12. Mencoba Melupakan

Ujian semester hari pertama usai sudah, setidaknya bagi Wahyudi. Dia keluar paling awal, di saat sebagian teman sekelasnya masih serius mengerjakan soal. Tidak biasanya, sebab meski otaknya memang encer, Wahyudi terbiasa berhati-hati dan mengerjakan dengan teliti. Tapi tidak kali ini. Dia sedang tidak ingin berlama-lama menghadap kertas dan soal-soal Manajemen Konstruksi.

Kantin sepi. Dipesannya segelas teh hangat, lalu memilih duduk di salah satu sudut paling tersembunyi. Dikeluarkannya gawai yang sejak Kamis siang sama sekali belum menyala. Itu berarti sudah masuk hari kelima.

Pesan-pesan mengalir bagai air bah. Diletakkannya gawai di meja, menyeruput teh yang terasa pahit seperti cerita cintanya, sembari menunggu aliran pesan itu berhenti di pesan terbaru.

Leticia Gomez. Nama itu berada di baris paling atas dengan 37 pesan belum dibaca. Wahyudi tersenyum sendiri. Ada yang berdesir-desir di hati.

Kamis siang.
[Yudi. Hola. Como estas?]

[Long time no text. I miss you, heh]

[Tiga emoticon senyum]

Kamis malam.
[Hola]

Jum'at pagi.
[Hello]

[Hi, Yudi]

Jum'at sore
[Hei!!]

[Yudi]

[Wahyudi]

[Are you okay?]

Sabtu pagi.
[Hei!!]

[Kamu kenapa?]

[Apakah ada yang salah dengan aku?]

[Yudi. Please. Buka pesanku]

Sabtu sore
[Apakah ada masalah dengan your phone cell?]

Sabtu tengah malam.
[Kata Andro you're fine. Aku lega.]

[But why? Kenapa masih off?]

[Ada yang mau kubicarakan.]

[Please, Yudi. Don't make me worry. Please please please.]

Minggu pagi.
[I miss you.]

[Kamu tidak pernah begini sebelumnya. Apakah aku ada salah? Say me.]

[Please]

[Please]

[Please]

[Voice note]

Wahyudi merogoh kantong bagian luar ranselnya, mengambil earphone, dan segera memasangnya di kedua telinga.

"Okay. Kalau kamu merasa terganggu dengan keberadaanku, aku akan pergi dari kamu."

Wahyudi termangu, membiarkan wajah ceria gadis cantik berambut keriting itu menari-nari di kedua mata serta ingatannya. Hanya sebentar, lantas melanjutkan membaca pesan.

Minggu sore.
[Apakah ini tentang someone you called Marco Asensio?]

"Ini pasti kerjaannya Andro. Asem tenan. Lanang kok lambe turah." Wahyudi mengumpat pelan. Lalu kembali membaca pesan berikutnya.

[Are you jealous?]

[Oh, Dios mio. Rasanya aku ingin menangis dan memeluk kamu.]

[Does it mean you have the same feelings as me?]

Segores senyum tipis muncul di wajah Wahyudi. Ia tersipu. Perasaannya terbaca oleh seseorang nun di tanah Iberia.

Minggu tengah malam.
[Voice note]
"His name is Gerard. And if true this is about him, kamu harus dengarkan aku."

[Voice note]
"He is my cousin, Yudi. Ibunya adalah tia-ku. Kakak perempuan papa. Dari sejak aku dan dia kecil dulu, dia memang suka menggodaku. Setiap kami bertemu atau keluarga kami berkumpul, dia selalu bilang kalau sudah dewasa nanti dia akan menikah denganku. Sayangnya aku tidak menyukai dia as a woman to a man. Aku sudah punya pilihan sendiri."

Bukan GR, tapi yang dimaksud pilihan itu pastilah dirinya. Memangnya siapa lagi? Hendak tersenyum, namun urung. Wahyudi sadar, menjadi pilihan tidak mesti berakhir dengan kebersamaan.

Senin pagi.
[Buenos dias, Yudi]

[Oh, my God. Masih tidak terkirim. Kamu kenapa? Did you block me?]

[Oh. I'm sooooo sad]

[If you've read my message, please, text me soon]

17 menit lalu.
[Aku sudah menjelaskan ke kamu tentang Gerard. Aku juga sudah memintanya to take down my pict from his feed. Kalau memang itu yang membuatmu mendiamkan aku.]

[Nothing but love.]

Wahyudi bergeming. Dibacanya berkali-kali 37 pesan itu. Didengarkannya berulang-ulang voice note yang —sungguh— suara renyahnya selalu dia rindu.

Perlahan dia mengetikkan balasan.

[Hola, Leticia. Thanks for worry about me. I'm fine. Alhamdulillah.]

[About Marco Asensio —ups i mean Gerard— i think i'm okay. Not a big problem.]

[Malah kupikir, apa yang dia katakan baik untuk kamu. Untuk masa depan kamu. Kamu membutuhkan kepastian, dan dia bisa memberikan itu. So....]

[Kalau keberadaanku mengganggu keputusanmu, sepertinya melupakanku adalah pilihan terbaik yang harus kamu ambil. And i'll do the same.]

[Tiga emoticon tertawa]
Dikirim dengan hati yang terluka.

Centang abu-abu segera berubah menjadi biru. Seseorang di seberang sana sedang mengetik, Wahyudi pun sama. Hanya saja dia mengetik pesan untuk sahabatnya.

[Aku jalan sebentar, Ndro. Kamu pulang aja dulu, nanti aku pulang sendiri. Ke rumahmu. Thanks.]

Wahyudi bangkit dari duduknya. Gawainya kembali menghuni ransel. Ditinggalkannya kantin dan sisa teh hangat yang sudah dingin. Kamar kost menjadi tujuan. Dia ingin rebahan tanpa gangguan, dan itu tidak bisa dia lakukan jika sudah bertemu dengan Andro. Masih untung sejak kemarin sahabatnya itu tak membahas apapun lagi tentang Leticia.

Menjelang sore, ia kembali mengecek gawainya. Hanya pesan dari Leticia yang ingin dia baca. Pesan-pesan lain dia abaikan, kecuali jika ada pesan dari keluarganya, tapi itu pun tak ada.

[Baiklah, Yudi. Kamu bisa memintaku melupakan, tapi ingat, aku punya hak untuk tidak melakukannya.]

[Keputusanku adalah tetap menunggu.

[Menunggu kamu di Madrid.]

[Kalau yang kamu inginkan sekarang adalah aku pergi. Okay, kita berhenti berkomunikasi.]

[Tapi aku mau kamu berjanji.]

[If one day we meet again —i don't know when— dan perasaanku masih sama. I mean... perasaan kita —i know you have the same feelings as me— Aku harap kamu mempertimbangkan lagi tentang aku dan kamu.]

[So, is it time to say goodbye?]

Kalau boleh jujur, tentu saja Wahyudi tak menginginkan semua ini. Meski tak mesti sepekan sekali terlibat perbincangan, sejauh ini dia menyukai kebersamaan mereka yang hanya berlangsung singkat-singkat saja. Tapi ini semua untuk kebaikan dirinya. Untuk stabilitas hatinya. Untuk banyak cita-cita yang ingin dia wujudkan. Jadi, dia harus mengatakan... ya.

[Deal!]

[Adios, Leticia.]

Setelah mengirim pesan terakhir, Wahyudi buru-buru mengarsipkan pesan dari Leticia, kemudian kembali menonaktifkan gawainya. Yang dilakukan berikutnya adalah mandi, lalu melaksanakan salat asar. Setelahnya ia berdoa. Lama. Sangat lama. Entah curhatan apa yang disampaikan pada Rabb-nya, yang pasti dia merasa lega.

"Waktunya tutup buku. Fokus sama cita-citaku. Perempuan yang pas nanti akan datang sendiri di waktu yang tepat. Kalaupun bukan Leticia, it's okay. Nggak apa-apa," ujarnya pada diri sendiri. Seulas senyum mengembang. Senyum tulus yang selalu disukai oleh seseorang di negeri seberang

Dikemasinya beberapa barang untuk dibawa ke rumah sahabatnya. Mulai sore itu, pembicaraan tentang Leticia akan dia hapus dari kehidupannya. Dia berharap bisa melakukan itu untuk selamanya, meski tetap akan patuh pada kehendak Sang Maha Sutradara.

***

Hari-hari setelahnya dilalui Wahyudi seperti biasa, seperti sebelum mengenal Leticia. Tak menghapus nama dan nomor handphone dari kontaknya, tapi juga tak pernah menghubungi, bahkan sekadar melihat foto profilnya. Aplikasi media sosial apapun juga tak dia pasang lagi di gawainya. Kesehariannya lebih banyak disibukkan dengan urusan perkuliahan dan menambah pundi-pundi tabungan.

Menjelang akhir ujian semester genap, dia mengikuti Andro ke Surabaya. Menghabiskan waktu liburannya dan sebagian kecil waktu perkuliahan di awal semester ganjil dengan melaksanakan Kerja Praktik di salah satu perusahaan milik Antariksa, tempatnya dulu pernah magang.

Waktunya di kampus ia manfaatkan untuk membantu beberapa dosen yang membutuhkan tenaganya. Apa saja. Dibayar ataupun tidak. Dia hanya merasa punya waktu serta energi yang banyak tersisa dan harus dia habiskan, agar tak ada sedikitpun celah yang menjadi peluang masuknya ingatan tentang Leticia.

Kerja Praktik, mata kuliah wajib, mata kuliah pilihan, Kuliah Kerja Nyata, bahkan Tugas Akhir yang dia lewati di dua semester terakhir masa kuliahnya terlalui dengan proses dan hasil yang serba mendekati sempurna. Warga kampus salut kepadanya. Mengira bahwa semua itu adalah karena the power of cita-cita, padahal tidak sepenuhnya benar. Cita-cita hanya salah satunya saja. Alasan lainnya adalah untuk mengabaikan perasaan yang ternyata tak pernah mampu dia padamkan.

"Kelar TA rencanamu apa, Yud?" tanya Andro. Keduanya sedang duduk di tepi lapangan basket kampus usai bermain tanding dengan angkatan di bawahnya.

"Insya Allah mau ngelamar kerja di perusahaan papamu, Ndro. Posisi apa aja, sambil nunggu ijazah buat ngelamar kerja yang benerannya."

"Ngelamar kerja benerannya tetep di perusahaan papaku?"

Wahyudi mengangguk. "Memanfaat the power of orang dalam nggak dosa kan, Ndro?" Dia meringis.

"Dosa itu kalau pakai orang dalam padahal skill-mu nggak mumpuni. Kalau skill-mu bagus, justru orang dalam yang harus memanfaatkan kesempatan buat nge-hire kamu."

"Bisa aja kamu, Ndro." Keduanya tertawa.

"By the way, beneran udah nggak pernah chat-an sama Leticia?"

"Mulih wae ah, Ndro. Gaweane jik akeh." Wahyudi menyambar ranselnya dan berdiri dengan tergesa.

"Gak sah ngono iku lah, Yud. Biasa ae. Awak dewe wis podo dewasane lho, yo. Nggak perlu lah kabur-kaburan bahas sesuatu." Andro berusaha menahannya. Dan berhasil.

"Nggak ada yang perlu dibahas, Ndro. Apalagi tentang Leticia. Kami aja udah nyaris setahun nggak ada hubungan apa-apa, and everything's fine. Nggak ada masalah dan nggak ada yang perlu dipermasalahkan. Aku aja udah lupa."

"Yakin? Kamu bisa aja ngapusi aku, tapi kamu nggak bakalan bisa nipu dirimu sendiri, Yud." Andro tersenyum mengejek.

"Leticia nitip salam buat kamu."

Wahyudi cuma diam dan tersenyum samar. "Emm... dia sehat kan, Ndro?"

"Alhamdulillah. Sehat dan bahagia."

"Alhamdulillah."

"Udah? Cuma gitu?"

Wahyudi terkekeh. "Iya, Ndro. Dia sehat dan bahagia, itu udah lebih dari cukup."

"Dia sekarang banyak berubah, Yud. Makin dekat dengan keluarganya, terutama mamanya. Makin semangat kuliah dan belajarnya. Makin banyak aktivitas kesehariannya. Dan makin ceria. Oma Lucia yang cerita ke Salma dan ke eyang mamiku. Tapi yang paling kentara, seenggaknya kulihat dari media sosialnya, Leti nyaris nggak pernah lagi pakai baju yang terlalu terbuka.

"Satu-satunya yang mungkin nggak berubah adalah...." Andro sengaja menggantung kalimatnya. Wahyudi spontan menoleh, dari sorot matanya terlihat bahwa dia menunggu sahabatnya melanjutkan bicara. Andro tersenyum.

"Perasaannya ke kamu, Yud."

Hati Wahyudi seketika menghangat. Secepat kilat ia memalingkan muka.

"Leti masih intens ngobrol sama Salma, tapi setahun belakangan ini sama sekali nggak menyinggung apapun tentang kamu. Hebat ya kalian, bisa kuat gitu." Andro terkikik, menertawakan sahabatnya serta sepupu istrinya. Wahyudi masih berusaha tampil seolah baik-baik saja. Jangan tanya hatinya!

"Tapi kemarin akhirnya dia tanya lagi ke Salma tentang kamu. Pas banget kamu habis sidang TA, terus digodain lah sama Salma. Eh, si Letinya nangis. Dia bilang, I miss him so much."

"Udah, Ndro. Cukup."

"Kenapa? Nggak kuat, ya? Takut nangis? Cieee, lanang kok nangis perkara asmara." Andro terus saja menggoda, sembari meninju bahu Wahyudi dan tertawa-tawa. Sungguh teganya dirimu teganya.

"Sorry to say, Yud. Tapi menurutku, kamu itu memang menikmati penderitaan."

"Maksudnya apa nih?" Wahyudi merasa tak terima dengan justifikasi Andro.

"Ya kamu itu, memang belum niat buat move on. Belum pengen buat ngelupain Leti. Kamu masih menyimpan harapan. Masih memendam perasaan. Dan selama ini sebenarnya kamu cuma berusaha menipu diri sendiri.

"Ingat, Yud, kamu ngerjain tugas-tugas sampai Tugas Akhir tuh hampir semuanya pakai PC-ku, yang aku juga bisa ngakses kapan aja. Playlist-mu lho, lagu nggak mau move on semua. Lagaknya aja mau melupakan, tapi sebenernya hatimu cuma muter di situ-situ aja.

"Aku bahkan nguatirin kamu yang setahun belakangan kayak nggak ada capeknya, kurang istirahatnya. Aku kuatir kamu sakit, sekaligus kuatir prestasi gemilangku kamu ambil alih, sih." Keduanya terkekeh. Wahyudi sedikit terharu, ternyata sahabatnya memikirkan keadaannya sampai sejauh itu.

"Kamu bisa aja terlihat baik-baik aja di depan teman-teman yang lain, Yud, tapi nggak di depanku. Aku kenal kamu jauh lebih baik dari mereka mengenal kamu. Aku juga jauh lebih dekat sama kamu dibandingkan kedekatanmu sama mereka. Ibarate, nek kon wedok ae mungkin Salma juga nggak keberatan kamu kujadikan istri kedua."

"Lambemu, Ndro! Gilo aku!" umpat Wahyudi keras. Tawanya pecah. Sejenak lupa pada hati yang baru saja dilanda resah.

"Jujur ya, Ndro. Sebenernya aku pernah janji sama Leticia." Dia mengambil jeda, menghirup dalam-dalam oksigen di sekitarnya.

"Di chat terakhir kami, dia minta aku berjanji. Kalau suatu saat nanti kami kembali dipertemukan dan perasaan kami masih sama, maka aku harus mempertimbangkan lagi tentang hubungan kami. Gobl*knya, aku menyetujui gitu aja. Kupikir melupakan dia dan membunuh perasaan ini akan mudah, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ya... walaupun aku juga nggak yakin kami bakalan ketemu lagi."

Wahyudi berhenti bicara. Dipandanginya tanah yang menopang kedua kakinya. Malu, tapi sekaligus lega. Ia baru sadar bahwa membagi sesuatu yang selama ini dipendamnya sendiri ternyata membuat perasaannya lebih lepas. Tak harus jaim, toh selama ini Andro juga selalu bersikap jujur dan apa adanya di hadapannya. Bukankah itu salah satu fungsi keberadaan seorang sahabat?

Hening melingkupi keduanya. Andro agak tercengang mendengar pengakuan Wahyudi. Wahyudi sendiri sibuk menata hati setelah membuka fakta tentang dirinya dan Leticia.

"Kamu berharap pertemuan itu akan ada lagi atau nggak, Yud?" Suara Andro memecah keheningan.

"Aku pulang dulu ya, Ndro. Masih ada revisian yang harus kuselesaikan."

Wahyudi beranjak tanpa menunggu persetujuan. Juga tanpa memberi jawaban atas pertanyaan yang Andro ajukan. Tak perlu. Sebab ia yakin, Andro sudah tahu jawabannya tanpa harus mendengarkan langsung dari lisannya.

***

Endingnya agak kurang greget ih. Hahaha... Maapkeun, soalnya ngetiknya agak nggak fokus. Aku lagi di Bekasi, silaturahim ke rumah mamang dan bibi. Tapi karena memang kurang dikit aja, dan demi update hari Senin, akhirnya tetap kucoba selesaikan walaupun agak kurang soulnya. Hehe...

Playlist-nya Wahyudi apa aja sih? Haha... Kepo nih yeee...

Baiklah, segini dulu aja ya. Terima kasih yg udah membaca dan meramaikan. I love you so much.

See you :)

Bekasi, 01052023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top