13. Seperti Mimpi

Jatuh bangunnya Wahyudi di bangku kuliah usai sudah. Besok pagi dia akan diwisuda, dengan pencapaian-pencapaian memuaskan yang hanya kalah oleh sahabatnya, Angkasa Andromeda. Tak ada yang benar-benar tahu, dia memang kalah atau sekadar mengalah. Sebab di tahun terakhir masa perkuliahan, Wahyudi —yang memang masuk jajaran mahasiswa pintar— menorehkan banyak pencapaian nan gemilang.

Hari itu, sekali lagi, Andro berbaik hati kepadanya. Meminjamkan salah satu mobilnya untuk dipakai Wahyudi membawa orang tua dan keluarganya menghadiri wisuda.

"Assalamualaikum. Sehat, Bu?"

Hal pertama yang dilakukan Wahyudi setelah turun dari mobil adalah menyapa ibunya, yang langsung keluar menyambut begitu mendengar derum mobil berhenti di depan rumah mereka.

"Alhamdulillah, sehat semua, Yud. Kamu sudah selesai kuliahnya berarti, ya? Kapan wisuda?"

Yudi meraih tangan sang ibu, menciumnya dengan takzim, kemudian memeluk wanita paruh baya itu. "Alhamdulillah, besok pagi aku wisuda, Bu. Ini pulang mau jemput bapak sama Ibu buat menghadiri wisudaku besok. Maturnuwun sudah selalu mendoakan aku ya, Bu."

Ibunya tidak menjawab, hanya membelai kedua pipi anaknya dengan kedua mata yang basah.

"Lho, ono opo iki kok podo tangisan?" Bapaknya menyusul keluar, menemukan istri dan anak kebanggaannya sedang larut dalam keharuan.

Wahyudi melepas pelukan ibunya, lalu menghampiri sang bapak. "Assalamualaikum, Pak. Insya Allah besok aku wisuda. Ini aku pulang mau jemput Bapak Ibu."

"Alhamdulillah nek wis rampung. Maturnuwun ya, Nang, sudah memberi kebanggaan untuk bapak dan ibu." Pak Djamin ganti memeluknya, menepuk lembut bahunya. Keharuan terpancar di wajah yang makin menua.

"Lha mantuk kok gak ngabari. Nek ngabari kan ibu iso masak sing enak-enak." Keharuan mereda, ketiganya melangkah masuk ke rumah.

"Nggak usah repot, aku udah beli ikan bakar sama roti. Enak pokoknya."

"Kamu punya duit to, Yud?"

"Punya dong, kan udah kerja, biarpun masih serabutan. Kerjo opo wae sing penting nambahi tabungan," kelakar Wahyudi. Ketiganya tertawa bahagia.

"Doakan ya, Pak, Bu. Insya Allah habis wisuda dan selesaiin urusan kampus nanti, aku langsung kerja di perusahaan Pak Antariksa."

Bapak dan ibunya mengucap hamdalah. Menasihati Wahyudi soal tahu diri dan balas budi kepada keluarga sahabatnya.

"Kamu mandi terus istirahat dulu sana, Yud. Ibu biar nyiapin makan. Bapak mau nelpon mbak-mbakmu biar siap-siap ikut wisudamu. Nanti bakda maghrib juga biar pada ke sini. Kita makan malam bareng."

Wahyudi mengiyakan pesan bapaknya, tapi tak melaksanakan. Dia mengikuti ibunya ke dapur, membantu menyiapkan makanan dan minuman. Tak perlu perayaan besar, semampunya saja, asalkan berkumpul bersama keluarga.

***

Wahyudi berdiri sesaat setelah namanya disebut. Ia menoleh ke arah kanan. Bapaknya berada di sana, di barisan terdepan para tamu undangan. Diantara hadirin yang duduk, bapaknya berdiri, menganggukkan kepala, menatapnya dengan sorot bangga serta bahagia.

Pemuda itu mengusap kedua mata. Dia tersenyum, melangkahkan kaki menuju mimbar tempat para petinggi kampus berdiri, siap mengukuhkan gelar sarjananya.

Ibu, kakak-kakak, adik, serta keponakannya menunggu di taman di luar gedung, menggelar tikar berdekatan dengan keluarga Andro. Tampilan mereka terlihat agak kontras, tapi mereka semua terlihat hangat dan akrab. Sebab rasa hutang budi pada Wahyudi, keluarga Antariksa sudah menganggap keluarga Djamin sebagai kerabat dekat mereka.

Wahyudi berbaur bersama teman-temannya. Hari itu, diantara puluhan rekan seangkatan, hanya empat orang yang mengikuti wisuda, perdana di angkatan mereka. Dua diantaranya adalah Wahyudi dan Andro. Mereka ramai-ramai berfoto. Keseruan itu bertambah dengan adanya Najma, si bayi chubby kesayangan sang papa, juga om-om teknik sipil lainnya.

"Androoo!"

Lengkingan nan merdu terdengar tiba-tiba. Memecah keramaian hingga semua kepala menoleh ke arah datangnya suara. Andro tertawa lepas, yang lain nyaris semuanya terpesona, hanya Wahyudi yang mendadak ingin ditelan bumi.

Suara bernada ceria itu meluncur dari gadis ramping tinggi berwajah cantik khas hispanik. Wahyudi memandang sekilas, jantungnya berdetak keras. Rasanya seperti mimpi. Sosok yang selama ini selalu melintas di benak, detik itu berada di hadapannya nyaris tanpa jarak.

Leticia terlihat berbeda. Sebagian rambut keriwilnya dikepang di sisi kanan kiri, kepangannya dihias bunga-bunga kecil dan diikat menjadi satu di belakang. Gadis itu mengenakan dress putih selutut. Bagian lengan yang hanya sampai siku dengan tali dan belahan sepanjang sisi lengan berhasil mengekspose kulit putih nan mulus. Penampilannya memberi kesan lebih dewasa, begitu istimewa.

Sementara Andro menuju gadis itu, Wahyudi diam-diam melipir pergi, menyelipkan diri diantara keluarganya, melewatkan semua adegan antara si gadis bule dengan sahabatnya, juga Salma. Hanya telinganya berusaha keras menangkap obrolan-obrolan yang berlangsung tak jauh darinya.

"Feliz graduacion, Andro." Kemudian ketiganya —Andro, Salma, Leticia— asyik berbincang.

"Ndro, kowe wis nduwe, lho. Ojok lali karo kita-kita, lah." Celetukan terdengar dari satu dua orang yang terdeteksi fakir perhatian.

"Itu teman-teman kamu?" Nada riang khas Leticia terdengar. Andro mengiyakan.

"Wahyudi? Is he graduation too?" Andro mengangguk. Mengedarkan pandang pada gerombolan teman yang masih menunjukkan harap bakal dikenalkan. Nihil.

Arah pandang beralih pada kumpulan keluarga Djamin. Sosok yang Andro cari ada di sana, duduk di belakang salah satu saudara kandungnya. Terlihat asyik berbincang seolah tak terjadi apa-apa, tapi di mata Andro tampak jelas bahwa dia hanya berpura-pura semua baik-baik saja. Andro terkekeh.

"Itu. Dia di sana." Andro menunjukkan pada Leticia.

"Gracias, Andro. I'll congratulate him."

Perbincangan itu menembus gendang telinga Wahyudi. Dadanya berdebar makin tak keruan. Dengan ujung mata, ia berusaha melirik ke arah sahabatnya, tempat di mana Leticia juga berada.

Gadis berambut cokelat itu menuju kepadanya. Mantan mahasiswa yang juga beroleh gelar cumlaude itu mau tak mau berdiri menyambut. Si gadis bule menyalami, memberi selamat atas kelulusannya.

"Gracias, Leticia. Emm, c-como estas?" Kegugupan melanda. Bahkan menatap wajahnya pun Wahyudi merasa cemas. Khawatir hatinya tak bisa diajak kerjasama.

"Aku..., aku baik. Muy bien." Si cantik hispanik tak kalah gugup. Senyumnya terbit malu-malu.

Keduanya bertatapan. Yang dikhawatirkan Wahyudi menjadi kenyataan. Hendak berpaling, tapi lehernya mendadak kaku dan tegang. Matanya pun sama, tak bisa diajak kompromi untuk buru-buru mengubah arah pandang.

"Te extraño, Yudi. I miss you."

Setelah belasan bulan, pelukan dari seorang gadis kembali ia dapatkan. Gadis yang sama, momentum yang berbeda.

Pemuda itu tak sanggup bergerak meski telinganya menangkap lantunan istighfar serta Allahu Akbar dari anggota keluarganya, juga umpatan-umpatan tak jelas dari gerombolan kawan seperjuangan yang tak menyangka atas rezeki yang dia terima.

Salma bergerak secepat kilat, menarik Leticia yang mulai hilang kendali berhadapan dengan Wahyudi. Digiringnya sepupunya itu menuju keluarga Wahyudi.

"Maaf ya, Pak, Bu, Mbak, Mas. Ini Leticia, sepupu saya. Dia tinggal di Eropa, di Spanyol. Ini sedang liburan. Kenal dengan Mas Wahyudi karena dulu pernah liburan ke Surabaya. Waktu itu Mas Wahyudi sedang magang di perusahaan papa, jadi kami sering pergi bareng, dengan saya dan Mas Andro."

Salma berusaha menghindarkan  kesalahpahaman. Diraihnya tangan Leticia, membawanya bersalaman dengan keluarga Wahyudi. Ibunya dan kakak-kakak perempuannya.

"Memang budayanya berbeda, jadi Leticia kadang lupa. Mereka nggak kenal mahram atau bukan mahram. Sekali lagi saya mewakili Leticia meminta maaf sama Bapak, Ibu, Mbak, dan Mas semua. Insya Allah Mas Wahyudi nggak ada macam-macam dengan Leti. Maaf, nggih."

Sungguh, Salma jadi tak enak hati. Meski jarang berkomunikasi, tapi dia cukup tahu bagaimana kebiasaan keluarga Pak Djamin ini.

Keluarga Wahyudi balik tak enak hati. Gara-gara pekik istighfar dan Allahu Akbar mereka yang kurang terkendali, seorang perempuan yang mereka hormati —Salma— sampai harus meminta maaf untuk orang lain.

"Waduh, kami yang minta maaf, Mbak Salma. Mohon dimaklumi, kami ini cuma orang ndeso, orang nggak punya. Lak nggih tratapan to nek ningali larene kok kados ngoten niku kalih kawula estri. Astaghfirullah. Maaf nggih, Mbak Salma." Pak Djamin mewakili keluarganya.

Bu Djamin menyalami dan merangkul Salma. Salma tersenyum ramah, membesarkan hati mereka. Andro lalu mendekat, membuat Salma dag dig dug.

"Doakan, Pak, Bu. Siapa tahu beberapa tahun lagi Yudi pulang bawa mantu bule."

Nah, kan. Nah, kan. Apa yang dikhawatirkan Salma terjadi juga. Bukannya mendukung pernyataannya, suami semau gue itu malah membuat ulah, sambil tertawa pula. Salma kesal, dicubitnya pinggang suaminya. Andro meringis, lalu melanjutkan tawa.

Sementara Wahyudi hanya mampu tertawa sumbang. "Asem kowe yo, Ndro," bisiknya sambil menyikut sahabat terbaik yang seringkali jauh dari baik. Seperti sekarang.

Mereka berdua lalu kembali ke tengah teman-temannya. Wahyudi habis diceng-cengin. Beberapa melontarkan canda, meminta rekomendasi dukun agar sukses menggaet yang serupa.

Kegembiraan siang itu ditutup dengan foto bersama keluarga Andro dan keluarga Wahyudi. Tentu saja Leticia ikut serta. Kedua keluarga kemudian saling berpamitan. Ucapan terima kasih tak berhenti mengalir dari bapak, ibu, dan kakak-kakak Wahyudi. Untuk Andro, untuk Salma, untuk Utami, untuk Dimas, dan yang paling utama adalah untuk Antariksa, sebab telah memberi kesempatan pada Wahyudi untuk berkarir di perusahaannya.

"Jangan lupa, Pak, Bu, Yudi didoakan biar cepat menghalalkan pujaan hati. Soalnya dia bilang nggak mau pacar-pacaran." Lagi-lagi Andro mencari perkara.

"Lha nopo Yudi niku sampun wonten pujaan hati to, Mas Andro? Nopo wonten sing purun? (Lha apa Yudi itu sudah ada pujaan hati? Apa ada yang mau?)" Rupanya ibunda Wahyudi memang lebih banyak bicara daripada Pak Djamin.

"Yud. Jelaskan!" sahut Andro.

"Andro ngawur thok, Buk. Wis gek ndang mantuk wae, gak usah dirungokke cah edan kui."

"Hush! Yang sopan, Yud. Tahu diri." Ibunya mengingatkan sembari menepuk keras punggungnya. Wahyudi meringis. Sedetik saja, sebab detik berikutnya si gadis bule terlihat menuju ke arahnya.

"Please, no hugs. You shocked my family, heh," candanya pada Leticia.

Leticia tertawa. "I want to meet your madre. May i?"

Sebenarnya Wahyudi ingin bertanya, untuk apa? Tapi diurungkan niatnya. Ia mengangguk sembari melempar senyum tulus yg selalu dirindukan si gadis bule di hadapannya, kemudian melangkah mendekati ibunya.

"Bu, Leticia mau pamit sama Ibu."

Ibunya mengangguk pelan. Tak perlu bertanya pada putranya, penampakan gadis Londo itu sudah menjelaskan banyak hal. Sang ibu menyadari sejak menangkap gelagat anaknya, yang mendadak melipir sementara teman-temannya justru heboh ketika gadis itu datang.

Setiap pasang mata dari keluarga Djamin mengarah pada mereka, menanti bagaimana sang ibu menyambut si gadis bule nan rendah hati itu. Wahyudi jadi salah tingkah karenanya.

"Ibu, saya Leticia. Pamit dulu, nanti sore mau pulang ke Surabaya," ujar Leticia dengan bahasa Indonesia yang jauh lebih baik dari kunjungan ke Indonesia sebelumnya.

Tak hanya berpamitan, Leticia meraih dan mencium tangan Bu Djamin. Yang bersangkutan hanya bengong, lalu mendongakkan kepala menatap gadis cantik berambut cokelat keriting yang menjulang di depan mata.

"Mbaknya siapanya Yudi?"

"Mbaknya?" Leticia kebingungan.

"Kamu, Leti. Mbak itu panggilan umum untuk perempuan di Jawa." Andro menyahut. Leti ber-oh mendengar penjelasannya.

"Saya temannya Yudi, Ibu. Yudi anaknya baik, saya suka jadi temannya Yudi. Boleh ya, Ibu?"

"Oh, ya boleh-boleh saja, to. Namanya berteman kan harus dengan siapa saja."

"Teman hidup boleh nggih, Bu?" Andro nyeletuk lagi. Usil sekali.

Tak ada jawaban dari ibunda Wahyudi, hanya matanya menyorot tajam pada si anak yang paling dibanggakan.

"Wis ah, Ndro. Ngalamat siap-siap disidang pak mbokku iki." Wahyudi memelototi sahabatnya dengan kesal. Lalu berpamitan.

"Yudi." Baru juga beberapa langkah, suara Leticia terdengar kembali.

Duh, apalagi sih? batin Wahyudi sembari menelan ludah. Ia menghentikan langkah. Ibunya juga. Tapi hanya Wahyudi yang menoleh ke asal suara.

"Ya?"

"See you in Surabaya. Kita sama-sama lagi ya di sana."

Sekali lagi ia menelan ludah. Ucapan Leticia sudah pasti terdengar oleh ibu dan keluarganya. Ia pasrah saja. Tak menjawab apapun, hanya menatap lembut pada Leticia. Melempar seulas senyum tulus yang selalu dinantikan gadis itu. Kemudian berlalu bersama keluarganya.

***

Yeaiy, Wahyudi udah wisuda. Alhamdulillah. Selangkah lagi jadi budak corporate. Hahaha...

Btw, sebagian teks di part ini ada di Move On. Lumayan. Jadi bonus buat aku.

Terima kasih buat teman-teman yg masih setia baca tulisanku.

See you :)

Pekalongan, 04052023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top