8. Adios
Jam sebelas siang. Dimas masuk ke direksi keet dan langsung menghampiri Wahyudi. Setelah bicara sedikit, dia menyampaikan pada staff di ruangan tersebut bahwa dia ada perlu di luar dengan Wahyudi. Tidak ada yang berani nyinyir, bagaimana pun Dimas adalah kepanjangan tangan dari pucuk pimpinan perusahaan.
Keduanya pergi dengan Mini Cooper milik Dimas. Lebih tepatnya milik Rea, istri Dimas. Kediaman keluarga Antariksa jadi tujuan. Dari sana, Yudi akan mengantar Andro dan Salma ke Juanda. Dimas dan istrinya juga akan ke sana, berdua.
Hari itu Andro akan mendampingi Salma dan ibunya ke Spanyol untuk mengunjungi keluarga Sara. Ini berarti Leticia akan pulang ke negeri tempatnya lahir dan dibesarkan. Dan seperti yang Yudi harapkan, kedekatan mereka —yang tak banyak juga frekuensinya— akan selesai dan menjadi kenangan. Mungkin.
"Mikir apa?" Pertanyaan Dimas membuat Wahyudi gelagapan. Edan, iso-isone ngalamun, Yud! rutuknya dalam hati.
"Soal pekerjaan atau soal lain?" tanya Dimas lagi.
"Nggak, Pak. Nggak sedang mikir apa-apa, kok."
Dimas tersenyum sambil melirik pemuda yang duduk di sebelah kirinya. "Gimana hubunganmu sama dia?"
"Eh, sama siapa ya, Pak?"
"Leticia."
Wahyudi tertawa kecil. Sayangnya Dimas menangkap dengan jelas kalau tawa itu tidak lepas. Hanya untuk menyamarkan perasaan saja.
"Cuma teman, Pak. Dia sering sendirian, nggak ada yang menemani. Kadang tanya ke saya bisa menemani atau nggak. Kalau saya sedang luang, ya saya usahakan menemani. Tapi saya jarang luang sih, Pak."
"Jarang luang apa sengaja cari-cari pekerjaan? Saya tahu lho update informasi dari lapangan."
Wahyudi tertawa lagi, kali ini tawa yang asli, berasal dari hati nurani.
"Saya mengaku kalah, Pak." Wahyudi tertawa lagi. Dimas hanya tersenyum lebar. Memang dia irit bicara dan hemat tawa.
"Ya begitulah dinamika kehidupan anak muda. Saya yakin kamu bisa baca gelagat. Yang penting jangan PHP saja. Kalau tidak, katakan tidak. Kalau iya... saya sarankan untuk dipikirkan lagi. Ya minimal bukan untuk sekarang ini."
"Siap, Pak. Delapan enam," guraunya.
"Bagus, lah. Bukan apa-apa, bukan saya mau ikut campur juga, tapi saya melihat kamu punya potensi untuk ke depannya. Dan menurut saya, salah satu cara menjaga potensi kamu itu adalah dengan menjaga diri agar tetap berada di jalan yang lurus. Jalan yang Allah ridhoi. Urusan lain yang sekiranya bisa melalaikan untuk sementara bisa dikesampingkan. Nggak harus lama, kan? Mungkin cuma empat lima tahun ke depan."
Wahyudi tentu tahu pembicaraan itu bermuara ke mana. Yang ia tidak sangka, gelagat Leticia rupanya sudah bukan rahasia di kalangan keluarga Antariksa.
"Istri saya mengikuti perkembangan terkini tentang keluarganya. Dan dia dekat sekali dengan Salma. Info yang berkembang sudah pasti sampai juga ke telinga saya." Dimas seperti bisa membaca pikiran si lawan bicara.
Mobil memasuki halaman rumah keluarga Antariksa. Dimas menganggukkan kepala pada Pak Surip, Wahyudi melakukan hal yang sama. Dalam hati merasa lega karena terbebas dari pembicaraan yang membuat jantungnya memompa darah lebih cepat dari seharusnya.
Menjelang pukul satu, Wahyudi bersama Andro dan Salma meluncur ke bandara. Papa dan mama Andro sejak pagi ada urusan di luar dan berpesan akan langsung bertemu di bandara saja. Keluarga Salma yang lain —termasuk Leticia— berangkat dari kediaman keluarga Johan.
Tiba di bandara, yang lain sudah lebih dulu ada di sana. Mama dan papa Andro. Dimas dan Rea. Juga kedua eyang Andro dari pihak papa. Keluarga Salma yang lain datang sepuluh menit kemudian. Suasana mendadak seperti family gathering, hingga tak ada yang menyadari ketika Leticia menarik lengan Wahyudi dan pergi.
Mereka berada tak jauh dari yang lain, duduk berhadapan di salah satu kafe kecil. Leti menyesap frappucinonya, kedua mata tak lepas dari sosok yang duduk di hadapannya.
"Boarding time kurang dari satu jam ke depan, Leti. Jangan bikin Andro dan yang lain bingung mencari kamu." Wahyudi mengingatkan.
"Give me five more minutes, Yudi." Tak menjawab, Wahyudi tetap diam. Keduanya saling bertukar pandang.
Gawai yang tergeletak di meja bergetar. Panggilan dari Andro. Yudi menerimanya segera.
"Cuk, ojok nggowo mlayu anake uwong. (Jangan bawa lari anak orang)" Andro setengah berteriak, Yudi menjauhkan gawai dari kupingnya.
"Sorry, Ndro. Kami ke situ sekarang. Nggak jauh kok." Wahyudi langsung paham apa yang terjadi. Ia buru-buru bangkit dari duduk, membuat Leticia terpaksa meninggalkan cup yang masih terisi setengahnya.
Tak sampai dua menit, sepasang muda mudi itu sudah kembali bergabung dengan yang lain. Wahyudi meminta maaf, Leticia pasang badan, mengatakan bahwa dia yang mengajak Wahyudi melipir. Memang demikian adanya.
Kerumunan keluarga itu terpisah menjadi dua. Andro dan rombongan menuju antrian cek in. Tak ada air mata. Semua gembira, kecuali....
"Kamu kok kelihatan sedih, Leti?" Pertanyaan Salma membuat Leticia tersipu.
"Aku, emm...."
"Sedih ya mau berpisah sama Mas Wahyudi?" Salma menggoda, meraih tangan Leticia, dan menggenggamnya.
Sejak menangkap basah Leticia usai berduaan dengan Wahyudi di kafe dekat proyek, Salma intens mengamati kakak sepupunya itu. Dan dia mengerti apa yang sedang terjadi.
Leticia membuang muka, menghindari pertanyaan Salma, tapi malah tak sengaja bertemu mata dengan sosok yang menjadi topik pembicaraan mereka. Dia berdiri di balik kaca, melempar senyum tulus yang berhasil membuat hati Leticia tertawan.
"Salma, aku...."
Leti mengibaskan genggaman Salma dan berlari menuju seseorang di balik kaca. Memeluknya tanpa ragu, juga tanpa memikirkan tanggapan sanak kerabat yang masih ada di sana.
"What's wrong with you, Leticia?"
Gadis itu membenamkan wajah di bahu Wahyudi, membasahi kemeja biru tuanya dengan air mata. Wahyudi mengangkat tangannya, memberanikan diri mengusap lembut punggung Leticia.
"I don't know. Tapi aku suka di dekatmu. Aku..., aku suka sama kamu, Yudi." Ucapan Leticia teredam di bahu Wahyudi. Gadis itu lalu merenggangkan pelukan. Ditatapnya mata Wahyudi dalam-dalam.
"Jemput aku di Madrid. Tak harus sekarang, tak harus dalam waktu dekat. I'll be waiting for you."
Wahyudi mundur selangkah, menjauhkan Leti dari dirinya. Sungguh tak enak hatinya, ada Dimas dan Antariksa, bos-bosnya.
"Pergilah. Kasihan Andro kalau anggota grupnya nggak nurut sama dia." Yudi berusaha bercanda. Jangan tanya hatinya.
"Adios, Leticia. Glad to know you," ujarnya lagi, dengan suara memelan.
*adios: selamat tinggal
Leticia mundur beberapa langkah, ia berbalik badan dan menuju ke arah Salma. Sanak saudara melihat ke arahnya sambil berusaha menyimpan keheranan mereka. Leticia tersipu. Wajahnya merona. Malu. Tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba gadis itu kembali berbalik. Ia lantas berlari menuju Wahyudi, memeluknya sekali lagi.
Belum habis keterkejutan, Wahyudi merasakan sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirnya. Disusul bisikan yang membuat dunianya berhenti sesaat.
"Te amo, Yudi."
Leticia mengusap satu pipi Wahyudi, kemudian berbalik dan berlari tanpa melihat kanan kiri. Tak pula memikirkan Wahyudi yang mendadak pucat pasi. Napasnya sesak, lehernya kaku, tak sanggup menoleh ke sana kemari. Tak berani.
Butuh beberapa detik untuk mengembalikan nyali. Ditelannya ludah dengan susah payah, menarik napas panjang, dan dengan gerakan lamban ia mengangkat kepala, menatap sekelilingnya. Matanya beradu dengan beberapa dari mereka, yang memandangnya dengan berbagai ekspresi, entah apa. Sungguh, Wahyudi sangat malu.
"Udah, nggak apa-apa. Anggep aja rezeki, toh kamu nggak minta. Lagian udah kejadian, mau bagaimana?" Rea mendekati. Menyeletuk enteng, seolah tanpa dosa.
"Tapi efeknya mungkin nggak hilang dalam satu dua hari, Re." Dimas menimpali komentar istrinya. Sebagai sesama pria, tampaknya dia tidak sedang bercanda.
"M-maaf, Pak. S-saya... saya izin duluan. Mau mengembalikan mobil ke rumah Pak Antariksa, setelahnya baru ke proyek lagi."
Dimas mengiyakan. Yudi lantas berpamitan pada yang lain dengan penuh kecanggungan. Dia melangkah menuju parkiran. Degup jantungnya masih tak keruan.
"Edyan, ah. Gak main-main. Goleke langsung sik bule ngono iku. Gek wingi nang pantai ngopo ae? Kon jek joko tah ora, Mas?"
(Gila, ah. Nggak main-main. Carinya langsung yang bule gitu. Terus kemarin di pantai ngapain aja? Kamu masih perjaka apa nggak, Mas?)
Seseorang menepuk keras punggung Wahyudi dari belakang, menjajari langkahnya dengan wajah cengar cengir menggoda. Wahyu. Dia salah satu saksi mata kejadian tadi.
"Sembarangan. Memangnya gue cowok apaan?" sahut Yudi.
Ada kesal sekaligus geli dengan tuduhan Wahyu yang serampangan. Ingin juga membela, bahwa meski dibesarkan di tengah budaya barat, sepanjang bersamanya Leticia tak pernah menunjukkan agresivitas atau semacamnya yang berlebihan. Tak pula terasa ada kebebasan bergaul yang membuatnya tak nyaman. Satu-satunya yang mengganggu hanya perasaan yang harus ditahan.
"Piye, Mas? Aman?"
"Aman lah, gak ono maling iki."
"Lha maling hati gak pean itung ta?"
"Asem, yo!"
"Lha iki kate nak ngendi, kok balik ndisiki?" (Lha ini mau ke mana, kok pulang duluan?)
"Ke rumahnya Pak Antariksa, Mas. Nganter mobil."
"Ati-ati, lho. Nyupire sik fokus, ojok kelingan sik kae mau ae." (Nyetirnya yang fokus, jangan ingat-ingat yang tadi terus)
"Mbuh ah, Mas. Aku ndisik." Satu tinju mendarat di bahu Wahyu. Setelahnya Yudi berlalu.
Belum jauh meninggalkan bandara, gawainya berdering. Panggilan dari Andro.
"Assalamualaikum, Ndro. Gimana? Ada yang ketinggalan?" Tak ada jawaban dari seberang. Hanya terdengar suara percakapan, tapi sepertinya bukan ditujukan untuknya.
Wahyudi menyalakan loudspeaker, menyetel volume sampai pol, dan merapatkan gawai ke telinga. Terdengar suara tawa lepas seorang perempuan. Leticia. Ya, Wahyudi masih ingat betul tawa renyah itu.
"Kalian sudah sejauh apa?"
Wahyudi mendengar cecaran Andro pada Leticia. Ia menepikan mobil dan berhenti di halaman sebuah toko retail. Degup jantung yang tadi sudah berhasil ditenangkan kembali menggedor dadanya.
"Aku.... Eh, kami.... Emm, aku... aku fall in love with him. Dia baik. Dia apa adanya. Dia sopan. Aku nyaman. Dan senyumnya..., senyumnya tulus sekali. Aku suka. Aku nggak bisa lupa. Aku---"
"Cuuuk. Entuk dukun teko ngendi se? Ampuh tenan. Nambahi pikiran. Jangkrik tenan kon!"
Wahyudi berjengit, menjauhkan gawai dari telinganya yang berdenging. Sementara di seberang sana, terdengar banyak tawa bersahutan.
"Piye, Bro? Hati aman?"
Masih mencoba mencerna yang terjadi. Wahyudi lalu tersenyum-senyum sendiri. Semuanya terasa konyol.
"Tsunami, Ndro," jawabnya singkat.
"Lambemu!" Yudi tergelak mendengar umpatan Andro, sekaligus menertawakan dirinya sendiri.
Panggilan berakhir. Kejadian di bandara tadi terbayang kembali. Yudi beristighfar. Satu-satunya senjata yang bisa meredam kegelisahan, rasa berdosa, juga ge-er yang mungkin menyusup tanpa bisa ia hindari.
Dilajukan kembali mobilnya. Baru sekira lima menit, gawainya berdering lagi. Nama Pak Dimas Iparnya Andro terbaca di layar. Buru-buru dia angkat.
"Assalamualaikum, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Waalaikumussalam warahmatullah. Kamu sudah jauh dari bandara?"
"Eh, b-belum, Pak. Bagaimana?"
"Tolong kamu ikut saya ke Gresik, ya. Saya sudah izinin ke kantor. Bawa mobilnya Andro aja. Kamu langsung balik ke sini sekarang ya, saya tunggu di depan pintu departure tempat drop off tadi."
Deg! Jam-jam itu dunia Wahyudi serasa roller coaster. Jantungan berkali-kali.
"B-baik, Pak. Saya segera ke situ."
"Duh, siap-siap diinterogasi, nih," keluh Wahyudi begitu atasannya mengakhiri pembicaraan.
Sejujurnya dia tak ingin membahas apapun tentang Leticia. Entah kejadian yang tadi, yang kemarin, atau yang lalu-lalu. Leticia sudah kembali ke negaranya. Semua yang pernah terjadi, anggap saja cuma pernak-pernik dunia. Selesai.
Ge-ermu lho, Yud. Yang mau bahas itu juga siapa. Pe-de banget! batinnya mengingatkan.
Ish, lha kowe ki sopo to, Yud? Belum tentu juga ajakan Pak Dimas modus. Pak Dimas saja orangnya jarang bicara, ya kali sempat-sempatnya mencari waktu khusus cuma untuk membahas Leticia.
Hatinya berkata yang lain lagi. Dia terkekeh sendiri. Geli. Kenapa sampai berpikir yang tidak-tidak? Memangnya ada apa juga antara dia dan Leticia? Toh tidak ada apa-apa sama sekali!
Wahyudi menasihati dirinya sendiri, agar tak terbawa perasaan yang mungkin juga tak akan berkelanjutan. Bukan mungkin malah, tapi harus! Sudah seharusnya semua itu tak berlanjut. Selesai sampai di Juanda tadi. Tapi....
"Jemput aku di Madrid. Tak harus sekarang, tak harus dalam waktu dekat. I'll be waiting for you."
"Te amo, Yudi."
Pelukan dari seorang gadis.
Sesuatu yang lembut yang menghangatkan bibirnya.
Semua itu berulang-ulang melintasi benak Wahyudi. Bagai bumi yang berotasi pada porosnya. Berputar. Berulang.... Lalu semuanya berhenti tiba-tiba saat seulas senyum membayang di pelupuk mata. Senyum lembut nan penuh kasih sayang. Senyum ibunya.
Wahyudi menarik napas, panjang dan dalam. Melepas perlahan. Lalu merekahkan segaris senyuman, seolah membalas senyum ibunya.
Yakin Pak Dimas masih sabar menunggu, maka ditepikannya mobil. Ia berhenti, meraih gawai yang tergeletak di bangku sebelah kiri.
"Assalamualaikum, Bu. Lagi apa?"
"Waalaikumussalam. Nembe bar masak. Jare ngeterke Mas Andro. Lha uwis opo durung?"
(Baru habis masak. Katanya ngantar Mas Andro. Lha sudah apa belum?)
"Udah, Bu. Ini baru pulang dari bandara, mau balikin mobilnya Andro ke rumah. Eh, ditelpon Pak Dimas, diajakin ke Gresik."
"Alhamdulillah. Kowe gelem to? (Kamu mau kan?)"
"Iya, Bu. Mau."
"Alhamdulillah. Nek sinau ojo setengah-setengah. Nek dijak sing apik tur iso marai pinter, yo ojo ditolak. Gak usah mikir mantuk sik, sing penting tenanan le sinau, le ajar kerjo. Ojo lali, syukure sing akeh nduwe konco koyok Mas Andro karo keluargane Pak Antariksa."
(Kalau belajar jangan setengah-setengah. Kalau diajak yang baik dan bisa bikin pintar, ya jangan ditolak. Nggak usah mikir pulang dulu, yang penting serius belajar, latihan kerja. Jangan lupa, syukurnya yang banyak punya teman seperti Mas Andro dan keluarganya Pak Antariksa).
"Siap, Bos." Wahyudi dan ibunya tertawa bersama. Ada kesejukan mengaliri hatinya.
"Sholate ojo lali lho, ya. Pokoke kui sing kudu mbok cekel tenan. Ngajine yo dikober-koberke, ojo ditinggal. Nek engel golek wektu yo murojaah sing kowe apal. Sak isone."
(Salatnya jangan lupa lho, ya. Pokoknya itu yang harus dipegang erat. Ngaji juga disempatkan, jangan ditinggal. Kalau susah cari waktu, ya murojaah yang kamu hafal. Sebisanya).
"Siap, Ibu Ratu. I love you."
"Halah, gayamu lho. Ai lof yu barang." Tawa kembali menghias obrolan keduanya.
"Ya udah, Bu. Aku ditungguin sama Pak Dimas. Salam buat bapak, ya. Jangan lupa doain aku."
"Yo mesti. Kamu satu-satunya harapan ibu. Sehat-sehat, yo." Tak perlu dijelaskan harapan apa, Wahyudi sudah paham.
Mereka saling bertukar salam penutup. Panggilan berakhir. Matanya menghangat. Setetes bening mengalir.
***
Yud, kamu bikin aku terharu. Aaakk...
Sebenernya mau lanjutin obrolan sama Dimas, tapi aku lagi ada acara, nggak kekejar ngeditnya buat tayang hari ini. Jadi disimpan buat besok kamis. Hehe...
Ini aja ngeditnya agak seadanya. Mungkin banyak yg agak ngawur-ngawur. Haha... Dimaklumi yaaa.
Terus ini udah 2K words juga. Daripada kepanjangan, mending buat tabungan part aku. Wkwk... Maapkan.
Nggak panjang-panjang curhatan dulu juga ya. Ini curi-curi waktu di tengah obrolan (bukan meeting kok, wkwk).
Baiklah. Sampai di sini dulu yaa. InsyaAllah ketemu lagi hari Kamis.
Terima kasih udah membaca, kasih vote, kasih komentar. Maafkan untuk segala kekurangan dan kesalahan.
See you :)
Demak, 13032023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top