3rd Event: Rumpelstiltskin (Bagian 4)

Aku tidak bisa langsung menjawab, perlu waktu untuk memikirkan langkah yang benar sekarang. Hanya ada dua pilihan, aku mengorbankan Felly untuk bisa bertahan di sekolah atau menepati janji tetapi membiarkan kelompokku sama sekali tidak bisa melakukan pentas.

Keduanya memiliki dampak yang besar, namun salah satunya akan membawa keuntungan. Meskipun aku masih terus menimbang-nimbang mana yang sebaiknya aku pilih. Di satu sisi aku mau menepati janji pada orang pertama yang aku temui di sekolah ini. Sementara satunya lagi ingin mempertahankan kelompok.

"Sebelumnya, aku pengen tanya sesuatu. Kenapa kamu mau Felly dikeluarkan?"

Aku harus mendapatkan sedikit titik terang untuk masalah ini. Ryan adalah orang yang menawari kerja sama dengan Felly, perjanjian mereka juga sudah direkam. Dalam rekaman suara itu memang tidak menyinggung kalau mereka boleh mengeluarkan satu sama lain, tetapi larangannya juga tak ada.

"Enggak ada yang spesial, aku cuman pengen tau aja, gimana proses dropout dari sekolah ini. Lagian, satu Amemayu Children's yang keluar enggak terlalu banyak ngasih kita bonus, 'kan?"

Kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya berhasil membuatku tertegun. Ryan sungguh berbeda dengan diriku. Walau dia bilang kami memiliki kesamaan, tetapi orang ini sepertinya tidak melakukan itu demi tugas seperti yang dia maksud, ada rasa penasaran dan keingintahuan dalam dirinya.

Senyuman ramah itu kembali terukir diwajahnya, tepat ketika membuat pernyataan yang lumayan membuatku yakin kalau sebenarnya bentuk kerja sama yang akan kami buat sangatlah rapuh. Ryan bisa saja mengkhianati siapa pun, dia tidak akan ragu untuk melakukannya. Tipe orang yang mengejar keuntungan semata.

"Apa kamu ragu?" Ryan menatapku dengan ekspresi tenangnya. Walau dia bertanya sambil menampilkan garis lengkungan dengan bibirnya, aku masih bisa merasakan hal yang tidak mengenakkan dari laki-laki ini.

"Bagi mereka yang punya otak juga bakalan ragu nerima tawaran dari orang yang bisa nusuk mereka dari belakang." Aku memberikan tatapan curiga, berusaha menganalisis lebih dalam sifat Ryan Pratama. Meskipun tidak sepenuhnya akan berhasil, tetapi patut dicoba.

"Waspada adalah ketrampilan dasar yang harus dipelajari. Sebenarnya aku ini juga orang yang waspada lho, tapi aku enggak ngerasain itu pas lagi bicara sama Felly. Apa dia beneran Ameamyu Children's?" Ryan kini memperlihatkan ekspresi yang lebih serius, berusaha mengorek informasi dari responku.

Dia pasti juga sudah terlatih untuk membaca psikologis manusia. Semua tingkah laku, pikiran, gerak, dan semacamnya dapat dibaca jika kita mengetahui pola yang ditampilkan oleh lawan bicara. Tapi, jika dua orang memiliki kemampuan yang sama, hasilnya akan ditentukan oleh kelalaian pihak lainnya.

"Siapa yang tahu, meski Amemayu Children's diangkatan kita hanya sedikit, tidak semuanya mengumbar identitas mereka."

Aku memiliki beberapa dugaan nama tentang siapa saja Amemayu Children's dan sudah ada satu orang yang dapat dikonfirmasi. Mencari mereka mirip seperti mencari jerami ditumpukan jarum, sulit dan menyakitkan. Kelihatannya bukan hanya diriku yang merasa seperti itu.

Meskipun suasana masih dingin, aku bisa merasakan hawa panas di tempat ini. Tatapan intens yang haus akan jawaban, terkesan terus memaksa diriku untuk mengeluarkan apa yang dia inginkan. Namun, aku tetap dalam posisi bertahan. Tak akan kubiarkan dia bisa melihat celah sedikit pun.

"Yah, aku juga enggak bakalan tau, apa beneran Felly Andara itu salah satu dari mereka, atau cuman boneka. Aku enggak terlalu peduli, selagi bisa liat apa bener sekolah ini bakalan nge-dropout atau enggak, siapa pun boleh, kok jadi kelinci percobaan."

Ryan menghabiskan minuman di cangkirnya, lalu meletakkan kembali ke atas meja. Dia melemaskan otot lehernya, lalu menampilkan lagi ekspresinya yang khas. Laki-laki itu menyerah, dia juga mengatakan kalau siapa saja yang akan dikorbankan tidak masalah, atau begitulah yang aku tangkap dari kata-katanya.

Kafe yang sepi dan sayup-sayup terdengar suara hujan deras, suasana kami sama sekali tidak berubah setelah tadi Ryan mengungkap tujuannya. Dia tampak sangat tenang, menanti apa yang akan kuberikan sebagai jawaban. Dengan tangan yang menyilang di depan dada, mimik tersenyum puas itu menambah arogansinya.

"Jadi, kamu enggak keberatan kalau orang yang enggak ada hubungannya sama tugas kamu bakalan kena dropout?"

"Itu udah jelas, dong." Ryan memamerkan wajah bersahabatnya.

Tentu saja itu hanyalah topeng yang menutupi sifat manipulatifnya yang busuk. Siapa pun yang berbicara dengannya dan bisa berpikir jernih, pasti sudah bisa menyimpulkan kalau Ryan Pratama adalah orang licik yang bersembunyi di balik keramahannya.

Terlalu terbuka, iya serangannya sangat banyak celah. Dengan begini aku bisa sedikit yakin kalau Ryan bukanlah salah satu dari mereka. Mungkin memang benar kalau dirinya juga sama sepertiku, anak yang ditugaskan seseorang untuk mengeluarkan Amemayu Children's.

"Apa kamu bakalan terima tawaranku soal kerja sama kita?"

"Sebelum itu, aku mau kamu memenuhi beberapa persyaratan."

Ryan terdiam sebentar, lalu menyeringai dan menatap dengan antusias. "Mari kita dengarkan."

Belum sempat aku berbicara, suara bel dari arah pintu berbunyi. Meski ingin mengabaikannya, namun suara yang dingin berhasil membuat perhatian kami berdua tertuju pada orang yang datang tersebut.

Dua orang gadis sedang berdiri di sana, sembari melepas jas hujan dan payung yang mereka pakai. Aku mengenal mereka, karena selain kami sekelas, salah satunya adalah Amemayu Children's yang sudah kuketahui.

Tunggu dulu, jika Veronika datang kemari, apakah artinya Ryan mengetahui kalau target yang dia cari adalah gadis itu? Melihat ekspresinya yang biasa saja sulit untuk menebaknya. Sementara Veronika hanya memandang ke arahku dengan tatapan mengancam, seperti 'tutup mulutmu'.

Nopi yang ada di sebelahnya bergerak lebih dulu, menghampiri kami berdua. Ryan menyambutnya dengan senyuman ramah, sembari memanggil lagi pelayan kafe untuk membawakan menu.

"Kamu lebih telat daripada biasanya, ya?" Ryan menatap gadis itu dengan lembut. Meski nada bicaranya agak sedikit menyindir, tetapi seakan ditutupi oleh sifatnya.

Dia mengalihkan pembicaraan tadi, sepertinya perjanjian kami harus ditunda dulu karena kedatangan dua orang yang tidak terduga bagiku. Ryan tak pernah mengatakan kalau Nopi dan Veronika akan hadir di sini. Banyak pertanyaan di kepalaku, tetapi memilih untuk mengamati saat ini adalah keputusan terbaik.

Veronika duduk di sebelah kananku, dia masih diam dan menampilkan wajah acuh tak acuh seperti saat di kelas. Sementara Nopi kelihatan lebih tegang dari biasanya, meskipun begitu ia sebisa mungkin untuk terlihat santai.

Pembicaraan tadi hampir menghabiskan waktu sekitar satu jam. Akhirnya selesai bersamaan dengan hujan yang sudah mulai reda. Dari yang aku dengar tadi Nopi dan Ryan memiliki kesepakatan mengenai hubungannya dengan Kelas A.

Kesimpulan sementara yang aku dapatkan, Ryan menganggap Nopi adalah Amemayu Children's atau paling tidak adalah boneka. Sementara Veronika sebagai pengamat, yang sebenarnya memanfaatkan Nopi untuk bertukar informasi dengan Ryan.

Aku tidak terlalu tertarik dengan topik yang tadi mereka bicarakan, dan ketika ingin pergi aku ditahan oleh tendangan kecil Veronika. Menyebalkan!

Mereka hanya membicarakan tentang perselisihan internal di dalam Kelas A dan mau memanfaatkan peluang itu untuk mendapatkan popularitas. Bagi Ryan, Kelas A memiliki dua orang unggul yang cukup merepotkan, karena mereka dapat memberi pengaruh pada kelas-kelas bawah.

Masih belum diketahui sebenarnya untuk apa dua orang itu melakukan hal tersebut. Tetapi karena mendapat perhatian dari Veronika dan Ryan, sepertinya hal ini cukup penting sehingga tanpa aku sadari, aku ikut mendengarkan rencana mereka.

"Aku enggak nyangka, Ryan itu bikin perjanjian sama siapa aja, sih?"

Pertanyaan itu datang dari Veronika yang masih setia duduk di kursinya. Menatapku dengan tidak mengenakkan. Sementara dua orang lainnya sudah pulang terlebih dulu, sehingga hanya kami yang tersisa. Seharusnya tadi Nopi juga masih ada di sini, tapi gadis mungil ini mengusirnya dan bilang ingin membicarakan sesuatu denganku.

Matanya nan bulat itu begitu menyeramkan ketika ia mempertajam tatapannya. Ditambah lagi wajah yang ditekuk karena kesal itu masih utuh. Jika aku salah bicara, bisa saja aku yang akan menjadi target pelampiasannya. Pergerakan Ryan yang bekerja sama dengan siapa pun tampaknya tak masuk perhitungannya.

"Aku kira kamu udah perkirain ini," celetukku untuk berbasa-basi.

Sekali lagi sepatu yang ia kenakan menghantam lututku. Aku mungkin sekarang menyadari kalau Veronika adalah orang yang kasar. Sepertinya aku harus bisa lebih menjaga mulut ini untuk keselamatan diri sendiri. Jika kemarahannya memuncak, bisa saja aku babak belur atau kemungkinan terburuknya di dropout dari sekolah.

"Terus, kerja sama apa yang kamu bikin sama Ryan?"

"Aku rasa, bentuk kerja sama yang Ryan buat itu lebih seperti pertukaran."

Veronika mengangkat alisnya, mungkin kaget dengan apa yang aku utarakan. Dalam sekejap ekspresi itu berubah menjadi ketertarikan, ia penasaran. Seringai tajamnya yang menyeramkan terasa mengintimidasi, memaksa diriku untuk segera buka mulut.

"Dia menawarkan bantuan, tapi kita harus ngasih dia pertukaran yang setimpal. Itu menurutku bukan bentuk kerja sama, malahan mirip seperti meminta tapi ngorbanin sesuatu."

Tidak ada perubahan berarti di raut wajah Veronika, kecuali seringainya yang semakin lebar. Lalu ia mengucapkan, "Bukannya itu emang cara kerja iblis?"

Aku terdiam setelah suara gadis itu mengucapkan kalimat yang agak menyeramkan. Harus aku akui, Veronika memang benar. Begitulah cara kerja seorang iblis, mengabulkan permintaan kita, tetapi dengan membayar sesuatu yang tidak murah. Aku juga sudah melakukan hal itu, dan kebebasan adalah bayarannya.

"Ngomong-ngomong, aku ke sini cuman mau ngasih tau kamu soal langkah kita selanjutnya mengenai tudung merah."

***

14 Agustus 2025

Pagi yang cerah seperti biasa, tidak ada yang begitu spesial hari ini. Setelah kelompok kami mengalami keretakan kemarin, aku kembali melakukan aktivitas sendiri. Berjalan dari asrama ke sekolah seorang diri, tidak ada Yurina atau David seperti hari sebelumnya.

Sungguh menyeramkan, dalam hitungan jam situasi bisa berubah cukup drastis. Aku memang tak terlalu paham mengenai hubungan manusia yang disebut sebagai persahabatan, karena yang aku tahu ikatan manusia hanyalah sebatas keluarga saja. Sementara orang lain adalah sosok asing yang tak boleh didekati.

Karena keluarga aku bisa berakhir di sekolah ini, akan sangat membosankan jika mengingat kejadian di hari itu. Lagipula aku juga tidak ingin mengingatnya. Kalau bukan demi keluarga, aku tidak akan menerima kontrak sang iblis dan berakhir dalam permainan yang menyakitkan.

Aku terlalu banyak mengkhayal saat sedang berjalan. Harusnya aku tidak memikirkan hal ini. Sepertinya aku terlalu pagi, sebab tidak terlalu banyak siswa yang berangkat ke sekolah sekarang. Hanya ada beberapa kelompok gadis, laki-laki dan beberapa penyendiri yang aku dapat lihat saat menuju gedung pembelajaran.

Dilihat-lihat, area sekolah yang sangat luas ini memang seperti di negara lain. Rumput hijau membentang luas, bersama dengan beberapa pohon teduh dan kursi di jalan untuk beristirahat. Tiang-tiang lampu juga menjadi hiasan tersendiri. Juga nampak beberapa tiang penunjuk jalan.

Sejauh mata memandang hanya terdapat gedung-gedung besar nan megah dan terlihat khusus. Setiap gedung digunakan untuk satu bidang kesenian, baik sebagai pembelajaran ataupun kegiatan ekstrakurikuler. Begitulah yang aku baca dalam buku panduan sekolah, saking bingungnya untuk menghabiskan waktu.

"Fathur?"

Panggilan dari suara manis yang familiar. Aku menoleh ke belakang, mencari sosok yang memanggil. Tampak seorang siswi nan mengenakan blazer hitam yang sangat kukenal, Felly Andara. Dia tersenyum ketika mata kami saling bertemu. Parfum yang gadis ini pakai cukup menyengat, seperti lavender.

Dia segera melangkah maju, hingga akhirnya berhenti tepat di sebelahku. Sungguh sebuah kebetulan, aku memang tidak berniat pergi bersama seseorang. Namun, kelihatannya Felly yang terbiasa berangkat pagi akhirnya akan menemaniku dalam perjalanan yang sangat singkat ini.

Tanpa ada suara, secara alami kaki kami kembali berjalan. Melewati hamparan rumput yang menemani kami sepanjang jalan. Beberapa kali aku lihat Felly ingin mengatakan sesuatu, tetapi dalam sekejap pula ia mengurungkan niatnya itu. Mungkin ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

"Kenapa?" secara spontan pertanyaan itu keluar dari mulutku. Tepat ketika mulutnya sedikit terbuka lagi.

Matanya melebar, ekspresinya berubah menjadi bingung. Dia kelihatan lebih gugup daripada sebelumnya. Berkali-kali Felly menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha menyembunyikan tingkahnya yang kikuk. Sungguh menggemaskan jika dari sudut pandangku.

Felly masih ragu-ragu, dia berjalan dengan menundukan kepalanya. Mimik muka yang gusar itu bisa terlihat jelas, masih tidak bisa mengatakan apa isi hatinya sekarang. Aku juga tidak akan memaksa, setiap orang pasti memiliki beberapa topik yang tak ingin dibicarakan dengan orang lain.

Semilir angin menerpa kami yang sudah semakin dekat dengan gedung pembelajaran. Felly masih bungkam, suaranya yang menenangkan itu sama sekali tidak keluar lagi setelah memanggil namaku di saat pertemuan kebetulan tadi. Tepat ketika suara yang keluar sedikit dipaksakan, aku segera memotongnya.

"Kalau emang enggak bisa diomongin, mending enggak usah aja."

Felly yang tadi tertunduk kini mengangkat kepalanya dengan mata yang agak melebar. Mulutnya menggambarkan jelas kalau dia sedikit bersyukur. Semburat senyum cerah muncul setelahnya, dia sangat manis kalau dalam keadaan begini.

"Enggak apa-apa, kok. Aku cuman khawatir, bukannya nanti bakalan jadi masalah buat Aila sama Nopi?"

Ternyata itu yang mengganjal dipikirannya. Tadi malam aku menyampaikan padanya kalau flashdisk pemberian Ryan sudah kuberikan pada Nopi dan akan didaftarkan sebagai lagu orisinilnya.

Hal ini jelas akan berpengaruh pada kelompok gadis bernama Aila, dan ini semua adalah rencana Veronika. Tadi malam ia mengatakannya padaku lalu diteruskan kepada Felly. Kalau begini, mungkin posisi Felly akan aman, dengan mengorbankan kelompok lain.

Meski bertentangan dengan prinsip, aku tidak punya pilihan lain. Kecuali mengikuti kemauan Veronika.

"Apa kamu khawatir?" tanpa sadar pertanyaan itu lepas dari mulutku.

Felly tersentak, dia menghentikan langkahnya. Mukanya yang menyimpan keraguan sangat jelas terlihat. Ada perasaan gadis itu yang tidak ingin melakukan rencana mengerikan itu. Aku bisa menyebutnya mengerikan karena bisa saja satu kelompok yang tak tahu apa-apa akan mengalami dropout.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top