(Vol. 2) 3rd Event: Dorothy (Bagian 2)
Jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya. Ini bukanlah perasaan gugup atau ragu-ragu yang biasanya kualami. Melainkan kesenangan yang tadi hinggap dan ingin terus berada di sana selamanya.
Empat menit lebih permainan musik yang begitu menghanyutkan dari Kelas A sudah telah selesai. Mereka menyasikan melodi indah di telinga penonton, begitupula diriku.
Tidak bisa dipungkiri, permainan mereka menakjubkan. Namun, aku tidak akan berbohong kalau ini semua terjadi berkat vokalisnya. Dia, laki-laki itu bisa memberikan impact luar biasa dengan suaranya nan kuat.
Sikapnya yang angkuh dan memandang rendah siapa saja di sekitarnya bukanlah kesombongan semata. Melainkan keyakinan bahwa tidak ada yang lebih baik darinya.
Maksudku, siapa yang tidak begitu percaya diri setelah membuat puluhan penonton histeris?
Dirinya masih berada di sana, melambaikan tangan ke arah penonton. Meski tersenyum, matanya itu jelas sekali memandang mereka tidak lebih dari kumpulan serangga.
Nama anak laki-laki itu Prayoga Ranjiwa, terpampang di name tag di blazer putih nan dia kenakan. Pengikutnya tak kalah angkuh, mereka juga memasang tampang angkuh penuh kemenangan.
Aku dan Felly yang juga menyaksikan penampilan mereka dari samping panggung hanya diam. Namun, ia tampak lebih mengkhawatirkan dibanding sebelumnya.
Tangan Felly tidak henti-hentinya gemetar. Tatapan mata itu seakan merefleksikan ketakutan, diiringi oleh napas tak beraturan.
Jangan bilang kalau ia gugup panggung sekarang?
Pemikiran itu terlintas dibenakku. Sebelum aku ingin membuktikannya, kelompok Prayoga telah menuruni tangga dan berjalan ke arah kami. Setiap satu langkah mereka ambil, semakin kuat juga getaran di tubuh Felly.
"Sekarang buktiin kalau lo enggak bakalan gagal," Prayoga menepuk pundak Felly, membuat tubuhnya menegang. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Felly dan membisikkan sesuatu.
Seketika bahu Felly melemas, pasrah. Ia hampir saja jatuh kalau aku tidak segera menangkap lengannya. Tindakan barusan tentu membuat keduanya–Felly dan Prayoga–terkejut.
"Apa kamu takut kalah?" tanyaku membalas tatapan heran Prayoga.
"Hah?" dia terkekeh, "mustahil gue kalah sama orang gagal kayak kalian. Mending bangun sana, jangan kebanyakan mimpi."
Aku bisa merasakan ketakutan dari telapak tangan Felly yang basah. Setiap kali kata 'orang gagal' keluar, ia makin gemetar. Sambil melirik ke arahnya sebentar, aku menggenggam tangan lembut itu, bermaksud memberikan dukungan.
"Kalau gitu, kenapa kamu nyerang dia pakai cara kotor gini?"
Prayoga sedikit menyipitkan mata menyikapi ucapanku barusan. Ekspresi yang sebelumnya meremehkan tadi berubah jadi sedikit lebih serius.
"Hoo, apa maksud lo cara kotor?"
Setelah dari tadi menyerang Felly bertubi-tubi, Prayoga sekarang malah mengangkat sedikit perisainya.
Intimidasi, kata-kata, dan juga kalimat yang dia pakai sebelumnya bukanlah acak. Melainkan serangan yang bisa menjatuhkan mental Felly Andara. Dan kenapa dirinya bisa melakukan itu, sebab dia telah mengenal Felly cukup lama.
Lalu, apa yang ditakuti Felly adalah ....
"Felly bukan orang gagal."
Entah kenapa aku baru memikirkannya sekarang. Felly Andara adalah orang yang mengkhianati Kelas F karena kesal disandingkan bersama orang-orang gagal.
Awalnya aku kira ia hanya mengada-ada perihal itu, dan hanya ingin bermain-main karena dirinya seorang Amemayu Children's. Namun, melihat reaksi, mimik, dan juga tingkah Felly barusan telah menghancurkan kemungkinan tersebut meski kecil.
Lalu, siapa orang yang menarik benang Felly selama ini? Jujur saja, ini menjadi pemikiran yang menarik kalau saja aku sekarang tidak berhadapan dengan sosok bernama Prayoga Ranjiwa.
Kekehan terdengar, Prayoga kembali memperlihatkan sifat buruknya. Dia tiba-tiba menarik tanganku, menyeret sampai mendekati tubuhnya.
Apa-apaan orang ini?
"Barang rusak kalau ngomong suka ngelantur, ya?" Lenganku masih tergantung digenggaman Prayoga. Wajah kami saling berhadapan, bahkan jaraknya hanya terpaut dua atau tiga senti sebelum hidung kami bertabrakan.
"Terus, apa sebutan buat orang yang pakai cara kotor buat menang?" Tak gentar dengan intimidasinya, aku menatap mata itu. Mata nan selalu memandang orang lain di bawahnya.
"Gue juga penasaran. Apa, ya?"
"Mungkin sebutan sampah lebih cocok buat kamu."
"Kalau gue sampah, terus orang-orang di kelas bawah, apalagi Kelas F apaan?" Seringai Prayoga terlihat mengerikan, seolah ada keberadaan jahat di bawahnya.
"Mereka, jauh lebih baik daripada kamu."
Apa aku sedang berbohong? Tentu saja tidak. Jika aku mengumpamakannya, kebanyakan anak Kelas F masih mirip seperti balita yang belum belajar banyak hal. Mereka juga gampang mengikuti arus pemikiran kuat yang dipimpin segelintir orang.
Itu ... jauh lebih baik dibandingkan laki-laki yang sejak tadi menyerang Felly secara perlahan dengan kata-katanya.
"Heh, lo orang yang cukup nyebelin juga. Enggak apa. Gonggongan doang enggak mungkin bisa ngegigit. Buktiin sama gue, kalau kalian emang bukan orang gagal." Prayoga meninggalkan kami setelah menyisakan kalimat sindiran tadi.
Seperti baru saja diterjang badai, tubuh Felly lunglai. Ia berlutut di sana, tak kuat lagi menutupi ketakutannya akan Prayoga Ranjiwa. Wajah gadis itu agak menggelap, mengurungkan niatku 'tuk bertanya lebih jauh dan hanya bisa menunggunya lebih tenang.
Namun, hal tadi tidak diperlukan. Sebab detik berikutnya, Felly telah mengangkat wajahnya. Menatapku dengan ekspresi menyedihkan. Bagai orang yang telah diambil semangatnya dalam medan tempur, mata Felly berkaca-kaca.
"Aku mau ngonfirmasi satu hal. Tapi, kayaknya udah enggak perlu."
Ia tertawa hampa, pandangannya benar-benar kosong sekarang. Entah ke mana sosok Felly yang dulunya mirip penyihir jahat nan selalu menghantui benakku dulu. Sekarang aku hanya bisa melihatnya sebagai gadis rapuh menyedihkan.
"Aku ... emang benci sama anak-anak di Kelas F. Soalnya ...."
Felly Andara tidak mau dianggap sebagai orang gagal. Itulah alasan kemarahannya ditempatkan di Kelas F sejak pertama kali masuk sekolah. Dan berkat itu juga, aku bisa memancingnya melakukan sesuatu.
Aku bisa menduga kalau sebenarnya Felly Andara hanyalah orang kurang beruntung. Ia, saat ini mungkin juga masih menari-nari di atas telapak tangan seseorang.
Dan bodohnya aku tidak sadar sampai sekarang. Felly bukanlah Amemayu Children's, melainkan bidak dari salah satu di antara mereka. Lalu, siapa sebenarnya yang menarik benang Felly Andara?
Sayang sekali aku tidak mempunyai waktu barang sebentar 'tuk memikirkannya. Giliran kami tampil sebentar lagi, para staf tengah mempersiapkan instrumen yang diperlukan.
Memang yang mereka susun hanyalah satu keyboard untukku, sebab Felly adalah orang yang menyanyi. Kami hanya akan memakai satu alat musik sebagai pendukung dalam melodi.
Sampai akhirnya salah seorang staf mendatangi kami, memberi tahu kalau semuanya siap.
Aku masih sedikit khawatir. Felly telah kehilangan semangat juangnya. Saat ini gadis itu tak lebih hanya cangkang kosong. Meski tadi sempat bertukar kata, kelihatannya belum cukup mengembangkan kembali semangatnya.
"Hei, Felly!"
Tanpa basa-basi, aku mencubit kedua sisi pipi Felly kuat-kuat. Matanya langsung terbuka lebar karena rangsangan tak terduga yang datang. Felly mundur beberapa langkah sambil memegangi bekas cubitan tadi yang sedikit memerah.
Sepertinya aku berlebihan.
"Apa-apaan, sih!?" Felly meninggikan suaranya sambil menatapku dengan wajah hampir menangis.
"Aku cuma bangunin kamu."
"A-aku enggak tidur, terus ini sakit banget tau!" Ia masih mengelus pipinya. Namun, aku tidak merasa menyesal sedikit pun melakukan tindakan tersebut. Ya, nyawa Felly tampaknya sudah kembali.
"Yang penting, jangan kacauin performa kamu. Soalnya kesempatan kita cuma satu kali." Tanpa memusingkan komentar Felly, aku menyuruhnya fokus pada situasi di depan mata.
Panggung kami telah siap, setelah melangkah ke sana jalan kembali kami berubah menjadi kehancuran. Lakukan atau mati, itulah kata-kata yang menggambarkannya.
Sayang sekali, tidak ada jaminan kalau kami melakukannya pun bisa menang melawan penampilan Prayoga sebelumnya. Aku berharap bertukar posisi dengan Riri kalau tahu akan jadi seperti ini.
Sambil melirik Felly yang masih ragu, aku menepuk pundaknya. Membuat gadis tersebut kaget dan sontak mengangkat kepalan.
"Kamu bukan orang gagal," pupilnya sedikit melebar, sehingga aku menambahkan, "mana ada orang gagal yang bisa nyanyi sebagus kamu."
"Aku enggak perlu kata-kata kamu," ujarnya sambil menyingkirkan tanganku.
Felly melangkah ke arah panggung, meninggalkankudi sini. Namun, kekhawatiranku belum juga sirna. Sebab bukannya mendapatkansemangat kembali, wajah Felly malah tampak tersinggung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top