kan?
Aku sama Mesi dan Dias udah sepakat mau kasih dia pelajaran. Nggak tahu bakal berhasil atau nggak, tapi kayaknya bakal seru. Kamu setuju kan, aku harus bikin dia jera?
Ngomong-ngomong soal keramat, aku masih senyum-senyum sendiri karena akhirnya kamu nggak ngerasa beda lagi dari aku dan Huri. Kita bertiga itu selalu punya sesuatu yang sama, meski kadang kamu lupa. Ingat waktu kamu ngambek, bilang keramatku sama keramat Huri itu hadiah dari Romo? Sekarang kan kamu ngerti, bukan soal siapa yang ngasih, tapi kita memang selalu terhubung.
Ron, aku tahu kamu mungkin sering merasa nggak seperti kami. Tapi sebenarnya, kamu itu spesial. Aku sama Huri sering banget ngobrolin kamu, tahu nggak? Malam sebelum berangkat ke asrama aja, kami masih sempat bahas kamu. Kamu nggak pernah bikin Romo atau Nyai pusing, nggak seperti aku dan Huri. Jadi menurutku, kamu itu harta kami. Serius, deh.
Kalau aku bilang kamu anak yang sempurna, kamu pasti bakal bilang aku berlebihan. Tapi ya, itu kenyataannya. Kamu bikin aku sama Huri nggak perlu capek-capek jadi baik, karena kamu udah ada buat itu. Haha!
NB: Oh ya, soal "adik favorit". Aku keburu cerita ke Huri pas di mobil sebelum baca suratmu. Tapi dia malah bilang aku juga saudara favoritnya. Jadi, ya... aku rasa nggak apa-apa?
Betari
__________
Hari-hari berikutnya, ketika kali pertama melihat sosok itu, Ronan berpikir, "Mungkin aku nggak waras."
Bukan pikiran yang biasa remaja itu miliki. Tapi bagaimana lagi menjelaskannya? Sosok-sosok itu melayang di atas rumah-rumah Desa Anukarang seperti layang-layang yang putus, tetapi bukan terbuat dari kertas atau benang. Mereka tampak tercipta dari sesuatu yang begitu gelap dan mereka tidak memiliki wajah. Tidak ada mata, hidung, atau mulut. Hanya kekosongan yang menganga, seperti lubang hitam yang ingin menelan semuanya.
Malam itu, Ronan berdiri di tepi jembatan, mencoba mengabaikan apa yang dilihatnya semalam. Namun, itu seperti mencoba melupakan rasa pahit dari perasan bratawali buatan Nyai.Orang-orang berkumpul di tepian sungai, membawa lampu minyak dan senter, wajah-wajah mereka dipenuhi garis cemas.
"Mungkin dia tenggelam," ujar seorang lelaki tua sambil menggeleng. "Atau dimakan buaya," tambah yang lain dengan nada yang lebih datar dari yang seharusnya.
Ronan hanya berdiri diam, mendengarkan. Tapi ia tahu lebih dari mereka. Atau setidaknya ia merasa begitu. Karena tidak ada yang melihat apa yang ia lihat tadi malam. Tidak ada yang tahu tentang sosok tunggal yang melayang sendirian di dekat rumpun bambu di hilir sungai.
Pak Syuaib menghilang sejak semalam, dan semua orang hanya menemukan sandal, sarung, dan sosog yang belum dipasang. Warga Desa Anukarang biasanya sibuk membicarakan tentang panen atau rencana hajatan, tetapi kali ini bisik-bisik mereka penuh dugaan gelap. Dan Ronan berdiri di tengah-tengah itu semua, memegang rahasia yang terlalu besar untuk anak seusianya.
Semalam, ia bermimpi—atau mungkin tidak. Pak Syuaib berjalan menyusuri sungai ke arah rumpun bambu di kebun desa dengan parang di tangannya. Pria itu tampak letih, akan tapi bukan letih biasa. Wajahnya seperti diselimuti kabut, samar, seperti tidak nyata. Ketika Ronan terbangun, ia yakin mimpi itu lebih dari sekadar bunga tidur.
Kerumunan orang terus bergerak di belakangnya, suara langkah kaki dan bisik-bisik doa menciptakan simfoni aneh yang merangkak masuk ke pikirannya. Tapi Ronan tidak bisa berpaling dari jembatan itu.
Di kepala Ronan, pertanyaan itu terus berputar seperti rekaman yang rusak. Apakah mereka akan percaya jika ia berkata jujur? Atau apakah mereka akan menganggapnya gila?
Dan jika benar apa yang ia lihat adalah nyata, maka pertanyaan yang lebih besar mulai muncul.
Apa sebenarnya mereka itu? Dan kenapa hanya dia yang bisa melihatnya?
Dengan tarikan napas panjang, Ronan membalikkan badan, meninggalkan jembatan dan kerumunan yang tak henti bertanya-tanya. Di dalam kepalanya, bayangan Pak Syuaib berjalan ke rumpun bambu terus mengusiknya. Tapi yang paling menghantuinya adalah sosok itu. Tunggal, melayang di atas rumpun bambu, seperti penunggu tak diundang dari sebuah dunia yang tak berani ia pahami.
Agustus 2003
Ada orang hilang di Anukarang.
Aku yang menemukannya.
Untuk Betari yang lagi jatuh cinta.
Aku tidak peduli kamu menyebut si Enis ini menyebalkan atau super sombong atau apalah. Tapi kamu nggak akan membicarakan cowok seperti ini kecuali kamu suka sama dia. Huri pasti bakal sepakat dengan aku.
Tolong jangan usil ya, Bet!
Tapi surat ini mungkin sampai di tanganmu enam hari sejak dikirim. Jadi, aku yakin kamu pasti sudah ngerjain Enis, kan? Cewek sepertimu nggak akan bisa menunggu pendapatku untuk ngerjain seseorang. Aku nggak melarang kamu untuk bersenang-senang. Cuman, jangan sampai Nyai dan Romo harus kerepotan mengurus ulahmu lagi, Betari yang cerewet! Kamu sudah berjanji.
Tentang keramatku, aku sedikit khawatir.
Aku mau tanya. Yakin kalian berdua nggak ada yang bisa melihat hantu? Karena aku semacam bisa melihatnya.
Aku nggak begitu yakin kalau mereka hantu, sih. Tapi wujud mereka tampak menyeramkan. Hampir setiap rumah ada sosok-sosok berjubah ini (kadang jubahnya hitam, kadang putih, lebih sering hitam) dan mereka mengapung di udara persis di atas rumah-rumah. Bahkan di atas rumah kita juga ada!
Ketika siang jumlah mereka sedikit. Tetapi begitu berganti malam, jumlah mereka bertambah sangat banyak sampai tampak seperti festival layang-layang yang mengerikan. Aku bisa melihat mereka karena tujuh hari ini bulan di langit begitu cerah. Yang kumaksud adalah tanggal 12-17 kalender bulan.
Sesekali, mereka melayang lebih rendah, bahkan benar-benar masuk ke dalam rumah. Mereka tidak begitu mengganggu. Malah seperti tidak peduli meskipun aku yakin mereka sadar aku bisa melihat keberadaan mereka.
Aku pernah terbangun dari tidur. Waktu aku membuka mata, kamu nggak akan percaya ini. Tapi wajahku dan wajah sosok ini berhadap-hadapan sebelum dia memelesat seperti asap menerobos atap. Wajahnya kosong, seperti ruangan gelap. Kamu bisa bayangin, nggak? Mereka benar-benar nggak punya wajah, Betari. Nggak ada hidung, mata, pipi, bahkan juga tidak rata seperti di film horor. Hanya kosong! Anehnya, setelah kejadian itu aku nggak pernah melihat sosok ini ada di hadapanku setiap kali aku terbangun.
Aku sampai sekarang masih gelisah. Aku nggak bisa nggak melihat mereka karena memenuhi udara di mana-mana. Jadi aku mau memastikan sekali lagi, apa kamu dan Huri nggak melihat yang seperti itu? Tolong jawab di surat balasan nanti! Ini demi kebaikanku.
Kamu tahu Pak Syuaib? Penjual arum manis saat kita SD dulu? Bapaknya Yasin. Harusnya kamu ingat karena Romo pernah menebus arum manis yang kamu dan Huri makan tanpa bayar. Dua kali.
Jadi, sebelum dia dinyatakan hilang, sehabis asar orangnya pamit mau memasang sosog di sungai. Ini sedang musimnya orang-orang pasang sosog. Sungai Anukarang di kemarau seperti sekarang sedang makmur-makmurnya karena ikan melimpah. Banyak orang yang juga bikin sumur resapan di pinggirannya untuk cadangan air bersih. Kita pernah membuatnya, kamu ingat? Nah, Pak Syuaib ini, dia sudah biasa berangkat sore dan pulang menjelang magrib, seperti pencari ikan yang lainnya. Aku nggak ingat itu pukul berapa, yang jelas mendekati tengah malam saat kentongan di pos ronda dipukul beruntun untuk titir, semua orang berhambur keluar. Aku kira ada kebakaran.
Yasin dan adiknya sejak isya mencari Pak Syuaib ke sungai. Yang mereka temukan cuma sandal, sarung, dan sosog yang belum dipasang di atas batu. Selarut itu, bapak mereka belum pulang.
Aku, Nyai, dan warga lainnya berdiri di jembatan untuk melihat orang-orang yang mencari Pak Syuaib. Senter mereka menyorot ke setiap sudut sungai. Ada yang sampai menyelam ke bendungan kecil untuk mencari barangkali Pak Syuaib tenggelam. Tapi, di musim kemarau seperti sekarang, sungai sedang dangkal. Orang yang hanyut atau tenggelam pasti nggak akan sedalam itu. Juga, arusnya cukup lemah untuk menghanyutkan orang dewasa, kecuali dia pingsan di dalam air.
Aku mulai paham satu hal saat itu. Sosok-sosok melayang yang kusebutkan tadi, jumlahnya akan berkurang ketika orang-orang sedang tidak tidur. Karena, malam itu pun jumlahnya berkurang sebab separuh warga di Anukarang tumpah ke sungai ikut mencari. Aku berpikir, apa jangan-jangan mereka memang akan muncul hanya ketika orang-orang tertidur?
Nah, kalau benar seperti itu, aku mulai mencurigai satu sosok yang melayang sendirian di atas tanah budidaya milik pemerintah desa di dekat hilir sungai. Area itu banyak ditumbuhi kelapa, gelagah, dan rumpun bambu. Kamu tahu tempat itu, kan? Jangan bilang kamu nggak tahu karena kita bertiga pernah mencari rebung di sana. Sumpah, aku nggak berani bilang pada siapa pun tentang apa yang aku lihat. Bahkan ke Nyai ataupun Romo.
Mendekati fajar pencarian dihentikan dan dilanjutkan besok. Romo sebagai kepala desa langsung menghubungi SAR kecamatan untuk meminta bantuan. Sejak matahari terbit, orang-orang sudah ramai di sungai bahkan lebih ramai dari semalam. Dan sosok yang sendirian itu masih mengapung di sana. Aku berpikir keras dengan semua kecurigaanku.
Romo masih sempat mengantarku ke terminal bus dan kami bercakap-cakap.
"Menurut Romo, Pak Syuaib di mana?"
"Romo tidak tahu, Ronan. Menurutmu di mana?"
Romo melempar pertanyaan seolah aku sudah tahu jawabannya. Tapi, kamu tahu kan, Romo suka melempar pertanyaan kembali pada yang bertanya. Selalu seperti itu.
"Aku semalam bermimpi melihat Pak Syuaib berjalan menyusuri sungai ke arah hilir. Dia sempat membuat batur, sebelum pergi sambil membawa parang untuk mengambil bambu di kebun desa. Dia tertidur di sana."
Aku berbohong karena belum berani bercerita terus terang. Lagi pula aku cuma menduga, kan?
Romo tertawa. "Kamu bermimpi atau sedang bersaksi?"
"Tapi bagaimana kalau dia benar ada di sana? Sungai sedangkal itu tidak mungkin menghanyutkan orang dewasa."
Aku nggak pernah sebangga ini pada diri sendiri. Sepulang dari sekolah, Romo langsung memburuku hanya untuk memberitahu kalau aku benar. Romo sendiri yang inisiatif pergi ke rumpun bambu itu karena hasil pencarian di sungai nihil. Pak Syuaib ditemukan oleh Romo dalam kondisi sudah mati. Dugaan sementara, Pak Syuaib terpeleset saat menebang bambu untuk membuat sosog, lalu jatuh, dan lehernya menancap tepat di pokok bambu yang runcing bekas ditebas.
Romo tidak bilang pada siapa pun kalau aku memberitahunya pagi itu. Tapi, dari situlah, aku akhirnya berkata jujur. Aku menceritakan semuanya, termasuk tentang sosok-sosok itu.
Aku masih ragu apakah ini salah satu keramat Cangeling atau bukan. Romo juga nggak bisa memastikan sebab aku hanya empat jam terculik ke alam peri.
Menurutmu apa yang aku alami itu termasuk keramat Cangeling?
Huri belum menulis surat. Dia sepertinya nggak serius dengan janjinya.
Omong-omong, kamu memang favorit kami!
Ronan
__________
Betari melipat surat Ronan dengan gerakan pelan, takut ada sesuatu yang tak kasat mata akan luruh jika ia terburu-buru melipatnya.
Setiap Cangeling berbeda. Kalimat itu terlintas di kepalanya seperti bisikan dari tempat yang jauh. Mereka adalah serpihan waktu yang dipetik dari dimensi lain, dilemparkan kembali ke dunia ini dengan bentuk yang tampak utuh tapi tidak pernah benar-benar lengkap. Apa yang mereka bawa, dan apa yang tertinggal, mungkin adalah rahasia yang bahkan dimensi asal mereka tak pernah sudi untuk menjelaskannya.
Pertama, Huri, dengan keramatnya yang nyaris seperti permainan ilahi, ia selalu membuat segalanya tampak sederhana. Mengendalikan badai dan cuaca bagi Huri bukanlah misteri, melainkan naluri. Satu napas yang bebas ia embuskan adalah sebuah kekuatan yang tak memerlukan pertanyaan.
Dan, Betari? Berbicara dengan tanaman, memaksa dedaunan merunduk, bunga-bunga mekar, tangkai-tangkai berbuah, dan akar-akar bergulung seperti ular jinak? Bagi Betari itu hanya permainan kecil, tak lebih dari interaksi akrab dengan dunia kita yang ... seharusnya diam.
Tapi, Ronan? Sosok-sosok berjubah hitam itu ... apa?
Betari berusaha membayangkannya meski rasanya tak mungkin akurat. Sosok-sosok tanpa wajah, melayang di atas rumah-rumah, mengintai tanpa tujuan yang bisa dipahami. Sebuah fragmen horor yang bahkan bayangannya terasa tak layak berada di dunia ini. Bagaimana mungkin itu terjadi pada Ronan, yang paling sederhana di antara mereka bertiga?
Ia bergidik, bukan karena takut, tapi karena perasaan asing yang menyelinap di benaknya. Mungkin pengalaman Cangeling memang seperti itu. Sebuah kaleidoskop kejanggalan yang berputar tanpa pola yang sukar dimengerti. Mungkin, pikiran Ronan sedang digedor oleh sesuatu yang bahkan dimensi ini tak ingin ia tahu.
Dan di sanalah letak perbedaan mereka. Bagi Huri, keramat adalah kontrol. Bagi Betari sendiri, keramat adalah permainan. Tapi bagi Ronan? Mungkin keramat adalah pintu. Sebuah pintu yang harus ia buka perlahan, dengan suara derit samar, menuju tempat yang ... barangkali tak ada seorang pun yang ingin masuk.
Betari menghela napas, berat dan panjang, mencoba mengusir bayang-bayang itu dari pikirannya. Tapi ia tahu, ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Tidak dengan Ronan. Tidak dengan apa yang ia ceritakan. Dan terutama, tidak dengan apa yang mungkin akan datang.
Agustus 2003
Aku punya pacar
Ron! Rooon! Roooooon!
Aku langsung nulis balasan ini setelah baca surat kamu.
Jujur, aku nggak tahu harus mulai dari mana, karena ada banyak banget pertanyaan di kepalaku dan aku cuma pengin menginterogasi kamu secara langsung!
Aku merinding, sebadan-badan, bayangin sosok-sosok yang kamu sebut-sebut. Itu apa ya, Ron? Sumpah, aku belum pernah lihat sosok-sosok yang kamu ceritain itu! Huri pun kayaknya nggak pernah membicarakannya.
Setiap kali aku berkomunikasi sama tanaman dan memintanya untuk melakukan apa pun sesuai kehendakku, itu nggak pernah bikin aku lalu bisa melihat sosok-sosok aneh. Dan aku juga pernah tanya ke Huri, waktu dia mulai bisa mengatur badai dan cuaca, dia cuma merasa itu seperti napas yang bebas dia embus dan tahan sesuai kehendaknya. Dia nggak menyebut sosok apa pun yang membantu. Sama seperti aku, Ron.
Kamu nggak berpikir sosok-sosok itu adalah kekhususan dari keramatmu, kan? Karena aku malah mikir seperti itu.
Kasihan sekali Yasin. Berarti sekarang dia cuma hidup berdua dengan adiknya. Apa menurutmu Romo bisa membantu mereka?
Ron, untuk menyangkal tuduhanmu kalau aku suka sama si Bajingan Enis, aku harus ngasih tahu kamu kalau aku sekarang punya pacar.
Namanya Irwin dan dia kakak kelasku. Dia cowok terkeren yang bisa dijadiin pacar. Beda sama Enis yang cuma adik kelas belagu. Tolong jangan kasih tahu Romo dan Nyai kalau aku mulai pacaran, ya. Kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan melakukan apa pun yang mempermalukan keluarga.
Kamu sudah dapat surat dari Huri belum? Karena aku udah. Itu pun cuma berisi tiga kalimat. Dia nggak pandai merangkai kata seperti kita. Tapi kayaknya dia lagi sibuk di sasana karena pertandingannya sudah dekat.
Ron, tolong selalu cerita ke aku, ya. Pokoknya setiap ada perkembangan dan temuan baru dari keramatmu, aku mau kamu cerita.
Sudah kangen rumah,
Betari
__________
Surat pertama yang Ronan tulis untuk Huri, yang ia selipkan diam-diam ke dalam tas sebelum keberangkatan mereka, seperti lenyap. Tak ada jawaban, tak ada tanda apa pun. Sama seperti segala sesuatu tentang Huri: diam, misterius, tapi selalu hadir dengan caranya sendiri.
Ronan menatap kertas kosong itu, ragu hendak menulis surat lain untuk Huri. Pena di tangannya terasa berat. Ia sudah menulis untuk Betari, dan dengan segala energinya yang tak pernah habis, Betari selalu membalas surat itu dalam waktu singkat dengan kalimat panjang, bersemangat, dan penuh celoteh khasnya. Tapi Huri?
Ronan mendesah, keraguan merayap di pikirannya. Huri selalu begitu. Dingin, penuh rahasia, seolah dunia ini hanya urusan kecil baginya. Tapi di balik ketenangan itu ada sesuatu yang tidak bisa diabaikan, yaitu perasaan aman yang aneh di sekitarnya. Huri bisa diam sepanjang hari, tapi keberadaannya cukup untuk membuat Ronan merasa segalanya akan baik-baik saja.
Tapi di sinilah masalahnya. Bagaimana cara menjangkau seseorang seperti itu?
Pikirannya melayang ke masa lalu, ke momen-momen kecil yang sulit dilupakan. Huri yang tidak pernah berbicara banyak, tetapi selalu tahu kapan harus berada di sana. Huri yang tidak pernah menunjukkan kasih sayang secara terang-terangan, tetapi selalu memastikan kedua saudaranya aman. Kebaikan Huri adalah jenis kebaikan yang tidak menuntut perhatian, seperti bayangan pohon besar yang melindungi tanpa disadari.
Dan itu membuat Ronan takut. Bagaimana jika Huri merasa surat-surat ini tidak perlu? Bagaimana jika dia tidak tahu apa yang harus ditulis? Atau lebih buruk, bagaimana jika dia tidak peduli sama sekali?
Pena di tangan Ronan menyentuh kertas, meninggalkan titik tinta kecil, tetapi tidak bergerak lebih jauh. Di dalam pikirannya, suara Nyai bergema, mengingatkan mereka semua untuk menulis surat satu sama lain, belajar mencurahkan emosi dalam kata-kata. Tapi bagaimana cara mencurahkan emosi kepada seseorang yang lebih memilih menyembunyikan semuanya di balik dinding es?
Ronan menarik napas panjang, dadanya terasa berat. Huri mungkin tidak pernah berubah. Tapi bukan berarti Ronan akan berhenti mencoba. Kalau ada satu hal yang Huri ajarkan padanya, itu adalah jangan menyerah, bahkan ketika segalanya terasa tidak mungkin.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ronan akhirnya mulai menulis. Kata pertama mengalir, diikuti yang kedua, lalu yang ketiga. Surat ini mungkin tidak akan dibalas. Tapi setidaknya, untuk kali ini, Ronan tidak akan membiarkan keraguan menang.
Agustus 2003
Di rumah, masih nunggu kabar kamu.
Aku masih boleh khawatir sama kamu, kan?
Kamu nulis surat buat Betari, tapi aku nggak dapat apa-apa.
Kalau ini karena kamu sibuk banget sama persiapan pertandingan, aku nggak masalah.
Kalau kamu nggak nulis karena ngerasa nggak pinter ngerangkai kata, aku nggak keberatan baca tulisan kamu yang berantakan sekalipun. Yang penting ada kabar, daripada aku cuma bisa nungguin.
Tapi kalau kamu sengaja nggak nulis karena ngerasa hal kayak gini terlalu lebay, bisa nggak aku sama Betari jadi pengecualian?
Dan kalau ternyata kamu nggak nulis karena aku ada salah, tolong kasih tahu aku. Aku nggak mau tebak-tebak terus. Bilang aja salahku apa, biar aku bisa perbaiki.
Nyai sama Romo kan minta kita nulis surat kayak gini biar belajar ngatur emosi. Memang agak ribet, tapi kayaknya nggak lebih susah dari latihan napas kamu di sasana, kan?
Aku beneran butuh kabar dari kamu, Huri. Ada hal yang bikin aku nggak tenang akhir-akhir ini, dan aku pengen kamu tahu. Kamu udah baca surat yang aku taruh di tas kamu waktu kamu dan Betari pergi, kan?
Aku nggak mau ini kayak ngomong sama tembok. Jadi, aku kasih beberapa pertanyaan biar kamu ada bahan buat nulis balasan:
1. Kamu pernah nggak ngerasa bingung atau kesusahan waktu pertama kali sadar kalau kamu punya keramat?
2. Cangeling beneran bisa lihat hantu, atau cuma aku aja?
3. Apa keramat Cangeling emang selalu ada hubungannya sama alam? Kayak Betari sama tanaman, terus kamu sama badai?
4. Betari udah punya pacar. Kamu tahu nggak? Menurut kamu gimana?
5. Yang terakhir, kamu baik-baik aja?
PS: Tulis sesuatu, ya.
Saudaramu,
Ronan.
***
Apa komentar kamu untuk bab ini?
(Bab 2 sudah ada)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top