2nd Event: Jack (Bagian 6)
Aku memperhatikan lagi wajah Jordan yang jelas-jelas menampilkan mimik mengejek. Dia seakan-akan mengatakan kalau dirinya memang tahu dan sengaja berpura-pura tidak mengerti, persis seperti dua orang yang juga ada di sini.
"Apa maksud lo New Testment ini semacam ujian yang kayak Yurina bilang tadi?" kali ini David yang ada di sebelah bertanya.
Sepertinya tadi adalah langkah yang salah untuk memulai. Sejak awal menangkap tiga ekor kelinci dalam satu waktu itu terasa mustahil dilakukan. Sepertinya aku terlalu memaksakan diri, tetapi jawaban yang dicari sedikit terjawab. Walaupun tidak sepenuhnya yakin, paling tidak aku akan bertaruh sekarang.
"Enggak, gue tadi cuman asal ngomong aja, enggak usah dipikirin." Aku kembali menatap Jordan yang menampilkan raut wajah datar.
Dia menatapku dengan mata yang penuh semangat. Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Seringai kecil pada sudut bibirnya terlihat cukup jelas.
"Yurina, apa lo bisa ajak temen lo yang barbar ini buat pindah dari sini?" pinta Jordan sambil menunjuk ke arah David.
Yurina yang masih sedikit panik karena menduga New Testment adalah sebuah ujian, terkejut mendengar permintaan Jordan. Ia kelihatan bingung dengan siapa yang dimaksud. Mungkin menurutnya David sama sekali tidak memiliki sifat seperti itu, karena mereka berteman akrab.
Sedangkan laki-laki di sebelahku yang tangannya sudah mengepal dari tadi merasa semakin panas karena disebut barbar. Berada bersama Jordan saja sudah membuat David naik pitam, apalagi mendengar hinaan dari seseorang yang dibenci olehnya.
Suara hantaman keras terdengar, menarik perhatian seluruh orang yang berada di sekitar. David yang menggebrak meja itu, bangkit dari tempat duduknya sambil menampilkan wajah garang. "Maksud lo apa, hah!?"
"Ya, kayak gue bilang tadi. Anjing kampung mending pergi aja dari sini." Jordan sama sekali tidak takut, meskipun dihadapannya kini sedang berdiri sosok yang penuh dengan kemarahan. Dia sangat tenang, bahkan seakan tidak menganggap bahaya di depannya itu nyata.
Tingkat amarah David sudah memuncak, tangan besar itu langsung mencengkram blazer Jordan dan menariknya sehingga berhadapan langsung dengan dirinya. Sungguh pemandangan yang mendebarkan, bahkan orang-orang di sekitar mulai menyingkir agar tidak terlibat.
Seluruh mata melihat ke arah kami, membuat firasat buruk yang ada di hatiku semakin meluap. Suara kekehan dari Jordan terdengar, dalam beberapa detik aku dibuat terkejut oleh kelakuannya.
"Emang lo berani mukul gue, hah!? Anjing kampung itu cuman bisa menggonggong, mana berani buat gigit yang lebih kuat dari dia!"
Urat di dahi David semakin kelihatan, dia sudah tidak bisa berpikir rasional. Yurina yang daritadi diam kelihatan bingung dengan kejadian tidak terduga ini, ia panik bukan main. Bahkan berkali-kali gadis itu bersuara agar mereka berhenti. Sayangnya, tidak ada yang mendengarkan.
"David, udah, dong!" tegas Yurina dengan wajah sebalnya. Entah kenapa fokusku malah ke sana, mungkin lebih menarik melihat gadis yang cemberut dibanding perkelahian antar murid laki-laki.
Pandangan David kemudian beralih ke arah Yurina yang terlihat jengkel. Dalam sekejap muncul sebuah keraguan di matanya. Namun, Jordan justru memprovokasinya dengan sentuhan kecil yang membuatku sedikit yakin kalau dia bukanlah orang biasa.
"Apaan, nih? Anjing kampung nurut banget sama majikannya."
Tepat setelah Jordan bersuara, David melepaskan tinjunya dan menghantam pipi kiri murid Kelas C tersebut. Sontak saja murid disekitar jadi riuh, bahkan ada beberapa yang berinisiatif untuk memanggil guru ketika pemukulan terjadi, sedangkan sebagian lagi terus memperhatikan dengan ekspresi tegang.
Yurina menutup mulut dengan kedua tangannya, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah Jordan terjatuh di lantai akibat menerima pukulan dari salah satu sahabatnya. Wajah David masih terlihat merah, sepertinya amarah itu masih belum sirna. Sekali lagi David ingin menyerang.
Ini buruk, banyak staf yang melihat kami, bahkan CCTV seperti sengaja terarah kemari 'tuk menampilkan situasi lebih jelas. Terlebih lagi banyaknya mata yang menyaksikan kejadian, David pasti akan benar-benar terkena masalah. Aku harus segera menghentikannya.
"Gue bakalan bikin mulut lo itu belajar sopan santun," ujar David yang kembali menarik kerah baju lawannya.
Tepat ketika tinju itu melayang, aku mengorbankan telapak tanganku untuk terkena hantamannya. Saat itu juga, suara keras terdengar. Benar-benar sakit, mungkin tangan kananku nanti akan sedikit mati rasa. Semua yang ada di sana terkejut, seperti tidak pernah menduga kejadian ini.
Posisiku masih menahan kepalan tangan David yang hampir menyentuh pipi Jordan untuk kedua kali. Wajah mereka tampak terkejut dengan interupsi tidak terduga.
"Kalau lo ganggu gue, gue juga bakalan ngehajar lo!" David segera menarik lengannya kembali dan beralih menangkap kerah bajuku.
"David udah, dong!" Yurina berusaha menghentikannya, dia bahkan memegang erat tangan laki-laki yang kini menatapku dengan tajam.
"Ngendaliin anjing kampung gitu pasti sulit, ya?"
Aku menoleh ke arah samping kanan, tepat di mana suara tadi berasal. Jordan telah kembali berdiri, dengan seringainya dia berusaha untuk membuat amarah David menjadi semakin besar.
"Kalian semua udahan napa. Jangan berantem!" Yurina melepaskan kata-kata yang dari tadi tidak didengar oleh mereka.
Gadis itu melepaskan tangan David, lalu pergi berlari meninggalkan kantin. Menyisakan keheningan di antara kami semua dan puluhan pasang mata yang menatap kemari.
***
Helaan napas panjangku keluar. Sekali lagi aku masuk ke ruangan Ms. Oktavia, bersiap-siap mendengarkan ocehannya. Wanita itu menatap dengan sangat intens dan bahkan semakin menyeramkan daripada biasanya. Andai saja aku bisa lari, mungkin sudah dari tadi aku lakukan.
"Jadi, Fathur. Apa pembelaan kamu sekarang?" tanya Ms. Oktavia sambil berdesah. Dia sepertinya sangat kesal dengan kejadian yang tidak sengaja melibatkanku tadi.
"Aku sedang ngelakuin hal yang menurutku penting, itu aja."
Benar, aku melakukan hal ini karena kekurangan informasi. Dia bilang orang itu akan mengirimkan beberapa petunjuk mengenai murid Kelas A dan Kelas F yang harus dikeluarkan. Namun, sampai sekarang aku belum menerima email atau semacamnya mengenai informasi tersebut.
Sekali lagi Ms. Oktavia menghela napasnya, dia tampak seperti kelelahan karena aku mengambil langkah yang tidak pernah terduga. Aku bisa melihat stresnya meningkat saat sesekali Ms. Oktavia mengacak-acak rambutnya yang panjang itu.
"Lain kali Andhry harus bisa memilih anak yang lebih patuh supaya pekerjaanku jadi tidak lebih berat," keluh Ms. Oktavia merebahkan kepalanya di meja tersebut.
Aku tidak mau membalas perkataannya. Wanita itu hanya ingin supaya diriku merasa bersalah dan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Maaf saja, tidak ada yang salah dengan langkahku tadi, malahan aku sudah satu langkah lebih dekat mengungkap siapa targetnya.
"Kalau Ms. Oktavia pengen buat aku merasa bersalah, aku emang salah. tapi, bukannya kalian juga salah karena enggak ngasih informasi."
Informasi adalah senjata utama di sekolah ini, kekurangan informasi akan membuatku kalah dalam perang. Sebaliknya, jika memiliki banyak pengetahuan beberapa jebakan bisa dipersiapkan dan pasti akan sangat mudah untuk menghancurkan target.
"Membagikan rahasia adalah sesuatu yang berbahaya, kami menyadari itu dan memutuskan untuk tidak jadi mengirimnya. Tapi karena kamu di sini, aku akan memberitahu kamu sesuatu yang mungkin akan sedikit membantu." Ms. Oktavia menyodorkan selembar kertas kecil yang terlipat di atas meja.
Mimik mukanya yang seperti orang kelelahan tadi telah sirna, malahan berubah menjadi serius. Aku menyadari sesuatu, pembicaraan tadi hanyalah basa-basi yang dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan pada beberapa guru lain yang masih tersisa di ruangan. Tidak ada yang tahu telinga milik siapa yang menguping pembicaraan kami.
Anggukan paham 'ku berikan. Setelah mengambil kertas tadi aku langsung pamit dan pergi meninggalkan ruang staf pengajar. Tidak ada siapa pun di sana kecuali kami. Namun, siapa yang tahu kalau ada kemungkinan tembok saja bisa merekam suara kita.
Bunyi dari ponselku terdengar. Panggilan masuk dari anonim terlihat di layar, tanpa perlu menduga lebih jauh aku sudah tahu siapa orang yang melakukan ini.
"Sudah lama banget kita enggak ngobrol, ya?"
Dari balik telepon, suara manis seorang gadis terdengar. Dia adalah Amemayu Children's pertama yang melakukan kontak denganku meskipun wajahnya tidak diketahui.
"Apa mau kamu?"
"Kayaknya kamu dapet sesuatu yang menarik, deh. Gimana kalau kamu mampir dulu ke kelas kita."
"Baiklah, aku ke sana," balasku dengan suara pasrah.
Seketika hening, tidak ada lagi suara dan bahkan napasnya hampir tidak terdengar. Kelihatannya efek perkataan tadi berhasil, sebenarnya dia pasti menduga aku akan mengkonfirmasi apakah dirinya benar-benar ada di kelas atau tidak. Karena sebelumnya dia sudah pernah melakukan ini dan semua itu hanya tipuan.
Aku juga sedikit ragu kalau dirinya benar-benar ada di kelas, tetapi dalam sekejap balasan telepon itu membuatku terkejut.
"Okay, aku tunggu, ya. Ayo kita berbagi rahasia."
Setelah berjalan beberapa langkah, aku telah sampai di depan pintu Kelas F. Lorong sudah sangat sepi, karena semua murid sudah pulang atau pergi bersiap-siap untuk melakukan pentas. Aku tidak terlalu berharap banyak kalau dirinya akan muncul.
Kakiku melangkah masuk, melihat barisan meja dan kursi yang kosong. hampir tidak terlihat siapa pun di sana. Aku seharusnya sudah tahu kalau ini hanyalah candaan yang dibuat oleh Amemayu Children's untuk bermain-main denganku.
Panggilan masuk lagi-lagi terdengar, aku langsung mengangkatnya dan menduga pasti setelah ini akan ada suara tawa karena dia merasa berhasil mempermainkanku lagi. Namun, suara itu tidak kunjung tiba. Hal itu membuatku sedikit penasaran dan ingin bertanya.
"Kalau kamu berbalik, kamu bakal liat aku, kok."
Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ini. Suara yang ada di telepon dan dibelakangku terdengar sama. Dia benar-benar ada di sini, tepat di belakangku. Dari nada bicaranya yang datar itu aku sedikit mendapatkan bayangan siapa dia sebenarnya.
Tanpa menunggu lama, dengan rasa penasaran yang sudah ada pada tingkat tertinggi aku membalikkan badan. Mataku mungkin melebar, kaget sekaligus bertanya-tanya, apakah benar gadis mungil ini adalah Amemayu Children's?
Sosok gadis dengan perawakan pendek, berambut pendek dan wajah datar tanpa ekspresi. Matanya yang agak sayu menatapku dengan malas. Lengkungan seringai menyeramkan tergambar jelas, menusuk tulang sampai-sampai membuatku merinding.
Perasaan tidak enak ini, perasaan intimidasi ini, tidak diragukan lagi kalau dia memanglah Amemayu Children's yang ada di Kelas F.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top