1st Event: Gadis Bertudung Merah (Bagian 1)
1st Event: Gadis Bertudung Merah
"Kemunafikan adalah penghormatan yang membuat kebajikan menjadi kebajikan."
F. de la Rochefoucauld – Maximes et Rêflexions morales
04 Agustus 2025
"Inilah penyambutan sesungguhnya untuk kalian. Selamat datang di SMA Amemayu. Di tempat ini, Popularitas adalah segalanya."
Aku dapat mendengar suara pria yang sedang menikmati kata-katanya sendiri. Setelah tadi berurusan dengan salah seorang guru di ruang staf, aku disuruh langsung menuju ke Kelas F yang ada disudut kanan dari arah pintu masuk. Entah kenapa, aku merasa suara pria itu benar-benar menekan siapapun yang ada di dalam sana.
"Ngomong-ngomong, kalian masuk ke sekolah ini karena ingin lulus dam menjadi orang terkenal, 'kan? Lebih baik lupakan saja, karena kalian ini Kelas F!"
Aku belum juga masuk ke dalam kelas, rasanya tidak sopan jika langsung masuk saat ada seorang guru yang sepertinya sedang mengomeli seisi kelas atau sebagian anak-anak bermasalah. Bisa-bisa aku menjadi penyelamat mereka dan malah nanti diriku yang terkena omelan dari guru tersebut, sungguh sesuatu yang tidak bisa dibanggakan.
Tiba-tiba saja suara keras terdengar. Walaupun aku tidak mengetahuinya secara persis, namun dari suara yang ku dengar itu seperti suara seseorang yang sedang membanting mejanya. Aku tidak tahu kalau sekolah elit yang terlihat seperti hanya untuk orang kaya ini memiliki beberapa siswa barbar.
"Apa maksud Bapak kalau kami enggak bisa lulus gara-gara ada di Kelas F!?"
Meskipun berdiri di dekat pintu masuk, aku tidak bisa melihat ke dalam. Namun, sepertinya semua sesuai dugaanku. Suara lain yang penuh emosi itu terdengar, sepertinya pintu ini sengaja di buka agar terdengar oleh kelas lain. Guru yang benar-benar buruk, dia menekan siswanya sendiri.
Sepertinya aku dimasukan ke dalam kelas yang tidak biasa, aku hampir lupa kalau ini memang sekolah yang tidak biasa. Mana ada sekolah lain yang menerapkan sistem poin dan aturan-aturan berlebihan seperti ini, mungkin aku harus memeriksa apakah aku masih berada di dunia nyata atau berada di dunia fantasi.
"Hanya anak-anak yang berada di Kelas A saja, yang bisa lulus dan mendapatkan kesuksesan yang mereka dambakan. Kalau kalian berada di Kelas B, C, D, atau E bahkan F. Itu sama sekali tidak berarti."
Aku baru mengetahuinya. Tak ada artinya jika lulus dari kelas lain, kecuali kau bisa mengamankan kursi di Kelas A. Bukankah itu kejam, lalu bagaimana dengan konsep kesetaraan yang selalu disuarakan masyarakat? Apakah sekolah ini menerapkan sistem kasta selain sistem poinnya?
Lorong ini benar-benar sepi, hanya ada aku sendirian. Lorong yang Panjang dan luas, ketika aku menengok ke kiri ada taman di balik dinding kaca itu. Taman dengan tumbuhan hijau layu akibat terik matahari dan air mancur pada tengahnya, benar-benar seperti sekolah di negri dongeng. Apa aku sudah masuk ke dalam dunia buku ya?
Sayangnya taman itu tidak bisa dimasuki, hanya ada pintu di kantin untuk masuk ke sana dan tadinya aku lihat itu terkunci. Entahlah apa nanti bisa didatangi atau tidak. Kalau ada kesempatan, rasanya aku ingin ke taman itu dan menikmati suasananya meski hanya sesaat.
"Tapi Pak, meskipun kami enggak lulus di Kelas A dan lulus di Kelas F. Kami masih bisa nyari kerjaan sesuai keinginan kami. Jadi Bapak enggak berhak buat ngehina kami."
Gadis itu sungguh berani, dari suaranya saja aku sudah tahu. Dia menyuarakan pembelaan terhadap teman-temannya. Aku jadi sedikit penasaran, apa yang sebenarnya terjadi di dalam. Awalnya aku kira tadi hanyalah omelan seorang guru pada anak-anak nakal. Kelihatannya ini lebih kompleks daripada perkiraan.
"Tidak ada masa depan untuk Kelas F. Saat Kelas dua nanti lebih dari separuh kalian akan di dropout, dan tidak tersisa lagi saat kelas tiga."
Guru itu bersuara lagi, kali ini dia sengaja menekankan suaranya pada kata 'dropout'. Seakan dirinya sudah sering melihat hal seperti itu sehingga kalimatnya tadi benar-benar kuat dan yakin. Mulut gadis tadi sudah dibuat bungkam olehnya, dia menyerang psikologis mereka.
"Omong kosong!"
Sekali lagi aku mendengar suara yang sama seperti suara orang yang membanting mejanya tadi. Laki-laki yang tidak bisa mengontrol emosinya, aku rasa orang itu adalah orang yang harus dihindari ketika sudah ada di lingkungan tersebut. Kapan mereka akan berhenti berdebat? Rasanya berdiri lama-lama di sini membuat kakiku kesemutan.
Guru itu memprovokosi lagi, terus mengeluarkan kalimat-kalimat yang dapat melemahkan mental siapa saja. Ditambah dia membeberkan kalau apa yang dikatakannya adalah fakta yang tak terelakan.
Peraturan tak tertulis di sekolah dan hanya diketahui oleh guru saat semester awal untuk murid baru adalah jika popularitas mereka nol atau tak memenuhi syarat event, dan beberapa pelanggaran lain, sanksinya ...
"Dropout."
Dia mengambil kata-kata itu sebelum batinku menyelesaikan kalimatku tadi. Keheningan terjadi setelahnya, tidak ada suara yang terdengar. Aku bisa membayangkan kalau situasi tegang di setiap wajah-wajah yang tidak pernah aku lihat, sebenarnya aku tidak sabar ingin melihat ekspresi itu secara langsung.
"Hukuman untuk murid yang melakukan kekerasan pada guru adalah dropout. Jika sesama murid berkelahi atau melakukan kekerasan akan diadili oleh OSIS dan hukumannya tergantung mereka."
Lanjutan kata-kata itu adalah peringatan. Mungkin salah satu siswa tadi ingin menyerangnya, padahal aku rasa dia pantas menerima satu atau dua pukulan akibat kata-katanya sendiri. Namun, dia langsung melindungi diri dengan membeberkan salah satu peraturaan tak tertulis yang tadi diberitahukan salah satu pengajar padaku.
Sebenarnya tidak tepat jika disebut aturan tak tertulis, karena guru dan staf lain jelas-jelas memilikinya di catatan pribadi mereka. Alasan kenapa pihak sekolah mengatakan itu sebagai peraturan tidak tertulis adalah karena aturan-aturan itu tidak ada di dalam buku pedoman sekolah yang dibagikan pada siswanya.
Benar-benar sekolah yang licik, mereka sengaja menyembunyikan aturan yang bisa saja membuat kami ditendang oleh sekolah hanya karena masalah sepele. Tidak, sebenarnya ada beberapa aturan yang berlaku seperti kehidupan masyarakat. Seperti mencuri atau sengaja melukai dengan senjata tajam akan diberikan hukuman langsung seperti dropout, tapi itu jika diketahui oleh pihak sekolah.
Simulasi masyarakat ideal yang dijalankan oleh Amemayu dengan memanfaatkan remaja SMA, itulah sebenarnya yang ingin mereka capai. Awalnya aku sulit percaya, karena dipikirkan bagaimanapun hal ini sama sekali tidak logis, malah seperti halusinasi anak kecil.
Maksudku, sekolah macam apa yang melakukan sistem seperti ini? Mereka yang membangunnya pasti gila. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ingin Amemayu Group capai dengan melakukan ini semua.
Perusahan multinasional yang menggerakan roda perekonomian Indonesia menjadi lebih baik, Amemayu Group. Perusahan itu banyak membantu pengembangan negara ini, terlebih lagi Yogyakarta menjadi lebih maju sepuluh sampai duapuluh tahun ke depan jika dibandingkan dengan kota lainnya di Indonesia.
Suasana di dalam sepertinya menjadi hening, aku rasa sekarang sudah saatnya masuk. Setelah berjalan dua sampai tiga langkah dan mengetuk pintu, semua perhatian teralihkan kepadaku. Guru yang dari tadi memprovokasi murid-muridnya sama sekali tidak terkejut, dia seakan sudah menduga kedatanganku.
Sisanya berjalan dengan lancar, layaknya pengumuman saat ada siswa baru. Alasan kenapa aku baru saja masuk adalah karena masih sakit dan dirawat sampai benar-benar pulih. Kursi kosong di pojok belakang kiri ruangan adalah milikku, semuanya sudah diatur sekolah atau mungkin orang itu.
Aku sama sekali tidak mengenali wajah-wajah mereka, semuanya asing bagiku. Bahkan untuk mengetahui siswa barbar dan siswi pemberani tadi saja sulit kalau aku tidak mendengar suara mereka lagi. Padahal aku ingin segera mengenal mereka.
Setelah memperkenalkan nama, aku dipersilahkan untuk duduk. Pelajaran dimulai seperti biasanya, meskipun aku masih bisa merasakan sisa-sisa ketegangan konflik yang terjadi sebelumnya. Dari ujung aku bisa melihat anak laki-laki berbadan tegap yang mendengus kesal, sepertinya dia adalah anak barbar tersebut.
Tidak ada lagi siswa dengan wajah sekesal itu daripada dirinya, sungguh tidak bisa mengontrol emosi. Orang pertama yang harus paling aku hindari adalah dirinya.
***
"Fathur Anugerah, datang ke ruanganku setelah istirahat makan siang untuk mengambil buku pedoman dan peraturan sekolah," ujar Pak Irfan, guru yang tadi mengajar ketika bel berbunyi. Dia segera membereskan bawaannya dan meninggalkan kelas.
Aku harus sekali lagi ke ruang guru ya, bukankah terlalu berlebihan jika dua kali ke sana dalam satu hari? Tetapi, aku sama sekali tidak bisa menolak. Lebih baik menurut dan mengikuti beliau untuk mengambil buku yang Pak Irfan maksud.
Tepat setelah guru itu keluar, semua murid berdiri dan mengantri dekat pintu. Aku baru ingat, tadi tidak ada absensi. Sungguh luar biasa, abad 21 kita menjadi lebih familiar dengan teknologi. Absensi siswa dilakukan dengan alat fingerprint.
Bahkan papan tulis tidak lagi digunakan, diganti dengan layar yang dapat menampilkan presentasi materi oleh guru-guru. Di kelas juga disediakan tablet untuk masing-masing, sehingga materi lebih mudah disebarkan dan siswanya dapat menyalin ke ponsel mereka masing-masing.
Aku jadi ragu apakah ini memang sekolah di negaraku sendiri? Sebab, di sekolah dasar aku masih menggunakan papan putih dan juga spidol. Mungkin juga masih ada beberapa sekolah yang menggunakan papan hitam dan juga kapur. Jadi aku masih sedikit kurang terbiasa dengan betapa modernnya tempat ini.
"Jahat banget enggak sih, omongan Pak Irfan."
"Iya ya, dia kayak enggak ada perasan gitu. Bikin sebel."
"Gue pokoknya males banget kalau dia yang ngajar!"
Beberapa siswi di depan sedang membicarakan tentang sikap Pak Irfan. Sebagai sesama pelajar dan juga di kelas yang sama, mungkin aku akan berada di sisi mereka jika terjadi perdebatan lagi dengan guru. Untuk bisa menjalankan rencanaku, sebaiknya mencari relasi sebanyak mungkin.
Aku selalu memikirkannya, gaya bicara seperti apa yang harus aku pakai ketika berbicara dengan mereka? Apakah harus formal atau aku berlagak akrab dengan beberapa anak di sini? Tidak, jika aku melakukan itu hanya ada tatapan bingung dan heran dari mereka.
Apalagi aku ini orang yang terlambat masuk selama satu bulan, pasti sudah ada berbagai perkumpulan anak-anak dan akan sedikit sulit mencari teman. Mereka sudah memiliki kelompok masing-masing, palingan aku akan berusaha mencari yang paling mudah didekati nanti.
"Sialan, gue udah kehabisan uang nih. Masa entar gue cuma makan roti gratis doang," keluh salah seorang siswa yang ada di depanku, mengantri dan menunggu gilirannya untuk absen.
"Yah, mau gimana lagi. Lo sih foya-foya banget, makan-makanan mahal. Tiap malem ke cafe, terus juga kalau enggak salah lo beli game portabel kan, ya?"
Siswa itu hanya menghembus napas panjang, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sekolah ini memberikan uang saku tergantung dari popularitas yang dimiliki, semakin banyak maka semakin bagus. Dan jika sampai popularitas itu mencapai angka kosong, sanksi dropout menanti.
Dengan diberikan uang saku setiap bulan, siswanya diajarkan untuk mandiri dan diharapkan bisa memanajemen keuangannya sendiri dan apabila gagal, berakhirlah dirimu kehabisan uang dan bergantung pada sesuatu yang gratis. Benar-benar simulasi masyarakat yang kompleks.
Giliranku akhirnya tiba, setelah melakukan scan pada alat itu aku segera kembali ke kursi. Pak Irfan menyuruhku menemuinya saat istirahat makan siang. Sedangkan ini masih istirahat pertama, aku tidak tahu harus melakukan apa.
Sepertinya beberapa anak juga tidak tahu harus melakukan apa, karena mereka lebih memilih untuk tetap diam di kursi. Dua anak yang tadi pembicaraannya aku dengar sedang ada di pojok kanan ruangan bersama dengan anak pemarah yang harus paling aku hindari.
Mereka terlihat akrab, bahkan berbincang dengan santainya. Sepertinya aku bisa menyebut mereka sebagai trio yang harus dihindari, karena pembicaraan mereka adalah tentang kehabisan uang dan apa yang harus mereka makan selama satu bulan ke depan. Tidak ada untungnya berinteraksi dengan orang seperti itu.
"Hei, kenalin, aku Felly Andara. Ketua Kelas F. Kamu baru masuk ke sini berarti belum ngambil uang bulan lalu, 'kan? Mau aku bantuin tanya ke pihak OSIS?"
Pertanyaan itu tiba-tiba datang dari suara yang sebelumnya aku dengar. Sontak saja aku mengalihkan pandangan ke depan, aku melihat sosok gadis yang berdiri sambil tersenyum dengan manis. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai ke belakang. Ia terus memandangiku, dengan matanya yang cerah dan bulat seperti mutiara.
Aku tidak mungkin salah, ia adalah gadis yang tadi berani membela teman-temannya. Selain berani, dirinya juga terlihat memiliki bakat untuk disukai siapa saja. Selain itu suaranya sangat enak didengar, aku rasa tidak akan bosan jika mengobrol dengannya.
"Halo?"
Aku tersadar dari lamunan tadi setelah mendengar suaranya yang lembut. Felly masih berdiri di sana, memasang wajah yang seakan mengisyaratkan 'Apa kamu baik-baik saja?'. Sepertinya aku memang harus pergi ke ruang OSIS untuk mengambil uang seperti yang dikatakan Ms. Oktavia sebelumnya.
"Kalau lo mau bantuin gue, boleh deh," balasku sambil melihat reaksinya.
Sedikit memalukan, aku sama sekali tidak pernah mengucapkan sesuatu seperti itu sebelumnya. Dari apa yang aku dengar dari orang itu gaya bicara seperti ini lebih nyaman digunakan untuk mendekati murid-murid lain.
Aku bodoh, seharunya aku menggunakan gaya seperti ini kepada anak laki-laki saja. Sekarang Felly malah memandangiku dengan tatapan heran, apakah gaya bicaraku tadi benar-benar buruk atau kurang natural?
"Kalau gitu ayo, ruang OSIS ada di lantai tiga. Aku bakalan tunjukin jalannya," ujar Felly sambil memasang senyumannya. Manis sekali.
Setelah memasang ekspresi heran tadi ia langsung bisa mengubah wajahnya dalam sekejap. Entah kenapa aku seperti sedang diperhatikan secara khusus olehnya. Mungkin ini karena aku sudah dilihat banyak mata selama tiga tahun penuh, membuatku peka terhadap sesuatu yang serupa.
Felly sudah berjalan lebih dulu menuju keluar kelas, aku tidak mau dirinya menunggu jadi lebih baik aku segera ke sana. Perasaan ini timbul lagi, semua orang di kelas memperhatikanku. Rasanya tatapan murid laki-laki yang paling berat, mereka seperti tidak rela aku membawa Putri dari istana.
***
Tidak kusangka akan mendapatkan buku tabungan dan sebuah kartu atm dari pihak OSIS. Mereka juga bilang kalau di rekening sudah ada uang sebanyak sepuluh juta rupiah. Jumlah yang sangat besar hanya untuk uang saku seorang murid SMA.
"Wah, untung ya, kamu masih punya banyak uang," ucap Felly senang.
"Kayaknya ini kebanyakan deh, maksud gue siapapun yang megang uang sebanyak ini bakalan foya-foya banget, apalagi bakalan dapet tiap bulan."
Felly tertawa sebentar, namun bukan tawa senang atau apa. Itu hanyalah suara hampa yang tidak berarti, lebih tepatnya hanya untuk merespon ucapanku yang tidak pantas tadi. Berpura-pura menjadi bodoh dan tidak mengetahui apapun, adalah cara terbaik mengorek informasi.
"Kami awal-awal masuk juga gitu kok, ngehamburin banyak uang. Seneng-seneng, nongkrong segala macem. Terus hari ini, kamu kayaknya udah tau gimana sistem sekolah ini," ujar Felly menanggapi perkataanku tadi.
Sepertinya mereka terlalu bersenang-senang bulan lalu, sampai terbuai dengan jumlah uang yang dimiliki sehingga tidak menyadari dampaknya. Aku juga akan seperti mereka jika aku tidak mengetahui secara jelas bagaimana sistem yang dijalankan oleh Amemayu.
"Kalian semua bego sih, mana mungkin sepuluh juta dikasih tanpa syarat gitu aja. Gue kalo dapet duit sebanyak ini pasti curiga lah."
Gawat, aku terlalu berlebihan. Semua pemikiranku keluar dengan gaya bicara yang pastinya agak kasar. Gadis ini pasti akan memandangiku sebagai orang aneh atau menyeramkan. Aku sudah membayangkan sedikit ekspresi jijik dari wajahnya, benar-benar tidak nyaman.
"Kamu, sebenarnya udah tau, 'kan?" tanyanya dengan suara lembut seperti sebelumnya. Tidak ada kemarahan, kecuali hanya suara yang ingin terus aku dengar.
"Iya."
Sekali lagi aku harus mengutuk diriku. Lidah yang keceplosan ini benar-benar menyebalkan. Mau bagaimanapun, aku seharusnya tidak melakukan ini.
"Kamu lucu ya."
Kalimat yang diikuti tawa itu membuat jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya. Ia benar-benar manis dan sangat pandai memperlihatkan pesonanya. Aku anak laki-laki yang normal, sudah sewajarnya aku akan jatuh hati padanya. Namun, itu belum saatnya, terlalu dini untuk memikirkan asmara.
"Bagian mananya aku yang lucu?" aku menanggapi kata-katanya tadi dengan pertanyaan.
"Tuh liat, gaya bicara kamu langsung berubah," ungkapnya dengan tawa yang sedikit lebih keras.
Aku baru sadar, menggunakan bahasa gaul bukan gayaku. Sehingga tanpa sengaja tadi aku berbicara dengan gaya yang biasa. Memalukan, berdiri dekat gadis ini bisa membuatku semakin salah tingkah. Baru saja aku ingin membalas perkataanya lagi, tapi ia sudah menjauh.
"Kapan kamu sadar?" aku berjalan mendekatinya.
Tidak ada alasan lagi berpura-pura menjadi anak gaul, lebih baik berbicara seperti biasa ketika aku bersama dengannya. Felly belum juga menjawab, ia terus berjalan dengan senyuman jahil. Seperti anak kecil yang baru saja berbagi rahasia dengan salah satu sahabatnya.
"Cara bicara kamu tadi kaku banget soalnya. Aku bisa tau kok, soalnya di kelas lumayan banyak yang gaya bicaranya gitu, cowok-cowok sih," balasnya sambil melihat ke arahku.
Aku hanya bisa tertawa. Ia termasuk orang yang peka, bisa mengamati cara bicara seseorang dengan teliti itu termasuk kemampuan yang bagus. Aku ingin berbincang lebih lama lagi dengannya.
"Kamu keliatannya teliti juga ya, aku kira kamu enggak bakalan sadar."
"Ahaha, cuman kebetulan aja kok aku sadar."
Lagi-lagi tawa yang canggung yang ku dengar darinya, aku hanya bisa mengikuti alur pembicaraan ini tanpa memikirkan apa yang sebenarnya hendak aku capai. Percakapan yang tidak ada artinya, sebab semua informasi ini kurang lebih sama dengan keterangan yang diberikan oleh Ms. Oktavia.
***
Aku kembali lagi ke ruang staf pengajar. Lebihnya banyak orang di sini dibandingkan sebelumnya, mengingat sekarang adalah waktu istirahat. Untungnya Pak Irfan memilih waktu saat makan siang, sehingga satu persatu dari mereka pergi ke kantin.
Berkebalikan dengan Ms. Oktavia, meja Pak Irfan benar-benar berantakan. Penuh dengan kertas yang ditumpuk dan terdapat sebuah laptop di tengahnya. Sepertinya aku harus mencabut kata-kataku tadi pagi. Orang ini lebih cocok sebagai guru urakan dibandingkan Ms. Oktavia.
Entah kenapa rasanya jadi lebih panas, mungkin ini efek matahari yang sudah mencapai titik porosnya. Apalagi Pak Irfan sengaja mematikan AC sehingga ruangan ini terasa tambah panas. Senyuman tipis terukir pada bibirnya, dia sengaja melakukannya.
"Ini buku pedoman dan peraturan sekolah. Aku akan menjadi Wali Kelasmu, jadi kalau kamu bermasalah atau apa, itu juga akan menjadi bagian dari tanggung jawabku," kata Pak Irfan sambil memberikan tatapan tajam.
"Terima kasih, kalau begitu saya permisi."
Firasatku mengatakan kalau jangan terlalu lama berada di sini, ada yang aneh dengan Pak Irfan. Aku mengingat pesan dari orang itu.
"Jangan berurusan dengan guru yang merepotkan."
Pak Irfan adalah salah satunya. Menurutku lagi setelah bertemu dua orang ini, guru-guru SMA Amemayu tidak ada yang normal. Selain mereka tergolong muda, mereka seakan menyimpan misteri tersendiri yang tidak dapat dijamah oleh murid-murid.
"Tunggu sebentar, aku belum menyuruhmu untuk kembali."
Benar seperti yang aku duga, dia benar-benar akan menjadi guru yang merepotkan. Aku tidak boleh langsung keluar, karena orang itu menyuruhku supaya guru-guru tidak boleh mengetahui kalau aku adalah suruhannya, kecuali Ms. Oktavia.
"Aku memang mendengar kalau kamu kecelakaan dan dirawat di Rumah Sakit Amemayu, tapi aku tahu betul kalau kejadian itu tidak pernah terjadi. Jadi lebih baik katakan saja, siapa yang mengirimmu dan apa tujuan sebenarnya kamu berada di sini?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top