4th Event: Serigala dan 3 Ekor Babi (Bagian 3)

Aku mengecek ponsel yang tiba-tiba bergetar sebab menerima pesan. Chat yang masuk dari kontak bernama Yurina terlihat di layar ponselku. Padahal baru saja dirinya berlari dari kafe tadi. Dengan perasaan sedikit khawatir aku pun mulai membuka pesan tersebut, penasaran dengan apa yang gadis itu ingin sampaikan.

[Temuin gue di gedung kelas sekarang.]

Singkat dan jelas. Aku tidak tahu apakah David dan Radit sudah bertemu Yurina atau belum. Namun, melihat pesan yang dikirimkan olehnya membuatku sedikit bingung. Aku sama sekali tak keberatan kalau harus menemuinya, tetapi kenapa harus di gedung kelas?

Mengingat pilihan yang terbatas, aku akhirnya memutuskan untuk menemui gadis itu. Karena jarak antara kafe ini dengan gedung pembelajaran cukup jauh, aku pun mengirim balasan padanya kalau butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk tiba di sana.

Tunggu, kenapa dia tiba-tiba memintaku untuk bertemu? Apa David dan Radit belum menemukan Yurina? Terlalu banyak pertanyaan yang ada di kepalaku sekarang ini.

Aku membencinya. Benci dengan segala kemungkinan buruk yang ada dalam pikiranku. Tidak, tidak mungkin Yurina terlibat sesuatu yang mencurigakan, 'kan? Ingat kembali sifatnya, mustahil gadis yang bobrok seperti itu menyembunyikan sesuatu.

***

Lorong kelas benar-benar sepi sekarang. Walaupun dengan lampu putih yang menerangi seluruh area penglihatan, tetap tidak mengubah fakta kalau hanya aku satu-satunya orang yang berjalan di sini. Ruang-ruang kelas tertutup rapat, tetapi masih terang seakan ada yang mendiaminya.

Suara sepatuku yang bertemu dengan lantai adalah satu-satunya yang terdengar. Hingga akhirnya aku sampai dibagian lorong Kelas A – C. Namun, yang mataku lihat pertama kali bukanlah orang yang aku cari. Melainkan sosok laki-laki tinggi yang tersenyum sinis ketika mata kami bertemu.

"Liat siapa yang datang ke sekolah malam-malam kaya gini," ujarnya sambil mengalihkan pandangan. Ia lalu mengambil sesuatu dari sakunya dan melemparkan benda itu padaku.

"Kenapa lo ada di sini?" tanyaku dengan nada curiga.

"Heh, gimana kalau gue bilang, gue tau soal New Testment." Jordan kembali menampilkan senyuman sinis, seperti memenangkan sesuatu dan kini mentertawakan usaha lawannya.

Dalam beberapa saat aku sempat terkejut, tetapi mengingat sebelumnya dia tidak menampilkan ekspresi apa-apa ketika aku mengucapkan kata-kata itu ada sedikit kecurigaan yang muncul dalam benakku. Terlebih lagi, di mana Yurina yang tadi menyuruhku datang?

Tatapan angkuh dan sikap congkak, dia benar-benar memberikan intimidasi meski hanya berdiri di sana. Senyuman sinis yang tak pernah luntur terus menerus membuat diriku semakin waspada. Perasaan saat pertama kali bertemu Veronika terulang kembali, ini benar-benar sama.

"Gue kira lo lumayan hebat, ternyata cuman bergantung pada kucing yang berlagak jadi singa," ejeknya diiringi kekehan kecil. Jordan menutupi sebelah matanya dengan telapak tangan sambil terus tertawa.

"Apa maksud lo?" tanyaku yang masih belum bisa menebak arah pembicaraan kami. Hati-hati, jangan sampai terbawa arus dan terus berpikir.

Jordan mengankat sebelah tangannya, memperlihatkan ponsel dari seseorang yang aku kenal. Tidak perlu berpikir lebih lama, jelas sekali kalau itu adalah milik Yurina. Hanya gadis itu yang menggunakan gantungan kunci berbentuk kepala kelinci berwarna kuning.

Hal ini semakin membingungkan. Kenapa Jordan memiliki ponsel Yurina? Apa yang sebenarnya terjadi?! Kepalaku terus mempertanyakan segala hal yang tiba-tiba ini.

"Kenapa hp Yurina bisa ada sama lo?"

Tenang, aku harus bisa bersikap tenang. Jangan biarkan orang itu mendapatkan celah. Kemungkinan besar kalau dia menjebakku di sini adalah untuk mendapatkan informasi. Entah itu tentang kerja sama dengan Ryan atau dengan Veronika, aku belum bisa memastikannya.

"Ngebosenin," decaknya dengan ekspresi dongkol. Dia terlihat tidak puas dengan kalimat yang aku keluarkan tadi. "enggak ada respon yang lebih baik apa?"

Jordan mengharapkan reaksi yang berbeda dan sepertinya aku tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Aku masih belum bisa menentukan langkah selanjutnya untuk menghadapi situasi seperti ini. Terlalu sedikit yang kuketahui, salah-salah hanya akan ada kerugian yang timbul nantinya.

"Kayaknya lo itu barang cacat, ya?" Jordan bersuara lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.

Aku terkejut dengan apa yang baru saja dia ucapkan. bahkan tanpa sengaja mataku refleks terbuka lebih lebar daripada biasanya. Istilah yang digunakan pada mereka yang gagal, barang cacat.

"Apa mau lo sebenarnya?"

Tidak ada lagi basa-basi, aku mulai paham bagaimana pembicaraan ini akan mengalir. Jika dia mengungkap tujuannya maka semuanya akan jelas. Aku juga harus memperhitungkan kalau saja ada jebakan dalam setiap kata-katanya. Jangan mengulangi kesalahan yang sama, Fathur!

"Bukannya lo udah bisa nebak?"

Bagaikan dipaksa untuk mengerti, Jordan sama sekali tidak menjelaskan tujuannya dan mengatakan kalau aku sudah bisa menduga apa yang dia mau. Kenyataannya, aku sama sekali tidak mendapat gambaran apa pun tentang hal yang Jordan inginkan.

"Apaan, nih? Jangan bilang kalau lo beneran barang cacat?"

Sekali lagi sebutan itu keluar dari mulutnya. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan dia ingin menyebutku apa. Keterlambatanku menyelesaikan kurikulum bisa saja menjadi faktor sebutan itu memang benar adanya.

"Apa mereka bakalan ngelepas barang cacat untuk sekolah di sini?"

Benar, Amemayu tidak mungkin membiarkan kelinci gagal sebagai bahan percobaan mereka. Seharusnya dia sudah mengerti akan hal tersebut.

"Siapa yang tau."

Jordan mendekat, dengan seringai misterius yang sama sekali tidak aku mengerti. Jarak antara kami semakin memendek, hingga akhirnya laki-laki itu berhenti tepat di sampingku. Pundak kiriku ditepuk oleh telapak tangannya yang besar dan kuat.

Tanpa basa-basi, dia langsung melayangkan tinju kanannya. Aku segera menunduk untuk melepaskan cengkraman tangan satunya dan aku pun langsung mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak. Meski kurang yakin, aku merasa pukulannya lebih keras daripada milik David.

Kesenangan terlihat jelas di wajahnya. Jordan melesat lagi, hendak melancarkan serangan lanjutan. Aku tidak mau terkena satu pun pukulannya, tetapi menghindar akan cukup sulit. Kecepatannya juga lebih dari orang yang pernah melakukan hal serupa padaku.

Aku terus menerus mundur, berusaha menghindari semua pukulan Jordan. Hingga akhirnya punggung ini sudah menempel dengan dinding. Jalan menghindarku sudah hilang, tidak bisa bergerak mundur lagi. Sementara Jordan sudah bersiap melepaskan kepalan tangannya yang mengarah ke sini.

Namun, tiba-tiba dia berhenti. Tepat sebelum pukulan itu menyentuh telapak tangan yang kuangkat untuk menahannya. Suara tawanya terdengar, membuatku heran sekaligus menerka-nerka apa yang sebenarnya orang ini ingin lakukan.

"Lo pikir gue bakalan mukul lo apa. Cuman anjing bodoh yang ngepukul orang di tengah-tengah CCTV kaya gini."

Perkataannya barusan membuat kepingan misteri di kepala ini lengkap. Aku akhirnya menyadari inti permasalahan dari kelompokku dengan murid-murid dari Kelas C. Tidak salah lagi, semuanya memang sudah direncanakan dan orang yang melakukannya adalah dia.

"Kenapa lo ngejebak David sama yang lain?" aku langsung bertanya, tidak perlu mengonfirmasi lagi karena semuanya sudah jelas.

"Soalnya itu bikin gue senang."

Jawaban paling tidak masuk akal yang pernah aku dengar selama ini. Bagaimana bisa seseorang bisa bersenang-senang dengan cara menghancurkan kehidupan orang lain? Aku sama sekali tidak mengerti dengan cara berpikir Amemayu Children's.

"Sama ada satu alasan lagi. Salah satu diantara mereka, minta gue buat ngerencanain itu semua," ungkap Jordan dengan seringai yang makin melebar karena sudah memberitahu rahasia yang berhasil membuatku semakin terkejut dan tidak percaya.

***

18 Agustus 2025

Kemarin adalah hari yang cukup panjang. Sepertinya energiku sekarang habis gara-gara rangkaian kejadian menyebalkan yang tidak terduga. Belum lagi fakta yang dibeberkan oleh Jordan masih terpaku jelas di ingatanku sekarang.

Salah satu dari mereka menyuruhnya untuk melakukan hal itu, tetapi untuk apa?

Ada banyak kemungkinan, sayangnya aku tidak bisa menemukan sesuatu yang pasti. Hal-hal yang tidak terduga terus saja aku temui semenjak memasuki sekolah ini. Bahkan sepertinya aku sudah tidak memikirkan tugas lagi, yang terpenting saat ini adalah bertahan di sekolah.

Tujuanku malah sedikit melenceng dari awal. Namun, itu tidak perlu dipermasalahkan sekarang. Aku sudah punya sesuatu yang lebih penting daripada tugas ini, sesuatu yang hanya dapat aku pelajari di SMA Amemayu.

Pelajaran pertama selesai seperti biasa, tidak ada yang begitu spesial hari ini. David masih ada di bangkunya, larut dalam pikirannya sendiri. Pengorbanan yang diperlukan agar bisa pentas, isi kepalanya pasti sedang mengkhawatirkan teman-temannya yang lain.

Aku bisa menggunakan metode eliminasi untuk memastikan siapa orang yang mengkhianati kelompok dan bekerja sama dengan Jordan. David adalah otak otot, sedikit mustahil kalau dia melakukannya. Terlebih, dia adalah yang pertama kali menentang usulanku mengenai pengorban.

Berarti tinggal Kelvin dan Radit, ya?

"Apa kamu lagi sibuk?" pertanyaan itu datang, memecah pikiran negatif yang berusaha melakukan simulasi kemungkinan tentang pelaku yang kucari.

Wajah Felly yang penasaran langsung menyambutku ketika mengangkat kepala. Dia tampak khawatir sekaligus bingung. Wajar saja dirinya begitu karena dari tadi aku merasa gelisah.

"Kenapa?"

"Apa kita bisa ngobrol sebentar?"

Aku mengangguk, mungkin ada masalah yang dihadapi olehnya. Sebagai orang yang menariknya ke dalam masalah ini paling tidak aku harus membantu Felly sebisa mungkin. Entah hanya menjadi teman bicara atau memecahkan masalahnya.

Namun, kelas bukanlah tempat yang tepat untuk berbincang-bincang bagi kami. Mata yang sama sekali tidak aku harapkan selalu mengawasi, baik aku maupun Felly hanyalah orang yang menari-nari di telapak tangannya, mungkin.

"Gimana kalau kita ngobrol di luar?" tawar Felly seperti sudah bisa membaca pikiranku.

Koridor di jam istirahat pertama tidak terlalu ramai. Kebanyakan murid-murid hanya berada di kelas atau bagi mereka yang memiliki jadwal tertentu akan pergi ke gedung lain. Aku menyarankan untuk bicara sambil berjalan menyusuri lorong kelas.

Terlihat segerombolan murid yang menuju kantin. Ada juga yang hanya keluar dari kelas untuk keluar dari bisingnya suasana di dalam. Felly terus berjalan di depanku, tidak mengucapkan kalimat apa pun. Seperti keheningan yang mengiringi kami.

"Nopi hari ini enggak masuk, ya? Padahal aku pengen tanya sesuatu sama dia."

Detik berikutnya Felly bersuara, tepat ketika dia memperlambat langkahnya sehingga aku berdiri di samping gadis itu. Hal yang mengganggu pikirannya, jujur saja itu juga menarik perhatianku. Nopi adalah siswi Kelas F yang digunakan Veronika sebagai bonekanya dan aku juga memberitahu Felly kalau ia adalah orang yang akan mengambil lagu kelompok Aila Permata Putri.

"Soal itu, ya?"

Felly mengangguk, dia tampak cemas. Walau tidak terlalu jelas, aku bisa melihat kegelisahan dalam dirinya. Dia berkali-kali menempelkan jari jemarinya, bahkan sering menunduk. Beban yang dirinya tanggung untuk kebohongan besar sudah semakin menumpuk dan mengganggu ketenangannya.

"Aku takut." Felly menghentikan langkahnya, memberikan tatapan sendu padaku yang ikut diam sambil memandang ke arahnya.

Tangan yang bergetar itu bukanlah kebohongan. Meski dia sudah terbiasa berpura-pura dan menipu hampir semua orang, tetapi kali ini Felly memperlihatkan apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya.

"Apa yang bikin kamu takut?"

Dia tersentak ketika aku ingin mengetahui apa yang membuatnya takut. Ketakutan adalah dinding tinggi yang menghalangi Felly. Jika saja aku bisa membuatnya lebih berani dan percaya diri, maka dia bisa menghancurkannya. Ketika itu terjadi, sejauh mana Felly Andara bisa berkembang adalah keinginanku melihatnya.

"Semuanya," balas Felly dengan senyuman yang sama sekali tidak aku mengerti.

Untuk kesekian kalinya aku sama sekali tidak bisa memahami pemikiran orang lain. Ketika dia mengatakan 'semuanya' apakah itu berarti segala hal yang Felly alami semuanya menakutkan?

Aku kembali terkejut ketika Felly membalikan badannya dan kembali ke kelas ketika masih menampilkan senyuman itu, walau matanya yang berkaca-kaca masih ada. Dia tertekan dan berusaha menanggung semuanya sendiri, tetapi juga memberikan sinyal untuk meminta pertolongan.

Dan dia ingin tahu apakah aku bisa menolongnya atau tidak dari pembicaraan yang sangat singkat itu tadi.

Aku mulai memikirkannya, kenapa aku semakin melibatkan diriku pada pribadi Felly Andara? Rasa tanggung jawab? Simpati? Aku sendiri bingung dengan perasaan yang tidak rasional ini. Berulang kali aku memikirkannya. Tidak melibatkan orang asing, pemikiran naif yang sejauh ini kupegang teguh apakah benar?

Nyatanya keadaanku yang terpuruk saat ini harus mengorbankan orang yang tidak ada hubungannya dengan tugasku. Secara perlahan ideologi yang diriku pegang teguh mulai terkoyak perlahan-lahan. Aku harus segera menyelesaikan masalahku sendiri kalau mau membantu Felly.

"Pada akhirnya aku harus melibatkan beberapa orang," gumamku sembari menghela napas lelah.

Melelahkan, aku rasanya muak jika harus mengingat tugas dari perjanjian dengan orang itu. Melepaskan kebebasan untuk mendapatkan kebebasan, konsep yang benar-benar beda dari apa yang aku bayangkan. Kapan kedamaian benar-benar datang kepadaku? Haah ....

***

Saat ini sudah menunjukkan jam pulang sekolah, seharusnya aku langsung kembali saja ke asrama untuk beristirahat sejenak. Sayangnya, rencana itu gagal setelah aku ditahan oleh seorang laki-laki dari Kelas E yang tidak lain adalah Kelvin. Dia bilang ingin membicarakan sesuatu denganku dan terpaksa aku mengikutinya ke kafe yang ada di dekat asrama.

Kami duduk berseberangan pada sebuah meja yang berada di outdoor. Dinaungi payung-payung yang bergelantungan antara pohon-pohon di sana. Tidak terlalu banyak pengunjung, berbeda dengan saat malam yang selalu ramai. Sungguh waktu yang tepat untuk membicarakan perihal masalah internal kelompok kami.

"Apa lo udah hubungin anak Kelas D yang nawarin bantuan buat kita?" Kelvin langsung bertanya.

Nada bicaranya terdengar serius, dia menanggapi saran itu dengan serius. Dibandingkan dengan yang lain, hanya Kelvin saja yang bisa memahami kalau kami memang harus melakukan pengorbanan agar tidak mengalami ancaman dropout secara serentak.

"Sayangnya belum. Gue masih nunggu kalian buat nentuin siapa yang harus dikeluarin." Aku tidak mau mengambil risiko yang tidak diperlukan dalam masalah ini, kecuali hasilnya makin memburuk.

"Jujur aja, ngorbanin seorang sahabat buat kepentingan diri sendiri emang terdengar egois. Tapi gue emang udah mikirin ini, bilang ke anak Kelas D itu kalau gue bakal jadi orang yang lo korbanin."

Aku terkejut mendengar apa yang baru saja dia katakan. Kelvin berencana membiarkan dirinya menanggung hal itu dengan keinginannya sendiri. Beberapa saat aku terkesan dengan keberaniannya, dia memiliki pribadi yang luar biasa dibandingkan dua laki-laki lainnya.

"Apa lo serius?" aku bertanya meski sedikit ragu. Penasaran dengan kesungguhan yang dimiliki olehnya.

Siswa berwajah tegas itu tidak langsung membalas. Ekspresinya masih penuh dengan keyakinan, tidak ada keraguan lagi kalau dia bersungguh-sungguh dengan tawarannya tadi.

"Ya, gue serius. Asalkan mereka bisa terus sekolah di sini, cuman itu satu-satunya jalan," sahut Kelvin sembari mengarahkan bola matanya ke bawah.

"Gue udah denger dari Yurina. Lo udah di blacklist dari semua sekolah formal, 'kan? Dan juga kalau lo kena dropout, bukannya lo gak bisa lanjutin sekolah lagi?"

Kebenaran ini bukan hanya bersumber dari Yurina. Informasi yang kuingat dari biodata Kelvin Aditama Sitohang yang orang itu pernah perlihatkan awal bulan lalu. Kasusnya sama seperti David. Bisa dibilang dia hanya terbawa arus pergaulan yang salah, tetapi ....

"Enggak papa, lagian dari awal gue emang enggak mau sekolah di sini. Soalnya gue benci Amemayu."

Kejutan lain yang kudapati adalah sesuatu yang tidak mungkin aku dengar dari orang lain. Mereka yang masuk sekolah ini adalah orang yang menginginkan kesuksesan dan mengidam-idamkannya. Tidak mungkin ada kebencian pada Amemayu jika kau bersekolah di sini. Belum sempat aku merespon, Kelvin kembali bersuara.

"Dan juga, gue rasa mereka masih bisa ngeraih masa depan kalau tetap ada di sini."

Sebuah senyuman tipis yang hampir tidak terlihat. Itu bukanlah sebuah kebahagian, melainkan rasa syukur yang bercampur dengan sedikit kesedihan. Kelvin tahu betul kalau sudah keluar dari SMA Amemayu dirinya tidak akan punya lagi masa depan yang cerah.

"Apa mereka bakalan setuju gitu aja kalau lo ngelakuin hal ini?"

Meski aku yang memberikan tawaran itu, tetap saja sulit rasanya menerima seseorang yang suka rela untuk mengajukan diri. Masih ada rasa kasihan yang bergejolak dalam diriku jika seseorang yang tidak tahu apa-apa mengenai sekolah ini dengan senang hati keluar untuk kepentinganku.

"Gue tau mereka bakalan nolak, makanya gue sengaja buat nemuin lo sendiri hari ini. Dan gue punya satu permintaan," kata Kelvin dengan tatapan serius.

Aku membalas tatapannya itu, menerima keyakinannya dengan sungguh-sungguh. Kelvin adalah siswa biasa yang mengambil langkah berani untuk menyelamatkan teman-temannya. Lalu apa aku memang harus membiarkannya disantap serigala begitu saja?

"Apa?"

"Bilang sama mereka kalau perjanjian itu diganti dan kita tetap bisa tampil di event entar. Gue rasa lo bisa ngelakuin itu, 'kan?"

Dengan kata lain Kelvin ingin menutupi aksinya dengan kebohongan kecil. Karena kalau sahabat-sahabatnya tahu, mereka pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ikatan yang benar-benar kuat sehingga aku berpikir, apa melakukan pengorbanan adalah pilihan tepat?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top