4. Mengambil Hati

Wahyudi baru saja masuk ke direksi keet, helmnya bahkan masih bertengger di kepala, ketika salah seorang security memanggil namanya.

"Mas Yudi, ada yang nyariin tuh di luar."

"Eh, maaf. Siapa ya, Pak?"

Dia tak merasa ada janji dengan siapa-siapa. Kalaupun Andro yang datang, biasanya langsung masuk saja tanpa harus sekuriti yang memanggilkan.

"Nggak ngerti saya, Mas. Tapi areke ayu. Wajahnya nggak kayak orang Indonesia. Bule gitu. Rambutnya coklat, keriting kayak Marimar si gadis pantai."

Wahyudi terkikik geli mendengar ucapan terakhir si bapak sekuriti. Siapa pula Marimar si gadis pantai? Dia tahunya marimar yang minuman sachet.

Diucapkannya terima kasih, kemudian bergegas ke luar. Diam-diam hatinya menerka, hanya saja tak berani menyebut nama yang melintas di pikirannya. Rasanya tidak mungkin kalau dia. Tapi....

"Leticia?" Nama itu akhirnya terucap juga. Tepat. Sesuai dugaannya.

"Hola, Yudi. Que tal? (Halo, Yudi. Apa kabar?)" Leticia tersenyum. Berusaha terlihat akrab dan biasa saja, namun kesan canggung tetap saja ada. Pun Wahyudi, yang tak menyangka sama sekali.

"Alhamdulillah. Muy bien (kabar baik). Tapi Andro dan Salma nggak ada di sini. Kamu cari mereka, kan?" Wahyudi mengedarkan pandang ke sekeliling, mencari seseorang yang mungkin membersamai Leticia, tapi tak ada.

"Kamu ke sini dengan siapa?" tanya Yudi lagi.

"Sendiri. Dan aku ke sini cari kamu." Jawaban Leticia agak mengejutkan bagi Yudi.

"Oh ya? Adakah sesuatu yang cuma bisa dibantu olehku?" Sebuah pertanyaan aneh meluncur begitu saja, lalu disesali oleh si penanya.

"Emm..., apa aku mengganggu?" Ragu-ragu Leticia berucap.

Wahyudi jadi tak enak hati. Lagipula, kenapa harus kikuk? Toh diantara mereka tak ada apa-apa. Dia juga baru sepekan lalu berikrar di depan sahabatnya untuk tak lagi memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk masa depannya, salah satunya soal perempuan. Setidaknya untuk saat ini. So, kenapa kehadiran Leti harus mengganggunya?

"Off course not. Kamu sudah makan, Leticia?" Leticia menggeleng.

"Kita makan, yuk." Leticia menggeleng lagi.

"Sekali lagi aku minta maaf, Leticia. Aku tadi cuma surprised saja kamu datang mencariku. Rasanya itu sesuatu yang impossible. But it's okay. Yuk, makan. Aku lapar. Ada kafe dengan menu rice bowl enak di dekat sini. Kalau kamu nggak makan nasi, aku akan menraktirmu churros sebagai permintaan maaf."

Wahyudi bersyukur sekali uang beasiswa yang rutin dia terima selalu dia gunakan dengan sebaik dan sehemat mungkin. Setidaknya dalam kondisi seperti ini dia tak harus terlihat kere-kere amat. Perkara nanti harus ngutang pada Andro untuk menambal sisa hidupnya di Surabaya —yang itu pun numpang pada keluarga sahabatnya— bisa dipikir sambil jalan.

"Apa kamu nggak suka aku datang ke sini?" Leticia masih terlihat tak enak hati. Wahyudi jadi heran, ada gadis cantik yang dibesarkan dengan kultur Eropa, tapi punya rasa sungkan di atas rata-rata.

"Aku suka, Leticia. Aku suka. Cuma merasa surprised saja. Come on, Leticia, jangan menolak. Aku lapar." Wahyudi menarik tangan Leticia agar mengikutinya. Tawa Leticia terdengar. Hati Wahyudi langsung lega tak terkira.

Kafe yang dimaksud tak jauh dari proyek tempatnya magang, hanya sekira 100 meter saja. Dia pernah sekali makan di sana. Waktu itu Dimas mampir proyek saat jam makan siang tiba. Tahu Wahyudi adalah orang yang punya peran besar dalam hidup adik iparnya, ditraktirnya Wahyudi makan di kafe.

Kalau sehari-hari sih Wahyudi lebih sering makan siang di warteg, pecel lele, atau soto ayam. Menu sejuta umat yang harganya paling bisa diajak kompromi dengan koceknya.

Alunan suara Eric Martin menyambut mereka saat Wahyudi mendorong pintu kayu berwarna hijau gelap. Mereka lalu duduk di sudut yang sedikit tersembunyi. Bukan sengaja, memang hanya tersisa satu tempat itu saja. Mungkin karena letaknya yang kurang terlihat, juga kurang strategis. Tapi tak apa, malah jadi lebih private.

"Benar, kamu ke sini sendiri, Leticia?"

"He-em. But please, call me Leti. Just Leti."

"Okay. Leti. Leticia Gomez."

Entah kenapa Leticia menyukai saat Wahyudi menyebut nama lengkapnya. Gadis itu terkekeh sembari menyingkirkan helai-helai rambut yang jatuh di wajahnya. Wahyudi membuang muka, berusaha mengalihkan pandangannya.

"Kenapa kamu ke sini, Leti?"

"Aku bosan di rumah sendiri."

"Mamamu? Oma? Bu Dita? Andro dan Salma? Mereka ke mana?"

"Ke rumah saudara-saudara. Kemarin-kemarin aku ikut, tapi aku bosan. Yang mereka bicarakan selalu masa lalu yang itu aku tak tahu. Masa kecil mama dan tante, masa muda mereka, masa abuella masih di Surabaya sini, masa..., ya itulah. Aku seperti tidak disadari ada di situ. Just like..., dust in the wind."

Wahyudi tertawa. Yang terbayang di kepalanya adalah lagu slow rock lawas yang sering dia dengar dari penghuni kamar sebelah di indekosnya.

"All we are is dust in the wind." Dia bersenandung, mengundang Leticia untuk gantian tertawa.

"Lalu apa masalahnya, Leti? Bukankah mengikuti keinginan orang tua adalah hal yang biasa? Mereka happy, kita happy. Right?"

Sayangnya Leticia tak setuju. Menurutnya semua usia punya hak yang sama, bukan yang muda harus mutlak menghormati keinginan orang tua tanpa melihat kondisinya. Kalau orang tua punya pembicaraan sendiri, di mana si anak muda merasa tidak nyambung dengan obrolan mereka, maka bukan sebuah kesalahan jika si anak muda terpaksa menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Apalagi si anak muda itu sendirian.

Adakalanya orang tua juga harus menghormati yang muda, misalnya dengan tidak memaksakan mereka untuk berada di tengah-tengah obrolan yang mereka sama sekali tak tahu apa yang dibicarakan. Minimal tidak menghakimi si anak muda dengan menganggapnya tidak sopan saat terlihat kesal karena keberadaannya dianggap tidak penting, atau bahkan dianggap tidak ada.

"Aku ada di sana cuma untuk dikenalkan saja, and then, mereka asyik sendiri bicara urusan orang tua. Keberadaanku seperti tidak ada artinya. Dan aku orangnya apa adanya, Yudi. Aku nggak bisa bermuka manis kalau memang aku merasa tidak suka. Aku nggak bisa basa-basa."

"Basa-basi, Leti. Bukan basa-basa." Wahyudi mengoreksi sambil tersenyum, membuat dunia Leticia seakan terhenti beberapa detik.

"Salma di mana? Bukannya dia juga ada bersama kalian?" Wahyudi bertanya lagi. Tak sadar ada yang sedang khusyuk memerhatikannya.

"Ehk." Leticia tersadar dari keterpesonaan. Buru-buru menelan ludah dan menetralkan raut wajah. Dasar Wahyudi. Merusak keasyikan Leti yang sedang melamunkan dirinya saja.

"Justru karena Salma not with us, so aku malas ikut orang-orang tua. Kemarin-kemarin ada Salma dan Andro, aku fine and enjoy. Tapi hari ini tidak. Mereka lagi urus documents buat ke Spain. So, i decided to not join with orang-orang tua today. Tapi aku bosan di rumah sendiri, so aku ke sini cari kamu."

Andro sudah cerita tentang rencana ke Spanyol, jadi Wahyudi hanya manggut-manggut saja. Tapi dia agak heran, kenapa harus dia yang dicari oleh Leti? Padahal perkenalan mereka sendiri hanya sebatas nongkrong bareng dengan Andro dan Salma. Juga dua kali bertemu saat Leticia ikut Andro mampir ke proyek tempatnya magang.

Kebersamaan yang agak lama adalah weekend kemarin saat ke Banyuwangi. Hampir tiga hari mereka berada di tempat yang sama. Itupun bukan hanya berdua, tapi beramai-ramai dengan keluarga Andro dan Salma.

"Kenapa aku yang kamu cari?" tanya Wahyudi tanpa basa-basi.

"Karena aku suka bicara-bicara sama kamu. Kamu santai tapi banyak soal yang kamu bilang itu touched my heart. Kayak waktu kamu bilang untuk tidak membicarakan sesuatu yang aku tidak ingin itu kejadian. Aku terkesan soal itu. So, i think kamu teman ngobrol yang baik dan asyik. Aku feel comfort kalau sama kamu."

Wahyudi menyimpan komentarnya atas jawaban Leticia. Perutnya sudah minta diisi.

"Aku merasa tidak punya teman di sini. Ada Salma, tapi aku lihat Andro sepertinya ingin dekat-dekat Salma terus. Aku jadi tidak nyaman hati. Aku---"

"Ssstt, aku lapar, Leti. Kalau kamu masih mau bicara, bicaralah. Aku dengarkan sambil makan. So sorry." Leticia tertawa lagi. Sama sekali tak tersinggung karena Wahyudi menyela omongannya. Justru itu yang dia sukai dari Wahyudi, tidak pernah sok baik atau sok buruk. Apa adanya.

Churros di depan mata menjadi tak menarik bagi Leticia. Dia lebih suka mengamati Wahyudi makan. Sangat lahap, seperti pengungsi yang sedang dilanda kelaparan. Leticia terkikik sendiri.

"Kenapa tertawa? Ada yang lucu?" Yudi merasa sedikit terganggu.

"Kamu makannya look so yummy. Oh no, but look so hungry. Seperti kayak belum makan dari lama sekali."

"Ini memang so yummy, Leti. Dan aku memang hungry." Yudi tertawa.

"Cobain, deh." Tangan Yudi terulur begitu saja, membawa sesendok nasi berisi ikan dori dan sambal matah, lalu berhenti tepat sebelum Leticia membuka mulutnya. Awkward.

"S-sorry, Leti. Aku nggak bermaksud tidak sopan. Please, forget it."

Wahyudi menarik kembali tangannya disertai segala sumpah serapah yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Dua mulut makan dari satu sendok yang sama itu mau tak mau akan terjadi pertukaran saliva, rasa, juga....

Gobl*kmu lho, Yud! Refleks kok gak dipikir.

Yo nek dipikir jenenge dudu refleks.

Ngisin-isini wae. (Memalukan)

Lha wis kadung, meh piye meneh. (Sudah telanjur, mau bagaimana lagi)

Umpatan dan pembelaan diri bersahutan memenuhi batinnya, tapi sudah telanjur. Entah bagaimana Leticia menilainya, Yudi tak peduli. Malunya lebih menguasai.

"Kenapa nggak jadi? Padahal aku sudah siap buka mulut. Come on." Leticia menarik tangan Wahyudi beserta sendok dan isinya, mengarahkan ke mulutnya, dan..., hap, lalu disantap.

"Mmm, iya. Inyi enyak," ujar Leticia sambil mengunyah.

"Tapi, Leti, itu...." Leti menggeleng, lalu menelan makanannya.

"Ssstt, thank you sudah suapi aku, Yudi. Aku suka." Wahyudi mendadak kenyang. Kemudian hening.

Menyuapi teman perempuan bukan pertama kali Yudi lakukan. Saat sedang praktikum atau berkumpul dengan teman-teman kuliahnya, hal seperti itu tak sekali dua kali terjadi.

Pernah saat praktikum, Asya sedang sibuk mengerjakan sesuatu, lalu salah satu teman mereka membuka sebungkus wafer. Yudi mengambilkan dan menyuapkan wafer untuk Asya. Di lain waktu, dia lagi asyik menikmati mi goreng di kantin, kemudian Rima datang dan minta mencicip sedikit. Yudi pun menyuapinya.

Tapi itu dengan mereka, makhluk-makhluk yang kadang Wahyudi lupa gendernya. Lha ini....

"Ehk, k-kamu tadi ke sini naik apa, Leti?" Mengalihkan topik menjadi satu-satunya alternatif yang dipilih Wahyudi untuk mengalihkan rasa malu dan rasa bersalah.

"Taksi."

"Tahu aku di sini dari mana?"

"Kan aku pernah ikut Andro waktu itu."

"Tapi kan kamu bukan orang sini, Leti. Dari mana kamu tahu alamatnya? And how do you tell the driver?"

Leti meraih gawainya, mencari sesuatu di sana, lalu menunjukkan pada Yudi. "I showed this to him, and he said okay. As simple as that."

Rupanya Leticia tak kehabisan akal. Saat ikut Andro ke proyek tempat magang Wahyudi, dia memotret papan nama proyek yang ada di sana. Papan nama tersebut memuat data-data proyek, salah satunya alamat lokasi. Foto itulah yang ditunjukkan Leticia kepada si bapak sopir taksi.

Yudi tergelak mendengar penjelasan Leticia. "Smartphone in the smart person." Begitu katanya.

Awkward moment suap menyuap tadi terabaikan. Pembicaraan mereka kemudian mengalir begitu saja, hingga tak terasa waktu mendekati pukul satu. Yudi harus kembali pada pekerjaannya.

"Sebentar lagi aku harus kembali ke pekerjaanku. Kamu?" Wahyudi terpaksa mengakhiri kebersamaan mereka. Padahal obrolan sedang seru-serunya.

"Aku tunggu kamu di sini saja."

"No, Leti. Waktu kerjaku masih 4 sampai 5 jam lagi. Kamu mau ngapain di sini selama itu?"

"Nggak apa-apa, Yudi. I'm fine and enjoy. Percaya aku."

"Tapi, Leti...."

"Hush hush..., pergi sana. Aku nggak mau kamu di-stop kerja sama Om Iksa gara-gara aku." Leticia mendorong-dorong Wahyudi untuk segera pergi.

"Oke oke, aku pergi." Wahyudi berlalu. Dia ke kasir, dan setelahnya muncul lagi di depan Leticia.

"Aku pergi ya, Leti. Maaf meninggalkanmu sendiri. Kalau kamu capek nungguin aku, pulanglah. Tak perlu izin atau apapun padaku. But if you want to do, just text me."

Secarik kertas berisi deretan dua belas angka dia berikan untuk Leticia. Nomor handphonenya. Sesuatu yang sudah ditunggu-tunggu Leticia sejak kebersamaan mereka di Banyuwangi.

Wahyudi lalu pergi tanpa permisi lagi. Berjalan tergesa menuju proyek tempatnya magang. Di sana hanya mengambil buku dan pulpen, kemudian setengah berlari kembali ke kafe.

"Ini, Leti. Siapa tahu kamu ingin membaca atau menulis sambil menunggu. Aku khawatir kamu merasa bosan." Kedatangan Wahyudi mengejutkan Leti yang tak menduga sama sekali.

Wahyudi menyodorkan sebuah buku tulis dan pulpen, juga satu buku karya Hamka yang dia pinjam dari Zulfa entah sejak kapan. Dia sendiri lupa, saking lamanya buku itu berada di ranselnya.

Belum sempat Leticia menjawab, Wahyudi sudah kembali menghilang dari pandangan. Dia tak enak pada teman kerjanya karena waktu magangnya jadi sedikit terbuang gara-gara urusan kencan.

Eh, kok kencan, sih? Pedemu lho, Yud! batin Wahyudi mengingatkan diri sendiri.

"Kok sudah balik lagi, Mas? Lha Mbak Marimar tadi ditinggal di mana?" Yudi tergelak. Rupanya bapak sekuriti yang tadi masih kepo dengan sosok Leti.

"Waktunya kerja ya kerja dulu to, Pak."

"Katanya mbak bule cantik tadi masih ponakannya bos besar ya, Mas? Lha po gak malah dipecat pean nek ponakane bos ditinggal ngono iku? (Lha apa nggak malah dipecat kalau keponakannya bos ditinggal begitu?)"

"Kok tahu kalau dia ada hubungan saudara sama Pak Antariksa, Pak?"

"Pak Dimas yang bilang. Tadi nanyain pean, tak jawab apa adanya, malah beliaunya ngasih tahu kalau Mbak Marimar itu masih saudara sama Pak Antariksa."

"Ehk! P-Pak Dimas ke sini, Pak?" Yudi kaget setengah mati. Kepalanya refleks menoleh ke area parkir.

"Iya, tuh beliaunya di dalam. Baru saja sampai kok, Mas. Bawa motor."

Dhiar kowe, Yud! Konangan!

Tak bicara apa-apa lagi, Yudi buru-buru masuk ke direksi keet. Benar, ada Dimas di sana. Menyambutnya dengan senyum tipis yang diartikan lain oleh Wahyudi.

"Maaf, Pak, terlambat."

"Lha mana Leticia? Nanti hilang lho ditinggal sembarangan." Senyum yang tadi sudah menghilang, Dimas kembali pada default-nya yang serius, santun, dan pendiam. Yudi jadi bingung mengartikan pertanyaan tersebut. Apakah bercanda, atau serius, atau jangan-jangan..., itu semacam sindiran?

"D-di kafe dekat sini, Pak."

"Temani dulu sana." Yudi menggeleng.

"Saya melanjutkan pekerjaan dulu, Pak. Maaf terlambat." Kemudian segera pergi dari hadapan Dimas tanpa menatap lagi.

Yang terjadi berikutnya, apa yang dikatakan Dimas justru mempengaruhi pikirannya. Nanti hilang lho ditinggal sembarangan.

Sungguh, bayangan Leti jadi seolah mengikutinya ke mana-mana. Biarpun sudah mempersilakan Leti meninggalkan kafe kapanpun dia mau, tetap saja keputusan yang bisa diambil sewaktu-waktu oleh gadis itu jadi mengganggu.

Maka begitu melihat Dimas meninggalkan area proyek satu jam kemudian, Yudi segera meminta izin pada temannya, dan berlari menuju ke kafe tempat Leticia menunggunya.

Gadis itu masih ada di sana,menggelosor di sofa bergaya bohemian. Matanya terpejam rapat, dadanya naik turun dengan lambat dan teratur. Leticia tidur.

Edan, malah turu. Ngawur banget ik bule siji iki. Bahaya. (Gila, malah tidur. Ngawur banget bule satu ini. Bahaya).

Alih-alih membangunkan, Wahyudi malah duduk di bangku yang didudukinya tadi. Dipandanginya Leticia yang sedang pulas. Beberapa helai rambut coklat menutupi sebagian wajah cantik khas hispanik.

So curly but cute, batin Wahyudi. Ada yang berdesir-desir di dalam hati. Sesuatu yang membuatnya malu sendiri.

Di atas meja, buku yang diberikannya tadi terbuka. Beberapa baris tulisan terbaca.

Di sini.
Menunggu kamu.
Aku suka.

Wahyudi menelan ludahnya. Kata aku suka membuatnya jadi bertanya-tanya, lalu buru-buru menepis pertanyannya. Diputuskannya untuk membangunkan Leticia saja.

"Leti, bangun." Wahyudi mengguncang pelan kaki Leticia, gadis itu diam saja. Yudi lalu berjongkok di samping sofa. Awalnya ragu, tapi dilakukannya juga, menepuk lembut pipi Leticia. Gadis itu mendesah pelan sebelum membuka mata.

"Yudi!" pekik Leticia sambil buru-buru mengubah posisi. Dia duduk,mengusap muka dan mengucek mata.

"Capek, ya? Pulanglah dulu, Leti." Leticia menggeleng.

"Aku suka tunggu kamu di sini, Yudi."

"Tapi melihat kamu nunggu sampai tertidur begitu, aku jadi nggak tenang, Leti. Pulanglah. Kalau masih ingin bicara sama aku, nanti sepulang kerja aku ke sana."

"Really? Bukan biar aku pergi dari sini, kan?" Yudi menggeleng. Senyumnya mengembang, mencoba meyakinkan Leticia bahwa yang dikatakannya bukan sekadar bualan.

Dicarikannya pula taksi, lalu keduanya berjalan bersama keluar dari kafe. Yudi membukakan pintu untuk Leticia. Dia pula berpesan kepada bapak driver paruh baya untuk berhati-hati agar selamat tiba di tujuan.

Leticia membuka jendela. Wahyudi mendekat padanya, mengingatkan agar Leticia beristirahat. Tak lupa mengulang janjinya sekali lagi, bahwa dia akan mengunjungi Leti malam nanti.

"Bukumu?" Leti mengacungkan dua buku yang tadi dibawa Wahyudi.

"Bawa saja, Leti. Kapan-kapan kuambil lagi."

Keduanya bertukar senyum. Leticia menatapnya lembut, membuat jantung Wahyudi berdenyut-denyut.

"Adios, Leti." Dilemparnya senyum setelah berhasil menetralisir hati.

Taksi itu meluncur perlahan. Dari balik kaca mobil bertipe sedan, Leticia terus memandangi Wahyudi hingga menghilang ditelan tikungan.

"El ha tomado mi corazon (Dia telah mengambil hatiku)." Gadis cantik itu menggumam pelan. Senyum malu-malu merekah di wajahnya yang memerah.

Wahyudi tersenyum sendiri. Ada galau yang tiba-tiba menyusup ke hati. Dihalaunya secepat ia bisa dan memilih untuk bergegas kembali ke tempat kerjanya. Wahyudi membalikkan badan, lalu terkesiap melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

"Lihat deh, Sal. Diam-diam ada yang main di belakang kita, nih."

***

Mwahaha... Udahlah bukan inisiatif dia, eh dia pulak yg kena. Nasibmu,  Yud.

Btw, part ini udah pernah muncul di Move On. Tadinya part ini tuh mau kujadikan part 1 untuk ceritanya Wahyudi-Leticia, tapi kalau yg baca belum baca Move On, kayaknya agak bingung. Makanya kukasih beberapa part sebagai info siapa Wahyudi, siapa Leticia, dan yg lainnya.

So, maafkan kalau part ini bukan sesuatu yg baru. But, thank you masih mau membaca part ini.

See you :)

Semarang, 2302023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top