4th Event: Serigala dan 3 Ekor Babi (Bagian 5)

"Apa maksudnya kalau Yurina ngekhianatin kelompok kami?" meski dengan ekspresi tenang, aku masih bisa merasakan kemarahan yang tertahan ketika Kelvin menarik kerah laki-laki itu untuk berdiri sejajar dengannya.

Kejadian yang sama sekali tidak pernah aku duga sebelumnya. Hal yang membuat ini terjadi adalah kemunculan nama Yurina disebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas kekacauan kelompok kami hingga masuk dalam situasi sulit.

Entah ke mana perginya ketenangan Kelvin ketika nama itu keluar dari mulut Ryan. Meski tidak terlalu menunjukan emosinya, aku masih bisa melihat tangan yang mengepal dengan kuat itu mungkin akan menghantam wajah Ryan jika sekali lagi menyinggung tentang Yurina.

"Kenapa, kamu kelihatannya bakalan hilang kendali kalau menyangkut soal gadis itu. Jangan-jangan, kamu menyukainya, ya?"

Seperti anak panah yang langsung menancap dengan sempurna pada sasarannya. Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Ryan berhasil menohok Kelvin dengan telak. Menarik, aku jadi bisa melihat sisi lain dari laki-laki ini dan rasanya terlihat kontras dengan penampilannya.

Kalau aku mengingatnya kembali, Kelvin tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika Yurina pergi saat menentang usulanku sebelumnya. Dia lebih tertarik dengan solusi ini dibandingkan yang lain. Rasanya, ada sesuatu yang mengganjal sekarang.

"Mending lo jawab pertanyaan tadi sebelum gue bungkam mulut lo itu!" ancam Kelvin dengan suaranya yang lumayan pelan, tetapi ada penekan pada setiap katanya.

Sayangnya, ancaman itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap Ryan. Dirinya masih tetap tenang meski sitausi semakin menegang. Ia sama sekali tidak gemetar, persis seperti saat-saat tadi. Bagaikan hal ini bukanlah masalah yang terlalu berarti untuknya.

Senyuman di bibirnya kembali muncul, seperti mengundang Kelvin untuk segera memukulnya. Aku ingin menghentikannya kalau perkembangan situasi semakin memburuk. Beruntung Kelvin segera melepaskan cengkramannya, akan tetapi dia masih tegap berdiri membalas tatapan Ryan yang sulit terbaca.

"Lihat, kamu cuman bawa orang yang salah. Aku sama sekali enggak tertarik kalau orang ini yang harus dikeluarin dari sekolah."

"Lo pengen apa sebenarnya?" tanya Kelvin dengan suara yang agak bergetar, terlihat jelas bahwa dia semakin memendam kemarahannya.

"Orang biasa kayak kamu mana mungkin ngerti dengan apa yang ada di sekolah ini. Aku enggak milih kamu itu aja udah sebuah kebaikan, loh. Jangan bikin niat baik ini jadi sia-sia."

Peringatan yang diberikan oleh Ryan mungkin belum bisa langsung dimengerti oleh Kelvin. Wajahnya terlihat bingung, sama sekali tidak paham dengan perkataan Ryan. Meski begitu, dirinya masih berusaha agar siswa Kelas D tersebut menjelaskan semuanya.

Aku malah terpikir oleh kata-kata Ryan. Penolakannya kalau harus mengeluarkan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan sisi gelap SMA Amemayu adalah kebaikan. Sangat berbeda dengan Veronika yang menganggap mereka sebagai alat yang bisa dipakai dan dibuang seenaknya.

"Gue sama sekali enggak ngerti. Tapi, kalau lo emang mau nolongin kelompok gue dan syaratnya harus ngeluarin salah satu dari kami. Gue udah siap kalau emang itu jalan satu-satunya."

Tidak ada suara lagi setelah itu, hanya keheningan yang menyelimuti kami. Bukan karena tidak ada orang lain, tetapi baik aku ataupun Kelvin hanya terfokus kepada Ryan yang belum juga memberikan responnya atas kesungguhan Kelvin.

"Membosankan. Aku pikir bisa main-main sama kamu sebentar, ternyata ekspektasiku tinggi banget buat kamu. Beneran bikin bosan." Ryan mengalihkan tatapannya padaku, diikuti oleh Kelvin beberapa detik kemudian.

"Apa maksudnya ini?"

Sekarang Kelvin malah bertanya kepadaku karena sama sekali tidak mendapatkan jawaban dari Ryan. Jangan menatapku seperti itu! Jujur saja, aku juga kurang mengerti dengan sisi gelap yang ada di dalam sekolah ini. Andai saja aku punya informasi lebih baik.

"Kenapa harus Yurina? Dari ucapan lo tadi, gue sama sekali enggak bisa percaya gitu aja." Aku memberikan tatapan curiga, berusaha menyelidiki.

"Aku enggak nyuruh kamu buat percaya. Tapi coba kamu pikir, dia juga Kelas C dan kebetulan banget kelasnya yang bikin masalah sama kalian."

Ryan menyunggingkan senyum misterius di bibirnya. Ia berusaha membuat asumsi agar masuk akal dengan tuduhannya. Untuk beberapa alasan, itu juga membuatku berpikiran tentang hal yang sama. Timing yang terlalu sempurna untuk Kelas C sudah direncanakan.

Bahkan jika aku menghubungkannya dengan ponsel Yurina yang ada ditangan Jordan tadi malam. Bukan tidak mungkin kalau apa yang dituduhkan laki-laki itu adalah kenyataan pahit yang harus kami terima.

"Kalau cuman asumsi tentang kelas Yurina, lo sama sekali enggak bisa dipercaya!" bentak Kelvin dengan urat-urat yang terlihat di lehernya. Kemarahan yang tadi berusaha dia tahan malah keluar lagi.

"Terus, apa kamu bisa ngasih aku bukti kalau bukan Yurina Parlina yang ngelakuin itu?"

Itu tadi adalah kata-kata terakhir Ryan sebelum dirinya berbalik dan meninggalkan kami dalam kebingungan. Keterlibatan Yurina dalam kekacauan di kelompok kami sungguh sesuatu yang tak terduga, tetapi aku juga tidak akan menelannya secara mentah-mentah.

Setiap kalimat dari orang-orang seperti Ryan akan sulit dipercayai, aku harus menyelidiki sendiri tentang masalah Yurina. Menemukan satu serigala yang bersembunyi dalam kelompok benar-benar merepotkan.

***

Aku tidak fokus sekarang. Suara guru di depan kelas seperti hanya lewat sekejap dan langsung terlupakan. Otak ini masih terus memikirkan ucapan Ryan tentang Yurina yang menjadi dalang dari kesulitan kami. Aku tidak mau mempercayainya, tetapi kejadian semalam benar-benar mengganggu.

Apa hubungannya Jordan dengan Yurina? Apa benar Yurina melakukan hal itu? Bagaimana jika ada kemungkinan Jordan yang memaksanya?

Pertanyaan demi pertanyaan itu selalu berputar di kepalaku. Berusaha menghubungkan benang merah yang awalnya hampir kuraih, akan tetapi malah sekarang semakin menjauh. Kebenaran seakan mulai mengubur diri dalam-dalam ketika aku mendekatinya.

"Psst, hari ini mau liat sesuatu yang seru enggak?"

Bisikan dari suara gadis kecil di depanku terdengar. Sebenarnya aku ingin dia tidak menggangguku hari ini, tetapi kelihatannya harapan sederhana seperti itu tidak akan terwujud jika dirinya mulai menaruh perhatian padaku.

"Apa?" tanyaku balik dengan suara yang sama pelannya. Aku melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, muka yang selalu dia pakai saat berada di antara teman-teman sekelas yang lain.

Lengkungan tipis perlahan muncul di sudut bibir Veronika, entah apalagi rencananya. Aku hanya bisa mengikuti alur yang dia buat karena sudah benar-benar terperangkap olehnya. Sorot mata yang selalu tampak apatis itu kini lebih bersemangat, bagai mendapatkan sesuatu yang sangat menarik.

"Sesuatu yang paling menarik bakalan terjadi sehabis pulang sekolah nanti. Langkah besar yang dilakuin Ratunya Kelas A," balas Veronika dengan tawa kecilnya yang menyeramkan.

Guru di depan sana masih menjelaskan pelajaran yang sama sekali tidak terdengar olehku. Fokusku hanya kepada setiap gerakan bibir Veronika yang membisikan kata-kata yang sulit dipahami. Beberapa istilah baru yang kudapat cukup menarik, seperti Ratu Kelas A.

'Kamu harus ikutin aku pas pulang nanti' itu adalah kata-kata yang dapat kutangkap dari gerak bibirnya. Setelah tadi berbisik kini dia malah sama sekali tidak bersuara.

Bel istirahat berbunyi, mengakhiri sesi jam pelajaran kedua. Namun, bukannya keluar guru di depan sana malah langsung memanggil namaku. Halnitu membuat semua mata langsung melirik ke arahku.

"Kamu dipanggil Ms. Oktavia ke ruangannya," ujar guru itu menjelaskan tujuannya memanggil namaku.

Ketika berpikir semuanya akan lebih buruk, inilah yang kudapatkan. Wanita itu pasti hanya akan mengoceh soal tugas yang sama sekali tidak bergerak sejak awal. Salahnya sendiri tidak memberikan clue lebih banyak agar aku lebih mudah menjalankan tugas yang diberikan.

Jangan salahkan aku atas kelalaian kalian sendiri! Aku selalu mengumpat dalam hati ketika dipanggil ke ruangan wanita itu. Hah, benar-benar hari yang buruk.

Entah kenapa aku merasa hawa di ruangan ini lebih panas dibandingkan sebelumnya. Mungkin karena aku melihat wajah yang tampak seeperti ingin meledak. Bibirnya terus cemberut, tidak ada keramahan sedikit pun sejak aku pertama kali masuk.

Hanya ada sorot mata yang tajam menyambut kehadiranku. Aku mohon kalau memang ingin kesal, kesallah pada dirimu sendiri yang memperlambat tugasku.

"Apa kamu tahu kalau sekarang event sudah hampir berakhir?" kalimat yang pertama kali keluar bukanlah sapaan ramah atau mempersilakanku duduk lebih dulu.

"Iya, aku tahu. Seminggu lagi, 'kan?"

Kerutan di dahinya semakin bertambah, tepat ketika mata sipitnya menajam seperti elang yang siap menerjang mangsanya. Aku sadar betul kalau perkataan tadi akan memancing amarahnya, dan itu memang kusengaja. Berharap dia akan mempermudah segalanya setelah ini.

"Lalu, apa alasan kamu enggak bergerak sampai sekarang?"

Serius, kau menanyakan hal itu? Setelah berbagai tipuan yang kalian berikan dan membuatku terpaksa menjadi pesuruh salah satu Amemayu Children's hanya untuk mengetahui targetku, tetapi malah akhirnya terperangkap dan tidak bisa bebas. Sekarang kau menanyakan kenapa aku tidak bergerak?

Sungguh, andai saja semua yang ada di pikiranku ini keluar. Pasti hanya akan mendatangkan amarah dari Ms. Oktavia. Kalau saja ... iya kalau saja orang itu tidak memegang kunci kebebasanku, mungkin aku sudah mengatakannya sejak lama.

"Sebelum itu, apa aku boleh bertanya beberapa hal?"

Walau tidak menjawab, Ms. Oktavia mengangkat kedua alisnya. Seperti instruksi untukku segera membuka mulut dan menanyakan hal yang ingin diketahui. Kesempatan yang sangat langka, karena biasanya aku sama sekali tidak mempunyai hak untuk bertanya. Tidak mungkin aku membiarkan kesempatan seperti ini hilang.

"Aku baru tahu kalau ternyata SMA Amemayu ini punya sistem yang lebih mengerikan. Aku kira kalian hanya melakukan percobaan simulasi masyarakat pada remaja. Tapi, sepertinya ada sisi lain dibalik percobaan ini." Aku memberikan tatapan serius agar dirinya bisa memberikan jawaban yang jujur.

"Apa maksud kamu, bukannya Andhry sudah menjelaskan semuanya? Yang perlu kamu lakukan hanya mengeluarkan murid-murid yang ditentukan oleh Andhry. Mencari tahu lebih banyak tentang sekolah ini sama sekali tidak berguna. Fokus saja pada tugasmu."

Percuma, aku tidak akan mendapat apa-apa jika bertanya pada orang-orang yang terlibat langsung dengan sisi gelap SMA Amemayu. Entah Ms. Oktavia mengetahuinya atau tidak, dia berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, Miss sendiri enggak tahu lebih dalam soal apa yang disembunyiin Amemayu," pancingku agar dia sedikit buka mulut. Namun, hasilnya tidak akan semudah apa yang dibayangkan. Dia orang dewasa, bukan remaja 15 tahun yang mudah dimanipulasi.

Helaan napas berat keluar dari mulutnya. Sorot matanya kini malah seperti orang yang kelelahan, setengah tertutup. Meski begitu fokusnya tidak beralih dariku. Ms. Oktavia menyerahkan kertas bertuliskan dua nama yang salah satunya aku tahu.

"Baik Amemayu Children's atau kalian benar-benar membuatku takut. Dalam wujud remaja 15 tahun, kalian membaur dengan anak-anak lain. Tapi cara berpikir kalian berbeda, bahkan tidak ragu memanfaatkan orang lain. Dasar monster bertopeng manusia," Ms. Oktavia mengalihkan pandangannya setelah aku mengambil kertas tersebut. "benar-benar menjijikan."

Pricellia Fajrina, Kelas A

Aila Permata Putri, Kelas F

Dari dua nama yang terpampang itu, aku mengenali salah satunya. Aila Permata Putri, siswi yang mengetahui tentang kerja sama antara Felly dan Ryan. Awalnya aku memang ingin mengeluarkan gadis itu untuk melindungi Felly, sepertinya tepat sasaran.

"Mereka bukanlah Amemayu Children's," ujar Ms. Oktavia membuat aku langsung fokus kepadanya.

Jika apa yang dia katakan benar, lalu kenapa mereka berdua harus menjadi targetku? Apakah selama ini orang itu hanya mengatakan omong kosong?

Pembicaraan itu berakhir, tepat setelah mendapat lebih banyak pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab di kepalaku. Aku terus memikirkannya, apakah memang ini adalah keputusan tepat untuk mengorbankan kebebasan? Sial, aku tidak tahu lagi!

Semakin lama berada di sekolah ini malah membuat pemikiranku semakin kacau. Semua orang rasanya sama sekali tidak ada yang bisa dipercaya. Baik murid-murid, ataupun Ms. Oktavia dan orang itu. Tanganku tak henti-hentinya memegangi kepala yang sakit.

"Fathur?" panggilan itu terdengar tepat di sebelahku.

Aku segera menjauhkan telapak tangan ini dan melihat sosok gadis berambut panjang dengan semir merah di sedikit sisinya. Aku sedikit terkejut karena kemunculannya hampir saja membuatku melompat ke belakang, beruntung aku masih bisa mengendalikan diri.

Yurina terlihat khawatir dan mulai memegang lenganku sebentar sebelum akhirnya dia melepaskannya. Gadis itu menanyakan keadaanku untuk basa-basi. Lalu gadis itu melukiskan senyuman manis yang biasanya sering dia perlihatkan pada siapa saja.

"Gue enggak papa, kok." Aku langsung berdiri tegap kembali, menghadap orang yang kemunculannya sama sekali tidak terduga.

Yurina tertawa sebentar, lalu bertanya, "Lagi ngapain?"

Dia terlihat seperti Yurina yang biasanya, berbeda dengan saat malam itu. Tidak ada lagi kesedihan atau kekhawatiran di wajahnya, atau dia sedang memyembunyikannya jauh-jauh dariku.

"Ada urusan sama Ms. Oktavia. Lo sendiri ngapain di sini?"

"Oh, gue cuman mau ngingetin Ms. Oktavia kalau habis ini harus ngajar di kelas gue," jawab Yurina dengan gaya bahasa yang sangat berlawanan dengan sifatnya.

Maksudku, penampilan seperti preman sekolah malah bertugas mengingatkan guru tentang mata pelajaran. Malah sifatnya itu mirip dengan murid teladan. Kekontrasan Yurina memang membuatku sungguh tidak habis pikir.

"Ketua Kelas C itu bukannya Jordan, ya?"

Yurina terkejut setelah mendengarkan apa yang baru saja keluar dari mulutku, dengan sedikit nada heran yang terdengar lucu. Dia menggeleng sebentar dan mengatakan kalau dirinya sendirilah yang merupakan ketua Kelas C. Namun, dalam penglihatanku Jordan lebih berkuasa dibandingkan siswi ini.

Sehabis itu hanya ada obrolan singkat yang tidak begitu penting. Ya, aku tidak bisa menganggap hal itu penting karena kami hanya membicarakan tentang Jordan yang terlihat berkuasa di Kelas C. Namun, faktanya ketua kelas yang sebenarnya adalah Yurina.

"Terus, pas malam itu, kenapa hp lo bisa ada di tangan Jordan?"

Sudah cukup pembukaannya, sekarang waktunya untuk meluncurkan serangan. Aku harus bisa memastikan keterlibatan Yurina dalam kejadian itu.

Gelagat tenang Yurina seketika berubah, dia langsung menundukkan kepala. Matanya sama sekali tidak berani membalas tatapanku. Gadis itu gelisah, dia bahkan menggosok telapak tangannya. Kena? Tidak, tunggu! Aku harus pelan-pelan mengorek informasi darinya.

"Ah, soal itu ...."

"Apa hubungan lo sama Jordan?" aku memotong ucapannya dengan serangan yang langsung menuju intinya.

Alih-alih mendapat jawaban, Yurina malah diam seribu bahasa. Dia semakin gelisah, wajahnya yang gugup itu makin tampak. Bibirnya bahkan tertekan, seperti melindungi diri dari pertanyaanku tadi. Matanya juga bekali-kali berkedip, sepertinya dia sudah terpojok.

"Yurina, ada perlu apa?"

Tepat ketika aku sudah memojokkan Yurina, panggilan Ms. Oktavia seakan berpihak padanya. Gadis itu segera menunduk sambil meminta maaf sebelum akhirnya pergi menemui guru yang memanggilnya barusan. Hampir saja, kenapa ia sama sekali tidak pernah memihakku?

***

"Sebenarnya kita mau ngapain di sini?" tanyaku pada Veronika.

Jam pelajaran sudah berbunyi beberapa menit lalu. Aku terus melangkah mengikuti gadis pendek ini berjalan melewati lantai tiga. Tidak ada kehidupan di sini, benar-benar sepi. Kelas-kelas kosong tanpa penghuni.

Tidak, lantai ini bukannya tidak terpakai. Kelas 3 biasanya pulang lebih awal karena mata pelajaran mereka lebih sedikit dibandingkan kami. Informasi ini dibagikan oleh Veronika ketika aku bertanya.

Cahaya matahari masuk melalui dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan di luar yang sudah sore. Warna oranye benar-benar mendominasi koridor ini. Tentu saja itu hanya perumpaan anak senja yang kulebih-lebihkan. Karena pada kenyataan warna dinding di sekolah ini adalah putih.

"Aku udah bilang, 'kan?" ia malah balik bertanya setelah berbalik badan untuk menoleh ke arahku.

Tentu saja aku akan memasang wajah bingung sekaligus penasaran. Perkataannya tadi seakan-akan dirinya mengajakku ke sini atau lebih tepatnya dia sudah memberi tahu tujuannya. Kenyataannya aku sama sekali tidak mengerti.

Gadis itu langsung memasang bibir cemberut, menampilkan kekesalannya dengan jelas. Tatapannya yang semakin tajam itu tampak makin mengerikan dibanding matanya yang sering dia perlihatkan. Kalau saja aku tidak siap dengan sesuatu seperti ini, mungkin dari tadi tubuh ini sudah gemetar dan lari ketakutan.

"Kamu harusnya bisa lebih peka sama ucapan cewek!" peringatnya yang kemudian langsung berbalik dan langsung melangkah maju.

Peka? Memangnya seseorang tanpa perasaan pantas berbicara begitu? Hah, tidak ada pilihan lain, aku hanya harus mengikutinya agar semua ini segera berakhir dan kembali memikirkan langkah selanjutnya agar bisa keluar dari situasi kelompok saat ini.

Akhirnya aku berhenti, tepat di depan sebuah pintu yang berada di ujung lorong. Di atasnya terdapat tulisan staf pada persegi yang menyala hijau. Tunggu, bukannya ini adalah tempat yang dilarang untuk murid?

"Kamu pasti bingung, 'kan?" Veronika menampilkan seringai mengerikannya sambil mengangkat separuh tangannya ke atas, memperlihatkan kartu akses yang biasanya digunakan untuk kunci pintu di asrama, tetapi dari bentuknya terlihat berbeda.

Ia mulai menggesek kartu tersebut pada scanner yang berada di samping kiri pintu. Pintu itu terbuka setelahnya dan memperlihatkan sebuah ruangan kecil yang berisi puluhan monitor yang menampilkan setiap sudut gedung pembelajaran.

Bukan hanya lorong, bahkan setiap kelas juga tidak luput dari tampilan monitor-monitor tersebut. Dengan kata lain, tempat ini adalah mata yang selalu mengawasi kami semua. Ruangan yang digunakan untuk mencatat pelanggaran kami secara real-time.

Veronika langsung masuk ke dalam, ia nampak tak acuh jika masih ada orang di sana atau tidak. Tangannya terus melambai-lambai ke belakang, menyuruhku untuk mengikutinya. Apu pun memasuki ruangan yang penuh dengan layar yang menampilkan seluruh bagian sekolah.

"Gimana caranya kamu bisa dapat kunci itu?"

Hanya itu pertanyaan yang terlintas di kepalaku sekarang. Namun, Veronika malah membalas dengan tawa iblisnya. Dalam sekejap itu pula perasaan tidak nyaman kembali muncul dalam hatiku. Ekspresi gadis itu sungguh tidak biasa, ia tertawa sambil memandang ke salah satu layar seperti orang gila.

Veronika sama sekali tidak mendengarkanku, ia hanya terus menampilkan ekspresi aneh yang berhasil membuatku merinding. Tawanya sama sekali tidak berhenti, malah semakin kencang ketika matanya semakin fokus pada satu monitor di hadapannya.

"It's, showtime!" seru Veronika yang semakin menampilkan kegirangannya. Ia bahkan berkali-kali melompat kecil, persis seperti anak kecil yang melihat pertunjukan menyenangkan.

Aku akhirnya ikut menoleh ke layar yang tengah diperhatikan olehnya. Mataku melebar, bahkan mungkin saja mulut ini terbuka sedikit. Hal yang kulihat dari tampilan monitor itu adalah sesuatu yang sangat mengejutkan.

Tampak dua orang siswa sedang berkelahi dan salah satunya adalah Ryan Pratama. Di belakangnya ada siswi yang mengenakan blazer berwarna hitam, aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Namun, yang menarik perhatianku bukanlah itu. Melainkan posisi Ryan yang membiarkan tangannya tertusuk pisau yang dipegang oleh murid yang mengenakan blazer berwarna krim.

"Apa yang sebenarnya ...."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat yang spontan keluar dari mulutku, Veronika telah lebih dulu menarik tanganku dan langsung mendekatkan wajahnya ke telingaku sembari berbisik.

"Beginilah taman bermain yang aku inginkan."

"Apa maksud kamu?"

"Kelas A sudah mulai nyerang, loh. Ratu Kelas A pengen nyoba ngeluarin salah satu ketua di kelas lain, dan kayaknya yang kurang beruntung itu Kelas D. Benar-benar mendebarkan, bukan? Dia jenius, 'kan? Gunain pisau milik Ryan. terus nyuruh anak buahnya itu nusuk dirinya sendiri pakai pisau itu. Ditambah, enggak ada staf yang ngeliat kejadian ini di kamera pengawas."

Sungguh gila! Aku tidak habis pikir dengan apa yang ada di kepala murid-murid di sini. Dengan kata lain, murid Kelas B itu akan sengaja menusuk dirinya sendiri dan bisa menuduh Ryan adalah orang yang melukainya. Ini benar-benar di luar akal sehat!

"Sayangnya, Ryan itu enggak sebodoh tampangnya. Dia bisa antisipasi rencana itu. Berarti mereka berdua lawan yang seru buat kita, 'kan?"

Bisikan lembut yang sebenarnya adalah undangan kematian. Menghadapi orang-orang seperti mereka bagiku sama saja dengan bunuh diri. Maksudku, bagaimana bisa aku menghadapi orang-orang gila seperti itu!

Ia melepaskan lenganku, membuatku kembali ke kenyataan. Sekarang aku berhadapan dengan gadis ini. Veronika menampilkan mukanya yang apatis itu, tetapi dalam sekejap berubah ketika bibirnya mulai melengkung dan terbuka, memperlihatkan giginya. Matanya yang tak bisa dibaca menambah kesan berbahaya dari Veronika. Dirinya mirip dengan serigala yang siap memakan mangsa dihadapannya.

Dalam hati kecilku bergejolak sebuah harapan. Harapan adanya sebuah keajaiban yang bisa melepaskanku dari konflik mengerikan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top