11. Main Hati

Tak terasa hampir enam bulan Wahyudi mengenal Leticia. Sebulan berdekatan, sisanya hanya diisi obrolan jarak jauh, itupun frekuensinya rendah saja. Wahyudi sengaja menjaga jarak. Ia tahu persis, perbedaan keyakinan bukan sesuatu yang mudah untuk diperjuangkan. Alih-alih mencoba, sedari awal Wahyudi lebih memilih mengentikan.

Sayangnya dia tak bisa menghentikan keingintahuannya tentang sosok si gadis keriwil dari tanah Iberia. Media sosial yang selama ini hanya dia pakai untuk melihat-lihat segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu yang dipelajarinya, kali ini dia gunakan pula untuk hal lain. Apalagi kalau bukan stalking akun media sosial milik Leticia?

Leticia cukup aktif di salah satu media sosial. Tak sering membagi kiriman di laman, tapi cukup sering membagikan sesuatu di story. Biasanya Wahyudi menyimak sambil tersenyum-senyum sendiri, sebab tak sekali dua kali Leticia mengunggah sesuatu yang berkaitan dengan kenangan bersamanya. Paling sering adalah foto bertema pantai dengan caption yang menyerempet-nyerempet kebersamaan mereka berdua.

Wahyudi tak pernah mengatakan pada Leticia bahwa pemilik akun bernama judi.judi.ngeek itu adalah dia. Leticia pun tak pernah bertanya. Keduanya seolah saling tahu begitu saja tanpa perlu mendeklarasikan pengetahuannya.

Sayangnya, hari itu Wahyudi mendadak iseng meng-klik ikon yang menandai akun Leticia pada postingan orang lain, padahal selama ini dia tak pernah sekalipun terpikir untuk melakukannya.

Dada Wahyudi mendadak berdebar tak keruan. Tiga postingan terakhir yang menandai akun Leticia berasal dari satu akun yang sama. Gerard Garcia Gomez, begitu nama yang tertera di bio si pemilik akun. Captionnya singkat-singkat saja, namun sanggup membuat Wahyudi berkali-kali menelan ludahnya.

Sunshine. Begitu caption di postingan paling lama. Dan itu baru lima hari lalu.

Tiga emoticon love berwarna merah. Itu caption di postingan tiga hari lalu.

Estrella. Caption yang dibaca Wahyudi di postingan terakhir.

Ketiga postingan dengan beberapa foto tersebut sebagian besar memuat wajah Leticia yang ceria dengan tawa lepas nan khas. Ada foto Leticia sendirian, dengan beberapa orang, dan ada juga yang hanya berdua dengan si Gerard Gerard itu. Pria muda berwajah sebelas dua belas dengan Marco Asensio itu bahkan melingkarkan lengan kirinya di pinggang Leticia. Wajahnya terlihat bahagia.

Wahyudi buru-buru logout dari akunnya. Dia bahkan menghapus aplikasi media sosial berbasis foto itu dari gawainya. Kalau mengikuti kata hati, rasanya ingin pula memblokir kontak Leticia dari handphone-nya.

Antara dia dan Leticia memang tidak ada hubungan apa-apa, bahkan dia sendiri yang selalu menghindar dari memiliki hubungan lebih jauh lagi. Tapi... kenapa ada nyeri yang meremas hati?

"Opo sih, Yud? Gur ngono wae kok dipikir! Memang bukan siapa-siapamu, kan? Mending mikir ujian yang tinggal hitungan hari."

Wahyudi mengguman sendiri, mencoba mengalihkan pikiran, mengingatkan dirinya sendiri pada sesuatu yang lebih penting. Tapi tak sampai semenit kemudian, postingan-postingan tadi kembali mengganggu benaknya. Sayangnya, itu berlangsung bukan satu dua jam saja, tapi sampai hari berikutnya. Dia bahkan kehilangan nafsu makan, hingga memutuskan untuk pulang tepat setelah menyelesaikan salat Jum'at di masjid kampus.

"Kemarin telpon katanya besok Senin mau ujian, kok malah pulang, Yud? Tumben," sambut ibunya ketika mesin motor butut Wahyudi baru saja mati.

"Kangen sama Ibu," jawabnya. Berusaha melucu, tapi terlihat jelas kalau dia lesu.

"Halah, gayamu. Wijuk sik, terus maem kono. Ibu masak lodeh kluweh karo tempe kemul. Tempene jik anget kae." (Cuci tangan dulu, terus makan sana. Ibu masak sayur lodeh kluwih dan tempe selimut/tempe tepung. Tempenya masih hangat tuh)

"Bapak sama Ari ke mana, Bu?"

"Ari ke rumah temannya, bapak ada hajatan di desa sebelah."

Ibunya menggiring masuk. Wahyudi bersegera mencuci tangan dan wajah, lalu makan dengan lahap. Dua piring tandas dalam sekejap, setelah sejak kemarin perutnya hanya terisi semangkuk soto kudus, itupun dalam bentuk mi instan.

"Kamu sakit? Kok mukanya kayak kurang semangat gitu." Ibunya, yang sejak tadi duduk di sampingnya, bertanya.

"Sedikit. Cuma meriang," ujar Wahyudi singkat. Setelahnya meneguk air putihnya sampai tandas.

"Kakean sinau, po? Kok tumben. Biasane sinau mben wayah yo sehat-sehat wae." (Kebanyakan belajar? Kok tumben. Biasanya belajar setiap waktu juga sehat aja)

"Patah hati, Bu." Wahyudi meringis. Dari nada suaranya, sang ibu tahu bahwa anaknya tidak sedang bercanda.

"Kan ibu sudah bilang, kuliah dulu yang bener, nggak usah mikir yang lain-lain, opo meneh urusan cah wedok (apalagi urusan cewek). Kadang yang seperti itu tuh sekali kena bisa fatal, soalnya urusannya hati, dan itu lebih berat dari sekadar meriang atau sakit gigi."

Dalam hati, Wahyudi membenarkan ucapan ibunya. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah telanjur. Antara dia dan Leticia memang tak ada hubungan apapun selain pertemanan, tapi soal hati, itu sudah urusan lain lagi.

"Kayak gitu tuh ternyata nggak bisa dihindari, Bu. Datang sendiri aja gitu. Aku udah coba nggak ngikutin, tapi mau gimana lagi, hatinya udah terlanjur ikut main."

"Jane yo gak opo-opo juga sih, Yud. Namanya perasaan kepada lawan jenis itu sudah fitrah, yang penting itu bagaimana mengelolanya, jadi nggak bisa angger-angger menuruti maunya hati saja. Kalau ibu yakin kamu sudah berusaha, tapi nek ternyata kepeleset yo wis piye meneh, to? Seperti kita kalau kepeleset, kadang sampai jatuh, sampai keseleo. Tapi bukan nggak bisa sembuh, to? Cuma butuh waktu saja.

"Hati juga gitu. Malah kalau sudah kadung kepeleset, apalagi sampai jatuh, patah pula, kadang nyembuhkannya lebih susah daripada keseleo tangan atau kaki. Soalnya hati itu nggak kelihatan, tingkat keparahannya kadang nggak bisa diperkirakan. Kayane wis mari, jebule gur njobone thok, njerone jik ambyar rak nggenah bentukane." (kayaknya sudah sembuh, ternyata cuma di luarnya saja, dalamnya masih ambyar nggak jelas bentuknya)

Wahyudi tertawa mendengar perumpamaan ibunya. Sekali lagi membenarkan semuanya, masih dalam hati saja.

"Nanti kalau nasinya sudah turun, istirahat dulu. Turu sik kono, mukamu nggak enak dilihat. Melas. Kalau sudah istirahat, sudah lebih lega, mau curhat sama ibu ya ibu siap."

"Aku nggak pernah gini sebelumnya, Bu. Dulu ya suka iseng sama anak-anak cewek, tapi nggak pernah pakai hati. Ya sadar diri to, Bu, siapa aku. Aku selalu ingat pesen Ibu kok. Kuliah aja dibayari pemerintah, ya kali banyak tingkah. Jadi ya buat have fun aja. Buat hiburan aja. Normal kan, Bu, anak laki suka ngelihat yang cantik-cantik, bening-bening? Aku sepenuhnya paham kok, paling yo mereka gak ono sing gelem mbi aku." (palingan mereka nggak ada yang mau sama aku)

Ibunya tertawa, sembari mendorong pelan kening si anak laki-laki kebanggaan keluarga.

"Tapi yang satu ini aku nggak iseng, Bu, apalagi kok serius. Lha wong ada niat godain atau deketin aja blas nggak ada. Tapi malah dianya yang katanya suka sama aku, Bu. Kami kenal nggak sengaja di Surabaya, terus jadi dekat karena selama di Surabaya dia sering nggak ada temannya, jadi aku yang nemenin. Terus... ya gitu lah, Bu."

Sesi curhat berlangsung begitu saja. Tanpa mukadimah, tanpa aba-aba. Tak perlu menunggu makanan diproses dengan baik di lambung, usus halus, usus besar. Tak pula perlu melalui waktu untuk tidur lebih dahulu.

"Terus kamu jatuh cinta sama dia?" Wahyudi tersipu mendengar pertanyaan ibunya yang tanpa basa-basi.

"Aku kenal dia udah agak lama, Bu. Enam bulan. Dekat cuma sebulan. Dekat dalam artian fisik ya, Bu. Ketemu, jalan bareng gitu. Sisanya ya ngobrol jarak jauh lewat HP, itu juga jarang. Aku mencoba menjaga jarak biar nggak keterusan, Bu. Tapi...."

"Tapi wis kadung jatuh cinta?"

Sekali lagi Wahyudi tersipu, menundukkan wajah agar ekspresinya tak tertangkap oleh sang ibu.

"Bocah ngendi?" (anak mana?)

"Spanyol, Bu."

"Ngendi kui?" (mana itu?)

"Eropa, Bu. Wong Londo."
*Londo: berasal dari kata Belanda. Orang-orang tua zaman dulu (di tempatku) menyebut orang bule secara umum sebagai Londo/wong Londo, walaupun mungkin bukan WN Belanda. Pokoknya bule=Londo :)

"Astaghfirullah hal adzim. Bocah wedoke iku wong Londo ngono, Yud?" (anak perempuan itu orang bule gitu, Yud?)

Wahyudi meraih dan menggenggam tangan ibunya. "Iya, Bu. Bocahe Londo."

"Wong Londo ki ono sing Islam opo ora?" (orang bule tuh ada yang Islam apa nggak?)

"Banyak, Bu."

"Bocahe kui?" (anak itu? —maksudnya Leticia)

Wahyudi menggeleng pelan. Ada yang nyeri di dadanya. Mereka, dia dan Leticia, memang berbeda. Perbedaan yang bukan cuma berpengaruh pada urusan dunia, tapi juga urusan akhiratnya.

"Patah hati itu biasa, bagi orang yang sudah berani untuk jatuh cinta." Ibunya berucap datar. Tak ada toleransi kalau urusannya sudah masuk ke ranah keyakinan.

"Nggak ada asap kalau nggak ada api, Yud. Nggak ada akibat kalau nggak ada sebab. Nek jare wong pinter-pinter kae jenenge konsekuensi. Kamu berani jatuh cinta, sedangkan kamu tahu kalau secara prinsip kalian sangat berbeda, ya itu risikonya. Melepaskan dan patah hati. Atau memilih dia dan pergi dari kami."

"Bu, nggak gitu. Kalau soal perbedaan yang satu itu insya Allah aku udah ngerti. Itulah kenapa aku memilih untuk nggak mengikuti perasaan. Tapi aku patah hati bukan karena itu, Bu. Aku cuma belum siap kalau... kalau...."

"Kalau apa?"

"Kalau dia jalan sama orang lain, Bu. Aku... aku masih berharap bisa memperjuangkan perasaanku suatu hari nanti. Kalau aku udah lulus, udah kerja."

"Terus, kamu mau ninggalin bapak ibu dan lebih pilih dia?"

"Nggak gitu, Bu. Aku...."

"Yud, masalah keyakinan itu bukan sesuatu yang gampang. Kamu berharap dia mau pindah dan ngikutin kamu, gitu? Ganti kebiasaan saja bukan sesuatu yang gampang, Yud, apalagi ini ganti keyakinan, ganti pedoman hidup, bahkan ganti Tuhan. Kalau ini bicara tentang harapanmu di masa depan, maka ibu mengartikannya sebagai pernikahan.

"Menikah itu bukan cuma urusan kamu sama bocah wedok Londo itu, Yud, tapi menjadi urusan dua keluarga. Dan ibu yakin, sekalipun pemikirannya wong Londo mungkin sudah maju, tetap saja soal keyakinan kadang menjadi sesuatu yang diharapkan tidak berubah."

"Ibunya Indonesia, Bu, tapi ada keturunan Spanyol. Kalau ayahnya asli Spanyol." Wahyudi memberi sedikit penjelasan. Menyembunyikan fakta bahwa gadis yang sedang mereka bicarakan itu adalah saudara sepupu Salma.

"Ya apalagi ibunya orang Indonesia, yang masalah agama masih sangat dipegang teguh. Bisa jadi ibunya akan nggondheli seperti halnya ibu ke kamu. Kalau keluarganya melepas anaknya menikah sama kamu, sementara masih ada ganjalan besar yang mereka rasakan, apa rumah tangga akan terasa nyaman? Ibu yakin nggak, Yud. Karena berkeluarga itu salah satunya dimulai dari kenyamanan, kalau nomor satunya tetap didasari keimanan.

"Tapi ya terserah kamu, Yud. Semuanya ibu kembalikan ke kamu. Ibu nggak mau nambahin beban pikiranmu. Kamu sudah dewasa, sudah bisa memilih dan memilah mana yang lebih baik buat kamu. Yang penting selesaikan sekolahmu dulu yang benar, selebihnya terserah kamu."

Ibunya berdiri, menepuk bahu anaknya yang masih diam termangu. "Ya sudah, istirahat sana. Ibu mau ke pasar lagi."

Tak biasanya ibunya ke pasar setelah lewat Jum'atan. Di hari-hari biasa ibunya pulang dari pasar pukul dua siang, tapi khusus hari Jum'at biasanya hanya sampai pukul sebelas saja.

"Ibu marah? Kenapa udah mau sore malah ke pasar?"

"Nggak. Ibu nggak marah. Ibu cuma mau kasih kesempatan kamu untuk istirahat. Tidur."

"Maaf kalau aku ada salah bicara ya, Bu." Ibunya mengangguk, kemudian berlalu.

***

Sabtu menjelang malam. Wahyudi dan ibunya baru saja pulang usai salat maghrib berjamaah di musala dekat rumah. Bapak dan adiknya masih bertahan di musala, mengajar ngaji orang-orang tua sekalian menunggu waktu isya.

Pintu rumah baru saja ditutup, ketika derum mobil terdengar sayup-sayup. Suara ketukan pintu menyusul tak sampai dua menit kemudian. Ibunda Wahyudi bergegas membukakan dan menemukan wajah tampan sahabat anaknya muncul di hadapan.

"Lho, Mas Andro? Kok sendirian, Mbak Salmanya mana?" tanya Bu Djamin setelah memindai sekeliling dan hanya menemukan sosok Angkasa Andromeda saja.

"Salma di Surabaya, Bu. Baru kemarin saya anterin. Sudah mau melahirkan, Bu. Lha saya minggu depan malah ujian semesteran, jadi amannya memang di Surabaya saja. Banyak yang siap membantu sewaktu-waktu."

Ibunya Wahyudi mengangguk-angguk, lalu melantunkan doa untuk Salma. Setelahnya beliau mempersilakan tamunya duduk.

"Yudi di rumah kan, Bu? Dari tadi pagi saya telpon nggak bisa, WA juga centang satu terus. Kayaknya HP-nya mati. Saya sudah ke kosannya juga, temannya pada nggak tahu. Tanya di grup angkatan juga anak-anak nggak pada tahu. Saya sudah hafal, Bu. Yudi kalau ngilang biasanya ya pulang. Makanya saya ke sini."

Bu Djamin terkekeh, membenarkan ucapan tamunya. Kemudian berpamitan untuk memanggil Wahyudi yang sama sekali tak sadar ada Andro datang mencarinya.

"Heh, ngopo ik mrene? Bukannya kowe balik Suroboyo, Cuk?" sambut Wahyudi.

"Nyari kamu lah. Salma lho pesen bolak-balik, katanya aku kudu minta tolong ke Mas Wahyudi buat nemenin di rumah selama Salma nggak ada. Aku jane yo wegah berdua-duaan karo Mas Wahyudi, tapi yo piye meneh, demi istri."

"Ish, lambemu, Ndro!" Yudi mengakak. Risih mendengar sahabatnya —meski hanya mewakili Salma— menyebut dia sebagai Mas Wahyudi.

"Kamu kenapa? Ada masalah apa? Nggak biasanya tiba-tiba ngilang, apalagi sampai pulang. Bukan soal duit, kan?"

Wahyudi tertawa, sebaris nada sumbang mampir di telinga sahabatnya. "Meriang, Ndro. Sithik. Ki wis mari kok. Sesuk balik Semarang."

"Perasaan terakhir ketemu kamu sehat-sehat aja. Nggak kehujanan, nggak kenapa-kenapa, kok tiba-tiba meriang?"

"Ndro, kowe ki lanang kok ceriwis men, to. Ngono ae ndadak dibahas dowo-dowo. Takon, dijawab malah ngece." (Ndro, kamu tuh laki kok bawel sih. Gitu aja pakai dibahas panjang lebar. Nanya, dijawab malah ngejek)

"Lho, sing ngece yo sopo, lho? Kamu kenapa sih, Yud, lanang kok sensi? Ini tentang Leticia, ya?"

"Dah lah, Ndro, kalau nggak ada keperluan lain di sini mending kamu pulang aja sana. Aku balik Semarang besok. Kalau masih butuh ditemenin, besok aku ke rumah."

"Kon ngusir aku, Yud?"

"Lha kamu---"

"Ayo Mas Andro, makan dulu. Ibu tadi sore nggoreng lele sama nyambel tomat." Bu Djamin mendadak muncul, yang disambut Andro dengan sukacita, sebab itu berarti Wahyudi gagal mengusirnya.

Keduanya menikmati makan malam bersama sembari mengobrol tentang materi ujian dan tema campuss life lainnya hingga terdengar kumandang azan isya. Wahyudi mengambil piring Andro, membawa ke belakang dan mencucinya. Mereka lalu berangkat bersama ke musala.

Selepas isya, dua sahabat itu duduk di teras rumah keluarga Djamin yang sederhana. Sementara sang pemilik rumah menikmati makan malam di dalam sana.

"HP-mu kenapa? Tumben off lama." Andro memulai obrolan dengan pertanyaan yang sejak kemarin mengganjal di hati.

"Halah, baru juga dua hari. Lagian, lagi di rumah kan ya fokus sama keluarga."

"Oh, ngono yo? Apik kui." Andro manggut-manggut. Nada suaranya jelas sekali mengandung ejekan.

"Asem. Rak sah ngece, Ndro."

"Oh iya, ada salam dari Leticia. Barusan Salma yang sampaiin. Sama dia nanya, apa dia kamu blokir? Soalnya dari kemarin pesannya nggak terkirim."

"Salma? Kirim pesan ke aku? Lha po ra bojone cemburu?"

"Kon keno opo se, Yud? Kok dadi gobl*k ngono iku? Ya Leticia lah yang kirim pesan ke kamu. Dia itu maksudku Leticia, bukan Salma. Kalian ada masalah?"

Wahyudi tertawa, mencoba menyembunyikan kegalauannya. Sayangnya, lagi-lagi ada getir pada tawanya.

"Masalah itu kalau suami istri atau orang-orang yang menjalin hubungan khusus. Kalau cuma kayak aku sama Leticia sih ya nggak ada yang perlu dipermasalahkan, Ndro. Ya sama kayak aku sama Asya, Rima, Yeni, Arimbi. Santai aja."

"Zulfa nggak?" Andro nyengir lebar menyebut nama perempuan dari masa lalu.

"Ki nek tak kandakne Salma dadi masalah anyar lho, Ndro." Keduanya cekikikan.

"So... yang Leticia tadi?" Andro melanjutkan bahasan.

"Apalagi sih, Ndro? HP-ku memang off selama di rumah. Besok kalau udah di Semarang aku on-in lagi, ada pesan masuk aku balas, selesai. Memang apa masalahnya sampai harus diperpanjang segala?"

"Lha kon yo biasa ae ta lah, gak usah sewot ngono iku. Kan malah kelihatan kalau ada sesuatu."

"Udah lah, Ndro. Ini terakhir kali ya aku kasih penjelasan. Aku sama Leticia itu, seperti yang selama ini aku kasih tahu ke kamu, nggak ada apa-apa. Kami chat-an juga jarang, kalaupun ngobrol ya paling sebatas say hi, tanya kabar, udah. Dia ngejalanin kesehariannya di sana, aku juga ngejalanin hidupku di sini. Normal aja seperti sebelum kami ketemu dulu."

"Itu kan dari sisi kamu, Yud. Tapi nggak gitu dari sisi Leti. Tak buka rahasia, ya. Jadi selama ini dia sering banget nanyain tentang kamu lewat Salma. Salma lho, kalau disuruh menjelaskan tentang Wahyudi bin Djamin bisa dipastikan fasih, karena jujur nih ya dan sorry, aku ya selalu jawab apapun pertanyaan Salma tentang kamu. Pertanyaan dari Leti lebih tepatnya."

Hendak mengumpat, tapi Wahyudi lebih memilih menahan diri. Kalau boleh mengaku, ada rasa senang di sudut hatinya sana, namun sekaligus sedih karena....

"Udah ya, Ndro. Cukup. Besok-besok kalau ada pertanyaan tentang aku lagi, tolong nggak usah dijawab. Udah paling bagus kalau kami jalan masing-masing aja, Ndro. Perbedaannya terlalu berat buat diperjuangkan. Lagian, Leticia udah bahagia sama Marco Asensio, kok."

Wahyudi berusaha mengucapkan kalimat terakhir senatural mungkin. Ia menambahi dengan tawa, tak peduli terdengar sumbang atau tidak, terkesan ikhlas atau terpaksa. Dia hanya ingin tertawa, menertawakan nasibnya, menertawakan cinta pertama yang berakhir tak sesuai harapannya.

"Marco Asens---"

"Mas Andro, kata Mas Yudi Mas Andro pintar main gitar. Ayo, Mas, malem mingguan."

Belum selesai Andro bicara, Ari, adik semata wayang Wahyudi, muncul tiba-tiba. Tangan kanannya menenteng sebuah gitar yang segera disodorkan kepada Andro.

"Sekadar bisa aja, Ar, nggak pintar." Andro tak melanjutkan pertanyaannya. Memilih mengambil alih alat musik petik itu dari tangan Ari.

"Sebenernya malah masmu yang lebih pintar main gitar, Ar. Tapi kalau di rumah dia nggak berani, takut dimarahi Pak Djamin." Kalimat terakhir Andro ucapkan dengan berbisik. Ari tertawa.

"Lha itu kok ada gitar, Ar? Nggone sopo?" Wahyudi ingin tahu. Selama ini yang dia tahu, bapaknya tidak terlalu suka kalau anak-anaknya bermain musik.

"Punya temenku, Mas. Selasa kemarin pada rujakan di sini, ada yang bawa gitar. Terus pas pulang hujan, dia titipin di sini. Tapi bapak nggak apa-apa, kok. Aku genjrang genjreng gak genah juga bapak diam aja."

"Ya kamu beda, Ar. Kamu kan anaknya manut, gelem melu mulang ngaji, gelem tilawah nek ono acara-acara, sregep, anteng. Nggak kayak aku yang mbeling di mata bapak."

"Ya nggak gitu, Mas. Kamu itu malah yang paling sering dibanggakan sama bapak ibu di luaran sana. Kamu yang paling terkenal dan sering ditanyakan orang, soalnya kamu bisa sekolah tinggi. Kuliah. Orang zaman sekarang kan yang dilihat itu, Mas. Ngajar ngaji sih opo? Gak ketok, Mas." Kakak beradik itu malah jadi adu nasib.

"Ya udah, sekarang kamu sekolah yang bener. Doakan aku bisa langsung kerja kalau udah jadi sarjana nanti. Insya Allah kamu kuliah, aku yang bayarin. Biar membuka mata orang-orang kalau anak alim, pinter ngaji, guru ngaji, anaknya pegawai biasa dan bakul pasar juga bisa sekolah tinggi.

"Kalau aku dilihat karena sekolahnya tinggi, kamu, adikku, harus lebih baik dari aku. Harus lebih baik dari mbak-mbak, dari bapak ibu. Alim, pinter ngaji, sekolah tinggi. Deal!"

Wahyudi menerawang sesaat, cita-citanya kembali melesat. Keinginannya saat ini dan jangka menengah adalah menyelesaikan pendidikannya dengan baik, bekerja, menguliahkan adiknya, mengangkat derajat keluarga, serta membahagiakan orang tua. Kalaupun ternyata melupakan Leticia tak semudah yang dia bayangkan, setidaknya ia sudah punya pelarian yang positif.

Ari mengangguk-angguk, menatap kakak lelaki satu-satunya dengan haru. "Insya Allah, Mas. Saling mendoakan ya."

"Udah udah, adu nasib dan drama keluarganya dilanjut besok lagi. Kene, Ar, kon sik nyanyi, aku sik nggitari."

Tanpa persetujuan, Andro segera memetik senar. Begitu melodi intronya terdengar, Wahyudi langsung berdiri dan bersiap pergi.

"Asem kowe, Ndro!"

***

Hahaha... Kena kamu, Yud!
Emang lagunya Andro apa sih? Hayooo, tebak apa cobaaa?
Udah ada clue sih di atas. Hehe..

Begitulah. Memang susah kalau hati udah ikut main. Yg maunya biasa aja, nggak usah ada apa-apa, pengen tau siapa diri siapa dia, akhirnya baper juga. Nasibmu, Yud!

Terus, beneran itu Leticia udah sama si Marco Asensio kw? Huhuhuuu... Gimana dong? Apa kita carikan wanita sholihah buat Wahyudi di masa mendatang? Eaaak....

Btw, mohon maaf lahir batin ya teman-teman semua.

Tadinya berencana post mulai Senin, kan pas tanggal 1 Mei tuh. Tapi ya apa spesialnya sampai harus dipasin tanggal 1 Mei? Nggak ada. Wkwk..
Lagian udah ada tabungan part, jadi ya udah, hayuk aja. Pas hari Kamis juga ini.

Tadinya juga mau pecah jadi dua part, soalnya panjang banget, 3K+ words. Kan sayang tuh. Sebagiannya lumayan buat nambahin tabungan part. Tapi nggak apa-apa deh. Bonus lebaran. Penulis ya ngasih THR-nya beginian aja. Hahaha...

Oh iya, info-info tentang tulisanku, update part, dsb rencananya mau aku taruh di 2nd akun instagramku. Yg belum follow, yuk lah. Di at fitrie.amaliya (pakai titik) yaaa. Sekalian kalau pengen tau, kayak apa sih mukanya Marco Asensio si jugador Real Madrid yg kata Wahyudi mirip sama Gerard. Intip aja di IG, banyaaakk. Hahaha.

Oke, segitu dulu aja. Thank you.

See you :)

Semarang, 27042023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top