(Vol. 2) 3rd Event: Dorothy (Bagian 1)

3rd Event: Dorothy

"Kesenangan dari pengalaman yang jarang kita dapatkan akan memberi kita kebahagiaan terbesar."

Epictetus

14 September 2025

Hari ini Minggu, merupakan batas terakhir sebelum free event selesai tengah malam nanti. Perolehan poin yang kumiliki saat ini sekitar 6.300, masih kurang 4.000 poin supaya bisa berpartisipasi di event utama.

Rencananya pagi ini aku, Riri, dan dua orang lainnya akan mencoba menyerang panggung 75 poin yang saat ini diduduki Kelas A dan Kelas C. Kalau kami berhasil mendapatkannya, maka 10.000 poin bukanlah mimpi.

Larut dalam pemikiran tadi, aku baru sadar kalau sudah ada di depan gerbang SMA Amemayu. Mentari sudah naik cukup tinggi, awan-awan putih mirip permen kapas terpencar di ufuk barat.

Sudah berapa lama aku menikmati kehidupan yang bebas ini? Rasanya setiap kali yang kulihat pasti hanyalah langit atau cuaca. Mungkin aku harus mencari objek lain untuk diamati mulai sekarang.

"Kenapa muka kamu bengong gitu?"

Dengan kata-katanya, seseorang telah berhasil membuyarkan lamunanku, aku pun segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dari arah belakang, tampak Riri nan mengenakan blazer hitam menuju kemari sambil meneteng tas gitar di punggungnya.

Aku bisa mencium aroma yang cukup menyengat dari parfum yang dia kenakan. Wangi jeruk. Aku baru menyadarinya, Riri ternyata bukan tipe gadis yang suka memakai riasan. Dia tampak selalu natural setiap kali kami bertemu.

Hal itu bukannya buruk, malah pesona Riri ada di sana. Dengan bibir yang agak merah muda dan juga kulit putih bersih, sudah bisa membuat kaum Adam pangling. Ya, kalau aku laki-laki ... mungkin aku juga akan berusaha mendekatinya.

"Cuma merhatiin awan," sahutku sembarangan.

Riri membuang muka sambil berdecak. "Kamu emang aneh."

"Makasih pujiannya. Kamu bukan orang pertama yang bilang gitu."

Sudah ada berapa murid yang mengataiku aneh sebelum dia. Jadi aku sedikit terbiasa. Tentu ini bukan hal bagus untuk terbiasa, 'kan?

"Udah pukul tujuh lewat, mereka ini emang suka telat apa gimana, sih?"

Riri mengeluh ketika melihat jam tangannya. Aku mendapat pesan kalau pertemuannya jam tujuh pagi. Aku datang lima menit lebih awal, sementara Riri datang tepat sesuai waktu perjanjian.

Dua orang yang kami tunggu malah terlambat. Aku tidak terlalu paham apa yang sebenarnya anak-anak gadis lain lakukan untuk bersiap-siap. Namun, kenyataannya perempuan memang suka persiapan yang matang.

Wajar kalau menghabiskan banyak waktu hanya 'tuk bersiap-siap. Aku rasa.

"Aku udah ngasih tau mereka sebelumnya. Jadi, aku bakalan jelasin hal ini ke kamu. Pakai kartu hitam buat ngambil panggung Kelas A, terus pakai kartu merah sama hijau biar enggak ada yang berusaha ngerebut panggung itu lagi."

Jadi, alasan dia juga memberiku kartu hijau semalam untuk tujuan itu. Memang benar kalau kami sudah berhasil menguasai panggung lalu menggunakan kartu hijau setelahnya, maka panggung tidak bisa dipakai seharian.

Dengan kata lain, ini adalah strategi agar panggung yang sudah kami rebut tidak direbut kembali oleh musuh. Riri ternyata bisa berpikir begitu, mungkin dia termasuk orang yang berbahaya. Tidak, sejak awal aku sudah memberinya label bahaya.

"Apa kamu denger yang aku omongin?"

Seketika hawa dingin membelai punggungku. Tatapan tajam Riri adalah penyebabnya. Dia memberi kesan seorang bos galak yang akan mengomel pada karyawannya kalau-kalau tidak mendengar penjelasan tadi.

Dengan cepat aku mengangguk. Namun, Riri masih saja terus memberikan tatapan curiga kalau-kalau aku berbohong. Kenyataannya aku memang mendengarkan dia bicara sejak tadi.

"Terus, kita bakalan rebut panggung secara kelompok atau–"

"Aku sama Tiara, terus kamu sama Felly dari Kelas D. Aku pikir bakalan lebih efisien kalau kita langsung rebut panggung bersamaan. Lagian, aku rasa Felly lumayan berbakat soal nyanyi. Masalahnya tinggal kamu."

"Itu kendengarannya sakit, jadi jangan lanjutin." Aku buru-buru mengibaskan tangan ke depan di tengah kepanikan. Tentu, kemampuanku cukup menyedihkan dibandingkan orang-orang lain menurut penilaian sekolah.

Riri menghela napas kekecewaan. "Aku harap Felly bisa nutupin kekurangan kamu entar. Atau, cobalah sedikit lebih serius melakukannya."

"Eh, aku udah serius, kok."

Bantahan tadi mendapat tatapan skeptis. Riri mungkin memang tidak pernah mempercayaiku sejak awal. Lagi pula, dia adalah orang yang mengetahui siapa aku. Sifatnya beralasan.

"Apa asyiknya pura-pura enggak bisa apa-apa, sih?"

Entah kenapa tiba-tiba Riri mengangkat topik ini. Akan tetapi, suaranya yang terdengar lebih pelan dan juga ekspresi kesal bercampur kesedihan samar-samar muncul.

"Kalau kenyataannya aku emang enggak bisa apa-apa, gimana?"

Mendengar jawaban tadi, Riri tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dia memandangi gerbang sekolah dengan sorot yang tak bisa kupahami. Masih banyak misteri yang disimpan olehnya. Namun, aku tidak mau mencari tahu sekarang.

Matahari sudah naik lagi, waktu pertemuan sudah lewat hampir sepuluh menit. Setelah balasanku tadi, tak ada yang bersuara di antara kami. Hanya ada deru angin dan kicauan burung di sekitar.

Sampai akhirnya keheningan aneh itu pecah oleh langkah kaki lain menghampiri kami. Sosok siswi berblazer camel datang. Napasnya terengah-engah, dahinya juga bercucuran keringat.

Kelihatannya Felly berlari dari asrama kemari. Mengingat dulu dirinya adalah orang yang tepat waktu dan ini sudah lewat, pasti ada beberapa gangguan. Dan akhirnya ia tiba dengan kondisi payah seperti ini.

"Ma-maaf telat, tadi ada yang–"

"Enggak perlu minta maaf.," Riri memotong ucapannya, dia ternyata cukup baik, "soalnya kamu minta maaf pun enggak bakalan bikin kesalahan kamu ilang."

Tarik kata-kataku tadi.

Meski mendapat balasan kasar, Felly tetap tersenyum bak malaikat. Apa ini juga merupakan topengnya seperti dulu? Ya, aku tidak begitu peduli juga.

"Iya, aku emang salah. Jadi enggak masalah kalau aku minta maaf, 'kan?"

Riri tidak membalasnya. Bahkan perhatian gadis itu sudah berganti ke ponsel saat aku mendengar kalau panggilannya dengan seseorang terhubung. Dia benar-benar mengabaikan Felly.

Di sisi lain, Felly masih tetap tersenyum walau sepunuhnya tidak dipedulikan. Aku bisa membayangkan ia marah seperti dulu di dalam sana. Ah, menyeramkan. Dengan beberapa urat yang muncul di kulit dan muka geram, Felly sangat menyeramkan.

"Selamat pagi, Aila." Felly langsung mengalihkan perhatiannya kepadaku.

"Pagi." Aku merasa gugup ketika mengatakannya. Aku juga berusaha menghidari kontak mata dengan Felly, rasanya sedikit canggung.

"Kamu masih kayak biasa, ya?"

"Apa maksud kamu?"

"Jarang natap orang lain kalau lagi ngomong."

Apa ini sindiran? Aku memberikan tatapan seperti itu kepadanya, yang dibalas oleh senyuman khas Felly yang lembut dan disukai siapa pun. Hah, aku akan kalah di sini.

"Kamu sedikit berubah, ya?"

"Eh, maksudnya?"

"Kamu jarang telat. Tumben hari ini kamu telat," kataku membalas serangannya tadi.

Sayang, bukan ekspresi terkejut atau semacamnya, Felly malah semakin memperlebar senyum dan sedikit tertawa. Suaranya yang merdu itu sedikit membuatku merinding.

"Aku bangun agak kesiangan hari ini, soalnya tadi malam ada urusan sama Ryan."

Sejujurnya aku tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. "Begitu, ya?"

Setelah itu, kami melanjutkan basa-basi ringan tanpa arti. Kemudian setelah Riri selesai dengan keperluannya tadi, dia menyuruh kami untuk berangkat berdua ke panggung Kelas A. Sementara dirinya akan pergi ke panggung Kelas C.

Riri juga mengatakan kalau Tiara ternyata sudah ada di sana. Sehingga tanpa membuang-buang waktu, kami memesan taksi masing-masing dan menuju panggung yang telah ditentukan.

Tidak perlu waktu lama, kami akhirnya sampai di Stadiun Mandala Karida–di mana panggung kekuasaan Kelas A berada. Tidak begitu banyak orang yang beraktivitas di sana.

Ada satu-dua orang dengan kaos dan celana training tengah berlari kecil di sekitaran stadiun. Ada juga beberapa orang nan mengenakan baju biasa, tentu dengan tujuan menyaksikan pentas yang digelar murid SMA Amemayu.

Bagaimana masyarakat mengetahui kami akan tampil? Ada aplikasi khusus yang disebarkan ke penduduk, gunanya bermacam-macam dalam membantu kebutuhan sehari-hari. Namun, fitur yang menguntungkan kami adalah jadwal tampil.

Kami juga harus mendaftarkan jadwal ingin tampil atau menantang pemilik panggung melalui laman khusus free event. Semalam Riri telah melakukannya, dia menantang dua panggung pagi ini. Dan aku menyerang salah satunya.

"Yang punya panggung keliatannya belum datang," ujar Felly sambil melihat panggung yang ada di sudut lapangan.

Rumput hijau disekitar panggung membentang luas. Meski biasanya ini dipakai untuk permainan bola, selama free event SMA Amemayu bebas menggunakannya sebagai sarana tempat.

Berangsur-angsur, semakin banyak orang yang datang kemari. Ketika aku melirik layar ponsel, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Harusnya kami sebentar lagi akan melaksanakan perebutan panggung dengan Kelas A.

Sayangnya, murid dari Kelas A yang menggunakan kartu merah di panggung ini belum juga datang. Untung saja ada aturan kalau orang itu terlambat datang selama satu jam, maka secara otomatis akan dinyatakan kalah.

Menang tanpa bertempur, apa seharusnya aku memakai cara seperti itu sebelumnya, ya? Sambil memikirkan hal itu, aku melirik ke arah Felly. Ingat kalau di kelasnya ada seseorang yang suka melakukannya.

"Felly, apa rencana Ryan buat Kelas D?"

Tanpa basa-basi, aku langsung melontarkan serangan frontal. Felly yang di depanku beberapa langkah menuju panggung akhirnya berhenti. Namun, ia sama sekali tidak membalasnya.

Suara yang aku dengar hanyalah angin dan percakapan samar orang di sekitar. Di arah panggung juga ada beberapa staf yang tengah memeriksa peralatan, menambah irama pagi.

Felly bak patung setelah pertanyaan tadi. Dirinya tidak menjawab, juga tidak berbalik menatapku. Apa aku melakukan langkah salah? Tentu ada kemungkinan seperti itu karena buru-buru sebelumnya.

"Bukannya kalian udah saling ngobrol?" Sambil membalikkan badannya, Felly Andara tersenyum.

"Apa maksud kamu?"

"Kalian, bukannya cukup dekat. Sampai-sampai ngejebak aku supaya dibenci sama anak-anak Kelas F?"

Felly mengetahuinya? Tidak, aku tidak menjebaknya agar dibenci. Aku hanya memanfaatkan situasi. Sayangnya, perbuatan itu menimbulkan sedikit karma–sekarang aku yang dibenci kelas.

"Bukannya kamu emang benci orang-orang di Kelas F?"

Lenkungan di bibirnya telah sirna. Akan tetapi, tidak seperti bayanganku. Alih-alih Felly berubah mejadi penyihir jahat, raut wajahnya kini malah menggambarkan kesedihan dan keraguan.

"Kenyataannya aku emang benci disandingin sama orang gagal," Felly menggantungkan kalimatnya sembari makin menunduk, "tapi, aku enggak bisa benar-benar benci mereka."

Kenapa ia malah memasang sikap seperti itu? Ketika aku ingin memikirkannya, murid Kelas A yang menguasai panggung ini datang dari arah barat.

Bukan hanya satu, ada sekitar lima dari mereka. Namun, yang paling menonjol adalah laki-laki berpenampilan nakal nan memiliki tindik di telinganya. Tatapan mata tajam itu menguliti kami bergantian. Dengan senyuman mengejek dia memegangi kepala.

"Gue enggak pernah nyangka, kalau yang nantangin gue ternyata cuman cewek. Terus, dari Kelas F lagi," ucapnya memandang rendah. Sikapnya cukup angkuh meski kami baru bertemu.

Felly tampak bergetar setelah melihat siapa yang ada dihadapannya. Bahu gadis itu sedikit menengang, seolah mengatakan tak pernah menduga akan bertemu dengan orang tersebut.

Apa mereka saling mengenal?

"Terus, minta bantuan sama orang gagal ini? Lucu banget, bikin ngakak." Dia menunjuk Felly dengan jarinya sambil tertawa puas. Orang ini benar-benar meremehkan kami.

Namun, melihat tingkah Felly yang tidak nyaman aku memiliki firasat buruk. Belum lagi dia dengan lantang menyebut kalau Felly itu orang gagal. Hal ini menyadarkanku akan sesuatu.

"Di-diam! aku bukan orang gagal!" Felly tampak marah setelah memaksa suaranya keluar.

"Heh, buktiin aja. Kalau lo emang bukan orang gagal, berarti lo yakin bisa ngalahin gue, 'kan?" tanya laki-laki tadi penuh percaya diri. Dia menjulurkan lidahnya, membuat ekspresi menjijikan meski wajahnya lumayan tampan.

Setelah kedatangan murid Kelas A tadi, beberapa wanita di sekitaran panggung bersorak. Sama halnya dengan adik-adik SMP ketika melihat tingkah siswa nakal tadi, mereka berteriak histeris.

Apa selera gadis-gadis sekarang adalah berandalan seperti dia, ya? Atau itu karena penampilannya? Entahlah, aku buta fashion.

Waktu bergerak cepat. Kami sekarang sedang bersiap-siap untuk beradu penampilan di atas panggung. Untuk giliran pertama adalah murid Kelas A, lalu kami sebagai penantang tampil setelahnya.

Namun, pertama-tama aku harus mengaktifkan kartu hitam di A-Card. Aku menyalakan mesin mirip atm di atas panggung, layar kecilnya menampilkan kartu merah dan huruf A besar, tanda penguasaan.

Aku mengambil A-Card dan menyalakannya. Lalu, memilih kartu berwarna hitam. Melakukan scan pada alat tadi, sampai terdengar bunyi 'bip' dan tuliaan 'this is war' mengambang di layar.

Bukannya ini ... norak?

Baru pertama kali ini aku memakai kartu hitam, jadi tidak tahu apa-apa soal kalimat tadi. Siapa yang menciptakan sistem yang memalukan seperti ini? Aku saja merasa merinding dibuatnya.

Akhirnya pertunjukan Kelas A dimulai. Mereka berlima ternyata membentuk kelompok band. Siswa nakal tadi sebagai vokalis, sementara dua orang sebagai gitaris, satu bassis, dan satunya lagi drumer.

Seketika, sekitaran panggung yang dipenuhi penonton mulai bungkam. Bersamaan dengan mulai dipetiknya satu nada dari instrumen salah satu gitaris. Keheningan ini, mereka menikmatinya.

Beberapa petikan kemudian, harmoni mulai tercipta dari drum dan bas yang ikut bersuara. Dan ketika si vokalis bernyanyi, kekaguman penonton pecah. Sorakkan antusias terdengar, menghancurkan keheningan sebelumnya.

Tapi ... aku harus mengakuinya. Suara orang itu, dia benar-benar berbakat dan mampu menghipnotis siapa pun yang mendengarnya. Lantunan nada dari nyanyiannya sempurna.

Lalu, bagaimana cara kami mengalahkannya kalauhanya dengan kemampuan Felly dan permainan keyboardku yang biasa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top