3rd Event: Rumpelstiltskin (Bagian 2)

Setelah memberi ancaman tadi, wajah Felly lagi-lagi menampilkan ekspresinya yang biasa. Bibirnya mengukir senyuman manis, memikat setiap orang yang melihat. Tak ayal dia adalah orang yang dapat dengan mudah memberikan kesan kalau dirinya adalah orang yang bisa bersahabat dengan siapa pun.

Aku sama sekali tidak bisa berkata apa-apa saat ini, karena ancaman itu benar-benar menyeramkan. Terdengar tegas dan memiliki penekanan nan kuat. Jika saja aku benar-benar mengkhianatinya, mungkin penderitaan yang dia maksud akan benar-benar datang.

"Tapi, kalau itu Fathur, aku percaya, kok. Kamu enggak bakalan berani ngebohongin aku, 'kan? Apalagi kamu udah janji."

Ekspresi bahagia yang bercampur dengan harapan tinggi, jujur saja sangat sulit untuk mengatakan tidak jika menerima pandangan dari matanya yang berkilauan tersebut. Hanya kali ini saja, ya mungkin hanya kali ini saja aku akan tetap mengikuti arus rencana yang membingungkan dari Amemayu Children's.

Tiupan angin malam menerpa kami. Pelan memang, tetapi rasanya sangat dingin sampai-sampai menusuk tulang. Sudah musim hujan begini, tidak heran udara menjadi lebih rendah daripada yang biasanya. Di langit sendiri hampir seluruhnya ditutupi oleh awan mendung, seakan tidak memperbolehkan bintang untuk menampakkan diri.

"Tenang aja, aku udah pernah bilang, 'kan? Kalau aku bisa jadi jaminan buat kamu."

Setelah mengatakan hal itu bukan senyuman mengembang yang aku dapat, melainkan tatapan intimidasi yang begitu dalam. Dirinya masih ragu, kalau posisinya terbalik mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Tidak ada siapa pun yang bisa dipercaya kecuali diri sendiri, sebab sifat bawaan manusia sekarang adalah curiga.

Felly terus menatap tajam ke arahku. Matanya yang menyipit itu seperti bisa menusuk tepat ke jantungku, mengerikan. Meski dia bilang tidak apa menjadikannya sebagai boneka, aku sama sekali tak berpikir demikian. Malahan ini bisa jadi kebalikannya.

"Gitu, ya ... gimana kalau kita pulang, anginnya udah makin dingin, nih." Felly langsung melangkahkan kakinya, tanpa memperdulikan aku akan mengikutinya atau tidak.

Felly Andara, sebenarnya mana dirimu yang asli?

***

13 Agustus 2025

Sejauh ini aku sama sekali tidak mengalami kemajuan yang berarti. Hampir dua minggu, aku baru mendapatkan nama, yang bahkan belum tentu kebenarannya. Event sudah berjalan di hari ketiga, tepat hari ini juga sepertinya kelompokku yang dipimpin oleh David ingin menjalankan rencana yang disebut.

Mencuri popularitas!

Dari namanya yang terkesan memalukan itu, sudah jelas sekali kalau idenya datang dari kepala David yang sederhana. Selama hasilnya bagus, penamaan sama sekali bukan masalah. David ingin dirinya dapat sekelas dengan Yurina dan dua temannya yang lain. Entah aku akan dimasukkan olehnya atau tidak.

"Pagi!"

Sapaan dari suara manis nan menyenangkan terdengar, sesuatu yang enak untuk didengar setelah tadi malam berhadapan dengan sesuatu yang mengerikan. Dari balik pintu dapat kulihat Yurina dengan senyuman manisnya tengah menunggu, bersama dengan murid laki-laki yang sekelas denganku.

"Yo!" panggil David sembari mengangkat setengah lengannya ke atas.

Aku hanya bisa memberikan pandangan bingung, tepat seperti orang ling-lung. Minggu lalu, aku hanya berangkat dari asrama ke gedung pembelajaran sendiri. Tetapi, sepertinya hari ini akan sedikit berbeda.

"Fathur, lo inget kan hari ini kita harus pentas?" tanya Yurina dengan raut yang kurang lebih mengisyaratkan 'Awas aja kalau kau melupakannya!'

Sejujurnya aku memang lupa. Semakin banyak informasi yang masuk, semakin sering pula aku melupakan beberapa janji pada orang lain. Aku hampir saja mengira mereka kemari untuk mengajakku berangkat bersama, ternyata hanya untuk mengingatkan hal itu.

Helaan napas panjang keluar dari mulut David, sepertinya dia tidak ingin hari ini terjadi. Aku ingat beberapa hari lalu dirinya sangat buruk dalam bermain alat musik. Di antara semua anggota dalam kelompok, hanya dirinya yang sangat buruk.

Semuanya salah, dia buta nada, tempo yang David mainkan juga tidak seirama dengan teman-temannya yang lain. Meski memiliki waktu yang banyak, dari pemungutan suara 3 dari 5 orang setuju 'tuk melakukan pentas dimulai hari ini.

"Hei, buruan kita berangkatnya."

Ucapan Yurina tadi berhasil membangunkanku kembali dari lamunan singkat. Aku melihat ke arah matanya yang memberikan kesan kalau ia sedang berbicara denganku. Tidak ada suara lagi setelah itu, hanya kehampaan diantara kami yang saling melemparkan tatapan bimbang, tidak sebenarnya hanya diriku yang menatap mereka begitu.

"Ngapain, sih. Ayo, dah buruan. Entar kita telat lagi. Gue enggak mau, ya popularitas gue sampai diturunin lagi gara-gara telat," celetuk David melotot dengan mata seramnya.

"Kita berangkat bareng?" aku bertanya karena masih tidak bisa mencerna maksud mereka.

Keduanya saling pandang, lalu kembali lagi menatap ke arahku. Mereka mengatakan kalau sudah menjadi teman adalah hal yang wajar untuk berangkat bersama. Aku tidak pernah menduga ini sebelumnya, awalnya kukira mereka hanya menganggap diriku sebagai pelengkap.

Ternyata kelompok berandalan ini lebih baik daripada yang aku kira. Mereka sangat mudah berteman dengan orang baru. Aku sadar kalau sebelumnya diri ini belum pernah benar-benar memiliki teman sungguhan. Bisa dikatakan, mereka adalah yang pertama.

Kadang-kadang aku berpikir, apa pentingnya hubungan manusia yang tidak memiliki ikatan darah? Di zaman sekarang ini, kebanyakan orang lebih mementingkan sahabatnya dibandingkan keluarga mereka sendiri. Semuanya bilang, sahabat adalah orang yang lebih mengerti tentang kita.

"Ngomong-ngomong, nih. Kalau kita pentas hari ini, siapa yang duluan make fiturnya?" Yurina memalingkan wajahnya ketika kami sedang berjalan menuju gedung pembelajaran, melewati padang rumput dan beberapa tiang lampu.

David sedikit berpikir, aku juga ikut menampilkan ekspresi yang sama dengannya. Ini sama sekali belum kami rencanakan. Padahal hal itu akan menjadi sesuatu yang amat penting. Apalagi ini akan menentukan apakah kami bisa menjalankan rencana rahasia atau tidak.

Yurina masih menanti jawaban itu, ia buruk dalam membaca situasi. Dilihat saja sudah jelas, 'kan? Kami belum memikirkannya. Raut wajah menunggu jawaban gadis ini bisa memberi tekanan tersendiri. Aku mulai mempertanyakan isi kepalanya, apakah hal itu gara-gara berteman dengan David dan yang lainnya?

Semakin lama waktu berjalan, antusiasme mimik Yurina mulai memudar. Sekarang dirinya malah memperlihatkan wajah kebingungan, tetapi tidak ada pertanyaan yang terucap darinya. Agak sedikit terlambat, beruntung saja David dapat menjelaskan hal ini dengan baik.

"Oh, kalau gitu gimana kalau tanya Radit sama Kelvin, siapa tau mereka mau duluan." Yurina memberikan saran yang menurutku tidak buruk. Namun, walau sesaat aku bisa melihat ketidaksukaan David ketika dua nama tadi disebut.

Mata yang berbinar-binar itu seperti memberi tahu kalau ia sangat berharap kalau David menyetujui usulannya. Walau aku tidak terlalu pandai membaca suasana hati seseorang, David kelihatannya cukup bingung antara mengiyakan atau tidak.

Kelemahan seorang laki-laki sepertinya memang perempuan, mereka mengangguk hanya demi menuruti keinginan egois tersebut. Jika aku yang ada dalam posisi yang sama dengan David saat ini, bisa saja aku melakukan hal serupa. Demi mendapatkan senyuman yang tak henti-hentinya mengembang itu.

"Lo suka sama Yurina, ya?" bisikku pelan mendekati laki-laki tersebut, tepat setelah orang yang dibicarakan sudah berjalan beberapa langkah lebih dulu.

Dia tersentak, kaget dengan pertanyaan yang datang secara tiba-tiba. Jawabannya mungkin sudah jelas, aku hanya ingin sedikit bercanda dengannya. Reaksi manusia ketika mendapatkan pertanyaan mendadak tentang isi hati itu bermacam-macam, dan aku mau melihat bagaimana tanggapan David sekarang.

"Hah, mana mungkinlah. Gue udah nganggep Yurina itu adek gue sendiri!" bantahnya dengan nada yang sedikit meninggi.

Untung saja yang dibicarakan sudah cukup jauh, sehingga suara tadi tidak terdengar olehnya. Aku tidak begitu paham dengan hubungan mereka, namun bisa dipastikan kalau David serius dengan perkataannya.

Pandangan yang tegas itu sudah membuktikan, kalau David memang menganggap Yurina seperti saudarinya sendiri. Seorang pembohong selalu menampilkan gelagat yang berbeda dari biasanya. Namun untuk David, dia benar-benar dirinya sendiri, bahkan tidak ada kepura-puraan atas sikapnya.

***

Aku sudah hampir terbiasa dengan kehidupan sekolah, bahkan ini hampir tidak berbeda dengan SD. Kelas yang ribut ketika tidak ada guru, dan terpaksa tenang ketika guru mengajar. Sesuatu yang lain adalah ketika wali kelas kami mengajar. Kebanyakan siswa lebih serius, tetapi dengan atmosfir tidak suka.

Waktu berlalu dengan singkat, jam istirahat makan siang selalu menjadi hal yang dinantikan oleh semua siswa di kelas. Di waktu ini juga David membuat janji dengan anggota lain di dalam kelompok untuk membicarakan tentang pentas yang akan kami adakan setelah pulang sekolah.

Untuk sementara terpaksa aku menolak ajakannya dan menyerahkan masalah itu pada mereka sendiri. Sebenarnya aku juga ingin ikut andil di sana, tetapi ada panggilan lain yang lebih mendesak. Sesuatu yang bisa dikatakan berhubungan dengan janji dan keinginan tersendiri.

Tepat di bagian belakang gedung pembelajaran, terdapat bangunan yang ukurannya ¼ lebih kecil. Berbentuk seperti menara pisa yang tidak terlalu tinggi, hanya saja tidak miring. Dindingnya yang berwarna putih keperakan itu agak mengkilat saat terkena sinar matahari.

Aku melangkah masuk, ke dalam tempat yang belum pernah kujamah. Mengesankan, itulah satu-satunya kesan yang tergambar di kepala ini setelah melihat ratusan rak buku memenuhi ruangan. Menariknya lagi, kursi dibangun mengelilingi tempat dan agak menaik semakin ke atas, mirip ruang orkestra.

Meja-meja kayu berjejer apik mengikuti bentuk bangunan nan melingkar, menambah sentuhan klasik dari tempat ini. Rak yang tersusun rapi dan menempel di dinding membuatnya terlihat kalau kita sedang dikelilingi oleh ribuan atau mungkin jutaan buku, menjulang dari bawah hingga menyentuh langit-langit.

Di sisi ujung juga terdapat tangga untuk menuju lantai berikutnya. Dari luar aku bisa menduga kalau bangunan ini paling tidak memiliki 4 atau 5 lantai. Jika dilihat dari asrama, bangunan ini tampak menjadi satu dengan gedung pembelajaran. Tetapi, ternyata ini adalah tempat yang terpisah.

Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok yang memintaku untuk datang kemari. Tidak perlu membuang waktu lama kini aku sudah menemukannya, sebab tidak banyak orang yang datang kemari. Di tempat duduk tertinggi ruangan ini, tepatnya di ujung sebelah kiri dari tempatku, seorang siswa dengan blazer camel sedang sibuk membaca buku.

"Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?" pertanyaan itu langsung keluar dari mulutku, tepat ketika sudah berhadapan sekitar 1 meter darinya.

Sebuah senyuman teduh yang bersahabat menyambut kedatanganku. Itu adalah keramahan yang alami jika memikirkan kalau SMA ini adalah sekolah biasa. Mengingat fakta mengerikan ini, aku harus berusaha berpikir lebih keras untuk memahami dan mengerti setiap ekspresi, tindakan, dan pola seseorang.

Sebagai contoh, David dan Yurina adalah orang yang gampang dibaca. Berbeda denagn Felly, Veronika, dan tentu saja laki-laki yang ada dihadapanku sekarang ini, Ryan Pratama. Ada alasan khusus kenapa diriku bisa berakhir menemuinya.

"Gaya bicara yang beda itu, kamu benar-benar orang munafik, ya?"

Dengan ekspresi yang ramah, dia mengatakan sesuatu yang menyebalkan. Kalau saja itu ditujukan kepada David, mungkin Ryan sudah mendapatkan kepalan dari seorang berandalan. Seharusnya tadi aku bawa saja dia ke sini.

Ryan menutup buku yang tadi dibacanya, lalu memandang ke arahku dengan tatapan yang entah kenapa rasanya ada suatu keanehan tersendiri. Bagai sedang diincar oleh pemburu berwujud serigala berbulu domba. Tenang, tetapi berbahaya. Gambaran itu terbayang jelas di kepalaku.

"Sebenarnya aku masih ragu. Apa benar, Felly Andara itu orang yang aku cari atau dia cuman umpan biar aku enggak bisa nemuin yang asli?"

Dia berusaha mencari informasi padaku. tidak, lebih tepatnya dia mencurigai diriku sebagai pengendali Felly Andara dari balik bayang-bayang. Ternyata memang sulit untuk meyakinkan orang ini. Ryan terus menekan, meski dengan suara tenang dan wajah tak berdosa itu.

"Aku cuman ngikutin apa yang disuruh sama Felly. Lagian aku enggak ngerti kamu ngomong apa."

Mengelak, iya aku harus mengelak dari interogasinya. Dia cukup piawai dalam manipulasi. Jika tidak berpikir dengan jernih, orang-orang akan mengatakan kebohongan yang sebenarnya dan itu bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tadi. Ditambah Ryan masih terlihat sangat tenang, menutupi kesannya yang berbahaya.

"Untuk orang yang cuman ngikutin instruksi, kamu cukup bodoh karena bisa aku bilang kalau Felly mau ngeluarin semua anak Kelas F. Kamu mau jadi sukarelawan buat keluar sekolah atau kamu ini punya rencana lain?"

Ada yang aneh dari kata-katanya. Meski aku tidak bisa mengetahui apa yang dia pikirkan, tetapi memang ada yang tidak beres. Ucapan tadi lebih seperti hasutan agar aku melakukan sesuatu, dan tentu saja itu akan berujung pada pembelotan.

"Apa yang sebenarnya pengen kamu lakuin?"

Sebuah senyuman yang tidak biasa muncul di bibirnya. Aku tidak peduli dengan apa yang dia inginkan. Tetapi, gejolak pertanyaan di pikiranku ini sudah tidak terbendung lagi. Rasa ingin tahu tentang rahasia adalah hasrat yang membuat manusia itu menjadi makhluk berakal.

"Udah jelas, 'kan? Kita sekolah di mana poplaritas adalah segalanya. Makin banyak popularitas yang kamu punya, makin banyak juga keuntungan yang kamu dapat."

Deklarasi yang tegas, namun masih banyak misteri dari perkataan tersebut. Seseorang yang manipulatif memang akan melakukan segala hal agar bisa mendapatkan apa yang dia mau. Sayangnya, aku merasa sifat manipulatif Ryan ini terlalu terbuka.

Meskipun dia adalah serigala berbulu domba, penyerangannya sangatlah jelas. Entah karena terlalu percaya diri dengan kemampuannya atau memang dia adalah orang yang sebenarnya gegabah. Dari data yang aku tahu, Ryan adalah adik salah seorang guru di sini. Pasti dia sudah sedikit tahu mengenai SMA Amemayu pada taraf tertentu.

"Apa kamu benar-benar ngelakuin ini demi dapetin popularitas?" pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku.

Suasana tiba-tiba hening, karena tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ryan hanya diam, seperti tidak mendengar apa yang tadi kutanyakan.

"Bagaimana kalau kita buat perjanjian?"

Tawaran yang datang secara tidak terduga itu telah memecahkan keheningan yang berlangsung sebentar. Senyuman licik yang tetap berusaha ramah terukir jelas dari lengkungan bibir laki-laki ini.

***

Seharusnya sepulang sekolah kami akan mengadakan pentas. Namun, karena ada kejadian tidak terduga yang dilakukan oleh David, semuanya jadi terhambat.

Sekarang aku menunggu bersama dengan Yurina di depan gedung pembelajaran. Menanti bagaimana kabar David dan juga kedua temannya yang satu kelompok denganku. Karena tersulut emosi, mereka malah terlibat perkelahian dengan Kelas C.

Sebenarnya aku tidak bisa menyebut itu perkelahian, karena hanya tiga orang dari kelompokku yang melayangkan pukulan. Bahkan wajah sasaran mereka sampai membiru. Murid Kelas C sama sekali tidak membalas dan malah melaporkan semuanya pada pihak sekolah.

"Padahal mereka udah gue suruh baut enggak ngeladenin, tapi malah asal main pukul gitu aja. Duh, nyebelin banget, sih!" keluh Yurina sambil menggaruk bagian belakang rambutnya, hingga terlihat sedikit berantakan.

Konflik ini berawal saat kami ingin pergi meninggalkan sekolah dan menuju salah satu panggung untuk pentas. Namun, sebelum itu Yurina berpapasan dengan beberapa siswa teman sekelasnya. Mereka terus bertanya apakah Yurina akan baik-baik saja jika satu kelompok dengan anak berandalan.

Tentu saja tiga sahabat Yurina ini tidak terima ketika diri mereka dihina. Ditambah lagi, mruid Kelas C dengan sengaja memprovokasi mereka. Sehingga kejadian tidak diinginkan ini terjadi.

"Pasti capek, ya?"

Itulah yang aku rasakan ketika berhubungan dengan orang yang merepotkan. Jujur saja, dulu aku lebih memilih untuk tidak akrab atau berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Melihat kegelisahan Yurina, kelihatannya kejadian serupa tidak hanya sekali dua kali ia alami.

Yurina tertawa sebentar lalu mengarahkan pandangannya padaku. Penampilannya agak kontras dengan suara tawanya yang lembut itu.

"Dulu mereka lebih parah, loh. Sampai-sampai ada yang masuk rumah sakit gara-gara berantem."

Aku tidak terkejut mendengar fakta itu, karena memang aku sudah membaca biodata pribadi David. Catatan kriminalnya juga terpampang jelas. Yurina masuk sekolah ini juga sepertinya karena mengikuti David. Sekolah ini seperti penampungan anak-anak bermasalah.

"Apa lo pernah liat mereka berantem selain hari ini?"

Aku sedikit penasaran, apakah Yurina juga pernah terlibat dalam perkelahian bersama dengan mereka. Kalau menilai dari penampilannya hal itu mungkin saja. Namun, melihat sifatnya yang santun meski dengan gaya bicara seperti anak gaul tidak menutup kemungkinan kalau Yurina tidak pernah terlibat perkelahian.

Yurina hanya menggeleng sembari menjelaskan kalau mereka melarangnya ikut terlibat. Justru David dan kawan-kawannya sering menyembunyikan fakta itu darinya. Entah kenapa aku mulai berfantasi tentang seorang tuan putri yang dilindungi oleh 3 orang kesatria.

"Dari kecil mereka enggak mau ngelibatin gue sama masalah ginian. Malah kalau gue diganggu anak lain, pasti besoknya ada kabar kalau mereka bertiga ngeroyok anak itu. Padahal kan enggak perlu sampe gitu juga."

Fantasi yang kubayangkan semakin mirip dengam cerita Yurina. Aku jadi sedikit ragu kalau berurusan dengannya, aku masih menyayangi nyawa dan tidak ingin berhadapan dengan tiga orang barbar sekaligus. Sebisa mungkin jangan sampai aku membuat Yurina tersinggung.

"Ngomong-ngomong, lo kenal sama mereka pas kapan?"

"Dulu itu gue sering main ke panti, mereka itu kan dulu tinggal di sana. Lama kelamaan kami jadi akrab dan akhirnya temenan, deh. Oh iya, mereka sebenarnya pas SMP udah kabur dari panti ...."

Yurina terus bercerita tentang tiga anak laki-laki itu. Setelah hidup dijalanan dua tahun, mereka sudah menjadi berandalan yang suka berbuat onar. Orang yang menampung mereka adalah seorang jompo yang juga mengurus pendidikan David dan teman-temannya.

Namun, karena sudah sangat tua, orang itu akhirnya meninggal ketika mereka semua berada di kelas 3 SMP. Hidup mereka semakin urakan setelah kejadian tersebut. Sampai-sampai David terkena blacklist dari seluruh SMA negri karena kenakalannya sendiri.

Aku melihat Yurina sangat bersemangat ketika menceritakan mereka. Sepertinya ia juga mengganggap tiga orang itu sangat penting. Hubungan manusia yang sedikit rumit bagiku, tetapi itu tidak buruk sama sekali. Semoga aku bisa menjadi salah satu bagian dari mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top