5th Event: Serigala Berbulu Domba (Bagian 1)
5th Event: Serigala Berbulu Domba
"Ini adalah keterampilan hebat untuk mengetahui cara menyembunyikan keterampilan seseorang."
F. de la Rochefoucauld – Maximes et Rêflexions morales
"Fathur, kamu harus ingat. Jangan percaya dengan orang lain, karena semua orang di dunia ini pembohong. Cukup percaya sama keluargamu, dan tetaplah seperti itu. Jangan pernah menaruh kepercayaan pada orang lain. Cukup percayai saja kami sebagai keluarga kamu."
Suara yang lembut dan penuh kasih itu terus mengatakan agar hanya percaya pada seseorang yang memiliki ikatan sejak dilahirkan, ikatan yang tidak akan pernah putus. Dia terus saja menyuruh agar diriku hanya percaya pada keluarga dan jangan pernah mempercayai orang lain.
Lagi-lagi suara itu terdengar, seperti sudah disetel agar kudengarkan setiap harinya. Setiap pagi, setiap sore, dan setiap malam sebelum tidur. Sosok wanita dengan senyuman lembut itu terus memberikan amaran yang sama. Percaya saja pada keluargamu, jangan percaya orang lain.
"Jangan pernah percaya sama siapa pun, kamu cukup percaya sama mama."
Dengan suara sendu dirinya bersuara, tepat ketika aku bertanya sesuatu padanya. Pertanyaan yang selama ini terus muncul, kenapa aku tidak boleh mempercayai orang lain?
Aku ingin mengetahui kebenaran. Namun, aku juga tidak mau Mama menangis ataupun bersedih. Hingga akhirnya aku menyerah dan terus mengikuti apa yang Mama katakan dan selalu percaya padanya. Sampai hari itu tiba, haru dimana aku mulai meragukan segalanya.
"Dengar, Fathur. Kamu harus menurut dan lakukan apa pun yang disuruh oleh orang itu. Kamu percaya kata-kata mama, 'kan?"
"Tapi, kenapa aku harus ikut sama paman itu?"
"Kamu bakalan keluar dari sini. Kita enggak bakalan ketemu lagi untuk sementara. Ingat jangan pernah percaya dengan orang lain, cukup percaya sama mama. Dan sekali lagi mama pinta kamu harus nurutin apa yang orang itu mau. Kamu janji, ya sama mama."
Langit-langit putih dengan cahaya redup menyambut penglihatanku yang masih buram ini ketika terbuka. Beberapa kali aku berkedip untuk membiasakan cahaya yang masuk ke mata. Kenangan lama yang malah menjadi mimpi. Aku membenci kenangan itu.
***
20 Agustus 2025
"Jadi, kalian bakal setuju kalau orang yang harus dikeluarin dari kelompok kalian itu Yurina Parlina?" tanya Ryan dengan ekspresi yang masih menyimpan banyak keraguan.
"Semuanya sesuai keinginan kamu, 'kan?" aku balik bertanya, tidak ada gunanya meyakinkan laki-laki itu. Dia adalah sosok manipulatif yang segala tindakannnya terencana dengan baik. Aku ragu kalau Ryan bisa mempercayai seseorang di sekolah ini.
Setelah memiliki rencana yang diberikan oleh David, aku menemui Ryan di kantin sekokah setelah istirahat pelajaran pertama. Rencana itu adalah membuat kesepakatan dengan Ryan kalau Yurina adalah orang yang akan kami korbankan.
Meski mereka semua sudah mendengar kalau gadis itu terlibat dengan kejadian dengan Kelas C, baik David atau dua lainnya sama sekali tidak percaya. Akan tetapi, mereka memiliki inisiatif bagus mengakali kejadian ini agar bisa keluar dari situasi terburuk.
"Yah, sebenarnya aku cuman bercanda soal Yurina Parlina. Aku masih bisa menerima orang lain kecuali orang yang kamu bawa semalam." Ryan menampilkan senyuman ramahnya.
Matanya yang sedikit menyipit itu memberikan kesan kalau Ryan benar-benar serius dan itu artinya jangan pernah berusaha untuk melakukan hal yang tidak dia inginkan. Aku benar-benar tidak menyukai orang ini, selalu ada perasaan muak yang terus bergejolak di dalam perut ketika berhadapan dengannya.
"Lalu, apa yang kamu mau kalau aku sudah memilih orang yang ingin aku keluarkan?"
"Gampang aja, kamu tinggal beri tahu aku saat Yurina Parlina aktifin A-Box. Gampang, 'kan?"
Sekarang aku mengerti, dia menginginkan popularitas dengan cara menebak. Jika aku memberitahunya saat Yurina yang mengaktifkan A-Box, berarti Ryan bisa mendapatkan poin sekaligus membuat orang yang tertebak akan dikeluarkan, namun jika dua kali tertebak maka kesempatan Yurina untuk mendapatkan poin dalam pentas akan gagal.
Cara yang licik. Namun, aku juga mengingat rencana yang ingin dilakukan oleh Yurina dan David malam itu. Aku rasa cara mereka berdua lebih baik daripada milik orang dihadapanku sekarang ini. Tidak, tunggu ... kenapa mereka berdua bisa berpikiran begitu?
"Kalau kamu setuju aku bakalan langsung ngurus masalah kalian." Ryan yang barusan bersuara berhasil mengembalikanku ke kenyataan.
Ada sesuatu yang harus diurus terlebih dahulu sebelum memikirkan beberapa keganjilan yang baru saja terlintas tadi. Aku mengiyakan, setuju dengan syarat yang dipinta oleh laki-laki itu. Kemudian dia mengeluarkan selembar kertas dan pulpen.
"Apa maksudnya ini?" tanyaku ketika dia mulai menyodorkan dua benda tersebut.
"Bukannya udah jelas, perjanjian lisan itu cuman omong kosong. Kalau emang mau kupercaya, harus ada hitam di atas putih."
Sialan, kalau begini aku jadi sulit menjalankan rencana yang sudah disusun oleh David. Apalagi di atas kertas itu ada materai, yang benar saja!
Selain orang yang manipulatif, Ryan juga sangat berhati-hati. Dia bagaikan kastil yang tidak memiliki celah untuk ditembus, mungkin satu-satunya cara untuk mengalahkan orang ini adalah menghancurkannya dari dalam. Namun, aku tidak perlu memikirkannya sekarang, sebab dia bukanlah target utama.
Aku mengambil kertas tersebut dan mulai membaca apa saja yang tertulis di sana. Hanyalah basa-basi kosong pada bagian atas, lalu dilanjutkan dengan isi perjanjian tersebut. Terakhir adalah apa yang akan terjadi jika salah satu pihak mengingkari perjanjian tersebut.
[Jika salah satu pihak mengingkari perjanjian tersebut, maka pihak yang dirugikan boleh meminta apa pun sebagai gantinya. Baik itu popularitas, kemampuan, kebebasan, dan harus rela keluar dari sekolah kalau dipinta oleh pihak yang dirugikan]
Risiko yang harus diambil benar-benar berbahaya. Salah langkah sedikit saja bisa-bisa nanti malah diriku yang akan keluar dari sekolah. Tidak, kalau dipikirkan lagi dengan lebih matang, aku bisa membalik semuanya kalau seperti ini. Hanya perlu sedikit pemicu nantinya agar situasi sesuai dengan kehendakku.
"Bagus, kalau begitu kita sudah sepakat," ujar Ryan sambil memamerkan garis tipis di sudut bibirnya ketika aku baru saja selesai menggores di atas materai dan kertas tersebut.
"Apa kamu bisa nyabut pelarangan hak pentas itu hari ini?"
"Ketika kamu tanda tangan di sana, hak pentas kalian udah balik, kok," sahutnya dengan bangga. Seakan semuanya sudah berjalan sesuai dengan keinginannya.
Aku akan berpura-pura tidak terkejut lagi, mengingat sifat Ryan yang bisa bekerja sama dengan siapa saja. Mungkin rencana ini sebenarnya adalah siasatnya sejak awal, dengan bantuan Kelas C seperti Jordan bukanlah hal mustahil kalau mereka memiliki kesepakatan di belakang kami.
"Ngomong-ngomong, sepertinya kamu sudah tau. Soal dua orang yang harus kita incar."
Kali ini wajahnya berubah serius. Dengan tatapan yang mengintimidasi, dia sedikit menoleh ke kanan lalu ke kiri. Memastikan tidak ada telinga lain yang akan mendengar topik yang sebentar lagi kami bicarakan.
"Apa kamu enggak penasaran? Sebagai anak yang dilatih untuk menghadapi Amemayu Children's, kenapa target utama kita harus dua gadis yang sama sekali enggak ada hubungannya?"
Pertanyaan yang sama ketika aku mengetahui dua nama pemberian Ms. Oktavia kini diungkap oleh Ryan Pratama. Aku selalu memikirkannya, kenapa malah dua orang yang bukan Amemayu Children's menjadi target utamaku untuk mendapatkan kebebasan.
"Apa kamu tau alasannya?" tanpa basa-basi, aku langsung bertanya tujuan Ryan mengangkat pembicaraan ini. Ada beberapa skenario yang dapat dibayangkan. Namun, lebih baik aku berhati-hati, sebab tidak semua informasi gratis.
Dia menyeringai, tidak seperti biasanya. Mata itu terlihat seperti pemangsa yang sudah mendapatkan buruannya. Ryan terkekeh sebentar, meski pelan malah terdengar mengerikan di telingaku. Ekspresi menyeramkan itu makin tampak, malah aku merasa dia jadi mirip dengan Amemayu Children's.
"Gimana kalau kamu buat Felly Andara keluar dari sekolah dulu, terus aku bakalan kasih tau kamu alasannya. Lagian, orang yang enggak tau apa-apa keluar dari sekolah ini ibaratnya kayak bebas dari neraka, kan."
***
Keramaian yang berbeda di waktu yang berbeda. Begitulah aku akan mengatakannya. Kantin berbeda sekali jika saat istirahat kedua atau jam makan siang. jumlah murid yang ada di sini hampir dua ratus orang.
Malah terasa jadi sempit setelah tadi merasakan kelonggaran. Sebenarnya tidak bisa disebut sempit juga. Meski tempat ini diisi 200 orang, masih banyak ruangan kosong yang bisa digunakan. Benar-benar kantin yang luas. Ini adalah kali kedua aku datang kemari dalam sehari.
Setelah berbicara sedikit dengan Ryan Pratama mengenai tawarannya. Kami juga sempat berbicara sedikit dengan dua anak yang dijadikan target utama oleh kami. Namun, aku tidak perlu fokus ke sana dulu. Hal yang paling penting sekarang adalah melakukan pentas agar tetap bertahan di sekolah.
"Lagi mikirin apa?"
Suara itu berhasil membuyarkan pemikiranku. Mengarahkan pandangan ke samping kanan, tepat di mana sosok gadis berambut panjang dengan semir merah dibeberapa bagian duduk di sampingku. Dialah yang bertanya tadi, dan sekerang melengkungkan bibirnya yang tipis.
Sementara di seberang meja ada David yang juga ikut menatapku dengan ekspresi penasaran. Aku tidak henti-hentinya terkejut dengan sifat laki-laki itu. Dia bisa menjadi menyebalkan, tetapi juga bisa berpikir lebih baik daripada yang aku duga.
"Enggak apa-apa. Terus, mana mereka berdua?" tanyaku mengalihkan fokus Yurina dan David.
"Mereka enggak bakalan datang, soalnya mereka udah percaya sama Yurina." David langsung mengatakan hal itu dengan penuh kebanggaan.
"Kalau gitu, bisa dibilang lo ragu sama Yurina?"
Kami berada di sini untuk mengkonfirmasi keterlibatan Yurina dengan murid Kelas C lain yang telah membuat kelompok menerima sanksi berupa hukuman tidak boleh pentas. Untungnya, perjanjian dengan Ryan tadi sudah disepakati sehingga kami mendapatkan kembali akses yang ditahan.
"Jaga mulut lo!"
Meledak, begitulah David ketika ada hal yang membuatnya tersinggung. Aku rasa inilah sisi paling menyebalkan darinya. Aku sangat yakin seharusnya dia tadi menggebrak meja dengan keras, tetapi tatapan gadis di sebelah sini berhasil menahan sifat barbarnya.
David berdecak kesal, lalu mundur untuk menyandarkan punggungnya pada kursi. Wajahnya yang kesal itu terlihat jelas, bahkan kekesalan itu seperti dipaksa tertahan. Mengingat kami juga pernah berbicara dan mulai memahami sifatnya, aku semakin meragukan rencana malam itu dibuat olehnya.
Sekarang satu-satunya yang perlu dicurigai adalah gadis ini, siswi Kelas C yang juga merupakan sahabat David dan yang lainnya. Aku memang tidak menaruh kecurigaan padanya, tetapi aku juga tak akan menaruh kepercayaan pada siapa pun. Mimpi malam tadi membangkitkan kenangan yang sebenarnya tak mau kuingat.
"Maaf, gue kelepasan bicara." Aku kini mengarahkan pandangan pada Yurina.
Yurina tampak gelisah, berkali-kali ia menghindari kontak mata. Meski sebenarnya masih ada keraguan tadinya, kalau melihat Yurina yang seperti ini aku malah semakin yakin kalau namanya sama sekali tidak bersih. Entah banyak atau tidak, gadis ini memang terlibat.
Aku mendekatkan wajahku padanya, membuat gadis itu semakin gugup. Suara David yang menyuruhku untuk berhenti terus aku abaikan. Semakin dekat hingga akhirnya Yurina berusaha melompat mundur dari tempat duduknya. Namun, sebelum itu terjadi aku sudah lebih dulu menangkap tangannya sehingga ia diam dan tidak bergerak lagi, seakan membeku.
"Oi, apa-apaan lo!" David berteriak, nadanya tercampur antara bingung dan marah. Terdengar juga suara meja yang dihentak, benar-benar ciri khas dari seorang David.
"Mengakulah," bisikku tepat di samping telinga Yurina. tubuh gadis itu bergetar, mungkin lebih tepatnya bergidik.
Tiba-tiba tubuhku ditarik menjauh dari gadis tersebut oleh David. Kini wajahku berhadapan langsung dengan makhluk bengis yang nampak seperti orang yang sama sekali tidak mengerti bahasa manusia.
Kegeraman David sudah memuncak, urat-uratnya terlihat bersamaan dengan mata yang melotot tajam. Napasnya yang berat itu berembus, seperti banteng yang siap menyeruduk. Situasi ini malah kelihatannya memancing keributan.
Semua mata mengarah ke sini, tetapi tidak seperti saat bersama dengan Jordan. Kali ini mereka hanya melihat dengan tatapan tidak mau tahu, seakan ini akan menjadi hal lumrah.
"Apa yang mau lo lakuin sama Yurina?!"
"Apa, bukannya udah jelas?" balasku menepis tangannya yang masih menyentuh kerah blazerku.
Namun, yang selanjutnya hampir kuterima adalah pukulan yang langsung dilayangkan oleh David. Beruntung aku bisa mundur sedikit sehingga aku bisa menghindarinya.
Sebagian murid yang berada di dekat kami mulai bangkit dan meninggalkan tempat duduknya. Yah, pilihan mereka tidaklah salah, tetapi aku tidak mau menimbulkan perkelahian dan membuat kelompok kami terkena masalah yang sama.
"Cukup!"
Teraikan yang mampu mengalihkan semua mata itu datang dari Yurina. dirinya sudah berdiri dengan tegap sambil menggenggam erat kedua tangannya. Aku bisa melihat mata gadis itu berkaca-kaca.
"Gue emang ngelakuin itu!" ungkapnya dengan keberanian yang telah dikumpulkan, akan tetapi aku masih bisa melihat tangannya yang gemetar.
David tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, itu tampak jelas pada ekspresinya. Bahkan dia terus mengatakan kalimat ketidakpercayaan secara berulang-ulang, ia tak bisa menerima fakta yang dibeberkan oleh Yurina.
"Gue emang ngelakuin itu ... tapi gue enggak pernah pengen ada satu pun di antara kita yang kena dropout." Yurina melanjutkan kata-katanya saat air mata mengalir ke pipinya.
"Tapi bukannya apa yang lo lakuin itu bakalan ngebuat kalian semua kena dropout?" aku membalas tatapan sendu gadis itu, aku masih ingin berusaha untuk membuatnya menceritakan hal ini lebih dalam.
Namun, Yurina belum juga membalas pertanyaan itu. Ia malah terlihat bimbang, sama sekali tidak bisa menjawab apa-apa. Dirinya yang semakin tertunduk akhirnya membalikkan badan dan lari meninggalkan kantin, menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
***
Langit sore sungguh hitam, disertai petir dan derasnya air yang jatuh. Hah, padahal tadi pagi sudah hujan. Ternyata aku lebih membenci musim hujan dibandingkan dengan kemarau. Untungnya aku membawa payung yang ada di asrama. Pulang sekarang rasanya sama sekali tidak masalah.
Kelompokku belum bisa melakukan pentas meski sudah mendapatkan kembali haknya. Alasannya sudah jelas, Yurina Parlina yang ternyata adalah dalang dari kekacauan tersebut. Agar semuanya bisa berjalan kembali, masalah ini harus diselesaikan lebih dulu.
Aku semakin membenci musim hujan sekarang. Maksudku, angin deras baru saja menerpa dan membuat air membasahi blazer yang sedang kupakai. Untung saja warnanya hitam, kalau putih bisa-bisa akan sulit membersihkannya.
Namun, sepertinya para murid Kelas A tidak perlu khawatir, karena mereka memiliki 3 set blazer putih. Berbeda dengan Kelas F dan Kelas E yang hanya mendapatkan 1. Benar-benar diskriminasi.
Ketika sudah dekat asrama langkahku terhenti, tepat ketika menangkap sosok Yurina yang berjalan dengan linglung di bawah derasnya hujan. Ia terus melangkah, menuju gedung sebelah dengan pakaian kasualnya.
Tanpa sadar kakiku sudah bergerak mengikutinya, naluri alami yang ingin mengetahui sesuatu. Meski suara hujan cukup deras, aku masih mengendap-endap. Sampai akhirnya aku berhenti ketika Yurina bertemu dengan seseorang di samping gedung yang berseberangan dengan asrama kelas 2.
Aku tidak bisa mendengar cukup jelas dalam situasi hujan seperti ini. Membaca gerak bibir mereka pun rasanya mustahil. Tidak ada yang bisa didapat sekarang. Sungguh, aku semakin membenci air hujan!
Lima menit aku berdiam di sini, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan sekarang adalah diam dan menunggu Yurina selesai. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang sebenarnya dia bicarakan dengan lelaki tersebut.
"Fathur?" suara terkejut itu datang dari samping, bersama dengan derasnya hujan.
"Apa lo mau jelasin sesuatu?" pertanyaan yang sontak keluar dari mulut ini. Meski seharusnya ini bukanlah waktu yang tepat, akan tetapi rasa penasaranku terhadap sosok Yurina Parlina semakin meningkat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top