4th: Event: Serigala dan 3 Ekor Babi (Bagian 4)
"Gue tanya sekali lagi, apa lo serius ngelakuin ini?" aku ingin mengkonfirmasi kemantapan hatinya, menatap mata lawan bicaraku dengan serius agar dia menjawab jujur.
Aku masih belum bisa menerima keputusan Kelvin. Dia juga harus membicarakan hal ini, paling tidak dengan Yurina, gadis itu adalah orang yang akan bersedih jika salah satu diantara mereka dikeluarkan dari sekolah.
Tanpa kusadari, sudah semakin banyak orang-orang yang datang ke kafe ini. Bahkan dua meja di sisi kami sudah mulai terisi oleh murid-murid yang membawa alat musik mereka.
Andai saja Kelvin dan yang lain tidak terlibat insiden pemukulan murid Kelas C, mungkin kami sudah bisa memulai pentas sekarang. Satu-satunya harapan hanyalah mengorbankan seseorang, itulah yang kami percayai saat ini.
"Kalau gue enggak serius, mana mungkin gue mau ngajuin diri."
Kelvin benar, jika dia tidak serius maka tidak akan mungkin dia rela menawarkan dirinya sendiri untuk menjadi santapan serigala. Aku menatap lagi matanya yang berapi-api, tekad yang tidak akan padam karena keinginannya melindungi mereka sangatlah kuat.
"Kalau itu emang keputusan lo, gue bakalan setuju. Oh, satu lagi. Kenapa lo ngelakuin hal ini demi mereka?"
Rasa penasaranku tentang hubungan antar sahabat sudah tidak bisa disembunyikan. Aku sangat ingin tahu kenapa seseorang bisa memiliki keberanian untuk mengambil risiko buruk hanya untuk orang yang tidak memiliki hubungan darah dengannya.
Sebagai manusia yang memang makhluk sosial, aku rasa ego masih diperlukan sehingga kadang seseorang lebih mementingkan diri sendiri di atas orang lain. Namun, dia berbeda. Dengan dalih persahabatan, Kelvin bersedia membuang masa depannya agar teman-temannya tetap berada di sekolah ini.
Sungguh irasional!
"Mereka lebih penting daripada apa pun buat gue," jawab Kelvin dengan senyuman tulus di bibrinya.
Kebohongan? Tidak, itu memang apa yang ada di dalam hati laki-laki tersebut. Dia menganggap mereka adalah yang terpenting bagi dirinya. Meski tidak ada hubungan darah, ikatan yang mereka miliki sangatlah kuat.
"Kalau lo enggak keberatan, bisa lo temuin gue sama orang yang namanya Ryan itu besok?"
***
Semua yang sudah terjadi biarlah terjadi. Begitulah seharusnya tindakan yang harus aku ambil. Semua peristiwa merepotkan yang benar-benar membuatku belajar banyak hal, terutama jangan mudah percaya dengan penampilan orang dari luar.
Aku masih termenung di kamar ini, mengingat segal hal yang sudah terjadi. Dimulai dari pertemuan dengan Amemayu Children's yang ternyata adalah Veronika Devita sampai akhirnya terjebak situasi sulit yang mengharuskan aku mengorbankan seseorang agar bisa tetap bertahan di SMA Amemayu.
Bahkan diriku belum mengetahui siapa sebenarnya Amemayu Children's yang menjadi targetku. Rasanya aku ingin membiarkan diriku ikut keluar seperti Kelvin. Sayangnya, hal itu mustahil untuk dilakukan. Sekali mengikat kontrak dengan iblis, maka aku sudah menjadi budaknya.
"Hei, kulkas kamu isinya kosong, nih."
Aku hampir lupa kalau gadis pendek ini juga ada di kamarku. Dia seperti tuan rumah, memeriksa apa saja yang ada di dapur. Membuka kulkas yang memang sudah disediakan oleh asrama dan mengecek barang-barang lain yang ada di laci. Ketenangan yang aku harapkan sudah sirna sejak awal kedatangannya.
Selama aku masih mengeluh di atas kasur sambil menonton televisi, Veronika dengan leluasa mengecek apa saja yang ada di dapurku. dia sama sekali tidak sungkan dan ini membuatku sedikit bingung bagaimana harus menghadapinya.
"Lagian aku lebih sering makan di luar," sahutku sembari bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ke sana.
"Boros banget, kalau gitu terus kamu bakalan kehabisan uang di akhir bulan loh." Veronika sudah keluar lebih dulu, memberikan senyuman lebar yang membuatku tidak nyaman.
"Iya-iya. Terus, apa urusan kamu ke sini?" aku berhenti tepat di hadapannya. Lalu mengintip dapur dengan sekilas, karena khawatir akan menjadi berantakan atau apa. Tapi syukurlah dia tidak melakukan hal itu.
"Kenapa? aku cuman mau kamu tanggung jawab aja kok, karena udah ngelakuin hal yang enggak senonoh sama aku." Veronika tertawa usil setelah mengatakannya.
Hoi, kita tidak melakukan apa-apa!
"Aku rasa kamu udah tau soal kelompokku semalam," ujarnya lagi yang langsung menghempaskan tubuhnya ke kasurku.
Raut wajahnya seketika berubah menjadi sosok yang paling tidak ingin aku lihat. Seringai mengerikan seperti hewan buas yang sudah mendapatkan mangsanya. Itu adalah ekspresi paling buruk dan tidak ingin aku lihat, bagai mimpi horor yang panjang.
Aku mencoba mengingat tentang kelompok Veronika semalam. Entah kenapa tidak ada bayangan apa pun yang muncul dalam pikiranku. Bukannya apa, semalam aku terlalu sibuk berurusan dengan kelompokku sendiri sampai-sampai tak sempat datang ke pertunjukan gadis ini.
Padahal dia sudah memintaku datang semalam, mungkin aku akan mendapat kemurkaannya sekarang. Sungguh menyedihkan, hidup dengan tekanan seperti ini sangat menyusahkan.
"Jangan-jangan kamu enggak datang ya, semalam?" pertanyaan yang tidak aku harapkan akhirnya muncul juga.
Berbohong kalau aku datang akan berakibat buruk. Apalagi kata-katanya tadi mengisyaratkan kalau ada masalah di dalam kelompoknya. Tidak ada pilihan yang dapat menyelamatkanku. Menjawab jujur akan mendatangkan amarah gadis pendek itu tapi kalau berbohong hasilnya pasti sama, dengan cepat dia pasti akan menyadarinya.
"Aku harus selesain masalah kelompokku sendiri tadi malam." Aku membalas tatapannya dengan serius, mengatakan segala hal yang terjadi dengan jujur rasanya lebih baik daripada kebohongan yang nantinya akan mengundang kebohongan yang lain.
Seperti yang aku duga, muka yang kesal menyambut kata-kataku tadi. Wajah yang sengaja ditekuk dan bibir cemberut itu sedikit melegakan, karena aku lebih suka ekspresi Veronika yang seperti itu dibandingkan saat dia melepas topengnya. Sebentar lagi omelan seperti apa yang akan aku dapatkan?
Namun, sudah hampir satu menit berlalu. Gadis itu sama sekali tidak bersuara dan masih memandangiku dengan dongkol. Aku memang suka kalau Veronika tidak mengomel, tetapi kalau dia diam saja rasanya malah menakutkan.
"Oh, jadi masalah David belum kamu kelarin?" tanya Veronika mengganti raut marahnya tadi dengan ekspresi penasaran.
Aku hanya mengiyakan seperlunya, rumor David yang memukul orang lain sepertinya sudah menyebar. Namun, aku sama sekali tidak mendengarkan mereka membicarakan topik tersebut. Tidak terlalu menarik untuk obrolan murid perempuan mungkin.
Terlebih lagi yang berbuat onar adalah orang paling tidak bersahabat di Kelas F, akan wajar jika mereka acuh tak acuh dengan masalah yang dihadapi oleh David. Aku merasa kasihan dengannya sekarang.
"Apa-apaan. Kamu lambat banget, bukannya kamu udah buat perjanjian juga sama Ryan?" sekali lagi pertanyaan keluar dari mulut Veronika. "pasti gara-gara harus ngorbanin Felly atau orang lain buat kena dropout, 'kan?"
Seringai kembali terukir di bibir merah muda itu, seakan sudah memahami segalanya. Tunggu, bagaimana mungkin dia mengetahui hal ini? Apa Ryan membocorkannya? Sial, seharusnya aku memang tidak mempercayai siapa pun untuk menyelesaikan masalahku sendiri.
"Apa Ryan yang ngasih tau kamu?"
"Mana mungkin, dia aja enggak tau kalau sebenarnya Amemayu Children's yang dia cari itu adalah aku. Di sekolah ini aku punya banyak mata sama telinga, loh. Nyembunyiin rahasia dari aku itu kesalahan besar," ujarnya dengan nada sombong.
Apa yang dia katakan sama sekali tidak bisa disangkal, apalagi setelah melihat tingkahnya yang arogan dan juga penuh kebanggaan. Walaupun masih belum diketahui bagaimana cara dia mengumpulkan segala informasi, aku harus sangat berhati-hati kalau suatu saat Veronika adalah targetku. Hari itu pasti datang.
Saat dia bilang punya banyak mata dan telinga, ada seorang gadis yang sering bersamanya. Kebetulan sekali hari ini gadis itu tidak masuk, mungkinkah Nopi Ariani yang menjadi perantara Veronika?
"Apa Nopi salah satu mata sama telinga kamu?"
Dia tersenyum lebar, senang sekaligus bangga. Sebuah kesenangan yang sama sekali tidak bisa kumengerti. Veronika bangkit dan menghampiriku lagi. Kini kami kembali berhadapan. Jemari kecilnya bergerak, menyentuh daguku dengan pelan sampai akhirnya berhenti di bibirku.
"Kamu pasti udah tau, sekolah ini cuman taman bermain buat Amemayu Children's sedangkan murid-murid yang lainnya itu, cuman mainan yang kami pakai buat nyerang satu sama lain. Kamu juga termasuk, kok."
Horor, aku merinding ketika mendengar ucapan dingin yang diiringi seringai mengerikan yang Veronika tampilkan. Dari kata-kata tadi, dirinya sama sekali tidak menganggap orang lain sebagai manusia, hanya sekedar mainan yanh bisa diganti kalau rusak.
"Terus, kenapa Nopi enggak masuk hari ini? Apa ada rencana lain yang kamu miliki?" selidikku menyingkirkan jemarinya yang masih menyentuh bibir ini.
"Dia udah aku serahin ke Kelas A, kok."
Apa maksudnya itu? Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang direncanakan oleh Veronika. Sangat sulit memahaminya kalau kekurangan informasi seperti ini. Bahkan beberapa pengetahuan yang diberikan itu rasanya seperti permukaan es di laut yang sangat kecil, tetapi di bawahnya sangat besar.
SMA Amemayu bukan hanya tempat simulasi masyrakat, ada yang lebih busuk di dalamnya dan aku sama sekali tidak tahu. Mungkin hanya Amemayu Children's yang mengerti akan hal ini. Taman bermain untuk mereka ... lalu simulasi masyrakat seperti apa yang mirip taman bermain itu?
"Mungkin sekarang mereka lagi nyiksa Nopi supaya buka mulut soal siapa yang ngasih dia lagu kelompok Aila," ujar Veronika diikuti oleh tawa kecilnya.
Itu sama sekali tidak lucu! Aku terkejut mendengar kalau Nopi Ariani akan mendapatkan kekerasan fisik yang seharusnya dilarang oleh pihak sekolah. Aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya Amemayu Children's lakukan di sekolah ini, kenapa harus ada tugas untuk mengeluarkan mereka. Segalanya sekarang menjadi kabur.
"Apa kamu enggak masalah kalau orang yang enggak ada hubungannya kena masalah gara-gara apa yang kamu lakuin?" aku hanya berharap bisa melihat masih ada sisi kemanusiaan yang tersisa pada gadis itu.
"Kenapa aku harus peduli sama dia?" sebuah pertanyaan dengan nada tak acuh, dingin dan tidak berperasaan.
Dari tatapan yang serius itu, aku sudah tahu kalau apa yang keluar dari mulutnya adalah apa yang ada di dalam hatinya. Lebih tepatnya Veronika tidak memiliki hati, dia hanya berpikir sesuai logikanya. Keuntungan apa yang akan didapat kalau bersimpati pada orang lain, itulah yang mungkin dia dipikirannya.
***
19 Agustus 2025
"Hei, apa kamu bodoh? Maksudku, membawa seseorang yang pengen kamu keluarin ke hadapan aku begini bukannya terlalu mencurigakan." Ryan terus menampilkan senyuman ramahnya meski berkata demikian.
Kantin disata istirahat pertama memang tidak seramai ketika istirahat makan siang. Hanya ada beberapa meja yang terisi. Aku juga ada di sana, bersama dengan Ryan Pratama dan juga seorang laki-laki yang rela berkorban demi teman-temannya, Kelvin Aditama.
Kami saat ini sedang duduk pada meja yang berada di dekat dinding kaca, menampilkan sisi luar dengan begitu jelas. Cuaca hari ini lumayan berawan, meski tidak mendung. Melihat pemandangan hijau menghampar luas dengan langit biru dan awan-awan itu rasanya benar-benar menenangkan.
"Gue udah denger dari Fathur. gue sama sekali enggak keberatan kalau emang itu satu-satunya cara buat kelompok gue bisa pentas." Kelvin menjawab lebih dulu, seakan ingin menyelesaikannya sendiri.
Tingkahnya yang ramah itu masih menganggu, jujur saja aku tidak suka berhadapan dengan laki-laki ini. Firasatku selalu bilang kalau dirinya lebih berbahaya daripada Veronika. Setelah puas menatap Kelvin, Ryan mengalihkan pandangannya ke arahku, sepertinya ia hendak meminta konfirmasi.
Tidak ada hal lain yang kulakukan kecuali mengangguk. Aku juga terkejut ketika Kelvin mengajukan dirinya. Bahkan dia meminta untuk bertemu dengan Ryan saat pembicaraan terakhir kami. Semuanya jauh dari ekspektasiku, tetapi ini bukanlah hal yang sangat buruk, 'kan?
"Sungguh terpuji, tetapi kamu bodoh." Walau dengan ekspresi tenang itu Ryan masih bisa mengatakan seuatu yang lumayan kejam.
Namun, Kelvin sama sekali tidak terpengaruh dengan kata-kata tersebut. Dia masih duduk dengan tenang, persis seperti ketika aku memberikan usulan ini pada mereka.
Ryan sama sekali tidak salah. Menolong teman adalah hal yang terpuji, akan tetapi mengorbankan diri sendiri untuk kepentingan orang lain adalah pilihan yang ke sekian. Sebagai makhluk sosial dan individu, manusia harus mementingkan apa yang membuat dirinya untung.
Tipe manusia yang seperti Kelvin sudah sangat langka. Ryan yang tadinya berkata kasar mulai terdiam, menyadari kesungguhan yang diberikan oleh laki-laki dengan muka tegas berambut pendek itu.
"Bagaimana caranya lo nolongin kelompok kami?"
Kelvin berharap kalau Ryan memang bisa mengabulkan keinginannya dan menerima kalau yang berkorban adalah dirinya sendiri. Tak ada ketakutan tentang ancaman dropout yang menjadi konsekuensi yang harus ditanggung seseorang demi kepentingan teman-temannya.
"Seharusnya bukan orang yang seperti ini yang kamu pilih. Maaf, salahku karena bilang siapa aja boleh," keluh Ryan menghembuskan napas kecewanya.
Apa yang sebenarnya maksud laki-laki ini, memangnya ia mau aku memilih orang yang seperti apa? Lagipula aku enggan menunjuk Kelvin kalau saja dia tidak menawarkan diri.
Ryan masih belum melanjutkan kata-katanya sehingga suasana kami sekarang menjadi sepi. Kelvin masih membaca situasi, seperti yang diharapkan, dia bukanlah kepala panas seperti kedua sahabatnya. Hanya saja, aku selalu menaruh perasaan was-was pada tipe orang berkepala dingin yang mengamati situasi seperti sekarang ini.
"Apa kalian belum juga sadar. Kalau di kelompok kalian itu, ada pengkhianat? Harusnya kalian menunjuk pengkhianat itu, dong. Kalau enggak salah namanya itu ... Yurina Parlina." sebuah senyum tipis dengan maksud meremehkan tergambar jelas di sudut bibir Ryan.
Seketika Kelvin bangkit dari tempat duduknya dan langsung menarik kerah seragam Ryan. Mukanya merah padam, dengan mulut sedikit terbuka. Sekilas gemertak kecil terdengar. Dia kehilangan keterangannya ketika siswa Kelas D itu membeberkan fakta kalau ada pengkhianat diantara kami.
Hal yang paling membuatku terkejut dari perkataannya barusan adalah nama pengkhianat itu. Yurina Parlina, gadis bobrok yang selalu menampilkan kebaikan hatinya dan sama sekali tidak mau salah satu temannya gagal di sekolah ini.
Kebingunganku sudah memuncak, tidak bisa langsung menelan mentah-mentah informasi yang baru saja didapat. Bukan hal mustahil sebenarnya, mengingat Yurina juga berasal dari Kelas C. Namun, kenapa dia harus melakukan hal tersebut?
Padahal beberapa hari sebelumnya, Yurina memintaku untuk membantu teman-temannya keluar dari situasi genting. Akan sulit menerima kalau dia adalah dalang dari kejadian itu. Aku benar-benar tidak mengerti, kepalaku sakit, menyebalkan!
Situasi semakin keruh sekarang, Lalu, siapa yang harus aku percaya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top