(Vol. 2) Prolog
Prolog
01 September 2025
Perasaan tidak nyaman selalu tampak lebih nyata ketika aku masuk ke dalam. Rasanya pengap, meski pendingin ruangan yang tergantung di atas sana berfungsi baik. Panas ini bukan terjadi secara alami, tetapi karena tatapan mereka yang sangat tajam, seolah hendak mengulitiku seutuhnya.
Di dalam ruang persegi panjang ini, aku duduk di tengahnya. Bagai dikelilingi tembok, ada meja panjang di depan, kiri, dan kananku. Di setiap meja itu juga masing-masing berdiri dua sampai tiga orang berjas hitam dengan wajah kaku bak maneken pajangan.
"Damar." Suara itu terdengar berat dan dalam, memberi kesan mirip pendakwa yang tengah membacakan tuntutan dalam persidangan.
Apakah agak berlebihan menggambarkannya begitu? Tentu saja tidak. Sebab aku tahu betul kenapa aku dipanggil kemari dan dikelilingi oleh beberapa orang yang tak lain adalah eksekutif Amemayu Group dan orang yang ada di hadapanku sekarang ini ialah Ketua Yayasan.
"Ya!" Aku menjawab, tanpa memperlihatkan kegelisahan pada mereka.
"Awalnya saya memang tidak setuju dengan keputusan kalau event murid kelas 1 dilakukan di luar lingkungan sekolah. Apalagi kalau kamu tahu, angkatan 2025 ini sangat berbeda dari angkatan-angkatan sebelumnya ...."
Pria tambun berstelan jas hitam yang ada di sebelah kiriku sengaja menggantungkan kalimatnya. Ia ingin menekankan penolakannya di masa lalu dan memakunya di kepalaku. Lalu ia kembali melanjutkan ucapannya.
"Tanggal 24 Agustus kemarin, ada kejadian aneh yang membuat alat-alat musik dari dua puluh kelompok rusak. Kalau satu atau dua orang saja yang mengalaminya, mungkin memang kesalahan teknis. Dan uniknya lagi, alat musik yang rusak ternyata semua milik murid dari Kelas D. Bi-"
"Bisa kamu jelaskan masalah itu, Damar Indra Brahmasta?"
Belum sempat pria tambun menyelesaikan kata-katanya, Ketua Yayasan telah lebih dulu memotong. Sepertinya pertanyaan yang sama juga ingin diutarakan pria tadi dan begitu pula dengan semua orang di dalam ruangan ini. Kenapa alat musik murid Kelas D bisa rusak serempak?
"Jika saya katakan kalau itu adalah kebetulan, apa kalian percaya?"
Tatapanku melekat pada Ketua Yayasan, tidak menghiraukan orang berjas hitam sisanya. Pendapat mereka tidak berarti di hadapan orang ini, meski mayoritas mereka bilang tidak, tapi kalau dia bilang iya maka semuanya harus menurut. Ketua Yayasan adalah poin utama persidanganku.
"Apa yang kau katakan ini, Damar!?"
"Jangan bermain-main!"
Kegaduhan terjadi dikedua sisiku. Namun, tidak berlangsung lama mereka semua bungkam. Tepat setelah Ketua Yayasan mengangkat setengah lengannya.
"Aku menginginkan jawaban yang lebih bisa diterima oleh orang-orang di sini, dibandingkan jawaban untuk memuaskanku, Damar." Ketua Yayasan untuk pertama kalinya membalas tatapanku. Tetap sama. Berapa kali pun aku melihatnya, hanya ada kegelapan di sana. Kegelapan yang sangat dalam.
"Kalau begitu biar saya tegaskan lagi untuk kesekian kalinya. Keputusan saya untuk menjalankan event murid kelas 1 di luar lingkungan sekolah demi Amemayu Group itu sendiri."
Aku bangkit dari tempat duduk dan mulai mengedarkan pandangan, menyisiri semua orang yang ada di sana. Wajah mereka tetap kaku, meski tadi nada jengkel dan bingung sempat terdengar. Mereka menyeramkan seperti biasanya.
"SMA Amemayu akhirnya bisa lebih dikenal masyarakat, bahkan juga bisa menghapuskan rasa penasaran mereka kenapa selama ini SMA Amemayu tertutup dan hanya menampilkan hiburan dari murid-muridnya secara daring.
"Bahkan, ketika OSIS melakukan sosialisasi bagaimana metode voting saat pentas, mereka lebih antusias dan tentu saja ini akan menjadi benefit yang bagus untuk Amemayu Group ke depannya."
Untuk awalan, aku menunjukkan fakta yang tidak bisa dibantah. Antusiasme masyarakat ketika mengetahui secara langsung bagaimana SMA Amemayu melakukan event memang sangat tinggi.
"Sementara masalah alat musik yang rusak secara serentak, saya sangat yakin kalian sudah bisa menebak pelakunya. Walau tidak mengetahui siapa sebenarnya orang itu." Selanjutnya aku menambahkan sedikit kebohongan yang mirip dengan kenyataan.
Benar, berpikirlah begitu. Semua orang menundukkan kepalanya, kecuali Ketua Yayasan yang tersenyum puas. Jawabannya pasti segera tiba. Meski bukanlah kebenaran, tetapi apa yang mereka pikirkan langsung menuntun mereka ke jawaban itu ....
Amemayu Children's.
"Jujur, itu memang kelalain saya karena tertinggal satu langkah dalam memperhitungkan masalah ini. Tapi saya yakin kalau hanya masalah tadi, masyarakat tidak akan curiga." Aku mengakui kesalahan setelahnya, meski aslinya kejadian tersebut tidak berhubungan dengan Amemayu Children's.
Seketika raut muka yang tadinya kaku makin menegang, inilah apa yang mereka takutkan. Proyek Amemayu Children's tidak boleh diketahui oleh masyarakat, mereka masih ingin menyimpannya lebih lama dan bermaksud mengujinya di lingkup SMA Amemayu dan menolak event di luar.
Aku jadi teringat perdebatan lalu agar mereka menyetujuinya. Dari delapan orang, tujuh menolak dan satu setuju. Untungnya orang yang setuju adalah Ketua Yayasan, sehingga event di luar sekolah dapat dijalankan dengan lancar.
"Tetap saja ini mengkhawatirkan." Kali ini pria tinggi bersorot mata tajam di sisi kananku bersuara.
"Benar, terlalu berisiko membiarkan Amemayu Children's saling berhadapan di publik."
"Proyek itu terlalu berharga kalau masyarakat sampai tahu. Terlalu banyak biaya yang kita keluarkan hanya untuk mengasuh anak-anak dari bayi hingga 12 tahun. Hasilnya bahkan belum kita ketahui sukses atau tidak."
Kekhawatiran mereka akhirnya muncul kepermukaan. Aku bisa melihat beberapa orang sedang berbisik-bisik dengan mitra di sampingnya. Keraguan tentang ide yang kuajukan tergambar jelas dari sorot mata mereka.
Ini seharusnya tidak terjadi, kalau saja ia menuruti Santoso supaya jangan mencolok. Namun, apa aku punya hak memarahi anak itu nanti? Aku rasa tidak, karena dia pasti sangat membenciku dan juga Ayah kami. Benar-benar gadis pembawa masalah.
Ketukan tiba-tiba terdengar dari arah depan. Seperti ditarik oleh tali, kepalaku terangkat 'tuk melihat kembali Ketua Yayasan yang kini menatapku bosan.
"Sudah terlambat kalau kita melaksanakan kembali event di lingkungan sekolah. Antusiasme masyarakat sudah sangat tinggi, malah kalau event tidak diadakan di luar lagi hanya akan membuat mereka bingung.
"Kita tetap pada rencana Damar, membiarkan event kelas 1 berada di lingkup Kota Yogyakarta. Kalau ada yang keberatan, bisa mengangkat tangannya." Ketua Yayasan melirik kiri, lalu kanan, dan akhirnya berhenti lagi ke arahku.
Aku mengintip ke kiri dan kanan. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bergerak, bahkan enggan mengeluarkan satu jari dari bawah meja. Suara yang datar sebelumnya telah benar-benar membuat keluhan-keluhan mereka kembali ke dalam kotak.
"Sepertinya tidak ada yang keberatan. Kalau begitu pertemuan ini aku anggap sudah selesai," Ketua Yayasan bangkit dari tempat duduknya sebelum melanjutkan, "persiapkan kegiatan untuk bulan ini, dan pastikan kejadian serupa tidak terulang lagi. Aku mengandalkanmu, Damar Indra Brahmasta."
Aku menunduk, menerima mandat berat yang sejujurnya tidak ingin kuterima. Seteah Ketua Yayasan beranjak, satu per satu pria berjas lainnya menghilang dalam pandanganku. Lampu yang tadinya terang menjadi redup.
***
"Pasti sulit."
Kalimat itu datang ketika kepalaku baru saja bersandar di sofa tengah ruang OSIS. Bukanlah kekhawatiran ataupun ejekkan, murni hanya sebuah pertanyaan untuk berbasa-basi yang datang dari Amelia, seperti biasanya.
Gadis berambut sebahu dan poninya yang disisir ke sebelah kanan, dia berjalan kemari. Seutas senyum dari bibirnya nan tipis tampak, seolah datang dengan hati ringan. Matanya sendiri seakan-akan mengejar agar segera memberikan balasan.
"Aku hampir tidak bisa bernapas di sana." Tentu saja kata-kata itu adalah khiasan yang sesuai atas pertemuan sesak tadi.
"Lagian, kamu sendiri yang ngebikin event kelas 1 dilakuin di luar, padahal angkatan kita sama angkatan Rendra pentasnya tetap di sekolah." Amelia merengut, ada kecemburuan dari nada bicaranya yang agak ketus.
"Apa kamu kesal?"
Amelia tidak menjawab, bahkan sudah membuang muka sejak awal. Meski tak bersuara, apa yang sebenarnya dia ingin katakan memang sama seperti apa yang aku pikirkan.
Rasa iri.
Ini adalah tahun terakhir kami di sekolah, terkurung dari dunia luar selama 2 tahun lamanya. Wajar kalau dia memiliki kecemburuan pada murid angkatan 2025 yang malah bisa dengan mudahnya keluar dari lingkungan SMA Amemayu.
"Paling tidak, aku tidak menyesali keputusan yang kubuat ini meski dibenci oleh banyak orang." Aku menghela napas lagi 'tuk yang kesekian kalinya.
Benar, eksekutif Amemayu Group sudah sangat membenciku ketika pertama kali mengusulkan proposal event murid kelas 1 diadakan di Kota Yogyakarta.
Bukan hanya mereka, kenyataannya juga banyak murid kelas 3 kesal dengan kebijakan tersebuy. Mereka selama ini terkurung, sementara mereka yang baru masuk satu bulan sudah bisa keluar-masuk dengan bebas ketika event berlangsung.
"Enggak ada yang benci sama kamu, kok."
Aku melihat sosok yang mengeluarkan kata-kata manis itu. "Kenyataan tidak bisa diubah hanya dengan satu kalimat."
"Kalau gitu aku bakalan bilang kalau semua orang di kelas benci sama kamu." Amelia tersenyum ketika menyampaikan kenyataan pahit. Menertawakan nasib burukku, mungkin?
Aku juga ikut menertawakan fakta yang sudah jadi nyata itu. Kesunyian langsung menyelimuti kami setelahnya. Menambah kesan ruangan yang hanya diisi kami berdua seperti tak berpenghuni.
Aku lagi-lagi menyandarkan kepalaku ke sofa, mengusir rasa penat yang masih belum benar-benar sirna semenjak rapat tidak menyenangkan tadi. Amelia masih setia berdiri di sana dengan pikiran rumitnya sendiri.
"Apa menurutmu salah kalau aku ingin membuat dia lebih menikmati lagi kehidupan di dunia yang bebas ini?"
Setelah beberapa waktu berlalu, aku memecah keheningan yang membekukan kami berdua. Amelia memain-mainkan ujung poninya sambil melirik ke arahku. Lalu duduk di sofa seberang sana, membuat kami kini saling berhadapan.
"Apa kamu pikir bebas itu dosa? Bukannya udah hakikat manusia buat bebas!?" Amelia tiba-tiba menggebrak meja yang menjadi pembatas bagi kami.
Sikapnya sedikit mengejutkanku, tapi untung saja aku masih bisa menguasai diri agar tidak menampilkan gerakkan konyol seperti tersentak atau semacamnya. Aku berdeham, sebelum membalas ucapannya.
"Manusia dikutuk untuk bebas, itu yang ingin kamu sampaikan?"
Amelia cemberut, membuat wajah kesal ketika memelototiku. "Kenapa kamu ngambil kutipan Jean Sartre?! Yang aku maksud itu-"
"Manusia dilahirkan bebas, di mana pun ia berada, dari Jean Rousseau. Itu yang sebenarnya ingin kamu katakan, 'kan?"
Dia tidak mengangguk atau bersuara, hanya makin menunduk dengan wajah yang terus ditekuk. Bibir cemberutnya makin tampak jelas. Aku yakin kalau kepalanya kini sedang mengepulkan uap-uap kemarahaan.
"Damar kadang-kadang bisa nyebelin banget." Amelia tiba-tiba membuang muka sehabis lagi-lagi memelototiku. Dia masih bersifat kekanak-kanakan seperti awal-awal kami bertemu.
"Mungkin sudah jadi keahlianku untuk dibenci orang lain." Entah fakta atau hanya sekedar asumsi, aku yakin semua orang memang membenciku.
"Ih, aku enggak benci kamu, kok!" Amelia lagi-lagi hampir membuat jantungku copot. Dia benar-benar gadis yang mirip dengan bom waktu, bisa meledak kapan saja.
Aku langsung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, hanya akan ada ejekkan kalau sampai aku terlihat kaget di depannya. "Apa yang ingin kamu sampaikan memang benar. Manusia dilahirkan bebas, tapi kenapa dia tidak sebebas itu?"
Dirinya bungkam, menatapku tanpa suara. Mata monolid itu terus memperhatikanku dengan sorot yang tak bisa kumengerti. Namun, yang paling tidak kupahami adalah ketika Amelia tertawa kecil setelahnya.
"Selain nyebelin, kadang Damar ini bisa perhatian banget, ya?" disela-sela tawanya yang terdengar lucu, Amelia menyindir.
"Apa kamu ingin membahas itu lagi sekarang?"
Aku sudah bisa menebak kemana Amelia ingin membawa pembicaraan ini, sehingga aku memotongnya lebih awal. Tentu saja respon yang kudapatkan darinya negatif. Sudah berapa kali Amelia memelototiku sejak masuk kemari. Dia seolah tidak pernah dewasa.
"Padahal aku muji kamu karena kamu kayaknya peduli banget sama adek kamu. Malah ide buat ngadain event kelas 1 di luar juga karena kamu pengen dia tetap ngerasain bebas, 'kan?"
Amelia menajamkan tatapannya, mencoba merobek diriku agar mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya perlu mengabaikannya, sebab diri ini tidak tahu apa sebenarnya yang kuinginkan dari tindakan tersebut.
"Daripada membahas itu, lebih baik persiapkan agenda rapat untuk sore nanti. Kita harus menyiapkan bagaimana mekanisme free event dan UTS nanti untuk bulan ini."
Ekspresi kecewa yang bercampur kesal langsung menghiasi muka Amelia, dia sekali lagi tidak melihat ke arahku dan meletakkan dagunya di atas telapak tangan. Embusan napas bosan keluar dari mulut Amelia.
"Kamu enggak bisa jujur sama diri kamu sendiri, ya?" komentarnya tentu saja berbeda dari ucapanku sebelumnya.
Sekali lagi aku terdiam, dipaksa tutup mulut karena kebingungan dalam batinku sendiri. Benar-benar situasi membingungkan, aku heran kenapa aku sampai sejauh ini melakukan hal tersebut.
Apa aku peduli pada anak itu? Atau ini adalah rasa kasihan?
Entahlah, aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya kurasakan ketika menanam janji itu di dalam hatiku sendiri. Janji untuk menciptakan dunia bebas untuknya walau hanya beberapa tahun. Ia sudah mencapai titik awalnya, masih terlalu jauh dari apa yang kubayangkan.
Ini benar-benar rumit ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top