4th Event: Serigala dan 3 Ekor Babi (Bagian 1)
4th Event: Serigala dan 3 Ekor Babi
"Apa yang nampak sebagai suatu kemurahan hati, sering sebenarnya tiada lain ialah ambisi terselubung, yang mengabaikan kepentingan-kepentingan kecil untuk mengejar kepentingan-kepentingan yang lebih besar."
F. de la Rochefoucauld – Maximes et Rêflexions morales
17 Agustus 2025.
Minggu, harusnya adalah hari puncak kebebasanku. Lepas dari segala rutinitas sekolah dan berinteraksi dengan orang-orang adalah hal yang paling aku sukai. Hanya sekarang aku bisa menikmati yang namanya libur, begitulah keinginanku sebelumnya.
Pesan masuk dari Veronika pagi ini sudah menghancurkan ketentraman liburanku. Dia seperti bos yang menerapkan romusa pada pegawainya, dan sialnya itu adalah aku. Memang aku tidak selalu bekerja di bawah perintahnya, tetapi kalau Veronika memberikan pekerjaan pasti cukup berat.
"Harusnya kamu senang, dong. Kelompok kamu udah ada harapan buat pentas lagi. Ceria dikit, dong!"
Kata-kata yang menyebalkan itu keluar dari mulut gadis yang memanggilku untuk ke kamarnya. Percayalah, meski terdengar ekspresif, dia mengatakan itu dengan wajah datar. Aku belum pernah masuk ke dalam kamar perempuan sembelumnya. Jadi, ini terasa agak canggung.
Kamar ini terlihat cukup bersih. Beberapa aksesoris dan perabot yang cukup manis khas anak perempuan juga ada. Lantainya di tutupi oleh alas berwarna merah muda. Di dekat meja belajarnya ada sebuah laptop dan tas kecil yang sama-sama pink. Mungkin itu warna favoritenya.
Televisi LCD yang menempel di dinding menyiarkan berita pagi, sungguh tontonan yang membosankan untuk seorang gadis. Namun, suara siaran itu disetel sangat kecil bahkan hampir tak terdengar. Seakan dia hanya menyalakannya tanpa tujuan yang jelas.
"Jadi, kenapa kamu nyuruh aku ke sini?" tanyaku tanpa merespon perkatan Veronika tadi.
"Kamu jadi cowok enggak bisa gitu basa-basi dulu?"
Aku masih berusaha menduga-duga apa sebenarnya tujuan Veronika. Hal yang menjadi masalah adalah aku berkunjung kemari. Sebenarnya tidak ada larangan dari pihak, kecuali berkunjung ke kamar perempuan pukul 10 malam lewat.
Tetap saja rasanya aneh jika aku harus mengunjungi kamar Veronika, maksudku rumor macam apa yang akan menyebar kalau ada yang mengetahuinya? Atau bisa saja dia memanfaatkan ini dan menyebarkan berita meragukan pada anak-anak yang lain untuk semakin membuatku patuh.
Membayangkan gambaran-gambaran negatif tentang Veronika memang tidak ada habisnya. Aku kesulitan mengikuti pemikirannya. Bahkan sampai sekarang aku juga belum mengetahui kenapa dirinya menjadikan Felly sebagai orang yang bekerja sama dengan Ryan.
Matanya terus memandang ke arahku, sesekali ia berkedip. Tetapi tidak ada garis lengkungan di bibirnya. Rata, hanya rata. Dia benar-benar tanpa ekspresi sama sekali. Dilihat-lihat wajahnya cukup manis, hidung yang mancung, bibir tipis, dan mata bulat yang sempurna. Ditambah dengan rambut pendek sebahu.
Aku baru menyadari sosoknya. Dulu entah karena rasa takut atau perasaan tidak nyaman lainnya, mata ini lebih memilih menunduk dan tak memedulikan wajahnya. Tiba-tiba mataku menangkap senyuman di bibir itu, menambah kesan manis dirinya yang baru kusadari.
"Kenapa? kamu jatuh cinta sama aku?" Veronika menampilkan senyuman jahil, dengan sedikit kekehannya yang terdengar pelan.
Baiklah lupakan, dia menyebalkan sampai akhir. Aku ingin segera keluar dari tempat ini dan kembali ke kamarku. Duduk berhadapan dengannya pada meja kecil persegi ini membuat suasana semakin aneh.
"Apa kamu enggak ada niatan buat jawab pertanyaanku tadi?"
"Hmm, sebenarnya aku cuman mau ngobrol sama kamu ... enggak boleh, ya?" Sekali lagi Veronika menampilkan raut yang berbeda, tampak ragu-ragu dan tak enak hati. Matanya tidak menatap ke arahku lagi dan kepalanya malah berusaha berpaling dariku.
Jangan, jangan tertipu. Aku sudah bisa melihat polanya. Amemayu Children's tidak mungkin memiliki perasaan. Mereka hanya berpura-pura mempunyainya. Mereka hanyalah manusia apatis yang bahkan minim empati, atau itulah yang aku percayai.
Namun, melihat Vero yang bersikap seperti ini sedikit keraguan muncul di hatiku. Aku kadang bertanya-tanya, apakah aku memang lemah jika berhadapan dengan gadis?
Aku selalu kecolongan jika berbicara dengan gadis-gadis di sekolah ini. Mulai dari janji pada Felly, terjebak dengan Veronika, lalu memberanikan diri bekerja sama dengan Ryan hanya untuk Yurina. Walau yang terakhir juga ada kepentingan tersendiri untukku.
Rasanya ingin sekali mengutuk diri karena selalu terganggu oleh pesona lawan jenis. Tapi, bukannya ini menandakan kalau diriku adalah remaja laki-laki yang normal? Setidaknya itu yang membuatku berbeda dengan anak-anak New Testment, mungkin?
"Apa segitunya kamu enggak mau merhatiin aku?" tanya Veronika dengan nada sendu.
"Kalau cuma ngobrol, aku sama sekali enggak keberatan."
Mimik muka senang langsung ditampilkan oleh Veronika. Ekspresi yang malu-malu dengan kepala yang makin menunduk itu membuat nilai imutnya bertambah. Aku jadi semakin meragukan kalau Amemayu Children's tidak memiliki emosi.
Sejauh yang aku tahu, Veronika memang tidak terlalu menampilkan perasaannya di sekolah. Dia lebih ekspresif ketika sedang bersama seseorang yang mengetahui identitasnya. Jika dilihat-lihat lagi, dia mirip seperti gadis yang kurang bergaul, mengingat dirinya berada dalam fasilitas selama tiga tahun.
"Kamu emang gampang ditipu, ya?"
Lupakan pemikiran sesaatku tadi. Veronika memang suka mempermainkanku, dia menyebalkan seperti biasanya. Bahkan aku mulai yakin kalau mereka sama sekali tidak memiliki perasaan. Senyuman mengejek bercampur wajah bangga akan kemenangan tergambar jelas.
Ekspresinya yang menyeringai tampak sangat menyeramkan. Beberapa kali aku merasa tidak nyaman ketika melihat sosok paling murni Veronika. Seperti semua kejahatan sudah bermuara pada sosok kecil tersebut.
"Kalau gitu jelasin, kenapa kamu manggil aku ke sini?" merasa sudah tidak tahan lagi dengan peringainya nan menyebalkan akhirnya aku kembali buka suara.
"Hmm, aku cuma mau ngasih tau. Kalau Nopi udah berhasil manipulasi kelompok kecil yang dikhawatirin Felly. Aku masih ada firasat buruk, sih."
Aku penasaran ketika dia menampilkan ekspresi khawatir untuk pertama kali. Tak biasanya dia memperlihatkan kegusarannya. Mungkin sekarang wajah ini sedang melukiskan keingintahuan. Entahlah, aku tidak bisa melihat diriku sendiri.
Kenapa? Hanya itulah pertanyaan yang ada di kepalaku. Sesuatu yang dapat membuat salah seorang Amemayu Children's menjadi khawatir. Terlebih lagi, menampilkan gerakan tubuh yang bisa dibaca dengan mudah. Berkali-kali dia mengarahkan bola matanya, ke kiri dan ke kanan. Sedang berpikir dengan keras tanpa maksud yang jelas.
"Apa yang kamu khawatirin?" sengaja aku mengeluarkan pertanyaan itu dengan suara yang agak keras agar dapat membuyarkan lamunannya.
Sontak tubuh Veronika tampak terkejut, dia sudah terbangun dari imajinasi. Menatapku kembali dengan lebih serius. Seringai yang sering ditampilkan sudah tidak ada lagi. Menambah keyakinanku kalau apa yang dirinya pikirkan adalah sesuatu yang merepotkan dan pastinya tidak menyenangkan.
"Aku pengen improvisasi. Aku ngerasa ada yang aneh sama Aila Permata Putri. Dia, sesuatu yang cukup enggak biasa." Veronika memasang wajah curiga, sedikit was-was dan seperti menyimpan banyak pertanyaan dalam setiap kata yang keluar dari kalimat terakhirnya.
Aila Permata Putri berhasil membuat gadis di depanku memiliki keraguan. Aku belum pernah berinteraksi langsung dengannya, sehingga kesimpulan yang kudapat hanyalah ia adalah siswi biasa yang terkena sial sebab sekolah di SMA Amemayu.
Namun, penampilan bisa saja menipu. Contoh yang paling nyata adalah Veronika Devita. Gadis apatis di kelas yang terlihat biasa saja ternyata adalah salah satu diantara mereka. Tidak bisa dipungkiri, bagi siapa pun yang bersamanya akan sulit menebak kalau dia adalah serigala berbulu domba.
"Apa ada kemungkinan kalau dia itu salah satu dari Amemayu Children's?" aku tidak begitu yakin jika pertanyaan ini akan mendapatkan jawaban darinya.
Veronika berpikir sejenak, menyentuh bibirnya dengan telunjuk dan sedikit menundukkan kepala. Berlagak seperti detektif yang melakukan praduga. "Bisa aja, tapi aku belum yakin."
Aku mengangkat sebelah alis, melukiskan ekspresi heran. Pertanyaan demi pertanyaan yang selama ini aku cari belum terjawab sepenuhnya, malah ada lagi yang baru. Seperti, apakah Amemayu Children's tak mengenal sesama mereka sendiri?
Kata-kata penuh keraguan, tindakan yang berhati-hati. Aku bisa menduga kalau Veronika melakukan beberapa simulasi dan memikirkan banyak probabilitas di otaknya. Hanya saja, aku tak bisa menebak seberapa banyak yang bisa dia lakukan. Kapasitas otak manusia terbatas, tidak ada yang mampu mencapai taraf maksimal.
Namun, Amemayu Children's bisa memanfaatkan fungsi otak lebih daripada orang biasa. hasil yang berbeda adalah seberapa mampu mereka dan seberapa hebat kegigihan yang mereka lakukan. Karena pada dasarnya, program ini dimaksudkan untuk menciptakan manusia jenius buatan.
"Ada sesuatu yang terus mengganggu pikiranku," ucapku menatap matanya lurus.
"Apa yang kamu pengen tau?"
Tidak ada suasana mencekam seperti dulu, hanya pertanyaan murni seperti anak kecil yang benar-benar ingin tahu rahasia umum yang sebenarnya mudah dipikirkan. Untuk sesaat, aku bisa megabaikan sisi menyebalkan yang Veronika miliki.
"Apa Amemayu Children's enggak saling kenal satu sama lain?" aku mengamati lagi gerak-geriknya. Kali ini harus lebih fokus dan teliti daripada sebelumnya.
Ketika dalam kebingungan, seseorang akan kesulitan menutupi kebohongannya. Otak mereka lebih fokus pada masalah yang akan dihadapi dibanding situasi sekarang. Saat-saat seperti inilah kecendrungan seseorang yang berbohong dapat dibaca dengan mudah.
"Kenapa kamu nanyain hal itu?" lontaran balik Veronika yang kini mengidentifikasikan dirinya sedang bertahan terlihat jelas. Apalagi mimik serius yang terlukis di mukanya sudah menjelaskan segalanya. Aku hanya perlu mengambil langkah hati-hati.
"Enggak ada yang spesial, cuma penasaran aja. Bukannya itu manusiawi?"
Kebiasaan buruk orang menginterogasi adalah langsung menanyakan maksud yang kita cari. Kenyataannya, seseorang akan mudah bicara kalau kita bisa membangun sebuah hubungan rasa saling percaya tanpa menghancurkan tembok pertahanan lawan dengan perlahan.
"Kalau kamu kira segampang itu bikin aku buka mulut kamu payah," hina Veronika dengan suara meremehkan. Senyuman lebarnya tampak, tapi bukan bermaksud menghibur. Lebih seperti setan kecil yang senang ketika melihat mangsanya sudah memilih jalan yang salah.
Sepertinya ada langkah yang salah dari pendekatanku, sial! Aku kecolongan entah dibagian mana, dia seperti sudah bisa memperkirakan tahap-tahap rencana yang sudah disusun. Menyebalkan, apalagi senyuman itu sangat ingin kuhapus dari bibirnya.
"Kapan kamu sadar?"
"Apa itu penting?"
"Kapan kamu sadar?" ulangku agar dia segera menjawab.
Sebelum menjawab Veronika malah tertawa dengan lepas, sangat menikmati perdebatan kami yang sama sekali tidak lucu. Beberapa detik berlalu, dia kembali pada ekspresi setan kecilnya, menampilkan seringai yang lebih mengerikan dibanding sebelumnya.
"Kamu kira kami enggak diajarin yang kaya gitu? Aku udah curiga pas kamu nanya pertama kali," ungkap Veronika semakin pamer senyuman kemenangan.
Hanya helaan napas yang berat keluar dari mulutku. Rasanya sia-sia saja jika menghadapi mereka. jika aku bergerak satu atau dua langkah, mereka sudah memikirkannya lima sampai enam langkah ke depan.
"Tapi aku bakalan ngasih tau kamu, kok. Kami emang enggak tahu identitas masing-masing."
Fakta yang dia paparkan membuatku tercengang. Jumlahnya tidak diketahui dan bahkan mereka sendiri tak mengetahui identitas masing-masing. Apa yang sebenarnya Amemayu ingin lakukan pada kami?
Dengan informasi baru yang kebenarannya belum 100% aku bisa mendapatkan sedikit asumsi. Anak bermasalah, anak yang ditugaskan, Amemayu Children's, dan anak-anak biasa. Itulah golongan orang-orang yang berada di SMA Amemayu.
Sebenarnya, simulasi masyarakat seperti apa yang diinginkan oleh Amemayu Group? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Semua hal yang kualami semakin membingungkan. Tujuan utamaku masuk sekolah juga menjadi kabur gara-gara serangkaian peristiwa dan fakta-fakta aneh ini.
"Kamu pasti lagi mikir, kenapa bisa aku enggak kenal anak-anak New Testment yang lain?" godanya dengan suara lembut. Alih-alih penasaran aku malah merinding.
"Terus, gimana kamu bisa tau soal nama anak Kelas A yang aku cari?" hanya itu yang membuatku penasaran. Jika mereka tidak saling mengenal, bagaimana Veronika mendapatkan nama tersebut?
Mataku sedikit melebar setelah melihat wajah Veronika yang terkejut, menggambarkan seseorang yang tertangkap basah melakukan suatu kejahatan. Di saat itulah juga aku memahami sesuatu.
"Aku rasa enggak ada untungnya lagi kita kerja sama."
Tidak perlu mendengarkan ocehannya lagi, selama ini dia hanya bermain-main denganku. bahkan, nama itu saja sudah jelas adalah kebohongan semata. Tidak ada keuntungan lagi untuk terus bekerja di bawah perintahnya. Akan tetapi, kalimat berikut yang keluar dari mulutnya berhasil menghentikan langkahku.
"Fathur Anugerah, murid Kelas F melakukan tindakan enggak senonoh di kamar temen sekelasnya. Kayaknya hal ini bagus buat jadi bahan gosip besok." Dingin, suara itu benar-benar dingin. Tidak ada keraguan sama sekali. Dia terdengar serius dengan ucapannya.
Aku berbalik dan mendapati dirinya yang sudah berdiri di dekatku dengan senyuman setan kecilnya. Tiba-tiba dia menarik tanganku sekuat tenaga, membuat kami terjatuh dengan posisi yang tidak menyenangkan.
"Aku udah dapat foto buat buktinya, kamu masih mau kerja sama denganku, 'kan?" tanyanya dengan seringai yang melebar ketika terbaring dengan pakaian yang agak sedikit terbuka.
Saat itu juga aku menyadari, memasuki kamar ini memang sudah salah sejak awal. Ini adalah jebakannya, jebakan untuk membuatku semakin terikat. Pembicaraan tadi juga sepertinya disengaja. Benar-benar sial!
***
Sudah hampir dua minggu berlalu semenjak aku memasuki sekolah. Normalnya berkenalan dengan orang baru dan menjadi akrab adalah hal yang wajar terjadi pada masa-masa remaja. Andai saja memang senormal itu.
Sebagai seorang remaja, teman adalah sesuatu yang penting. Karena masa SMA adalah salah satu titik awal dalam menentukan apakah dirimu bisa beradaptasi dalam masyarakat atau tidak. Di sini juga adalah tempat yang bagus mengenai relasi dan hal lainnya.
Sayangnya, relasi yang aku bangun malah melibatkan beberapa murid yang tidak biasa. Malah bisa dikatakan kalau mereka adalah contoh orang-orang yang sangat memahami arti bagaimana membangun relasi dan memanfaatkan segala yang bisa digunakan. Pengetahuan, keterampilan, dan tentu saja manusia.
Aku meminum lagi kopi kaleng yang baru saja kubeli beberapa saat lalu. Aku masih menunggu ketadangan seseorang yang sudah membuat janji denganku sebelumnya. Pembicaraan yang akan terjadi sepertinya akan cukup panjang, mengingat diriku sudah mengambil keputusan sendiri.
"Apa lo udah lama nunggu?"
Kepalaku langsung mengadah, melihat sosok berbadan tegap dengan bermuka garang yang mengenakan baju kasual. Sudah 10 menit aku duduk di kursi taman depan asrama, menanti orang ini keluar dari kamarnya. Di sampingnya juga ada seorang tamu yang tidak diundang.
Cahaya lampu neon cukup mampu menerangi seluruh taman, dapat menampakkan dengan jelas sosok yang ada di sebelah David, gadis berambut panjang dengan semir merah di sedikit bagian. Aku sudah menduga kalau dia pasti akan membawa Yurina, dan kelihatannya dua orang lagi juga akan ikut nantinya.
"Enggak juga. Ngomong-ngomong, apa kalian mau ngomingin hal itu di sini?" tanyaku melihat cukup banyak orang-orang yang masuk dan keluar asrama melewati jalan ini.
Keterkejutan yang digambarkan oleh wajah David bisa dilihat dengan jelas. Dia langsung memandang Yurina, seperti hendak meminta pendapat. Pembicaraan kami kali ini akan cukup serius, sebisa mungkin jangan sampai ada orang asing mendengarkannya.
"Gimana kalau di kafe bangau kertas?" saran Yurina yang langsung mendapat anggukan setuju dari David.
Tunggu, bukannya itu kafe yang sering dijadikan Ryan sebagai tempat pertemuan? Memang benar di sana tak banyak orang yang datang. Namun, masih ada perasaan khawatir pada tempat tersebut. Harap-harap saja dia tidak berada di sana.
"Kalau gitu ayo ke sana."
"Gue ngabarin Radit sama Kelvin dulu bentar." David mengeluarkan ponselnya, mengabari dua orang lain yang sudah kuduga juga akan terlibat dalam pembicaraan kami.
Walaupun sudah menduga hal ini akan terjadi, aku akan tetap melakukannya. Ada sesuatu yang harus kupastikan dan tentu saja ini juga merupakan salah satu keinginanku sendiri agar tetap bisa berada di SMA Amemayu.
Sekarang kami sudah duduk mengelilingi meja bundar di bawah puluhan bangau kertas yang digantung pada langit-langit. Dua orang yang tadi dimaksud David juga sudah datang. Tidak ada siapa pun di lantai bawah, kebanyakan pengunjung akan berada di lantai dua. Dan mereka semua adalah kakak kelas.
Di sebelahku ada Yurina dan David, sementara di depan ada Kelvin dan Radit yang kelihatannya masih menduga-duga maksud pertemuan ini. Mereka sesekali memandang Yurina dan David, sepertu hendak meminta kejelasan dengan apa yang terjadi.
"Kalian pasti udah tau kalau kelompok kita enggak bisa pentas. Tapi Fathur punya cara yang bisa ngebuat kelompok kita enggak dilarang pentas," buka David yang akhirnya bersuara. Dia kelihatan lebih serius, tetapi masih ada sedikit kebimbangan yang tergambar jelas di matanya.
Tentu saja tiga orang lain sisanya tampak kaget mendengar hal itu. Mereka sudah berpikir tidak ada harapan lagi untuk tetap melakukan pentas sebagai kelompok, tetapi mendengar munculnya sebuah solusi dari seseorang pastinya mereka akan penasaran.
Sebelum itu aku menanyakan situasi saat hari perkelahian, aku meminta kejelasan bagaimana hal tersebut bisa terjadi. Mereka bertiga bilang kalau saat sedang menemui Yurina dan mengajaknya untuk mengambil alat musik ke asrama, beberapa siswa Kelas C yang lain datang dan mengejek mereka.
Entah karena kebetulan atau apa, seorang guru langsung berlari ke arah mereka. Guru itu bilang kalau sudah melihatnya dari awal dan menetapkan mereka bersalah sehingga sanksi diberikan.
Aku merasakan ada beberapa kejanggalan dalam cerita tersebut. Timing mereka dan guru seperti bukan sebuah kebetulan, melainkan sudah direncanakan sejak awal. Namun, aku tidak bisa mengambil asumsi lebih. Masih ada benang yang belum tersambung dengan peristiwa tersebut.
"Oke, terus lo punya cara apa biar kita semua bisa dapat hak pentas?" Radit langsung bertanya, ia terlihat sudah tidak sabar mendengar solusi yang ditawarkan.
Aku melihat ke arah Kelvin. Dirinya tak seantusias temannya, malahan terkesan biasa saja. Beberapa kali aku perhatikan, laki-laki itu seperti tidak fokus dengan pembicaraan kami. Sangat berbeda dengan Radit yang menanti-nanti sebuah jawaban.
Meski tidak bersuara, Yurina kelihatannya juga sama seperti Radit. Ia tampak senang karena ada cara untuk mereka pentas, yang artinya bisa menghindari sanksi dropout. Ekspresi penuh syukur sekaligus penasaran yang bercampur menjadi satu tak henti-hentinya ia tampilkan. Senyuman tipis dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Terakhir adalah David, dia yang sudah megetahui bagaimana aku akan memberikan solusi malah jelas sekali gusarnya. Dengan kepala nan menunduk tak mau menatap wajah yang lain, dia sesekali mengusap dahinya.
Aku ingat saat pertama kali memberikan solusi pada David, dia hampir melayangkan tinjunya andai saja aku tidak bisa meyakinkannya kalau cara ini adalah cara terakhir yang kelompok kami miliki. Sampai akhirnya perdebatan kami tidak menghasilkan apa-apa hingga akhirnya hari ini datang.
"Hanya ada satu cara agar kelompok kita bisa ngelakuin pentas dan catatan merah kalian bisa hilang. Yaitu, salah satu dari kalian harus ada yang dikorbanin buat kena dropout."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top