7. Hari Bersamanya
"So, Yudi... can we always be close like now?"
"Why not? Aku senang berteman dengan siapapun, Leti."
Leticia menarik napas panjang, wajahnya terlihat kecewa. Bukan itu yang dia maksud, dan dia yakin Wahyudi tahu.
"Aku tahu kamu mengerti maksudku, Yudi. So... can we always be close like now?" Gadis itu mengulangi pertanyaan sekaligus harapannya.
"So sorry, Leti. We can not. Emm... i think so."
"Why?"
"Ya karena kamu di Spain dan aku di sini, di Indonesia. 12.000 kilometer itu jauh, Leticia. So, how can we be close when the distance is so far?"
"Yudi, please. Aku serius."
Wajah memelas Leticia membuat Wahyudi tak tega. Nyatanya dia memang serius, meski jawabannya terdengar bercanda.
"And i'm not kidding either, Leticia. Memang begitu jauhnya jarak kita nanti." Jarak dalam arti sebenarnya dan tidak sebenarnya, sambungnya dalam hati.
"So?"
"So... kita bisa selalu menjadi teman."
"Kalau tidak sekarang, apakah kita masih punya kesempatan untuk suatu hari nanti?"
"I don't know, Leticia. Waktu bisa mengubah banyak hal, termasuk perasaan dan keinginan."
"Termasuk perasaan dan keinginanmu juga?"
Wahyudi tak menjawab. Tak mengangguk, tak pula menggeleng. Seumur hidupnya baru pertama kali seorang gadis mengharapkan untuk dekat dengannya. Gadis yang istimewa. Waktu yang menurutnya terlalu cepat. Ikrar yang pernah dia ucapkan di hadapan sang sahabat. Perbedaan yang terlalu jomplang diantara mereka berdua....
Ah, terlalu banyak aral untuk mengatakan bisa. Ia tidak bisa.
"Kamu baru mengenalku beberapa hari, Leti. Setelah ini, kamu kembali ke negaramu, bertemu lagi dengan orang-orang yang mewarnai hari-harimu, sibuk dengan segala aktivitas yang kamu sukai, dan kamu akan lupa dengan ini semua. So, jangan memikirkan terlalu banyak dan terlalu jauh, Leti. Just enjoy our time today."
Gadis itu diam. Tangannya tak lagi memeluk lutut. Ia lalu merebahkan tubuh ke atas pasir. Wahyudi melakukan hal yang sama. Keduanya menatap langit nan cerah, tak terlalu terik.
"Ceritakan sama aku tentang keluarga kamu." Sebuah permintaan meluncur dari bibir si gadis hispanik.
"Keluarga sederhana. Ayahku guru, aku memanggilnya bapak. Ibu punya kios kecil di pasar. Pasar tradisional. Pasar rakyat. Bukan mall."
"Aku tahu." Leticia terkekeh. "Aku beberapa kali ikut Tante Nur ke pasar." Lanjutnya lagi.
"Kakakku dua, semuanya perempuan. Sudah menikah. Adikku satu, laki-laki."
"Siapa namanya?"
"Namanya siapa?" Keduanya tergelak, menertawakan pertanyaan yang hanya dibolak-balik saja.
"Keluargamu."
"Kakakku Lestari dan Nastiti. Adikku Ghifari."
"Papamu? Mamamu?"
"It will not come out on the exam, Señorita." Tawa kembali pecah diantara keduanya.
"Apa dia baik dan menyenangkan seperti kamu?"
"Siapa?"
"Adikmu."
"We call him Ari."
"Hmm... Okay. Ari. Apa dia baik dan menyenangkan seperti kamu?
"Aku nggak bisa menilai diriku sendiri, apakah aku baik atau menyenangkan atau apapun itu."
"Tapi aku bisa menilai kamu, Yudi. Dan kamu bisa menilai adikmu."
"Kalau adikku baik dan menyenangkan, apa kamu ingin dekat dengan adikku? Please, dia masih 16 tahun, Leticia." Yudi menggodanya.
"Yudi, kamu gila!" Leticia memekik. Keduanya terbahak. Masih dalam posisi yang sama. Berbaring di atas pasir, menatap langit dengan mata memicing, kadang memejam, sedikit silau.
"Apa cita-citamu?" Gadis itu bertanya lagi.
"Membahagiakan keluargaku. Membantu orang tuaku. Membantu adikku kuliah, dan kelak... berkumpul bersama mereka di surga-Nya."
"Apakah karena itu?"
"Mungkin," jawab Wahyudi singkat. Ia paham ke mana arah pertanyaan Leticia.
"Apa aku boleh ikut ke surgamu?"
"Nanti kutanyakan dulu."
"Tanya ke siapa?"
"Ibuku."
"Kenapa ke dia?"
"Karena kupikir... untuk bisa berkumpul denganku dan keluargaku di surga nanti, kamu harus jadi istriku, jadi bagian dari keluargaku. Dan seperti apa sebaiknya perempuan yang nanti jadi istriku, aku harus menanyakan dulu pada ibuku, perempuan seperti apa yang menurutnya tepat untukku."
"Kenapa ibumu?"
"Pertama, karena dia yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan aku, jadi menurutku dia yang paling tahu tentang aku, juga perempuan tipe bagaimana yang sekiranya bisa menghadapi aku. Yang kedua, dalam keyakinanku ibu dimuliakan tiga kali lebih daripada ayah. Dan yang ketiga, apapun yang berhubungan dengan kami anak-anaknya, bapak selalu meminta dan mengutamakan pendapat dari ibu. Jadi, kalaupun aku bertanya pada bapak atau kakak-kakakku, pada akhirnya pendapat yang paling berpengaruh adalah dari ibu."
"Yang kedua apa maksudnya?" Leticia tampak tertarik pada alasan Yudi yang kedua.
Itu berasal dari hadits Nabi, dan Wahyudi sangat menjunjung tinggi perkara ini. Maka diceritakanlah kepada Leticia, bahwa suatu hari di masa kenabian, seseorang datang kepada Nabi dan bertanya, "Wahai Nabi, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?" Nabi menjawab, "Ibumu." Lalu orang itu bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Nabi memberi jawaban yang sama, "Ibumu." Orang tersebut kembali bertanya, "Kemudian siapa lagi?" Nabi menjawab sama, "Ibumu." Orang tersebut bertanya lagi, "Kemudian siapa lagi?" Dan Nabi menjawab, "Kemudian ayahmu."
"Kenapa ibu dan kenapa tiga kali?"
"Pertama kali mendengar tentang kisah ini, aku juga protes pada bapak, kenapa ibu disebut tiga kali tapi bapak cuma sekali? Entahlah, waktu itu tiba-tiba saja egoku sebagai seorang anak laki-laki merasa nggak terima." Yudi terkikik geli mengingat masa kecilnya dulu. Dia paling nakal diantara empat bersaudara.
"Papamu bilang apa?"
"Karena ibu yang mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibu merelakan tubuhnya menjadi tempat bagi kita tumbuh sejak masih berupa zigot, embrio, sampai menjadi bayi. Mau tak mau ibu membawa kita ke mana saja walaupun berat dan merepotkan. Kemudian bertaruh nyawa saat melahirkan kita ke dunia. Dan dia juga yang menyusui kita, menjadi perantara rizki yang Tuhan berikan sebagai sumber kehidupan pertama kita di dunia."
"Kamu mencintai ibumu?"
"Dengan segenap hati dan jiwaku, Leti. Ibuku orang baik dan apa adanya. Dia jujur. Sederhana. Selama ibuku masih hidup, aku akan berusaha memenuhi semua nasihat dan ucapannya."
"So, apakah kamu akan bertanya pada ibumu segera, begitu kamu bertemu dengan dia?"
"Bertanya apa?" Entah akan berapa kali lagi Wahyudi berpura-pura tidak tahu.
"Emm... bolehkah nanti aku ikut ke surgamu?"
Pemuda itu menelengkan kepala, menatap ke arah Leticia. Ia baru sadar kalau Leticia ternyata telah lebih dulu menoleh dan memandanginya, entah sudah berapa lama. Maka ia buru-buru mengembalikan posisi kepala seperti sebelumnya, juga menenangkan jantungnya yang mendadak tak beraturan irama degupnya.
Astaghfirullah hal adzim, batinnya.
"Belum, Leticia. Aku belum akan bertanya pada ibuku. Masih banyak hal yang ingin aku wujudkan sebelum aku bertanya soal yang satu itu."
"Kalau begitu...." Gadis itu menggantung kalimatnya. Wahyudi menahan diri untuk tak menoleh, apalagi bertanya. Meski sesungguhnya ia ingin tahu lanjutan dari perkataan Leticia.
"Aku ingin main air."
Leticia bangkit begitu saja. Berdiri, kemudian berlari menuju laut. Wahyudi kaget, bersegera mengikuti, lalu menarik gadis itu sebelum air membasahi tubuh tinggi semampainya.
Berdua-duaan dengan gadis itu saja sudah membuatnya merasa berdosa. Dia tak mau menambah dosa lagi dengan melihat Leticia dalam keadaan basah kuyup.
Astaghfirullah hal adzim. Untuk kesekiankalinya ia merapal istighfar dalam hati.
Belum lama berselang, pedekate dan gebet sana sini menjadi hiburan baginya. Walau tak satupun gebetan yang benar-benar menoleh kepadanya, Wahyudi tak pernah jera. Yang bening-bening tak pernah lolos dari database-nya.
Tapi Wahyudi yang sekarang berbeda. Ia lebih serius dalam memandang hidup dan masa depan. Semuanya terjadi sepulangnya dari panti asuhan tempat Salma dibesarkan. Dia merasa Allah begitu menyayanginya, memberinya tempat bertumbuh di tengah orang tua dan saudara-saudara kandung yang melimpahinya dengan lerhatian dan kasih sayang.
Keluarganya memang sangat sederhana, kalau tidak mau dibilang pas-pasan. Tapi dia dibesarkan dengan penuh kehangatan. Mereka adalah semangat hidupnya yang paling besar. Membahagiakan mereka adalah cita-cita yang tak ingin ia tukar dengan apapun. Maka sekarang ini, bersenang-senang yang tidak jelas menjadi sesuatu yang dicoretnya dari daftar kegiatan harian. Apalagi kesenangan itu berpotensi melalaikan, tentu harus ia jauhi secepat ia bisa.
"Kamu mau membawaku ke mana, Yudi?"
Pertanyaan Leticia menyadarkan Wahyudi dari segala pikiran yang menyesaki kepala. Mereka sudah berjalan cukup jauh meninggalkan laut. Ia bahkan masih menggenggam erat pergelangan tangan Leticia, tanpa sadar.
"Maafkan aku, Leticia. Aku... Kita kembali ke Surabaya, ya?"
Leticia menurut saja. Keduanya kembali mengarungi jalanan di atas roda dua pinjaman. Gadis itu mengulang yang tadi, melingkarkan lengannya di pinggang Wahyudi, kali ini ditambah menyandarkan kepalanya di punggung pemuda itu. Dan seperti sebelumnya, Wahyudi diam saja. Tak menolak, juga tak melarang.
Hanya sekali mereka mengambil jeda perjalanan. Wahyudi menunaikan kewajiban, Leticia menanti sembari memperhatikan. Dia sering melihat Salma, Andro, dan Tante Dita melakukan hal yang sama. Berdiri di depan keran, membasahi wajah, kaki, dan tangan, lalu tampak begitu segar setelahnya. Tapi segarnya wajah Wahyudi terlihat berbeda di mata Leticia. Berbinar bercahaya. Terlebih saat melihatnya berdiri, lalu merunduk, dan bersujud dengan khusyuk.
"Oh, Dios mio, me enamore de el. (Ya, Tuhanku, aku jatuh cinta kepadanya)" Hati gadis itu terasa menghangat. Matanya berkaca-kaca, yang segera ia usap dengan jemari lentiknya.
***
Mereka tiba di Surabaya menjelang sore. Sebenarnya Leticia ingin melanjutkan obrolan di kafe. Kafe tempat mereka pertama kali 'berkencan'. Wahyudi menolak dengan tegas. Dia menghindari kesan kuang baik di mata keluarga Leticia jika tahu mereka seharian penuh pergi berdua. Ada nama baik Andro dan keluarganya yang harus dia jaga, sebagai tempatnya bernaung selama berada di Surabaya.
Kediaman keluarga Johan tampak sepi, sama seperti waktu mereka pergi. Itu tak mengurungkan niat Wahyudi untuk turun dari motor dan mengantarkan Leticia hingga depan pintu.
Bu Nur tergopoh-gopoh usai mendengar ketukan. Senyum lebarnya merekah begitu pintu terbuka.
"Assalamualaikum, Bu Nur. Saya mengantarkan Leticia. Maaf kalau kami perginya terlalu lama."
"Waalaikumsalam. Ndak apa-apa, Mas Yudi. Malah Non Leti jadi ada temannya. Kasihan Non Leti sering kesepian. Teman-temannya Bu Lucia atau Mbak Sara kan sudah pada berumur, dia nggak nyaman kalau ikut silaturahmi gitu. Bosan katanya. Di rumah ya temannya paling saya. Non Salma dan Mas Andromeda juga kadang ada kesibukan lain.
"Tadi pagi juga saya kepikiran karena Non Leti saya tinggal sendirian, padahal pagi-pagi banget sudah bangun. Biasanya kan dia bangunnya siang."
"Ih, Tante Nur suka begitu. Bicara yang nggak baik tentang orang lain itu nggak sopan, lho. Mana orangnya di depan mukanya Tante Nur begini." Leticia merajuk, mukanya cemberut. Bu Nur tertawa sambil mencubit pipi Leticia. Wahyudi meringis, ekspresi Leticia saat sedang kesal sungguh lucu dan menggemaskan.
"Bu Sara, Oma Lucia, dan Bu Dita belum pulang ya, Bu? Kelihatannya kok masih sepi," tanya Yudi sopan.
"Belum. Kalau pergi-pergi gitu biasanya sampai malam. Kemarin malah nginap, terus tadi pagi katanya diajak ke Malang. Mbak Sara sama Mbak Dita sudah coba menghubungi Non Leti, Non Salma juga, saya juga, tapi HP Non Leti dari tadi mati. Kamu lupa ngecas, ya?" Bu Nur beralih bertanya pada Leticia. Gadis itu iya iya saja, padahal memang sengaja meng-off-kan gawainya.
"Emm, kalau begitu saya pamit dulu, Bu. Tolong nanti disampaikan permintaan maaf saya ke Bu Sara, Oma Lucia, dan Bu Dita ya, Bu Nur."
"Lho, minta maaf buat apa?"
"Karena saya pergi sama Leticia nggak izin dulu. Maaf ya, Bu. Dan tolong sampaikan permintaan maaf saya tadi." Yudi mengulangi pesannya, kemudian segera undur diri dari hadapan Bu Nur dan Leticia.
Wahyudi baru akan meninggalkan halaman rumah keluarga Johan ketika Leticia berlari-lari kecil ke arahnya.
"Ada perlu apa lagi, Leti?"
"Nothing. Just want to say thank you. Aku senang dengan hari ini."
"Aku juga senang. Muchas gracias, Señorita. (Terima kasih banyak, Nona). Aku pulang dulu, ya."
"I hope it will not be the last." Leti berujar pelan.
I don't think so, ucap Yudi dalam hati. "Adios, Leti." Itu yang meluncur menembus gendang telinga Leticia.
Wahyudi berlalu, Leticia memandangi sampai sosoknya hilang di persimpangan jalan. Kenangan hari itu ia simpan di sudut hati yang paling dalam.
***
Malam merayap perlahan. Leticia sudah naik ke peraduan. Sesekali mengulas senyum, mengingat kebersamaannya dengan Wahyudi siang tadi.
Jam dinding menunjukkan nyaris pukul sembilan saat suara mamanya terdengar. Suara oma dan tantenya juga. Ketiganya bertanya kepada Bu Nur mengenai dirinya.
Dari pintu kamar yang sedikit terbuka, Leticia tahu Tante Nur sedang menjelaskan kepada orang-orang tuanya, apa adanya, termasuk menyampaikan permintaan maaf yang tadi dititipkan oleh Wahyudi.
Bukannya ikut menyambut, Leticia justru memilih untuk memejamkan mata, berpura-pura tidur agar terhindar dari pertanyaan mamanya yang kadang suka bikin jantungan.
Suara pintu didorong dari luar, lalu hentakan kaki terdengar mendekat. "Leti... Leticia...." Pipinya ditepuk lembut oleh sang mama. Leticia bergeming.
"Mi hija... mi querida. (Gadisku... kesayanganku)." Dan Leticia masih tetap diam.
Sara mengingsut, menjauhi anak gadisnya dan mengambil handphone dari dalam tasnya di atas meja. Setelahnya ia menelepon Salma.
"Hola, Salma. Buenas noches, sayang. Apa Andro sudah tidur?"
"Halo, Tante. Belum, Tante. Mas Andro belum tidur kok."
Leticia menahan napas. Memasang telinga sebaik mungkin agar bisa menangkap percakapan mamanya dengan Salma yang —sengaja— di-loudspeaker oleh Sara.
"Kalian tidur di mana malam ini? Di rumah Iksa atau di rumah Om Jaya?"
"Iya, kami tidur di rumah eyang, Tante. Bagaimana? Ada yang bisa Sal atau Mas Andro bantu?"
"Tolong kalian ke sini ya, mumpung Leticia sudah tidur. Tante mau tanya-tanya tentang sahabatnya Andro." Sara mengeraskan suaranya. Lagi-lagi ia sengaja.
"Maksudnya Mas Wahyudi?"
"Ehk! Uhuk uhuk uhuk." Leticia tersedak, terbatuk-batuk.
***
Jiahaha, ketauan deh kalau si mbak bule cuma tidur pura-pura.
Maafkan telat updatenya. Semalam udah pegang HP. Mau ngedit terus apdit, tapi kalah sama ngantuk. Wkwk...
Btw, agak rumit ya hubungan Wahyudi sama Leticia. Sebagai cowok normal, ya tentu saja ada ketertarikan juga. Tapi ketertarikan saja nggak cukup, kan?
Halah, ngomong apa sih gueee? Haha..
Ya udah, segini dulu aja ya. Terima kasih sudah membaca, kasih bintang, meninggalkan komentar. Aku senang kalau ada yg mengapresiasi tulisanku. Itu jadi penyemangat buatku.
Mohon maaf juga kalau banyak kekurangan di sana sini. Semoga makin hari bisa lebih baik lagi.
See you :)
Semarang, 10032023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top