9. Interogasi
MPV abu-abu tua memasuki area drop off point di terminal keberangkatan domestik bandara internasional Juanda. Dimas duduk di salah satu bangku besi, tangannya merangkul bahu Rea yang sedang berbicara panjang lebar dengan wajah penuh binar.
Wahyudi jadi ingat cerita Andro tentang kakak semata wayangnya, Rea. Ceriwis, suka asal kalau ngomong, semangatnya menyala-nyala kalau sedang bicara tentang sesuatu yang disukai, dan dia sangat bucin pada suaminya, Dimas.
Perjalanan cinta Dimas dan Rea juga sudah dia dengar dari sahabatnya sehari menjelang pernikahan Dimas dengan Rea, sekaligus pernikahan Andro dengan Salma.
Dimas bukan dari kalangan berada, bahkan bisa dikatakan pas-pasan, sama seperti Wahyudi. Kuliah dengan beasiswa, lulus tepat waktu dengan nilai mendekati sempurna, punya kecerdasan di atas rata-rata, kemudian the power of orang dalam —ayahnya Dimas masih terhitung saudara dekat dengan mamanya Rea— menariknya untuk bisa mendapatkan satu posisi di perusahaan keluarga Antariksa.
Performa yang luar biasa dan sifatnya yang tidak neko-neko membuat Antariksa tertarik untuk mengenalnya lebih lanjut. Begitu tahu Dimas juga alim dan pandai dalam agama, Antariksa menaikkan level niatnya. Menjodohkan Dimas dengan putri sulungnya, Rea, yang sedang berproses mengenal lebih dalam tentang agama.
Yudi tak tahu lanjutannya, bagaimana akhirnya Dimas bersedia dan Rea menerima. Andro suka nanggung kalau bercerita, dan dia sungkan untuk bertanya. Tapi....
Kisah cinta orang-orang pada mulus-mulus amat, yak. Indah kayak di sinetron. Kira-kira aku nanti gitu nggak ya? Pak Dimas sama Mbak Rea kan agak mirip aku sama Leticia, bedanya Pak Dimas sama Mbak Rea udah satu keyakinan.
Diiin diiinn.... Suara klakson dari mobil belakangnya menyalak galak, Wahyudi terhenyak. Bukannya segera menghampiri atau menghubungi atasannya, dia malah melamun yang tidak-tidak. Sempat-sempatnya pula menyamakan nasib dirinya dengan Dimas.
"Nggak tahu diri banget!" gumamnya sambil tersenyum tipis. Malu pada diri sendiri.
Dia terpaksa memutar sekali lagi. Lalu sebelum sampai area drop off, dihubunginya Dimas untuk menginformasikan posisi. Tiba di sana, Dimas sudah berdiri di samping pilar beton, tangannya bertaut erat dengan jemari istrinya.
"Pasangan serasi," gumam Wahyudi lagi, sedetik sebelum bayangan Leticia kembali menghantui.
Tok tok tok. Kali ini kaca mobil diketuk dari luar. Wahyudi geragapan. Merutuki dirinya yang bisa-bisanya melamun —lagi— di saat yang kurang tepat. Istighfar terlantun bersama kaca mobil yang bergerak turun.
"Kunci," kata Dimas singkat.
Wahyudi memutar kunci mobil ke arah kiri. Mesin mati. Dia cabut kunci dan menyodorkan pada Dimas. Rea tertawa keras sekali, memegangi perut sambil terbungkuk-bungkuk.
"Maksudnya ini pintu mobilnya masih terkunci. Saya sama Rea nggak bisa masuk." Dimas menahan tawa.
Yudi mendadak cengo Sungguh, rasanya ingin ditelan bumi saja saking malunya.
"Tolong ke parkiran dulu ya, antar Rea ambil mobil." Dimas memberi instruksi. Di sampingnya, Rea masih saja tertawa.
"Pengalaman pertama ya, Yud? Nggak sampai ngompol, kan?" Tawa Rea kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya.
"Ssstt, Re, nggak usah gitu, lah. Bagus to, berarti selama ini dia menjaga diri. Jangan dibahas terus." Dimas memperingatkan Rea. Pelan, tapi menembus gendang telinga Wahyudi.
Rea segera menutup mulut, mencoba mengerem tawanya, tapi tampaknya kurang berhasil. Dari rear view mirror Yudi melihat Rea menutup wajahnya, menahan tawa hingga keluar air mata. Wahyudi malu tak terkira. Entah mau disembunyikan di mana lagi mukanya.
Mobil berhenti di depan Mini Cooper merah milik Rea. Dimas turun, membukakan pintu dan mengantar Rea sampai sang istri duduk di belakang kemudi. Yudi memalingkan muka, tak mau menyaksikan adegan yang mungkin berpotensi mempermalukan dirinya lagi.
"Yuk, jalan," perintah Dimas setelah duduk di seat sebelah kiri.
"Saya suka mengkhawatirkan Rea, padahal dia jauh lebih dulu nyetir mobil daripada saya. Dia driver handal. Ngerti mesin dan bisa ganti ban sendiri juga," ujar Dimas dengan nada bangga.
"Eh, bukannya Mbak Rea anak ekonomi ya, Pak?"
"Yud, nggak harus jadi anak mesin buat ngerti mesin mobil. Yang penting mau belajar."
Wahyudi tertohok lagi. Baru pembicaraan pembuka tapi dia sudah mempermalukan diri sendiri. Detik berikutnya ia memilih diam, tak bicara jika tak ditanya, sebab bicara cuma bikin malu saja. Dia juga yakin, perjalanan Surabaya-Gresik siang ini pasti akan terasa lama. Harus siap dikuliti, terutama soal hubungannya dengan Leticia.
Ah, orang nggak ada apa-apa juga, kenapa harus terganggu sih? bisik hatinya untuk kesekian kali.
"Saya mau memantau persiapan untuk serah terima pekerjaan. Alhamdulillah proyek yang di Gresik sudah selesai. Tepat waktu, sesuai rencana." Dimas menjelaskan tanpa ditanya.
Wahyudi lega. Prasangka buruknya tak menjadi nyata. Obrolan berikutnya dan sepanjang berkendara tidak membahas apapun soal dia, Leticia, serta kejadian di Juanda. Yang dibahas justru soal pekerjaan, dari mulai proyek-proyek yang sedang berjalan, PHO, FHO, sampai lini usaha yang dimiliki oleh perusahaan milik Antariksa yang bersistem holding company.
Bisnis keluarga Antariksa ternyata tak tanggung-tanggung. Yang utama dan yang sampai sekarang masih dihandle sendiri oleh Antariksa memang usaha jasa konstruksi, tapi di bawah perusahaan utama ada banyak usaha lain yang menopang atau berhubungan dengan itu. Bisa dibilang nyaris dari hulu ke hilir ditopang oleh grup usahanya sendiri.
"Hulu ke hilir itu contohnya apa saja, Pak?" Hati-hati Yudi bertanya.
"Ya kayak konsultan arsitektur dan konsultan interior desain. Bukan full punya beliau, tapi menggandeng adik-adik iparnya yang qodarullah bekerja di bidang itu. Adik Pak Iksa ada tiga, perempuan suami. Nah, suami dari adik-adiknya Pak Iksa itu satu arsitek, satu interior desainer, satu lagi manajemen. Sama beliau dimodalin untuk buka konsultan arsitektur, desain interior, dan depo bangunan sekaligus digandeng untuk kerjasama.
"Pak Antariksa juga punya stone crusher, batching plant, persewaan alat berat, suplier material, sampai di pengangkutan pun ada."
Wahyudi tidak tahu sampai sejauh itu, sahabatnya tak pernah sekalipun bercerita. Andro memang tak suka membahas harta benda. Mungkin karena tanpa dibahas juga dia bisa punya apa saja.
"Andro nggak pernah cerita apa-apa, Pak."
"Dia sendiri kan memang baru beberapa waktu ini kembali ke rumah. Selama itu juga dia nggak mau tahu urusan rumah, apalagi bisnis papanya. Alhamdulillah sekarang Andro sudah berubah, ya walaupun masih tergolong santai, tapi itu sudah jauh lebih baik."
"Kalau Mbak Rea, Pak?" Sekali lagi Wahyudi menyesali pertanyaannya. "Maaf, Pak, kalau saya lancang bertanya."
Dimas terkekeh. "Rea sama saja. Malah sampai sekarang nggak mau ikut turun ke bisnis papanya. Padahal dia punya ilmu yang bisa dimanfaatkan di sana juga. Ya mungkin belum, kan Allah mudah saja kalau mau membolak-balik hati manusia. Kalau kita yakin itu semua untuk kebaikan, yang penting doanya jangan putus-putus. Soal hasil, jangan mengambil alih haknya Sang Khaliq. Itu bagian dari takdir," ujar Dimas bijaksana.
Hari itu Wahyudi memperoleh banyak pelajaran hidup, juga pengetahuan baru tentang dunia pekerjaan yang kemungkinan besar akan dia geluti di masa depan. Ia pula mendapat informasi baru tentang apa saja bisnis keluarga Antariksa serta bagaimana pengelolaannya.
Di lapangan, dia juga berkesempatan untuk banyak bertanya tentang proses serah terima pekerjaan konstruksi dan seluk beluknya. Tidak mudah memang kalau belum terbiasa, tapi Wahyudi bahagia. Masa depan cerah seakan terbentang di depan sana. Wajah ibu, bapak, dan adiknya bergantian melintasi kepala. Dia tersenyum sendiri.
"Ayo pulang."
Seseorang menepuk pundak Wahyudi. Irama yang tegas membuat Wahyudi berjengit. Kaget.
"Sudah malam. Belajarnya besok-besok lagi. Melamunnya juga nanti saja kalau sudah di kasur."
Wajah Wahyudi memanas. Mau klarifikasi, tapi atasannya itu sepertinya tak membutuhkan penjelasan apapun. Malah sudah melangkah menuju area parkir. Yudi buru-buru mengejar, masuk ke dalam mobil mendahului sang atasan.
"Terima kasih, Pak, sudah mengajak saya ke sini dan kasih saya kesempatan untuk belajar banyak hal baru." Yudi berusaha membuka percakapan. Dimas hanya mengangguk dan hem saja.
Suasana kembali hening setelahnya. Agak lama, sampai Wahyudi hampir mati gaya.
"Kata Andro, kamu guru ngaji, ya?"
"Eh, ng-nggak, Pak. Bukan guru ngaji. Cuma pernah ngajar ngaji saja. Itu juga nggak lama."
"Andro kan anaknya suka semaunya. Kalau cerita juga kadang begitu. Belum selesai sudah berhenti, kadang ceritanya nggak tuntas, sering juga nggak jelas. Bukannya nambah informasi, malah nambah beban. Padahal Rea itu keponya bukan main. Kalau dua orang itu sudah ketemu di meja, ambyar lah suasana. Ya lucu sih, tapi kadang heran, sudah pada dewasa masih pada semaunya."
Dimas terkekeh, Wahyudi setuju sekali. Dia sudah berkali-kali jadi korban dari sifat semau gue sahabatnya.
"Coba kamu ceritakan ke saya." Dimas bertanya lagi. Pertanyaan yang membuat Yudi bingung.
"Ceritakan tentang apa, Pak? Andro?"
"Tentang kamu. Yang jadi guru ngaji itu."
"Duh, bukan guru ngaji Pak. Saya cuma bantu-bantu ngajar ngaji saja. " Wahyudi meringis. Mau tak mau ia bercerita.
Sejak dia kecil, bapak ibunya sudah aktif memakmurkan mushola di kampung mereka. Jauh sebelum menjadi imam, bapak ibunya sudah memulai menghidupkan TPQ, mengajar ngaji anak-anak dan orang-orang tua. Setelah anak-anaknya beranjak dewasa, satu per satu mengikuti jejak keduanya, mengajar TPQ. Pun Wahyudi. Hanya saja dia cuma bertahan dua bulan.
"Saya orangnya nggak tegaan, Pak. Ngajar BAQ anak-anak kecil itu kan harus bener-bener kuat mental. Makhorijul huruf harus benar, panjang pendek, tajwid, dan semacamnya. Karena banyak yang kesulitan, kadang sampai keringetan dan bete, jadi saya naikkan. Pas besoknya dipegang orang tua atau mbak-mbak saya, eh diturunin lagi halamannya.
"Ya untungnya anak-anak nggak dimarahi. Paling mereka protes, sama Mas Yudi sudah boleh naik halaman kok, ya walaupun ujung-ujungnya tetap harus ngulang. Terus nanti saya yang dimarahi sama ibu atau mbak-mbak saya. Nggak kuat saya, Pak. Antara nggak tega sama anak-anak itu dan kesel dimarahi ibu dan mbak-mbak."
Dimas tertawa lepas mendengar cerita Wahyudi. Begitulah kenyataannya. Wahyudi tipe orang yang tidak tegaan, itulah sebabnya dia punya banyak teman, karena setiap ada yang kesusahan dia selalu tampil di garda terdepan. Kecuali urusan keuangan. Kalau bab itu justru dia yang ada di garda terdepan dalam daftar penerima bantuan.
"Kata Andro, kalau urusan ngaji, kamu yang paling bagus bacaannya di angkatan."
"Lah, Andro berlebihan itu, Pak. Masih ada beberapa teman yang lebih bagus, bukan cuma bacaan Qur'an malah, tapi juga ilmu agamanya. Saya mah apa." Wahyudi merendah. Memang begitulah yang dia rasa.
"Mungkin seperti Pak Dimas. Cerdas, pandai, alim, ahli Qur'an."
"Kamu nggak perlu menilai saya, Yud. Sekarang ini saya yang lagi menilai kamu." Dimas lagi-lagi terkekeh. Yudi tersenyum kecut.
"Saya anak ibu saya yang paling bandel, Pak. Saya paling ngeyelan. Kadang nggak tahu diri juga."
"Tapi karena itu juga kamu jadi satu-satunya anak bapak ibu kamu yang sampai bangku kuliah, kan? Itu bukan ngeyel, Yud, tapi pantang menyerah. Bukan nggak tahu diri, tapi mau berusaha untuk melengkapi kekurangan diri."
Dimas benar. Sejak masih duduk di bangku SMP, Wahyudi sudah memupuk cita-cita untuk bisa sekolah tinggi. Ketika ada salah seorang tetangga yang secara ekonomi sama dengan keluarganya dan dia bisa kuliah, Wahyudi remaja tak malu-malu mendatangi dan bertanya, bagaimana agar bisa sepertinya.
Sejak masih berseragam putih biru pula Wahyudi sudah mulai mengumpulkan informasi mengenai jurusan-jurusan di perguruan tinggi yang menjanjikan peluang kerja relatif bagus bagi lulusannya.
Itu menjadi modal untuknya mengambil ancang-ancang sejak memasuki dunia SMA. Berusaha memperoleh nilai di atas rata-rata dan menjaga stabilitasnya. Belajar lebih keras dari teman-teman sebayanya. Doa dan salat malam pun sebisa mungkin terlaksana.
Usahanya tak sia-sia. Dia menjadi salah satu dari segelintir penerima beasiswa penuh yang ditujukan pemerintah untuk calon mahasiswa berprestasi namun tidak mampu secara finansial. Tak hanya biaya kuliah, tapi juga biaya hidup, bahkan uang buku. Wahyudi gembira, orang tuanya bangga, keluarganya bahagia.
"Saya bersyukur sekali, Pak, bisa sampai di titik ini. Semoga Allah menjaga saya agar tetap berada di jalan-Nya. Ya walaupun jujur, setelah kesibukan kuliah mulai banyak, ibadah saya jadi agak goyah, Pak. Cuma sholat dan ngaji saja yang masih lumayan terjaga. Dan puasa. Kalau ini lebih karena ngirit sih, Pak."
Wahyudi terkekeh, menutup cerita tentang perjalanan hidupnya menuju bangku universitas dengan kejujuran yang sedikit memalukan.
"Saya bisa mengerti, Yud, karena saya sendiri mengalami hal yang sama dengan kamu. Kita punya kesamaan, sama-sama mau berjuang di tengah kekurangan. Alhamdulillah, Allah memberi kita keluarga yang nggak minderan dan mau mendukung hal-hal yang buat orang-orang semacam kita adalah kemustahilan."
"Bedanya kita cuma satu, Pak. Pak Dimas ketemu jodoh yang ideal dan sudah satu frekuensi. Minimal di hal yang paling prinsip yaitu keyakinan. Lha saya, sekalinya ada cewek yang mau dekat sama saya, eh kami beda Tuhan."
Tawa Wahyudi meluncur, terdengar getir. Dimas menoleh, menatap si mahasiswa magang itu lekat-lekat. Tampaknya Wahyudi tak menyadari curhatannya barusan. Mungkin mrucut begitu saja, di luar kesadaran dan kendali otaknya.
"Jadi kamu juga suka sama Leticia? "
"Ehk, k-kenapa jadi bahas dia, Pak?"
"Kamu sadar nggak sih, barusan ngomong apa?"
Wahyudi terdiam, mencoba mengingat perkataannya baru saja.
"Astaghfirullah hal adzim," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
"Ya nggak apa-apa, sih. Menurut saya wajar. Pria muda, perempuan cantik, sama-sama nyaman saat berdekatan... What else?"
"S-saya... Emm, anu... S-saya itu---"
"Tapi kesadaranmu tentang perbedaan kalian itu sudah bagus. Soal materi dan kedudukan, saya yakin seratus persen kalau kamu mampu mengusahakan di masa depan. Tapi kalau sudah urusan keyakinan, saya cuma bisa mendoakan, semoga kamu tetap memegang teguh sampai akhir perjalanan."
Mobil memasuki area perumahan mewah tempat kediaman Antariksa berada. Hening menyelimuti detik-detik terakhir perjalanan hari itu. Jangankan bicara, menoleh pada atasannya saja Yudi sudah tak punya nyali.
"Terima kasih, Yud, sudah membantu saya hari ini. Istirahat yang cukup. Galau dan memendam perasaan juga butuh tenaga."
Dua tepukan mendarat di bahu kiri Wahyudi. Dimas membuka pintu, lalu menuju Rea yang bergegas menyambutnya dengan wajah riang dan pelukan sarat kasih sayang.
Wahyudi termangu. Wajah ibunya kembali bertamu, silih berganti dengan wajah Leticia saat mengucap i love you. Ucapan Dimas kembali terngiang, Tapi kalau sudah urusan keyakinan, saya cuma bisa mendoakan, semoga kamu tetap memegang teguh sampai akhir perjalanan.
"Astaghfirullah hal adzim. Naudzubillahi min dzalik. Jangan sampai urusan perasaan membuat saya berpaling dari-Mu ya Rabb."
***
Galau ya, Yud. Prinsip paling mendasar, sih. Saranku sih, mumpung belum telanjur jauh, di-stop aja perasaannya.
Yang baca langsung komplain, "Harus bersatu dong mereka berdua!!" Haha...
Btw, maafkan karena bolos dan telat. Biasalah ya. Wkwk...
Terus mulai part ini aku kasih cover/gambar/ilustrasi utk kejadian di part tersebut. Soalnya aku suka iseng bikin-bikin cover. Happy aja gitu, ya walaupun nggak bagus-bagus amat juga hasilnya. Wkwk...
Judul part-nya rada nggak nyambung juga ya kayaknya? Wis ben ah. Aku tuh lemah kalau disuruh kasih judul.
Oh iya, btw, aku masih mikir-mikir, selama Ramadhan enaknya PTA libur atau tetap tayang, yak? Kayaknya sih belum ada part yg agak dewasa-dewasa, gitu. Yg menguras emosi juga kayaknya nggak ada. Tapi ya belum tau nih, gimana nanti lah ya.
Kabar gembiranya, insyaAllah Cerita Ramadhan Keluarga Anas akan lanjut lagi. Mohon doanya semoga ide dan eksekusinya sama-sama lancar.
Ya udah, segitu dulu yaaa. Terima kasih banyak untuk semuanya. Utk apresiasinya thd tulisanku. Utk sudah membaca. Utk udah kasih bintang. Utk meninggalkan komentar. Moodbooster banget buat aku. Thank you, thank you.
See you :)
Semarang, 21032023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top