2nd Event: Jack (Bagian 2)
Aku sudah menduga kalau akan ada orang yang tahu tentang perjanjiannya dengan Kelas D. Bisa diasumsikan kalau yang tahu itu bisa saja Amemayu Children's yang lain atau memang orang yang sama dengan yang menyuruhku untuk membiarkan Felly melakukan ini.
"Apa kamu takut?" aku ingin memastikan sesuatu, dia kelihatan gemetar. Mungkin ini yang pertama kali baginya. Entahlah, aku tidak ingin menebak-nebak terlebih dahulu.
Namun, responnya membuatku sedikit terkejut. Karena Felly malah mengukirkan lengkungan tipis di bibirnya, padahal menurutku dirinya terlihat seperti orang yang sedang ketakutan. Benar-benar gadis yang tidak bisa ditebak. Dia menggeleng lagi, kelihatannya Felly jadi lebih pendiam sekarang.
"Apa aku emang harus ngelakuin cara itu?"
Sekarang Felly yang bertanya. Aku sama sekali tidak mengerti, ekspresi yang kosong itu seakan tidak ingin memberitahuku apa yang sebenarnya dia pikirkan. Semakin aku ingin tahu, semakin sulit juga mengungkap kebenaran dari sikapnya.
Cara yang dia maksud adalah menjadi Guest Performance dan mendapat bayaran dari Kelas D sejumlah poin tergantung dengan berapa murid Kelas F yang mau bekerja sama dengan mereka. Aku tidak mau mengambil risiko, rasanya itu memang cara terbaiknya.
"Pokoknya kamu lakuin aja sesuai sama yang aku suruh. Kalau kamu percaya sama aku, aku janji bakalan bantu kamu naik ke Kelas A."
Aku berusaha meyakinkannya dengan kata-kata manis. Itu akan sangat efektif untuk membuat Felly menuruti perintah. Karena dirinya sudah sepenuhnya bergantung padaku, orang yang telah berbagi keluh kesah dengannya. Seseorang yang memiliki sifat tertutup dan berpura-pura kuat akan dengan mudah jatuh di tangan orang lain.
Dengan wajahnya yang ragu-ragu itu aku tahu kalau dia tidak menyukai cara ini, tetapi inilah satu-satunya jalan agar bisa keluar dari keterpurukannya di Kelas F. Meskipun tidak langsung naik ke Kelas A, jika hasilnya maksimal paling tidak Felly akan berada di Kelas D nantinya.
"Aku bakalan percaya sama kamu," balasnya menampilkan wajah senang.
Mendengar kepercayaannya itu membuatku sedikit senang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, aku merasa sekarang tidak begitu menyedihkan berada di sekolah ini. Tugas yang merepotkan itu pasti akan datang, cepat atau lambat. Walau demikian, menikmati hari-hari yang damai mungkin masih bisa kurasakan.
"Aku rasa kamu udah tau apa yang harus kamu lakuin. Oh iya, apa kamu bakalan ketemu sama ketua Kelas D?"
"Kebetulan dia bilang juga pengen ketemu sama aku tadi. Aku juga nyuruh dia buat datang ke sini, kok. Enggak papa, 'kan?"
Jadi, pertemuan mereka akan berada di depan gedung ini? Sebisa mungkin aku seharusnya menghindari kontak langsung dengan serigala. Namun, melihat situasi sekarang, jika aku mendampingi Felly, keuntungan yang didapat lumayan banyak.
"Enggak papa, kok. Kapan dia ke sini?"
"Mungkin nggak lama lagi, soalnya dia bilang tadi ada urusan bentar. Kalau kamu enggak nyaman, gimana kalau kamu sembunyi aja di tempat lain sambil dengerin secara diam-diam," saran Felly yang tidak pernah aku duga sebelumnya.
Sebenarnya itu bukanlah ide yang buruk. Tetapi, aku juga ingin melihat secara langsung sosok bernama Ryan Pratama, serigala yang mau memangsa tudung merah. Sebenarnya aku tidak perlu terlibat lagi, Amemayu Children's sudah berhenti menghubungiku ketika Felly sudah menghubungi kontak Ryan.
Namun, aku memiliki firasat kuat kalau sosok bernama Ryan Pratama ini adalah sosok yang setidaknya mengetahui sedikit mengenai anak-anak berbakat tersebut. Dan kemungkinan terburuk yang terjadi adalah laki-laki itu salah satu dari mereka.
"Enggak perlu, aku bakalan tetep di sini nemenin kamu. Bilang aja aku ini orang kepercayaan kamu."
Nampaknya Felly terlihat paham dengan perkataanku barusan, dia lagi-lagi menampilkan kegembiraan di wajahnya. Kadang aku jadi berpikir, dari sekian banyaknya orang di Kelas F, apakah tidak ada yang mau mendengarkan isi hati gadis ini? Sungguh sifat yang individualis.
Kebanyakan manusia memanglah makhluk seperti itu, mereka kadang meminta orang untuk mengerti dirinya. Tetapi, tidak pernah ingin memahami keadaan orang lain. Stigma masyarakat seperti itulah yang membuat manusia lebih bersikap acuh tak acuh dengan individu di sekitarnya.
"Ngomong-ngomong, Fathur. Apa kamu pakai fitur Guest Performance juga, atau kamu bikin kelompok?" Felly tiba-tiba bertanya padaku setelah kami saling diam beberapa detik.
"Aku satu kelompok sama David. Kalau kamu masih kekurangan poin nanti, aku bisa bujuk David buat jadiin kamu Guest Performance." Aku menatap wajahnya yang sedikit terkejut, dia kelihatan seperti gadis yang bingung harus berkata apa.
Hal ini mengingatkanku pada kejadian sebelumnya. Aku secara tidak sengaja mengungkapkan perasaan kepadanya, tetapi dia tidak langsung menjawab dan akan mempertimbangkannya setelah event berakhir. Aku tidak mau memaksa, lagipula sebenarnya itu bukan tujuan utamaku.
Mulut Felly yang sudah terbuka kembali tertutup sebelum sempat mengeluarkan suara. Aku juga mendengar beberapa langkah kaki yang mendekat, tanpa menoleh pun aku sudah sadar siapa mereka. Bahkan ekspresi Felly saat ini terlihat lebih serius dibandingkan dengan dirinya yang biasanya.
"Aku enggak pernah denger kalau ada anak Kelas F lain yang tau soal ini."
Suara yang tidak ramah dari seorang remaja laki-laki terdengar, aku membalikan badan untuk melihat sosok tersebut.
"Dia bisa dipercaya, aku jamin," sahut Felly lumayan meyakinkan. Matanya memandang dengan pasti, bahkan aku sempat tidak mengenalinya lagi karena keseriusan dari ekspresinya.
Tiga siswa mengenakan blazer dengan warna camel berdiri di hadapan kami. Di posisi tengah itu pasti orang bernama Ryan Pratama, laki-laki dengan rambut bergelombang dengan tinggi yang lumayan untuk seusianya. Ekspresinya yang tenang itu seakan memberitahu kalau ia adalah orang yang ramah.
"Kalau gitu, apa kamu enggak keberatan kalau dia harus menjauh dari sini. Enggak, lebih tepatnya dia harus bicara sama aku nanti." Ryan menunjuk ke arahku, entah kenapa perasaan tidak nyaman tiba-tiba muncul.
Insting sebagai hewan buruan sepertinya muncul dalam diriku, kaki ini serasa ingin pergi dengan cepat karena sekarang berhadapan dengan predator. Aku tidak pernah meragukan instingku, karena sudah lumayan terbiasa menggunakannya dan itu kebanyakan benar.
***
Hari sudah semakin sore, aku tidak pernah menduga kalau di saat seperti ini halaman asrama akan sangat ramai. Meskipun banyak tempat untuk bersantai, tetapi semuanya sudah diisi oleh kelompok tertentu. Aku bahkan sulit mengetahui dari kelas mana saja mereka, karena mereka mengenakan pakaian kasual.
Setelah berbicara singkat dengan Ryan tadi, aku mendapat pesan dari David yang memintaku untuk segera ke halaman asrama. Dia bilang ingin mengenalkan anggota lain kepadaku. Sebagai orang yang terpaksa dan sudah dianggap teman olehnya, mau tidak mau aku memilih untuk segera kemari.
Aku belum menemukan di mana David berada, kebanyakan di sini hanyalah orang-orang yang bercanda dan bermain dengan teman-temannya. Beberapa dari mereka terlihat sedang menggunakan alat musik yang baru mereka beli hanya untuk unjuk kebolehan, benar-benar seperti remaja pada umumnya.
Hal inilah yang sedikit menyulitkan, Amemayu Children's mudah beradaptasi dan berbaur di tengah komunitas. Andai saja mereka ditandai atau paling tidak mukanya diperlihatkan pada hari itu, semuanya akan sedikit lebih mudah dan aku bisa menikmati masa-masa di sekolah ini.
"Hoi, Fathur!"
Sepertinya bukan aku yang menemukan mereka, tetapi sebaliknya. Aku dapat melihat David bersama dengan tiga orang lainnya berada di bangku taman yang ada di sebelah kiri, tepatnya di dekat bangku dengan pohon besar yang lumayan rimbun sebagai peneduh.
Aku bergegas ke sana, mendatangi beberapa orang yang sepertinya sudah menunggu cukup lama. Ketika sudah dekat aku menyadari adanya seorang gadis yang sedang asik berbicara dengan David, aku mengingatnya, dia adalah orang yang tidak sengaja ku temui saat hari pertama masuk sekolah ini dan juga sempat berpapasan dengannya di lorong.
Sementara yang sisanya adalah dua murid laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal. Tetapi, melihat dari penampilannya yang agak mirip dengan David aku bisa menduga kalau mereka kurang lebih mirip dengan temanku tersebut. Hanya saja, mungkin keduanya adalah bawahan David.
"Vid, lo yakin dia bisa nyanyi?" pertanyaan itu datang dari laki-laki yang agak berisi dengan anting di telinga kanannya.
Sudah kuduga akan sulit beradaptasi, apalagi orang itu sengaja bertanya ketika aku baru sampai, seperti hendak memastikannya sendiri. Aku yakin kalau David tidak akan mampu menjawab pertanyaan itu, karena hanya mendengar dari guru yang bahkan dia anggap menyebalkan.
"Ya, gue yakin. Soalnya dia ini emang beneran keren, gue udah uji dia sendiri tadi." David berdiri sambil mengusap hidungnya, berlagak seperti membuat pose 'serahkan padaku'.
Tiga orang di sana nampak terkejut, sepertinya mereka sudah tahu garis besar bagaimana seorang David menguji seseorang. Bahkan Yurina, satu-satunya gadis yang berada di sini melihatku dengan tatapan tidak percaya.
Ya, mungkin aku juga tidak akan percaya karena masih bisa terlihat baik-baik saja setelah menerima tendangan yang terasa nyeri di lengan kiri ini. Untuk sementara mungkin aku tidak mau menggerakannya dulu. Itu sangat sakit, kalau boleh jujur aku akan menangis jika dua tahun lebih muda mengalaminya.
"Hei, kita nanya dia bisa nyanyi atau enggak. Bukan lulus dari ujian lo," ungkit laki-laki satunya. Penampilan dia sedikit lebih normal daripada yang lain. Hanya mengenakan kalung rantai dan tato di punggung tangannya.
Aku tidak bisa mengatakan kalau ini adalah sekolah elit terbaik, karena lihat saja siswanya. Yang ingin aku katakan adalah, penampilanmu tidak dinilai secara langsung, terserah mau berpakaian seperti apa. Tetapi, mengenakan seragam itu wajib ketika jam pelajaran.
Tato dan tindik dijadikan penilaian poin popularitas. Siswanya boleh mengenakan apa saja dan mengikuti style fashion manapun. Tidak heran sekolah elit ini menjadi surga bagi siswa-siswa bermasalah. Kau bebas mengenakan apa saja, dan kau mendapatkan apa saja yang kau mau. Lulusannya pun diiming-imingi pekerjaan besar.
"Tenang aja, gue bisa, kok." Aku tidak ingin ini semakin lama, jadi lebih baik aku meyakinkan mereka sekarang.
David hanya terus menganggukkan kepala, sepertinya ia puas dengan jawaban yang aku berikan. Terlebih lagi yang lainnya juga terlihat sudah mulai yakin, jadi tidak ada lagi keraguan diantara mereka. Hal yang menarik adalah hubungan mereka semua, karena cuma Yurina yang berbeda diantara kami. Apakah benar ia ada di kelompok ini?
"Ok, deh kalau gitu. Kenalin, gue Raditya J. Panggil aja Radit."
"Gue Kelvin Aditama Sitohang. Kelvin singkatnya."
Mereka mulai memperkenalkan diri. Dari yang mengenakan tindik lalu disusul oleh laki-laki yang mengenakan kalung itu. Aku lalu melirik orang yang selanjutnya harus mengenalkan diri, tetapi ia malah balas memperhatikanku dengan seksama. Membuat kami semua bingung dengan kelakuannya.
"Lo kenapa, Rin?" tanya David yang sudah tidak bisa menahan lagi rasa penasarannya.
"Ah, gue ingat! Lo yang semalam bareng Ms. Oktavia, 'kan?"
Ternyata dia hampir melupakanku, dan tadi adalah proses mengingatnya yang sedikit lambat. Sikap dan penampilannya sangat berbanding terbalik. Mungkin sekarang aku bisa tahu kenapa ada sebagian rambutnya yang disemir warna merah.
Perkenalan berjalan setelahnya. Nama lengkap gadis itu adalah Yurina Parlina. Dan mereka berempat adalah teman bermain sejak kecil. aku masih sedikit bertanya-tanya, apakah Yurina tahu kalau sifatnya sangat tidak cocok berada dilingkungan anak berandalan seperti David dan yang lainnya?
Tidak, maksudku ia menghancurkan image seorang badgirl yang saat ini sedang trend karena sifatnya yang lemah lembut dan ramah. Kamu tidak sebar-bar mereka, Yurina. Akhirnya aku tahu, kenapa banyak orang sejak dulu mengatakan jangan menilai buku dari sampulnya.
Yurina tertawa sebentar, suaranya terdengar lembut dan lucu. Kemudian ia berkata, "Kalau gitu kita mulai aja, deh. Gue mau main drum pokoknya."
Setelah perkenalan tadi aku sekarang mengerti kemana pembicaraan ini seharusnya berjalan. Mereka ingin menentukan posisi dalam kelompok musik nanti. Diluar dugaan, mereka memikirkan keinginan orang selain circle mereka untuk memilih peran nanti. Tidak, tunggu. Bukannya mereka sengaja menjadikanku vokal? Lalu untuk apa aku berada di sini?
"Gue pakai gitar, deh. Eh, gimana kalau gitarnya dua. Gue sama Kelvin. Terus bassnya entar si David." Radit memberikan usul.
Semuanya nampak setuju dengan pembagian itu dan tentu saja aku mendapatkan posisi sebagai vokalis. Sebenarnya aku masih belum mengerti, apa manfaat aku datang kemari kecuali berkenalan dengan mereka?
***
07 Agustus 2025
Menegangkan, tatapan yang sangat instens itu benar-benar membuatku mati kutu. Aku merasa sesak sendiri ketika matanya tak pernah berpaling. Ms. Oktavia terkadang bisa semengerikan ini, aku hampir lupa karena lama tidak bertemu dengannya. Kalau diingat-ingat sudah hampir dua tahun.
Ia menghentak meja itu dengan beberapa lembar kertas yang dijepit menjadi satu, hal itu hampir membuatku melompat dari tempat duduk. Untung saja aku masih bisa bersikap tenang karena lumayan terlatih, tetapi jantung yang hampir copot itu nyata.
"Fathur, apa kamu tau kelompok kamu ini kelompok apa?" tanyanya dengan suara datar. Entah kenapa aku sedikit membayangkan ada aura mengerikan yang keluar dari tubuhnya.
"Maaf, aku enggak tau."
"Jawablah dengan serius!" bentaknya dengan suara yang agak meninggi. Ternyata bernar, wanita memang mengerikan kalau sedang marah.
"Maaf, aku benar-benar enggak tau. Kalau Miss tau, sebaiknya Miss berbagi informasi itu kepadaku."
Meskipun mengerikan aku sudah hapal dengan sifat orang yang mengajariku musik dulu. Ia memang seorang pemarah, tetapi tidak akan bertahan lama. Sepertinya aku telah salah mengambil keputusan, sampai-sampai Ms. Oktavia memanggilku langsung kemari dan mengomel tak ada habisnya.
Tatapan tajam itu akhirnya menyerah. Ia kembali duduk ke kursinya sambil menghembuskan napas lelah, sepertinya perkembanganku di sekolah ini sulit diprediksi oleh mereka. Aku tidak bisa bilang kalau itu merupakan hal yang bagus, apalagi jika orang yang bernama Andhry itu sampai tahu.
Ms. Oktavia memegangi kepalanya, mungkin sakit karena aku sudah bertindak diluar dugaan mereka selama tiga hari ini. Yap, dalam waktu sesingkat itu aku sudah berurusan dengan Amemayu Children's, membantu Felly bekerja sama dengan Kelas D, dan membuat kelompok dengan David beserta teman-teman akrabnya.
"Kamu tau, kalau di kelompokmu ini ada salah satu Amemayu Children's dan jika dia tau kalau kamu itu juga sama sepertinya, kamu pasti akan kena dropout sebelum waktunya."
Tentu saja aku terkejut mendengarkan perkataannya barusan. sebenarnya seberapa banyak Amemayu Children's yang harus aku hadapi? Seakan-akan setiap orang bisa saja menjadi salah satu dari mereka. Ini menjengkelkan. Namun, perkataan Ms. Oktavia ada benarnya.
"Apa Miss tau, siapa orangnya?" aku mulai serius dan bertanya untuk memastikan kebenaran.
Ia mengangguk, meskipun tidak memberikan nama dan ciri-ciri spesifik. Ms. Oktavia memberitahuku agar tetap berhati-hati dan jangan pernah percaya pada mereka, karena mereka berempat memiliki hubungan yang kuat dan bisa saja Amemayu Children's memanfaatkannya.
"Hei, kamu harus bisa bertahan di event pertama. Aku tidak mau kamu gagal," ujar Ms. Oktavia yang membuatku sedikit heran. Aku tidak tahu apakah dirinya khawatir pada orang itu atau diriku. Yang jelas, sorot matanya yang khawatir benar-benar mengganggu pikiranku.
"Akan aku usahakan."
"Dan jangan lupa, hari ini ciri-ciri targetmu akan dikirimkan. Jangan sampai kamu salah mengeluarkan orang. Dia akan memaafkan kegagalanmu pada Kelas A, tapi dia tidak akan memaafkan kegagalanmu jika sampai salah mengeluarkan anak dari Kelas F."
Setelah itu aku pun keluar dari ruang staf, suasana gedung pembelajaran sudah sangat sepi. Bel pulang sudah berbunyi 45 menit yang lalu, pantas saja tidak ada seorang pun di lantai satu. Kebanyakan pasti sudah pulang dan mulai membentuk kelompok lagi sedangkan sebagian orang yang sudah punya kelompok pasti akan mulai berlatih.
Koridor panjang ini kulalui, melewati ruang kelas dan beberapa ruang kosong seperti gudang dan alat kebersihan. Gedung ini terbagi menjadi dua lorong, persis seperti huruf O yang lonjong, tiga kelas di kiri dan tiga kelas di kanan dan belum lagi ruangan khusus lainnya.
Langkahku terhenti, tepat ketika tidak sengaja melihat masih ada dua siswa yang masuk ke dalam Kelas D. Salah satunya adalah Ryan, sementara satunya lagi ialah laki-laki yang kutemui bersama Felly saat datang ke asrama untuk pertama kali. Dia berasal dari Kelas A, nampak dari blazernya yang putih. Aku sedikit mendekat dan coba mendengarkan.
"Pengaruh Ratu Kelas A itu hebat juga, ya. Beberapa anak kelas sini malah mudah banget kena bujukannya." Siswa Kelas A seperti merendahkan lawan bicaranya.
"Apa kamu takut kalah pendukung?" tanya Ryan dengan suara yang ramah, suara yang khas saat kami bertemu waktu itu.
"Gue takut? Heh, mimpi! Gue bakalan buat Kelas A menjadi tempat yang ideal buat gue. Sedangkan buat Pricellia, gue akan tendang dia dari sekolah ini."
"Sekarang kamu enggak bisa apa-apa, karena bagi Amemayu, dalam satu kelas hanya ada satu pemimpin mutlak. Kamu enggak lebih seperti peliharaan Ratu Kelas A, yang pastinya bakalan singkirin kamu ke kelas bawah."
Kata-kata Ryan tadi adalah provokasi, aku bisa tahu betul karena sudah sering mendengar hal yang serupa. Sepertinya di Kelas A ada sebuah konflik antara orang yang ingin berkuasa. Tetapi, aku masih belum mengerti dengan konsep Amemayu tentang pemimpin mutlak dalam kelas.
Perdebatan mereka terus berlanjut, aku mendapatkan lumayan banyak informasi. Mulai dari konfirmasi kalau keduanya tahu mengenai Amemayu Children's dan kelihatannya mereka juga tahu tentang tujuan sebenarnya sekolah ini.
***
Aku melihat menu yang disediakan oleh cafe yang ku datangi. Setelah tadi sore mendapatkan kesialan lagi karena selalu tidak sengaja menemukan informasi aku ditelpon oleh Felly untuk menemaninya pergi kemari, sebuah cafe yang tidak jauh dari asrama.
Latar yang disediakan cafe ini cukup unik, karena meja dan kursi ditaruh di luar ruangan. Sementara untuk atapnya adalah payung yang digantung pada tali, cukup bagus menurutku. Selain itu, menu yang disediakan juga beragam, mulai dari kopi biasa sampai yang lumayan terkenal. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa.
"Apa kamu udah mutusin mau pesan apa?" tanya Felly penasaran. Sepertinya ia sudah menentukan pilihan.
"Samain aja sama yang kamu pesan." Aku menutup kembali buku menu. Menyerahkan semuanya pada Felly, sebab aku bukan penikmat kopi jadi aku tidak terlalu tahu dengan minuman seperti itu.
Felly mengangguk, lalu ia memanggil pekerja yang sepertinya adalah salah seorang senior kami. Felly menjelaskan sebelumnya kalau kelas 3 boleh bekerja di cafe atau toko lainnya dengan syarat popularitas mereka berada di bawah angka 4.000, kalau tidak salah Kelas D ke bawah yang memiliki poin seperti itu.
Setelah menunggu cukup lama dan tanpa pembicaraan itu, minuman kami akhirnya sampai. Secangkir kopi dengan aroma khas yang menusuk hidung, aku tidak tahu apa namanya, menyedihkan sekali, bukan?.
"Fathur, apa kamu yakin yang aku lakuin ini bener?" tanya Felly dengan kepala yang menenuduk, menatap cangkir kecil berisi kopi kental berwarna coklat tersebut.
"Kamu masih mau bahas soal kemarin?"
Tidak ada jawaban dari Felly, seeprtinya ia sedikit kesulitan karena ini adalah pertama kali baginya. Jujur, aku sangat tidak ingin melibatkannya dalam masalah seperti ini dan akan membiarkannya menikmati SMA Amemayu seperti yang lain.
Namun, karena dirinya yang menjadi target Amemayu Children's yang menghubungiku, terpaksa Felly harus dilibatkan. Itu saja sudah melanggar prinsipku untuk tidak membiarkan orang biasa ikut campur. Setelah mengamatinya selama empat hari, kemampuan Felly memimpin sebenarnya sangat hebat.
"Aku enggak mau dibenci, aku juga enggak mau nipu mereka. Tapi, aku juga pengen naik ke kelas atas. Aku enggak mau ada di Kelas F. Aku juga enggak mau dikeluarin," lirih Felly semakin menundukkan kepalanya. Mungkin sekali lagi aku akan melihat wajahnya yang menangis.
"Berarti kamu harus lakuin itu. Bikin orang yang tau sama perjanjian itu benci sama kamu. Buat dia benci banget sama kamu, kamu juga benci sama orang kayak dia, 'kan?" aku berusaha mendorongnya, mencoba agar gadis itu bisa berdiri kokoh demi kepentingan pribadinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top