14. Pucat Pasi
Haru biru kembali terjadi di rumah keluarga Djamin. Pagi itu Wahyudi berpamitan. Ia hendak ke Surabaya, mengiringi kepindahan sahabatnya dari Semarang sekaligus untuk menjalani hari baru dengan status karyawan.
Pelukan ibunya sangatlah erat, padahal saat kuliah Wahyudi juga jarang pulang. Tapi perjuangan di dunia kerja memang berbeda, meski dunia perkuliahan sudah dijalaninya dengan penuh perjuangan pula.
Bapaknya tentu tak seheboh sang ibu. Hanya pelukan secukupnya, dua tepukan di bahu kanan, dan beberapa pesan yang sebenarnya hanya pengulangan dari yang sudah-sudah.
Sama seperti sang ibu, kedua kakak perempuannya pun memeluk dengan berlinangan air mata. Bagi keluarga mereka, Surabaya bukan tempat yang dekat, bahkan menjejakkan kaki ke sana pun belum pernah. Selembar amplop yang dilipat-lipat diselipkan kakak sulungnya ke genggaman. "Dari mbak sama Mbak Titi. Nggak banyak. Terimalah. Selama ini kami belum pernah ngasih apa-apa sama kamu."
Pertahanan Wahyudi runtuh sudah. Dipeluknya sang kakak dengan mata yang basah. Masa kecilnya yang bandel, ngeyelan, dan sering merepotkan kakak-kakaknya berseliweran di kepala. Tekadnya makin kuat, membahagiakan orang-orang yang dia sayangi dan menyayanginya.
Wahyudi berlari kecil menuju mobil, lalu kembali ke tengah-tengah keluarganya dengan menenteng sebuah kotak berukuran sedang. Diberikannya kotak itu kepada keponakan yang baru satu-satunya, yang segera dibuka oleh si jagoan kecil berusia 5 tahun itu. Satu set balok kayu bongkar pasang dan sebuah die cast excavator berukuran mini.
"Doakan Mas Yudi ya, nanti nek duitnya udah banyak tak belikan yang besar, yang bisa nyerokin pasir beneran." Keponakannya tersenyum lebar, melingkarkan kedua lengan di pinggang sang paman yang dipanggilnya Mas Yudi.
Perpisahan usai. Wahyudi melajukan mobilnya diiringi lambaian tangan keluarga Djamin serta beberapa tetangga mereka.
Sepanjang jalan menuju Semarang, Wahyudi tak henti mengucap syukur kepada Sang Maha Sutradara. Hidupnya memang tak mudah, tapi kemahabaikan-Nya membuat Wahyudi mampu untuk tetap berdiri bahlan berlari sampai sejauh ini.
Doa kedua orang tuanya tentu punya andil besar. Juga setiap nasihat, yang kadang tak enak didengar tapi kalau direnungi yang mereka katakan adalah benar.
Kejadian tempo hari terngiang kembali. Malam setelah siangnya ia wisuda.
-------
"Meh maem po ra, Yud?"
Wahyudi nyaris terlonjak. Baru juga keluar dari kamar mandi, sudah dikagetkan oleh suara sang bapak yang sedang duduk di meja makan. Dia pikir bapaknya masih di musala. Dia sendiri tak ikut salat berjamaah sebab baru tiba dari rumah kakaknya. Sesampai di Boja sore tadi, Wahyudi langsung mengantar kakak sulung dan keponakan satu-satunya yang tinggal di kecamatan sebelah. Kakak iparnya tidak ikut menghadiri wisuda, juga tak bisa menjemput anak istri karena sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan.
"Ngono wae kok kaget. Lagi ngalamun po piye?"
"Nggak. Nggak ngelamun kok. Nggak nyangka aja, kirain Bapak masih di mushola."
"Sudah makan?" tanya Pak Djamin sambil memberi kode agar Wahyudi duduk di area yang sama.
"Udah, Pak. Tadi sampai sana Alif langsung minta makan. Mbak bikin telur kecap, aku minta dibikinin sekalian. Nggak tahu kenapa, tapi telur kecap bikinan Mbak Tari tuh dari aku kecil rasanya nggak berubah. Asinnya pas, manisnya pas, kecapnya juga pas. Enak."
"Itu bukan karena rasa di lidah, Yud, tapi lebih ke rasa di hati. Kalau kamu selalu dekat sama saudaramu, sampai kapanpun ya rasa nasi gorengnya mbakmu akan tetap sama enaknya."
Mungkin benar yang dikatakan bapaknya, tapi entah kenapa Wahyudi merasa agak berbeda. Atau dia saja yang agak sensi?
"Mbakmu ngobrol apa tadi?" Pak Djamin bertanya lagi.
"Nggak. Nggak ada ngobrol apa-apa. Cuma nasihatin aja, besok kalau udah kerja harus gini gini gini, kalau jauh dari orang tua harus gini gini gini. Cuma gitu-gitu aja sih, Pak. Standar."
Tak ada yang ditutupi, memang kakak sulungnya hanya memberi nasihat yang standar saja. Tak ada pembahasan lain, apalagi tentang....
"Nggak ngomongin bocah Londo ayu yang tadi meluk kamu?"
Suara ibunya mendadak terdengar. Lembut, tapi sanggup membuat jantung Wahyudi berdebar. Meski sejak siang tadi yakin kalau topik ini bakal dibahas oleh keluarganya, tetap saja ada kegugupan ketika hal itu benar-benar terjadi.
"Ehk. Ng-nggak, Bu. It-itu sepupunya Salma. Bukan siapa-siapaku, cuma pernah kenal dan main bareng aja. Nggak ada apa-apa. Bapak Ibu percaya sama Salma, kan?"
"Iya, kami percaya sama Mbak Salma. Tapi maaf, untuk soal ini kami belum percaya sama kamu, Yud."
Pendapat bapaknya membuat Wahyudi bungkam. Dia memang hanya pernah bercerita pada ibunya. Tapi dia cukup paham, tentu saja ibunya melanjutkan curahan hatinya itu kepada sang bapak.
"Iya, nggak apa-apa, Pak. Aku juga minta maaf kalau ada kejadian kayak tadi. Aku sama sekali nggak tahu kalau dia bakalan datang. Aku udah setahun nggak komunikasi apapun sama dia, dari waktu aku cerita ke ibu dulu, sampai tadi, bahkan sampai detik ini."
"Berarti dulu waktu kalian masih dekat, yang Mbak Salma bilang sering main bareng waktu di Surabaya, hal kayak gitu udah biasa?"
"Nggak, Pak. Walaupun tinggal di negara barat, dia cukup tahu batasan, kok. Dia anak perempuan satu-satunya dan dibesarkan dengan separuh kebiasaan orang timur. Orang Indonesia."
"Tapi bocah Londo itu tadi bilang ke kamu, sama-sama lagi di Surabaya, itu maksudnya apa?"
"Emm..., itu maksudnya ya jalan bareng kayak waktu dia di Surabaya dulu, Pak. Dia kan memang nggak tinggal di Indonesia, jadi bahasanya suka agak-agak nggak pas."
Bukan berusaha membela Leticia, Wahyudi hanya mencoba untuk menempatkan diri di tengah-tengah antara keluarganya dan Leticia. Dia kenal baik bapak ibunya, keduanya nyaris sepanjang usia menghabiskan hidupnya di desa. Bapaknya pernah merantau beberapa tahun saat bersekolah PGA, itupun masih di wilayah kabupaten yang sama. Selepas itu kembali ke desa dan menjadi guru agama sampai sekarang. Menginjakkan kaki ke kota adalah sesuatu yang jarang dilakukan. Gawai pun yang penting bisa untuk menelepon saja.
Bapaknya memang suka membaca dan mendiskusikan bacaan tersebut dengan ibunya, tapi Wahyudi yakin, itupun tidak terlalu signifikan menambah wawasan kedua orang tuanya soal budaya asing. Di mata orang desa seperti beliau berdua, Londo identik dengan kebebasan tanpa batas. Padahal tidak demikian, khususnya sejak Wahyudi mengenal sosok Leticia. Gadis itu, meski ceplas ceplos kalau bicara, tapi tak sembarangan melakukan kontak fisik dengan orang lain, termasuk dengannya.
"Dia di Surabaya tidurnya di rumahnya Mas Andro juga?"
Yang dipikirkan Wahyudi langsung menjadi nyata. Bapaknya pasti menduga yang tidak-tidak. Ia tersenyum kecut sambil menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal.
"Nggak, Pak. Bapak Ibu mikirnya jangan kejauhan. Dia ada rumah di Surabaya, rumah keluarga ibunya. Neneknya ikut tinggal di Spanyol, tapi kalau keluarga mereka pulang ke Surabaya, ya tinggalnya di sana. Bapak nggak perlu khawatir soal itu. Insya Allah aku bisa dipercaya untuk hal-hal yang beginian, Pak."
"Kalian ada hubungan apa?"
"Nggak ada hubungan apa-apa, Pak. Cuma teman."
"Tapi gadis Londo itu suka sama kamu?"
"Aku nggak berani bilang begitu, tapi katanya ya begitu."
"Kata siapa?"
"Kata Andro, Salma, ibunya Salma, TanteUtami, Pak Antariksa...."
"Kalau kata bocah Londonya itu sendiri?" sela bapaknya.
Wahyudi menunduk, tak berani memberi jawaban apapun. Dia bahkan tak tahu bagaimana perasaan Leticia sekarang ini padanya. Apakah masih sama atau....
"Gadis Londo itu suka sama Yudi, Pak. Dan ibu yakin dia masih suka. Ibu bisa lihat dari matanya, dari wajahnya, dari gelagatnya."
Wahyudi masih menunduk. Dari samping, dia bisa melihat bapaknya mengangguk-angguk.
"Kalau kamu sendiri, Yud?"
"Ehk." Pemuda itu mengangkat kepala, menatap bergantian wajah bapak dan ibunya.
"Ak-aku... S-sekarang ini aku mau fokus ke kerjaan dulu, Pak. Itu juga kalau Bapak Ibu tetap ngizinin aku kerja di Surabaya. Kalau Bapak sama Ibu keberatan karena ada Leticia di sana, aku akan sampaikan ke Andro dan Pak Antariksa, biar aku cari kerja di sini aja."
"Oh, jadi namanya Lesitia?" ucap ibunya, lebih mirip gumaman. Wahyudi diam saja meski ingin merevisi nama yang disebutkan ibunya.
"Ini bukan semata soal pekerjaan dan di mana kamu bekerja, Yud. Ini juga soal balas budi."
Saat berada di lapangan rumput, orang tua Wahyudi sempat mengobrol dengan Antariksa dan Utami. Antariksa menyampaikan bahwa dia menginginkan Wahyudi bekerja di perusahaannya, selain karena kemampuannya yang baik, juga karena ingin membalas budi. Menurut Utami, Wahyudilah yang menemani Andro di awal-awal dia jauh dari rumah dan dalam keadaan memendam amarah. Wahyudi pula yang menguatkan dan membuat Andro tidak merasa sendirian saat jauh dari orang tua dan harus beradaptasi di Semarang sehingga Andro jadi lebih santai dan lebih tenang, tidak terus menerus kepikiran tentang sakit hatinya kepada sang papa.
"Bagi kamu, persahabatan dengan Mas Andro mungkin ya murni persahabatan saja. Tapi bagi orang tuanya Mas Andro, beliau berdua merasa kamu punya pengaruh besar bagi Mas Andro.
"Sebaliknya bagi bapak dan ibu, dan semestinya bagi kamu juga. Bekerjamu di sana juga bukan sekadar hubungan profesional, tapi jadikan juga jalan untuk balas budi. Bekerjalah yang benar, kerahkan kemampuanmu dengan maksimal, kalau perlu lakukan lebih dari yang seharusnya menjadi tugasmu. Bagaimana pun Mas Andro juga banyak membantu kamu selama kuliah sampai lulus, kan? Ya walaupun Mas Andro nggak meminta itu, tapi ya kita sendiri harus ngrumangsani.
"Bapak ibu tetap mendukung kamu bekerja di perusahaan Pak Antariksa. Soal ada bocah Londo itu di Surabaya, itu beda lagi. Kamu sudah dewasa, semestinya sudah bisa memilah antara urusan pekerjaan dan urusan perasaan. Kami percaya kamu bisa menempatkan diri dengan baik sekaligus menjaga kehormatan keluarga kita."
"Iya, Pak. Terima kasih Bapak dan Ibu sudah percaya sama aku. Insya Allah, aku akan selamanya menjaga kepercayaan Bapak Ibu dan menjaga kehormatan keluarga kita."
"Tentang perasaanmu sama Lesitia itu, gimana?" Ibunya kembali ke topik Leticia.
"Leticia, Bu."
"Yo wis, pokoke kui. Jenenge angel neni. Lesitia nek nang kene yo tak undang Siti. (Ya udah, pokoknya itu. Namanya susah banget. Lesitia kalau di sini ya tak panggil Siti)" Yudi terkikik. Sejenak lupa pada tegangnya hati.
"Soal perasaanku ke dia... Kalaupun ada, aku akan berusaha membuang jauh-jauh, Pak, Bu."
"Ya itu bagus. Bukannya ibu nggak suka kalau kamu bahagia, tapi menurut ibu ini lebih baik daripada kalian bahagia sekarang tapi di masa depan sedihnya harus berkali-kali lipat karena perpisahan. Ingat, Yud, kalian beda keyakinan."
Kalau boleh, Wahyudi ingin hal itu tidak dibahas lagi. Hatinya nyeri. Bertepuk sebelah tangan mungkin jauh lebih baik daripada memiliki perasaan yang sama tapi tak bisa bersama.
"Masa depan tidak ada yang tahu, Yud. Banyak hal bisa terjadi, banyak hal bisa berubah. Kalau kalian berjodoh, insya Allah akan ketemu juga. Tapi kalau tidak, mau kamu kejar sampai ujung dunia pun nggak akan bisa bersama.
"Wis, saiki kerjo sik sing tenanan. Nggak usah terbebani harus nguliahkan adikmu. Nggak harus mikir bantu perekonomian keluarga. Nggak usah. Yang penting kamu jaga sholat, selalu eling Gusti Allah, dan belajar sebanyak-banyaknya karena hal-hal itulah yang bisa menjadi bekal terbaik buat kamu, fidunya wal akhirat."
"Iya, Pak, Bu. Terima kasih sudah selalu ngertiin aku. Mohon doanya biar aku istiqomah, bisa menjaga diri, dan Allah ridho. Maaf kalau aku belum bisa seperti yang Bapak Ibu harapkan."
"Kamu sudah lebih dari yang kami harapkan, Yud. Cuma... soal masa depan, soal perempuan yang akan jadi mantu, ya kami memang inginnya yang sama seperti kita. Terutama sama dalam hal keyakinan. Kalau Lesitia kan beda." Ibunya kembali menegaskan. Wahyudi mengangguk. Dia mengerti, sangat mengerti.
"Ya sudah, istirahat sana, sudah malam."
Pemuda itu mengiyakan. Kemudian berpamitan sambil sekali lagi mengucap maaf dan terima kasih kepada kedua orang tuanya.
-------
"Lesitia. Dipanggilnya Siti." Wahyudi menggumam, lalu terkikik sendiri. Dinyalakannya audio mobil, lagu pertama yang mengalun membuatnya terkikik lagi, teringat playlist patah hati yang pernah jadi bahan bullyan Andro kepadanya.
Menjelang pukul sepuluh ia sampai di depan rumah Andro. Dua truk yang membawa barang-barang baru saja jalan. Mobil Andro pun sudah terparkir rapi di halaman. Seorang laki-laki berumur 40-an keluar dari dalam mobil, orang kepercayaan ayah Salma di Semarang.
"Aku bantu bawa apa, Ndro? Mobil yang kubawa masih kosong tuh," tanya Wahyudi sambil menyalami sahabatnya.
"Nggak ada, Yud, udah naik truk semua."
"Oh, Mas Wahyudi sudah datang, to? Berarti kita berangkat sekarang, Mas?" Salma muncul di teras dengan Najma di gendongannya. Seorang lagi menyusul di belakang, gadis tinggi langsing berambut keriting.
"Hai, Yudi. Aku nggak jadi ke Surabaya sama Tante Dita dan Om Ardhito. Karena kata Andro kamu ke Surabaya sama dia dan Salma. Jadi... aku mau sama kamu saja." Leticia menyapa dengan nada ceria khas dirinya. Menjelaskan tanpa ada yang meminta.
M*dyar! teriak Wahyudi dalam hati. Wajahnya mendadak pucat pasi. Dia bahkan tak sanggup mengeluarkan sepatah pun kata.
"Yo wis, Yud, mangkat saiki. Kamu bawa Leti, ya. Aku mau pacaran sama Salma," teriak Andro sambil tertawa-tawa. Puas sekali melihat muka Wahyudi yang makin tak keruan ekspresinya.
Salma mendekat, mencubit lengan Andro yang masih tertawa. "Nggak boleh gitu, Mas. Jangan memberi kesempatan sama dua makhluk berlainan jenis yang bukan mahram untuk berdua-duaan. Nanti kita ikut menanggung dosa lho."
Tawa Andro makin keras saja. Puas melihat sahabatnya salah tingkah.
"Nggak nggak, Yud. Ngono wae kok pucet. Bawaanmu pindahin ke mobilku, gih. Mobil yang itu ditinggal dulu di rumah ayahnya Salma. Kita bawa satu mobil aja, biar aku sama Salma bisa ngawasin kamu dan Leticia."
"As* kowe, Ndro!" desis Wahyudi pelan. Hanya Andro yang bisa menangkap umpatan itu. Tawanya kembali pecah membahana.
***
Ish, Andro hobi banget ngerjain Yudi. Mana Salma udah bisa ikut-ikutan ngerjain orang pula. Wkwk...
Maaf ya absen lama. Dari akhir Ramadan aku batuk-batuk agak berat. Sampai suara sempat hilang. Sampai capek di badan. Hehe... Sempat mereda, eh nggak ada dua minggu balik lagi. Mengganggu banget sih. Sampai kl ada waktu luang pengennya tidur atau rebahan aja. Nulisnya jadi berantakan.
Part ini kubongkar pasang sampai 3x. Itupun hasilnya masih embuh. Haha...
Btw, di part ink ada bagian yg aku garis dan pakai italic (hurufnya miring). Itu maksudnya si Yudi lagi flashback gitu. Kujelasin di sini mana tau ada yg bingung. Tapi kayaknya nggak ada sih.
Baiklah. Terima kasih yg udah nunggu, udah baca, udah vote, udah ninggalin komentar. Terima kasih udah meluangkan waktu utk baca tulisanku. I love you all.
See you :)
Semarang, 18052023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top